Laman

Selasa, 28 Juni 2016

SANG PETANI



SANG PETANI
Kamaruddin Salim
.. Mereka (petani) berkata padaku, di mana tempat yang abadi untuk kami menyambungkan hidup manusia kota yang rakus menyantap nasi dan lauk pauknya. Sungguh kami tidak sanggup bertani dalam rasa ketakutan demi pembangunan yang penuh kegilaan. 

            Di kaki bukit tagafura yang di selimuti kabut tebal dan teror hawa dingin yang menyayat kulit. Tak sedikitpun menyulutkan semangat Pak Usman. Sang kepala dusun yang menghabisakan waktunya di kebun cabai di bukit Tagafura. Satu aktifitas rutin yang digekutinya selama ini. Ini adalah salahsatu pekerjaan yang keseharian masyarakat desa Dola yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Salah satunya adalah Pak Usman. Selain sebagai petani, Pak Usman dipercayakan masyarakat untuk menjadi kepala dusun. Saya sendiri tidak mengerti jelas, atas dasar apa beliau dipercayakan menjadi seorang pemimpin dusun. Tubuhnya yang kekar, matanya tajam dan gaya bicaranya mirip titah Sang Proklamator, Bung Karno. Tegas dan lantang.
            Langkahnya yang pasti, menyelusuri jalan setapak berlumpur. Dengan sarung pedang yang dikaitkan dipinggangnya kekarnya. Sang kepala dusun, memulai harinya dengan semangat yang tetap terjaga. Seakan mejadi kewajiaban yang tidak dapat dialpakan.
            Perkampungan yang dikelilingi hutan belantara dan bukit nan hijau, memang menjadi surga masyarakat yang menetap di sana. Satu anugerah tak terhingga sang Pencipta yang disyukuri mereka dengan rasa syukur tak terhingga.
            Kehidupan masyarakat di dusun terpencil ini, sepenuhnya bergantung pada hasil alam yang mereka miliki, di antara hasil yang mereka punya, terdiri dari pala, cengkeh, kayu manis, dan sayur mayur. Letak perkampungan yang diapit oleh tiga perbukitan, tentu membuat kampong ini sangat indah dipandang dan potensial untuk menanam tumbuhan seperti pala, cengkeh dan kayu manis.
            Dusun, dalam cerita rakyat yang hingga hari ini berkembang. Awal mulanya, nenek moyang mereka adalah para panglima dalam kesultanan, tetapi mereka gemar berperang dan suka membunuh. Maka mereka dipindahkan sultan ke pegunungan ini. Ada juga versi cerita yang lain, bahwa semua dari dua orang bersaudara yang dulunya tersesat dan akhirnya tingglan dan menetap di daerah ini dan yang satu lagi berubah wujud menjadi sebatang pohon beringin yang besar. Yang hingga kini masih ada dan dijadikan tempat yang sakral oleh penduduk setempat, dan sangat angker bila berada di bawah pohon tersebut.
            Awal tebal menyelimuti jalan setapak, berbatu kapur kala pagi yang basah. Hawa dingin sedikit menggigit tulang. Gerimis pagi menambah hawa dingin yang meneror. Satupun belum terlihat pada penduduk keluar dari rumahnya. Maklum, dusun ini, bentuknya seperti mangkuk, jadi bila kabut tebal menyelimuti perkampungan, tak terlihat saru sama lain, walau satu meter jaraknya.
            Pak Usman dan istrinya, sibuk melilit serabut ijuk sembari menyantap pisang goring hangat. Bu, bila kabutnya masih tebal, bapak belum bisa memetik cengkeh hari ini. Sebab yang cengkeh mentah yang di ruang tamupun belum kering bu, ujar Pak Usman. Bila kita nambah metik lagi cengkeh hari ini. Ayah khawatir, nanti hancur semua bu. Ya, tidak apa-apa pak. Ujar sang istri.
            Matahari memang menjadi sumber energi terpenting bagi masyarakat. Di mana, matahari pada musim petik cengkeh sangat di dambakan oleh masyarakat. Karena cengkeh bila dikeringkan dari sinar matahari hasilnya lebih bagus dan cepat, dari pada proses pengeringannya dengan menggunakan api. Di mana, cengkeh di kumpulkan di atas tungku (perapian yang dibuat untuk mengeringkan cengkeh bila musim hujan.
           
                    
                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar