Laman

Minggu, 19 April 2009

GUYONAN NEGARA DEMOKRASI


GUYONAN NEGARA DEMOKRASI

Oleh: Kamaruddin Salim©

Dan dengan mempertaruhkan kehidupan semata-mata hingga kemerdekaan diperoleh; dan oleh karenanya, hanya dengan mencoba dan membuktikan bahwa sifat esensial dari kesadaran diri-bukanlah menyangkal eksistensi, bukan sekedar bentuk langsung dimana ia pertama kali tampak jelas….Individu yang tidak mempertarukan hidupnya, mungkin, tidak disangsikan, diakui, sebagai sebuah pribadi; tetapi ia tidak mencapai kebenaran dari pengakuan ini sebagai kesadaran diri yang independen.

- G.W.F.Hegel, The phenomenology Of Mind-

Perdebatan tentang Demokrasi Indonesia selalu mendapat tempat di forum-forum di mana ada kesempatan atau kejadian politik menyehatkan. Tak ada batang akarpun jadi, itulah prinsip demokrasi perlu di pertahankan. Dalam dinamika kehidupan ber Negara, demokrasi selalu menjadi prinsip dominan untuk memfilter segala bentuk wacana ataupun keputusan yang di sepakati. Ada hakekatnya, demokrasi telah menjadi roh utama dalam dinamika kehidupan di Negara ini. Walau pada pelaksanaannya Teori dan praktek selalu kontradiktif. Sebab sepanjang sejarah Republik ini, pelebelan ataupun penafsiran terhadap demokrasi selalu berubah-ubah. Mulai dari demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila hingga demokrasi terbaru di Orde Reformasi sekarang.

Tidaklah mengherankan setiap orang tampil sebagai juru penyelamat demokrasi. Dengan berbagai macam konsep dan argumentasi yang tertuang di dalam buku, Skripsi, disertasi dan lain-lain. Semuanya ditujukan untuk menghormati demokrasi.

Sejarah telah tertulis dengan jelas bahwa, proses mewujudkan demokrasi tidaklah mudah. Di mana, darah, air mata dan harta benda selalu menjadi taruhan. seperti apa yang dipertaruhkan bagi masyarakat di seluruh dunia, dari Spanyol dan Argentina sampai Hongaria dan Polandia, ketika mereka menjatuhkan pemerintahan diktatorial dan membangun sebuah Negara Demokrasi liberal? Sampai batas tertentu, jawabannya adalah sesuatu yang sepenuhnya negatif yang didasarkan pada kesalahan dan kitidakadilan dari ordo politik sebelumnya; mereka ingin membuang para kolonel yang dibenci atau para bos partai yang menindas mereka; atau hidup tanpa ketakutan terhadap penahanan yang sewenang-wenang.[1]

Dinamika politik semacam ini, tidak begitu langka terjadi di Indonesia. Pasca kejatuhan Soeharto lewat aksi demonstrasi Mahasiswa, Mei 1998, yang akhirnya meligitimasi lahirnya Orde Reformasi sebagai dasar pijak kembalinya demokrasi rakyat. Menjadi salah satu bukti bahwa penuntutan terhadap terbangunnya demokrasi tidak semudah mengembalikan telapak tangan. Walau pada akhirnya, proses demokrasi rakyat di era reformasi ter-realisasi lewat momentum politik semata-mata.

Sebagai konsekuensinya, bagi Marx dan Engels (juga para pendukung interpretasi sejarah materialisme historis lainnya)..segala perjungan di dalam Negara, pertarungan antara demokrasi, aristokrasi, dan monarki, perjuangan demi franchise dan seterusnya, pada dasarnya Cuma bentuk ilusif di mana dalam pertarungan kelas yang sesungguhnya kelas-kelas yang bertentangan bertarung satu sama lain[2]. Pertarungan semacam ini bukan merupakan sesuatu persoalan baru dalam pertarungan politik penguasa. Secara historis tergambarkan betul bahwa semua individu atau kelompok selalu menciptakan legitimasi sosio-politik untuk mewujudkan bahkan demi meperoleh hak demokrasinya.

Kondisi ini tergambarkan sangat jelas saat ini, dimana pemerintah dan pengusaha tetap memutarbalikan fakta atas nama demokrasi dengan mengkebiri hak-hak mayoritas dari rakyat Indonesia. Dalam kondisi semacam ini sulit untuk di nalar secara kritis. Realitasnya adalah dimana proses demokrasi kian terpuruk diatas landasan kelompok minoris yang melegalkan yang namanya kekuasaan. Penggambaran yang di berikan Marx tersebut merupakan bukti kongkrit bahwa wacanan ataupun proses menciptakan kehidupan yang demokratis hanya tinggal ilusif semata. Sulit di percaya memang, sifat kebinatangan manusia selalu menjadi faktor dominan untuk tetap menindas kaum yang lemah. Sifat kebinatangan inilah yang mendorng manusia untuk mengedepankan naluri penindasan tiada akhir. Kemandekan perjalanan demokrasi Indonesia

Ketika Rezim Orde Baru Soeharto tumbang lewat demonstrasi Mahasiswa dan Rakyat pada Mei 1998 silam merupakan bukti kongkrit bahwa demokrasi hanya menjadi wacana sesaat ketika semua menginginkan perubahan yang satu. Ketika para elit politik berlomba-lomba tampil ke podium perubahan tampaklah bahwa mereka hanya mencari muka demi tujuan mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya.

Bukti nyata adalah adanya pembagian kekuasaan dari para tokoh yang mengklaim diri sebagai Reformis. Amien Rais menjadi Ketua MPR, Abdurahman Wahid menjadi Presiden dan Megawati Sukarno menjadi Wakil Presiden. Ketika para tokoh sudah menjabat, mereka saling tercerai berai dan mengklaim diri adalah yang terbaik. Kasus Dana Non Budgeter Bulog yang diduga melibatkan Abdurahman Wahid, menyebabkan pemberhentian Abdurahman Wahid dari kursi Presiden dan Megawati naik menjadi Presiden. Kemudian kasus tersebut turut menyeret Akbar Tanjung.

Tampak jelas, kekuasaan merupakan hal yang paling diutamakan oleh para tokoh politik. Mereka saling menjegal dan berusaha mempertahankan kekuasaan dengan cara apapun. Hal yang paling menggelikan adalah ketika Al Amin Nasution diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), di kantor Al Amin banyak terdapat stiker yang mengecam korupsi.

Seorang Ketua Umum Partai Politik berani memasang iklan politik dan berkedok dari tokoh kesusastraan Sekali Berarti Sesudah Itu mati. Iklan politik itu dipasang berhari-hari di media massa baik cetak maupun elektronik. Walaupun penulis tidak mengetahui biaya pemasangan iklan dan sistemnya, tetapi penulis yakin biaya pemasangan iklan tersebut mahal dan tentu mengeluarkan banyak uang. Alangkah lebih baiknya apabila Ketua Partai Politik tersebut memberikan modal berupa keringanan kredit bagi masyarakat miskin ataupun pembinaan kerja dibandingkan sekedar ucapan atau slogan-slogan sampah yang tidak berarti buat masyarakat.

Hidup adalah Perjuangan. Siapapun mengetahui hidup memerlukan usaha dan ketekunan yang ulet. Masyarakat tidak membutuhkan slogan, yang masyarakat butuhkan adalah bagaimana mereka dapat survive dari semakin berat dan mahalnya biaya hidup. Sembako, ongkos transportasi, sewa rumah merupakan sebagian dari yang dikeluarkan masyarakat.


© Mahasiswa Sosiologi Universitas nasional. Jakarta.

[1] Francis Fukuyama,The End Of History And The last Man. Kemenangan kapitalisme dan Demokrasi liberal. Penerjemah. M.H.Amrulah.Yogyakarta. Qalam 2004.Hlm.226

[2] Muhadi Sugono. Kritik Antonio Gramsci, Terhadap pembangunan Dunia Ketiga.Yogyakarta.Pustaka Pelajar,1 Oktober 1999.Hlm,23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar