DI KALA MANUSIA MEMANGSA
Semua bebas
berekspresi tanpa titik dan koma
Suara lantang
memaki, menghujat hal biasa
Inilah era
liberalisasi yang diagungkan manusia sejagad raya
Politik bibir
ranum, lidah katak dan bermuka badak jadi idola
Dalam waktu yang
berjalan siang malam, kita disuguhi aneka sajian yang fantastis
Politisi saling Sandra
demi citra partai dan kuasa di parlemen dan ruang birokrasi Istana
Polisi di buru,
pendekar hantu malam tanpa bayangan, lalu mati di jalan raya
Mencekam,
sembari meninggalkan tanda Tanya bagi keluarga dan publik
Siapa sesungguhnya
manusia pemangsa itu?
Lalu kita
kembali merenungi, para siswa ibu ibu kota beradu kekuatan di halaman sekolah
menuju jalan raya sambil melukai satu sama lain
Jalanan menjadi
arena tinju para petarung
Kaum terpelajar
seakan kehilangan mata batin dan akal sehat
Setumpuk undang-undang
prosuksi Departemen Pendidikan, demi mencerdaskan kehidupan anak bangsa
Kini, lapuk di
gudang sekolah yang hanya dibaca rayap dan kecoak
Orang tua tampil
sebagai sapi perah anak kandung sendiri demi harga diri yang terstruktur
Lalu bangga kami
adalah anak bangsa yang pandai
Inilah dunia
bebas merdeka yang dikehendaki kaum reformis
Mengucilkan Orde
Baru dari catatan resmi negara kemudian menggayang Soeharto
Kaum akademisi
kini berpesta, kita bebas menulis, mengkritis bahkan menghujat sesuka hati
Tembok Pembatas
pencerahan telah ambruk bersama politik Dinasti dan Etnisitas
Namun, semua
berbeda dalam kisah dan fakta
Kaum Pemburu
kekuasaan kian menggeliat dan binal dibalik soko guru yang mereka punya
Para pendekar
kini bermunculan dari segala medan laga dan perguruan silat lidah
Kemudian menggandeng
jemari lentik kaum bunda putri demi satu kehormatan dan wibawa
Cita-cita
emansipasi terwujud pula seirama habis gelap terbitlah terang
Oh, ternyata liberalisme
itu seksi dan menantang
Dunia politik
ramai dari kampanye pencitraan diri dan iklan kemajuan palsu
Membedah teori hutan
rimba, gunung emas dan batas wilayah dalam rung seminar yang mulai rapai para
kapitalis baru
Mengkapling lahan
gapan, membunuh kaum latah atas nama pembangunan
Sungguh, praktik
barbarisme menjamur sudah
Mereka semua
kaum pemikir ulung yang diproduksi ibu kandung
Namun, kawan. Kata
dari generasi yang menanti kemurkaan alam yang selalu datang
Antara tsunami,
air bah dan gempa bumi berulang-ulang meradang
Dan kita, dianjurkan
istigosah lalu memaafkan. Itulah budaya Indonesia
Kawan, aku hanya
menulis apa yang ada hari ini
Tentu, esok
hari. Para pemburu akan kembali meneror dalam beragam gaya dan sikapnya
Untuk kita dan
generasi mendatang
Kamaruddin Salim
Pejaten- Pasar
Minggu, 29 Oktober 2013
Pukul, 19.00.
Wib