SANG PETANI
Kamaruddin Salim
.. Mereka (petani) berkata padaku, di mana tempat yang
abadi untuk kami menyambungkan hidup manusia kota yang rakus menyantap nasi dan
lauk pauknya. Sungguh kami tidak sanggup bertani dalam rasa ketakutan demi pembangunan
yang penuh kegilaan.
Di kaki bukit tagafura yang di
selimuti kabut tebal dan teror hawa dingin yang menyayat kulit. Tak sedikitpun
menyulutkan semangat Pak Usman. Sang kepala dusun yang menghabisakan waktunya
di kebun cabai di bukit Tagafura. Satu aktifitas rutin yang digekutinya selama
ini. Ini adalah salahsatu pekerjaan yang keseharian masyarakat desa Dola yang
mayoritas berprofesi sebagai petani. Salah satunya adalah Pak Usman. Selain
sebagai petani, Pak Usman dipercayakan masyarakat untuk menjadi kepala dusun.
Saya sendiri tidak mengerti jelas, atas dasar apa beliau dipercayakan menjadi
seorang pemimpin dusun. Tubuhnya yang kekar, matanya tajam dan gaya bicaranya
mirip titah Sang Proklamator, Bung Karno. Tegas dan lantang.
Langkahnya yang pasti, menyelusuri
jalan setapak berlumpur. Dengan sarung pedang yang dikaitkan dipinggangnya
kekarnya. Sang kepala dusun, memulai harinya dengan semangat yang tetap
terjaga. Seakan mejadi kewajiaban yang tidak dapat dialpakan.
Perkampungan yang dikelilingi hutan
belantara dan bukit nan hijau, memang menjadi surga masyarakat yang menetap di sana.
Satu anugerah tak terhingga sang Pencipta yang disyukuri mereka dengan rasa
syukur tak terhingga.
Kehidupan masyarakat di dusun
terpencil ini, sepenuhnya bergantung pada hasil alam yang mereka miliki, di
antara hasil yang mereka punya, terdiri dari pala, cengkeh, kayu manis, dan
sayur mayur. Letak perkampungan yang diapit oleh tiga perbukitan, tentu membuat
kampong ini sangat indah dipandang dan potensial untuk menanam tumbuhan seperti
pala, cengkeh dan kayu manis.
Dusun, dalam cerita rakyat yang
hingga hari ini berkembang. Awal mulanya, nenek moyang mereka adalah para
panglima dalam kesultanan, tetapi mereka gemar berperang dan suka membunuh.
Maka mereka dipindahkan sultan ke pegunungan ini. Ada juga versi cerita yang
lain, bahwa semua dari dua orang bersaudara yang dulunya tersesat dan akhirnya
tingglan dan menetap di daerah ini dan yang satu lagi berubah wujud menjadi
sebatang pohon beringin yang besar. Yang hingga kini masih ada dan dijadikan
tempat yang sakral oleh penduduk setempat, dan sangat angker bila berada di
bawah pohon tersebut.
Awal tebal menyelimuti jalan
setapak, berbatu kapur kala pagi yang basah. Hawa dingin sedikit menggigit
tulang. Gerimis pagi menambah hawa dingin yang meneror. Satupun belum terlihat
pada penduduk keluar dari rumahnya. Maklum, dusun ini, bentuknya seperti
mangkuk, jadi bila kabut tebal menyelimuti perkampungan, tak terlihat saru sama
lain, walau satu meter jaraknya.
Pak Usman dan istrinya, sibuk
melilit serabut ijuk sembari menyantap pisang goring hangat. Bu, bila kabutnya
masih tebal, bapak belum bisa memetik cengkeh hari ini. Sebab yang cengkeh
mentah yang di ruang tamupun belum kering bu, ujar Pak Usman. Bila kita nambah
metik lagi cengkeh hari ini. Ayah khawatir, nanti hancur semua bu. Ya, tidak
apa-apa pak. Ujar sang istri.
Matahari memang menjadi sumber
energi terpenting bagi masyarakat. Di mana, matahari pada musim petik cengkeh
sangat di dambakan oleh masyarakat. Karena cengkeh bila dikeringkan dari sinar
matahari hasilnya lebih bagus dan cepat, dari pada proses pengeringannya dengan
menggunakan api. Di mana, cengkeh di kumpulkan di atas tungku (perapian yang
dibuat untuk mengeringkan cengkeh bila musim hujan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar