Laman

Minggu, 19 April 2009

INDONESIA, POLITIK BUSUNG LAPAR


INDONESIA, POLITIK BUSUNG LAPAR
Maafkan Aku Ibu Daeng Base
Usia Mu begitu singkat
Sang ajal diregut Bukan dari aturan Tuhan
tapi karena Beras Raskin Yang di rampas dari tanganMu
NasibMu begitu mulia dan indah
Tapi, tengoklah mereka yang saling berebut KURSI dan Posisi Kekuasaan
Nontonlah Ibu
Para Wakil kita siap main Drama di DPR
Karena RUU Pemilu sudah usai di dagangkan
Maafkan Aku ibu
Akibat Busung lapar dan Susu Zakazaki
Hingga PEMILU nanti suaraMu tak berguna Lagi
Demi Demokrasi dan Negara
Adakah pesan untuk AnakMu Ibu atau mungkin wejangan
Agar Ku titipkan pada Tuhan,
semoga Negri kita bebas dari busung lapar
Tetap tersenyum,duhai Ibu
Walau RohMu berada di kerajaan Keabadiaan
Tapi kisahmu menginspirasi diriku
Selamat Jalan Pahlawan busung LaparKu
Jakarta, 16 Maret 2008
Karya: Kamaruddin Salim

ELI KOLANO KIE

-->
ELI KOLANO KIE
Moro-moro ni oli goru-goru duka
Yo mote kore se bao toma alam darajat jou madihutu
Borero goru se sanang matiti kuasa bobato sara
Ino fo maku gise la fo maku gosa laha
Ma sabab ngone na darajat mapuji doro ma loa
Marimoi ngone eli se pelihara kolano ma gunyihi
Toma adat se aturan ngone fo malefo ahu
Gosimo na lao ma ongo hadari borero Sultan
Yo lupa ua Kolano Kie Tidore na barakatKadaton madoya
Maskena masyarakat yo lahi ahu ne ma jang kambu bato
Hadari ngofa se dano la eli ngone na gam ena re
Majoma Kitabullah,ma sugaro moro-moro toma tai pasi
Ino la ngone fo maku ise
gahi cobi ni Kadaton Kie Matubu
Jakarta, 21 Maret 2008
Kamaruddin Salim

MENJAJAKI KEAGUNGAN DIRI


MENJAJAKI KEAGUNGAN DIRI
Kamaruddin Salim


Terdiam membisu dengan tubuh terkulai lemah tanpa gerakan eksotik, yang tak biasanya hal ini mengindap diri yang sedang bergairah. Entahlah, mungkin ini perumpamaan ataupun teguran tanpa suara dari Tuhan. Bahwa saatnya sebagai manusia, aku lebih mencintai diriku sendiri. Imajinasiku terbang mengitari dunia di pagi buta yang penuh cerita baru.. Harapan terbesarku adalah dimana aku tidak bisa terkalahkan lantaran rasa sakit yang terus menerjang dari seluruh sum-sum raga hingga urat saraf otak kecilku.
Kali ini aku terngiang dengan bahasanya Descartes, Cogito, ergo sum “aku berpikir, maka aku ada” walau akhirnya menjadi Evaleo, ergo sum “saya menilai, maka saya ada” dari penularan ide yang cemerlang dari Descartes ini. Kian menusuk langsung ke pangkalan kematian pribadiku. Ke egoan pribadi tebantahkan, bahwa keberadaanku bukan atas landasan dorongan semangat yang pada akhirnya membuat aku terperangkap dalam lembah perdebatan diri yang penuh keraguan. Memang semua hal pantas diragukan, kecuali Tuhan Yang Maha Agung.
Segala sesuatu boleh dikatakan hanya tinggal puing-puing yang berserahkan. Landasan hidup menjadi kabur dan tak menampakkan lagi jalan hidup baru yang menjadi alternatif. Jiwaku tersungkur dalam sebuah pengasingan kehidupan materialisme dan pragmatisme palsu. Semua menjadi nyata bahwa aku belum mampu berpikir selayaknya Descartes.
Sudut kamar ini menawarkan sedikit kebahagiaan baru, bahwa aku masih “ada” bangkitkan jasadmu yang telah lama terkubur dalam sangkar kematian waktu yang terus menawarkan rasa sakit menahun itu, aku tidak mengeluh Tuhan, ini hanya irama biola yang kudendangkan bagi para Sufi itu.
Para penjagal kekuasaan menertawakan aku dari jarak dekat sambil mencibir bibirnya “engkau adalah sampah Negara” mereka terjingkrak-jingkrak. Kekuasaan hanyalah milik kami semata, jadi tidak perlulah engkau bertindak selayaknya engkau ada didekat kami. Usalah memohon, walau sebutir nasipun tak akan di peruntukan kepadamu. Tubuhmu berbau amis itu, saatnya dimusnahkan di tepian neraka itu.
Kisah-kisah para Nabi membangunkan aku dari episode mimpi menjelang azan subuh. Khayalan dan kisah dalam mimpimu hanya ilusi tanpa makna, Umatku. Pergilah dari tempat tidurmu dan tengoklah mereka yang terkapar di pinggiran kota mati itu. Lapindo Brantas membangkitkan heroik kemelaratan. Sebab disanalah keberadaan dirimu sesungguhnya.
“Adanya mereka, maka aku ada”. Penderitaan dan kemelaratan akibat ulah kaum rakus itu kesalahan tak dapat di ampuni. Sang Mahatma mengulurkan tangannya dari Tanah Hindustani, jangan terlalu banyak bermimpi, nanti engkau tidak dewasa dan jangan terlalu banyak menghayal nanti membuat engkau malas anakku”. Aku terus bertanya-tanya, siapa yang benar dan bijak sesungguhnya? Antara mereka, para Nabi dan aku mempunyai tubuh yang sama, tetapi aku tahu kami memiliki kasih sayang yang berbeda. Kasih sayang tanpa mengharapkan balas kasih dan harapan.
Sang waktu menjadi penguasa dari segala yang ada. Yang berkuasa teristimewa bagi mereka yang kuat. Kaum lemah menjadi kuda betina yang tetap nikmat untuk di perkosa. Waktu tidak pernah menawarkan sebuah hidup baru. Di balik jendela, matahari telah menggambarkan, hari ini telah berbeda dengan hari kemarin. Tak perlu kamu berdiam diri selamanya. terdiam dalam ruang yang kedap udara yang penuh sesak itu duhai anak cucu Adam.
Percayalah waktu hanya mampu menawarkan semangat hidup baru yang beraneka ragam. Tancapkan motivasi hidupmu sedalam samudera Hindia. Dan kokohkan prinsip hidupmu, tengoklah Puncak Himalaya yang tetap menawarkan kejayaan abadi yang pada semua manusia untuk menaklukkannya. Banyak jalan untuk meraih kesuksessan dan kebahagiaan.
Indahnya malam yang disinari bulan dan bintang yang terhampar dilangit nan kelam. Mereka selalu menjadi temanku disaat sunyi dan sepi melanda diriku. Teman yang romantis dalam berbagi rasa dan derita. Episode demi episode telah aku lalui bersama Sang bintang dan rembulan datang silih berganti sembari kokohkan sejarah umat manusia, datangnya maut hanya urusan waktu kawan.
Kesucian menjadi benang merah dari kejujuran. Suci namun ternoda tak langsung mengaburkan kata akan kejujuran. Para filsuf terngiang dalam makam padang Arafah. Kehangatan matahari mendongkel semangatku dari rasa takut. Keringat menjalar dari sekujur tubuh sembari meniup aura baru yang menyala nyala, walaupun banyak virus yang menggerogoti tubuhku.
Hidup ini serupa pameran tekhnologi. Dimana para ahli fisika memamerkan kecanggihan hasil modifikasi teori yang telah di pelajari di bangku kuliah. Aneka rupa hasil ciptaan membuat para manusia berseru, hebat dan hebat Manusia kian tak berarti sama sekali. Dominasi materi atau uang atas harga diri ibarat kekuasaan para raja yang sulit di taklukkan. Itulah yang dinamakan percaturan nasib. Kekuasaan haruslah direbut, andai kita ingin berkuasa. Plato menawarkan kata kebenaran dari jiwa bukan realitas yang tergambar secara kasat mata.
Andai kita memiliki kehendak ingin berubah, maka jangan selamanya jalan di lorong yang gelap, saaatnya keluarlah untuk menemukan terang benderang. Ujar Sutan Takdir Alisjahbana, kedepankan akal dan pikiran agar kita menjadi manusia yang bebas dari kontrol ego dan nafsu semata.

GUYONAN NEGARA DEMOKRASI


GUYONAN NEGARA DEMOKRASI

Oleh: Kamaruddin Salim©

Dan dengan mempertaruhkan kehidupan semata-mata hingga kemerdekaan diperoleh; dan oleh karenanya, hanya dengan mencoba dan membuktikan bahwa sifat esensial dari kesadaran diri-bukanlah menyangkal eksistensi, bukan sekedar bentuk langsung dimana ia pertama kali tampak jelas….Individu yang tidak mempertarukan hidupnya, mungkin, tidak disangsikan, diakui, sebagai sebuah pribadi; tetapi ia tidak mencapai kebenaran dari pengakuan ini sebagai kesadaran diri yang independen.

- G.W.F.Hegel, The phenomenology Of Mind-

Perdebatan tentang Demokrasi Indonesia selalu mendapat tempat di forum-forum di mana ada kesempatan atau kejadian politik menyehatkan. Tak ada batang akarpun jadi, itulah prinsip demokrasi perlu di pertahankan. Dalam dinamika kehidupan ber Negara, demokrasi selalu menjadi prinsip dominan untuk memfilter segala bentuk wacana ataupun keputusan yang di sepakati. Ada hakekatnya, demokrasi telah menjadi roh utama dalam dinamika kehidupan di Negara ini. Walau pada pelaksanaannya Teori dan praktek selalu kontradiktif. Sebab sepanjang sejarah Republik ini, pelebelan ataupun penafsiran terhadap demokrasi selalu berubah-ubah. Mulai dari demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila hingga demokrasi terbaru di Orde Reformasi sekarang.

Tidaklah mengherankan setiap orang tampil sebagai juru penyelamat demokrasi. Dengan berbagai macam konsep dan argumentasi yang tertuang di dalam buku, Skripsi, disertasi dan lain-lain. Semuanya ditujukan untuk menghormati demokrasi.

Sejarah telah tertulis dengan jelas bahwa, proses mewujudkan demokrasi tidaklah mudah. Di mana, darah, air mata dan harta benda selalu menjadi taruhan. seperti apa yang dipertaruhkan bagi masyarakat di seluruh dunia, dari Spanyol dan Argentina sampai Hongaria dan Polandia, ketika mereka menjatuhkan pemerintahan diktatorial dan membangun sebuah Negara Demokrasi liberal? Sampai batas tertentu, jawabannya adalah sesuatu yang sepenuhnya negatif yang didasarkan pada kesalahan dan kitidakadilan dari ordo politik sebelumnya; mereka ingin membuang para kolonel yang dibenci atau para bos partai yang menindas mereka; atau hidup tanpa ketakutan terhadap penahanan yang sewenang-wenang.[1]

Dinamika politik semacam ini, tidak begitu langka terjadi di Indonesia. Pasca kejatuhan Soeharto lewat aksi demonstrasi Mahasiswa, Mei 1998, yang akhirnya meligitimasi lahirnya Orde Reformasi sebagai dasar pijak kembalinya demokrasi rakyat. Menjadi salah satu bukti bahwa penuntutan terhadap terbangunnya demokrasi tidak semudah mengembalikan telapak tangan. Walau pada akhirnya, proses demokrasi rakyat di era reformasi ter-realisasi lewat momentum politik semata-mata.

Sebagai konsekuensinya, bagi Marx dan Engels (juga para pendukung interpretasi sejarah materialisme historis lainnya)..segala perjungan di dalam Negara, pertarungan antara demokrasi, aristokrasi, dan monarki, perjuangan demi franchise dan seterusnya, pada dasarnya Cuma bentuk ilusif di mana dalam pertarungan kelas yang sesungguhnya kelas-kelas yang bertentangan bertarung satu sama lain[2]. Pertarungan semacam ini bukan merupakan sesuatu persoalan baru dalam pertarungan politik penguasa. Secara historis tergambarkan betul bahwa semua individu atau kelompok selalu menciptakan legitimasi sosio-politik untuk mewujudkan bahkan demi meperoleh hak demokrasinya.

Kondisi ini tergambarkan sangat jelas saat ini, dimana pemerintah dan pengusaha tetap memutarbalikan fakta atas nama demokrasi dengan mengkebiri hak-hak mayoritas dari rakyat Indonesia. Dalam kondisi semacam ini sulit untuk di nalar secara kritis. Realitasnya adalah dimana proses demokrasi kian terpuruk diatas landasan kelompok minoris yang melegalkan yang namanya kekuasaan. Penggambaran yang di berikan Marx tersebut merupakan bukti kongkrit bahwa wacanan ataupun proses menciptakan kehidupan yang demokratis hanya tinggal ilusif semata. Sulit di percaya memang, sifat kebinatangan manusia selalu menjadi faktor dominan untuk tetap menindas kaum yang lemah. Sifat kebinatangan inilah yang mendorng manusia untuk mengedepankan naluri penindasan tiada akhir. Kemandekan perjalanan demokrasi Indonesia

Ketika Rezim Orde Baru Soeharto tumbang lewat demonstrasi Mahasiswa dan Rakyat pada Mei 1998 silam merupakan bukti kongkrit bahwa demokrasi hanya menjadi wacana sesaat ketika semua menginginkan perubahan yang satu. Ketika para elit politik berlomba-lomba tampil ke podium perubahan tampaklah bahwa mereka hanya mencari muka demi tujuan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.

Bukti nyata adalah adanya pembagian kekuasaan dari para tokoh yang mengklaim diri sebagai Reformis. Amien Rais menjadi Ketua MPR, Abdurahman Wahid menjadi Presiden dan Megawati Sukarno menjadi Wakil Presiden. Ketika para tokoh sudah menjabat, mereka saling tercerai berai dan mengklaim diri adalah yang terbaik. Kasus Dana Non Budgeter Bulog yang diduga melibatkan Abdurahman Wahid, menyebabkan pemberhentian Abdurahman Wahid dari kursi Presiden dan Megawati naik menjadi Presiden. Kemudian kasus tersebut turut menyeret Akbar Tanjung.

Tampak jelas, kekuasaan merupakan hal yang paling diutamakan oleh para tokoh politik. Mereka saling menjegal dan berusaha mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun. Hal yang paling menggelikan adalah ketika Al Amin Nasution diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di kantor Al Amin banyak terdapat stiker yang mengecam korupsi.

Seorang Ketua Umum Partai Politik berani memasang iklan politik dan berkedok dari tokoh kesusastraan Sekali Berarti Sesudah Itu mati. Iklan politik itu dipasang berhari-hari di media massa baik cetak maupun elektronik. Walaupun penulis tidak mengetahui biaya pemasangan iklan dan sistemnya, tetapi penulis yakin biaya pemasangan iklan tersebut mahal dan tentu mengeluarkan banyak uang. Alangkah lebih baiknya apabila Ketua Partai Politik tersebut memberikan modal berupa keringanan kredit bagi masyarakat miskin ataupun pembinaan kerja dibandingkan sekedar ucapan atau slogan-slogan sampah yang tidak berarti buat masyarakat.

Hidup adalah Perjuangan. Siapapun mengetahui hidup memerlukan usaha dan ketekunan yang ulet. Masyarakat tidak membutuhkan slogan, yang masyarakat butuhkan adalah bagaimana mereka dapat survive dari semakin berat dan mahalnya biaya hidup. Sembako, ongkos transportasi, sewa rumah merupakan sebagian dari yang dikeluarkan masyarakat.


© Mahasiswa Sosiologi Universitas nasional. Jakarta.

[1] Francis Fukuyama,The End Of History And The last Man. Kemenangan kapitalisme dan Demokrasi liberal. Penerjemah. M.H.Amrulah.Yogyakarta. Qalam 2004.Hlm.226

[2] Muhadi Sugono. Kritik Antonio Gramsci, Terhadap pembangunan Dunia Ketiga.Yogyakarta.Pustaka Pelajar,1 Oktober 1999.Hlm,23