Laman

Senin, 06 Januari 2014

Nasionalisme Indonesia. Studi Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana


ABSTRAKSI

Sutan Takdir Alisjahbana (Natal, 1908-1994), adalah seorang filsuf, sastrawan, tokoh pergerakan kemerdekaan, ahli bahasa, budayawan dan pemikir. STA, menjadi seorang sosok penting dalam perjuangan untuk mendorong bahasa melayu menjadi bahasa Indonesia dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme STA yang mengakar dan menyatu dengan apa yang dilakukan semasa hidupnya. Hal ini dibuktikan STA dengan mendorong kebudayaan nusantara sebagai kebudayaan nasional, di mana, dasar pijak kebudayaan nasional adalah penghargaan terhadap nilai luhur yang tumbuh subur dan berkembang ditengah masyarakat. Nasionalisme Indonesia dalam pandangan STA merupakan kemauan untuk bersatu yang didesak oleh keinsyafan akan kepentingan dan akan cita-cita bersama. Semangat Indonesia pada prinsipnya bertumpu pada soal kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang mana dikuasai oleh dunia Barat dan keserakahannya tentu membuat Indonesia tidak berdaya dengan kebudayaan tradisional untuk melangkah ke dunia modern. bertolak dari kemauan yang yang besar untuk bersatu dan berkehendak bersama-sama demi untuk menduduki tempat yang layak di sisi bangsa-bangsa lain di dunia dan universitas adalah tempat yang utama dalam mewujudkan semangat nasionalisme Indonesia tersebut. Oleh karenanya, STA mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan Universitas Nasional sebagai wadah perjuangan kemerdekaan Nasional Indonesia.

Judul                         : Nasionalisme Indonesia. Studi Pemikiran Sutan Takdir        Alisjahbana
Kata kunci                : Nasionalisme
Penulis                      : Kamaruddin Salim  
           


BAB I
PENDAHULUAN
1.1.             GAMBARAN UMUM
Nasionalisme Indonesia yang dimaksudkan disini adalah persatuan yang mampu mengatasi provinsialisme dan suku bangsa-isme yang mendahulukan kepentingan daerah dan suku bangsa daripada kepentingan seluruh Indonesia dan seluruh bangsa. Nasionalisme adalah suatu kesadaran sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat untuk memelihara, melestarikan dan mengajukan identitas, integritas, serta ketangguhan bangsa. Hal ini dapat dimaknai bahwa nasionalisme adalah sikap atau perilaku yang diwujudkan atau diaktualisasikan dalam bentuk tindakan untuk memelihara dan melestarikan identitas dan terus berjuang untuk memajukan bangsa dan negara, dengan membasmi setiap kendala yang menghalangi di jalan kemajuan. Di sisi lain, ketika Diponegoro, Tuaku Imam Bonjol, Teungku Umar dan lain-lain itu berjuang dahulu belum ada, atau belum bermakna perasaan ke Indonesiaan. Diponegoro berjuang bagi Tanah jawa itupun agaknya tiada dapat kita katakana bagi seluruh Tanah Jawa. Tuanku Imam Bonjol bagi Minangkabau, ataupun Teungku Umar bagi Aceh. Siapa yang dapat menjamin sekarang ini, bahwa baik Diponegoro, baik Tuanku Imam Bonjol ataupun Teungku Umar tidak akan melabrak bahagian kepulauan ini yang lain sekiranya mereka mendapat kesempatan dahulu. ( STA: 2008,32-33).
Menurut pendirian Sutan Takdir Alisjahbana, zaman Indonesia harus dipisahkan zaman Pra-Indonesia. Alasan Takdir, Jangan sekali-kali zaman Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang biasa dari zaman Pra-Indonesia. Konsep Indonesia, harus dibersihkan. Pandangan Takdir yang menonjol soal nasionalisme Pra-Indonesia, perlu sekali pengertian ke-Indonesiaan itu diberihkan, sehingga bersinar pula hakekatnyayang sebenarnya. Pengertian tentang semangat ke-Indonesiaan sebagai semangat Barat. Semangat Indonesia sebagai semangat Nasionalisme memang bermanfaat dan efektif untuk mengatasi privinsialisme atau sukubangsa-isme. Akan tetapi konsep ini belum sanggup memberikan isi kepada “ Indonesia” pembinaan “ Indonesia”, ia hanya menetapkan titik tolaknya semata, yaitu kemauan untuk bersatu, tetapi belum  menunjukkan haluan (tujuan). Hal ini berarti bahwa konsep ini tidak berdaya bila dipakai dalam pembinaan Indonesia( STA: 2008,34).
Dengan penjelasan di atas, STA, mencari haluan itu dalam sejarah yang lampau. Demikian STA mencari haluan pada dunia Barat, di mana menurut STA, “Meski bagaimana sekalipun tidak enak bunyinya semboyan, bahwa kita harus belajar pada Barat, meski bagaimana sekalipun sedih hati kita memikirkan hal yang demikian, dalam hal ini rasanya kita dapat memilih”. Dengan kalimat ini STA menjelaskan konsep semangat Indonesia dengan mengaitkan kepada semangat Barat. Yang dimaksudkan oleh STA adalah semangat yang dinamik, yang diwarnai atau berciri intelektualisme, individualisme, egoism, dam materalisme. Bila dicari aranya lebih mendalam, semangat ini berasal dari semangat yang hendak  menguasai alam, hendak memakai alam bagi dirinya. Semangat Indonesia ini dalam pandangan STAadalah semangat yang berasal dari bangsa Semiet (agama Yahudi, Nasrani dan Islam), untuk membinakan Indonesia, semangat yang harus diterima dan dicerna menjadi darah daging sendiri. Lalu STA menegaskan, saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elemen Barat, yaitu elemen yang dynamic, dan sekarang tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat”(STA, 1994,18)
STA membicarakan kebudayaan dengan bertolak dari falsafah dan sejarah. Dan kemudian meletakkan pemikirannya dalam lingkait (konteks) perjuangan bangsa Indonesia yang sedang berusaha membangun kebudayaan baru yang bercorak nasional dan supra-daerah. Kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan STA bukanlah himpunan dari puncak-puncak kebudayaan daerah, tetapi suatu kebudayaan modern yang mampu menjadikan bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan memiliki kebudayaan tinggi.
Menurut STA, sebagai dampak dari penjajahan selama lebih dua ratus tahun, kedudukan bangsa Indonesia menjadi sangat terpuruk, miskin dan terbelakang di tengah-tengah bangsa lain yang jauh lebih maju dan makmur seperti bangsa-bangsa Eropa dan Jepang. Untuk mendorong bangsa ini bangkit, kondisi kebudayaannya yang menyedihkan harus diperbaiki dengan melakukan perubahan dan pembaruan besar-besaran. Dalam rangka inilah STA mengembangkan teori dan pemikiran kebudayaannya. Ia berharap pemikiran dapat dijadikan panduan dalam melakukan transformasi budaya. STA percaya bahwa hanya dengan mengubah kebudayaannya, bangsa Indonesia bisa bangkit dari keadaannya yang terpuruk. Konsep kebudayaan yang diperlukan ialah konsep yang dinamis. Untuk itu STA harus berfalsafah kembali tentang manusia sebagai makhluk yang mencipta kebudayaan dan sebagai makhluk yang yang sepanjang sejarahnya hidup dalam berbagai kebudayaan yang selalu berubah. Gagasan STA ini bukan didorong oleh sikap kebarat-baratannya yang melanda masyarakat Indonesia yang terpelajar seperti Sutan Sjahrir, STA adalah sosok nasionalis sejati. Dasar pijak gagasan STA yang mendorong bangsa Indonesia menoleh ke Barat, karena hal itu dilakukan STA karena keinginannya untuk menempatkan Indonesia dalam kedudukan yang setaraf dengan kedudukan bangsa-bangsa yang maju di Dunia.(STA,2008, 62)   
1.2.            ALASAN MEMILIH JUDUL
Alasan penulis memilih judul Nasionalisme Sutan Takdir Alisjahbana, karena. Pertama karena judul ini menarik untuk dikaji. Kedua, judul ini belum pernah dituliskan oleh penulis yang lain.
1.3.      POKOK MASALAH
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang menakjubkan dalam perjalanan sejarah umat manusia, setidaknya dalam kurun seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial dan politik di muka bumi yang terlepas dari pengaruh ideologi dan budaya pemikiran politik. Disamping itu, nasionalisme dalam perjalanan sejarah perkembangan umat manusia tentunya dalam proses dan implementasinyai. Berakhirnya perang dingin dan kian berkembangnya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dasaearsa 1990-an hingga sekarang ini, khususnya dengan adanya revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan cepat, tentunya tidak dengan serta-merta membawa kemunduran bagi semangat nasionalisme itu sendiri. Merujuk pada gagasan tersebut, penulis mencoba menguraikan pokok-pokok pikiran Sutan Takdir Alisjahbana tentang mengapa STA berupaya mendorong terwujudnya Semangat Nasionalisme Indonesia pada saat itu?


BAB II
GAMBARAN KEHIDUPAN STA
2.1. Masa Kecil
Ibunya seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatra Utara. Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional dan ahli reparasi jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal. Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang dianggap memiliki pengetahuan agama dan ilmu yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), adalah sastrawan Indonesia. Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4. Sutan Alisjahbana gelar sutan Arbi mempunyai banyak putra-putri, salah seorang yang terkenal baik dalam skala nasional maupun internasional adalah Sutan Takdir Alisjahbana atau lebih dikenal dengan singkatan STA. dalam buku saku berjudul Sutan Takdir Alisjahbana dan hasil karyanya, terbitan Dian Rakyat, tercantum daftar jabatan, judul buku berbagai kegiatan, serta tanda penghargaan yang pernah diterimanya. karangan dalam bidang bahasa yang ditulisnya sejak tahun 1930 – 1986 berjumlah lebih kurang 108 buah judul, sedangkan karangan atau buku-buku yang ditulisnya dalam bidang-bidang lain seperti roman, puisi, filsafat, pendidikan dan kebudayaan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing jumlahnya lebih dari 150 judul. belum lagi sejumlah jabatan yang pernah dipegangnya dalam berbagai organisasi yang bersifat nasional maupun internasional. STA memang seorang tokoh besar dalam bidang bahasa, sastra dan filsafat.
Menamatkan HKS di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang, Malaysia (1987). Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968). Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960).
Selain itu, STA menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994). Dan  menjabat sebagai Rektor Universitas Nasional Jakarta sejak 1968. Jabatan Rektor Universitas Nasional baru diletakkannya pada hari ulang tahunnya yang ke-85, 11 Februari 1993, tubuhnya masih tegap, tidak ada kelebihan lemak, tidak juga ada keluhan mengenai kesehatannya. Sutan Takdir Alisjahbana dilahirkan di Natal, pada tanggal 11 Februari 1908. ibunya bernama Puti Samiah, seorang wanita Natal, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan Sutan Sjahrir sebagai saudara sepupu karena mereka sama-sama keturunan Sutan Kabidun, putra Tuanku Besar Si Intan (Sintan). tidak banyak yang dapat diceritakan oleh Tadir tentang kota kelahirannya, karena sejak berusia empat tahun ia sudah diajak merantau. Sebagai seorang guru, ayahnya, Sutan Arbi pernah ditempatkan di Cunangka, lalu dipindahkan ke Curup, Kerkap, dan Ipuh, kota-kota kecil yang terletak dekat Muko-muko. sekarang kota-kota ini masuk dalam wilayah Propinsi Bengkulu. Ia hanya ingat cerita ibunya ketika ia masih kecil, bahwa di Natal banyak ditemukan emas yang didulang oleh penduduk. menurut ibu, jika menjemur emas laksana menjemur padi. ada sebongkah emas yang kemudian di jadikan kalung oleh ibu. (STA,1999,4)
Rumah STA di Natal terletak di tepi sungai Batang Natal yang secara alami telah dihanyutkan banjir beberapa tahun lalu. lantai bangunannya berbentuk panggung tradisional dengan tiang-tiangnya yang tinggi. diantara lantai bangunan dan tanah terdapat ruang kosong. dihalamannya, terdapat pohon-pohon bambu yang rindang. jika ibu mencuci di tepian sungai, Takdir kecil sering bermain-main di dekatnya, dibawah naungan pohon bambu. sejak meninggalkan Natal, Takdir belum pernah menginjakkan kakinya lagi di tanah kelahirannya, ketika mengikuti sebuah kongres di Medan, beberapa tahun yang lalu, ia pernah berniat mengunjungi Natal. Taksi sudah di sewa, ia pun sudah menuju Natal dan telah berjalan cukup jauh. sampai di jalan buruk yang sulit dilalui, taksi yang ditumpanginya rusak. rencana kunjungan ke Natal menjadi batal karenanya.  hubungan Takdir dengan ibunya sangat dekat dan hangat. Ketika mereka berpisah, usianya masih muda karena ia harus belajar di tempat yang jauh. mula-mula ia bersekolah di Bengkulu, kemudian Lahat, di Muara Enim. Saat itu STA dalam kondisi yang serba kekurangan sebagai siswa di sekolah itu dan kepidahan STA ke Lahat karena atas permintaan pihak sekolah kweekschool. (STA,1999,13)
Pada tahun 1935, takdir ditinggalkan untuk selamanya oleh isteri pertamanya, Raden Adjeng Rohani Daha, yang meninggalkan tiga orang anak yang masih kecil dan yang paling kecil ketika itu masih bayi, sehingga ia harus menjadi ayah dan ibu sekaligus. sepeninggal istri pertamanya, Takdir menikah lagi dengan Sugiarti, seorang gadis Jawa yang berpendidikan tinggi. ia pernah belajar di negeri Belanda dan menguasai beberapa bahasa asing. dalam sebuah kunjungan ke Amerika Serikat, istrinya meninggal dunia. dua anak perempuan yang ditinggalkannya baru berusia enam dan tiga setengah tahun. untuk kedua kalinya Takdir harus memikul peran ganda sebagai seorang ayah dan sekaligus seorang ibu dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Pada sebuah kongres penulis diseluruh dunia, Takdir menikah lagi dengan seorang wanita Eropa yang dijumpainya dalam kongres tersebut. sudah lama ia “bertualang” dalam alam pikiran Eropa dan bertekad menguasai kebudayaannya. Dr. Margret Axer, yang ketika itu menjadi redaktur kebudayaan sebuah surat kabar di Jerman, adalah seorang ahli bahasa, serta ahli sastra Jerman dan Inggris. dari perkawinan mereka dikaruniai empat orang anak. dari sembilan orang anak Sutan Takdir Alisjahbana, dua orang diantaranya menjadi tokoh masyarakat. yang pertama, Iskandar Alisjahbana, seorang cendikiawan; dan Sofyan Alisjahbana, pemimpin sebuah perusahaan penerbitan yang sukses.Adapun keluarga, istri dan anak-anak Sutan Takdir Alisjahbana. (S.Abdul Karim Mashad,2006,xxiv), yaitu:
1.    Samiati Alisjahbana, Alm.
2.    Iskandar Alisjahbana
3.    Sofyan Alisjahbana
Adalah anak-anak STA dari hasil perkawinannya dengan Raden Ajeng Rohani Daha, tahun 1929. pada tahun 1935, istrinya meninggal di Jakarta.

4.    Mitra Alisjahbana
5.    Sri Artaria Alisjahbana
Adalah anak-anak STA, dari perkawinannya dengan Raden Roro Sugiarti, tahun 1941. Raden Roro Sugiarti meninggal di Los Angeles, Amerika Serikat; pada tahun 1952

6.    Tamalia Alisjahbana
7.    Marita Alisjahbana
8.    Marga Alisjahbana
9.    Mario Alisjahbana
Empat anak-anak hasil perkawinan STA dengan Dr. Margret Axer pada tahun 1953 di Bonn, Jerman Barat. Istrinya meninggal pada tanggal 15 Maret 1994.  ketika istrinya mulai jatuh sakit, Takdir meminta adiknya, Puti Balkis Alisjahbana untuk mengurus rumah tangga STA. meskipun tampak lelah dan harus banyak beristirahat sambil berbaring di kursi panjang di ruang tamu rumahnya sambil membaca atau beristirahat. di ruang tamu ini juga STA menerima tamu-tamunya; kebanyakan dari kalangan mahasiswa, wartawan yang sudah kenal dengannya, dan tokoh-tokoh dari kalangan intelektual baik orang Indonesia maupun dari luar negeri. adik STA inilah yang mengatur pertemuan dengan para tamu Takdir. Sepanjang ingatannya, kakaknya tidak pernah menolak siapapun.  pada pertemuan itu tampak perubahan sikap pada STA, suaranya kedengaran tegar dan lantang. seolah-olah bukan dia yang berbicara, namun seorang yang masih muda yang melontarkan pikiran dan gagasan dengan penuh keyakinan. ia menyinggung demikian banyak pokok dan masalah seperti bidang kebudayaan, sastra, filsafat dan banyak lainnya hingga politik, termasuk impiannya agar Indonesia menjadi sebuah negara yang maju dan makmur, sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Yang paling banyak ia singgung adalah soal bahasa Indonesia, yang menurutnya, tidak berkembang, malahan merosot dengan terbentuknya kata-kata singkatan dan pengaruh dari bahasa asing.
Obsesi yang lain ialah keinginannya untuk mendirikan sebuah yayasan bertaraf internasional dalam bentuk semacam hadiah Nobel, yang secara berkala menghadiahkan sejumlah uang yang cukup besar, misalnya untuk seorang penulis terbaik atau seseorang yang dianggap berjasa bagi kemanusiaan. Begitu banyak yang ingin ia lakukan… dan waktunya sudah menipis "So much to do… and time is running out!" di hari tuanya, Takdir sangat tekun menjaga kondisi tubuhnya, misalnya dengan menyusun sendiri menu sehari-hari, memilih sayuran dan buah-buahan disamping makanan bergizi lainnya. ia juga sangat berdisiplin menjalankan perintah dokter, seperti meminum atau menelan bermacam-macam vitamin serta obat-obatan. ia juga tida pernah mengabaikan olah raga yang ketika itu hanya berjalan-jalan di pagi hari di sekeliling pekarangan rumahnya. kebiasaan berenang telah ditinggalkannya beberapa bulan sebelumnya karena sudah tidak kuat. 
Menurut Puti Balkis Alisjahbana, Takdir adalah seorang ayah yang galak, berdisiplin serta sangat mengagungkan kejujuran di atas segalanya. kepada keluarganya diperkenalkan dengan sistem “bonus” untuk prestasi yang berlebih. jika angka-angka di rapor lebih tinggi dari enam, maka akan diberikan hadiah. jika angka rata-rata lebih dari enam, hadiah yang diberikan juga lebih besar, apalagi jika semua angka-angka di rapor nilainya baik sekali, hadiahnya pasti amat besar. STA tak segan-segan berkelahi dengan anaknya, jika mereka memilih jalan yang di matanya termasuk kritis. Sikap tegas.
Hukuman untuk anak-anak bukan dengan cara fisik dan itupun tergantung pada kesalahannya. Pendidikan moral secara khusus pada anak-anak tidak ada. STA mengakui bahwa ia tak bisa mengaji. Waktu kecil, saat anak-anak lain mengaji, STA malah mencari udang. STA mengenal agama justru setelah berkeliling dunia. Bagia anak-anaknya, mereka bebas mencari yang terbaik. Waktu SMP, Tamalia pernah menolak mengikuti pelajaran agama karena gurunya dianggap bodoh. STA membiarkannya. Kemudian waktu mahasiswa. Anak-anaknya memang dibiarkan mencari yang terbaik dan mereka merasakan yang diinginkan orang tuanya. Misalnya Marita. Setelah lulus SMA, ia kuliah di ITB. Harapan STA, mereka sudah bisa bertanggungjawab jika dibebaskan. Bagi STA, kita liberal bukan berarti tak ada batas. Perselisihan bukan sesuatu yang tak mungkin terjadi dalam keluarga. Namun STA beruntung karena banyak orang tua mempunyai masalh dengan anak-anaknya.(STA.1999,120)
Sutan Takdir Alisjahbana meninggal pada 17 Juli 1994 di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta. Sebelum STA menutup mata, ia ingat akan tempat kelahirannya, Natal; beberapa tahun yang lalu ia pernah mencoba pergi ke Natal dengan mobil sewaan dari Medan, tetapi mobil itu mengalami kerusakan dan rencana mendatangi kota Natal terpaksa di batalkan. STA juga tertarik pada Materai Di Raja dari kerajaan Lingga Bayu, Ranah Nata, yang bertuliskan Aksara Arab yang menyebutkan bahwa kakek buyut keluarga Sutan Takdir sebagai salah seorang raja Natal di masa lalu. STA juga memperlihatkan materai tersebut kepada seorang sahabat dekatnya, Drs. Abu Hasan untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang tertera di materai kuno itu. pada kesempatan lain, Takdir juga menyatakan keinginannya untuk bertemu dengan seseorang yang lebih tahu tentang Natal, STA juga berkeinginan mengembangkan sayap perusahaan keluarganya di sana. Paling tidak membeli tanah yang cukup luas dipinggir pantai atau membeli rumah untuk melakukan sesuatu di Natal dalam bentuk usaha-usaha.
Hal tersebut juga disampaikannya kepada anak-anaknya yang paling bungsu, Mario dan Tamalia. sebulan kemudian setelah berpulangnya STA, tepat pada 15 Agustus, 1994 istri ke tiganya Margret Axer menyusul suaminya ke alam baka, setelah beberapa lama menderita penyakit jantung. Margret dimakamkan di tempat yang sama dengan suaminya, di halaman rumah peristirahatan mereka sendiri di Tugu, Cisarua, Bogor; atas kehendak mereka berdua yang disampaikan kepada anak-anak mereka beberapa waktu sebelum meninggal dunia. Suasana seperti itulah yang sulit ditemukan pada masa sekarang. Di mana STA menulis, “saya lahir tanpa diminta. Jika tiba-tiba saya  mati, tak menyesal atau protes. Sebelum ada saya, kehidupan ini dan abadi ini sudah ada. Begitupula setelah saya mati, kehidupan akan berjalan terus”. (STA, 1999,131)
2.2. Keterlibatan dengan Balai Pustaka
Di Bandung, STA masuk sekolah guru dan berhasil menamatkan sekolahnya pada tahun 1928. setelah itu ia diangkat menjadi guru dan ditempatkan di Palembang. pada waktu Surat Keputusan pengangkatannya keluar, ia meminjam gajinya selama 3 bulan pertama untuk membeli pakaian dan sepeda. hanya sebagian yang terpakai dan sisanya dikirimkan kepada ibunya di Bengkulu. betapa hancur hatinya, ketika seorang sepupu dari Bengkulu datang mengabarkan, bahwa ibunya telah meninggal dunia. uang yang dikirimkannya digunakan untuk biaya pemakaman. Ia benar-benar terpukul dan menangisi kepergian ibu sampai akhirnya ia terkena penyakit jantung. cuti sakit selama 3 bulan di berikan oleh sekolah tempatnya mengajar karena ia harus berobat ke Bandung. setelah 3 minggu dirawat di rumah sakit kesehatannya mulai membaik. kesempatan ini dipergunakan oleh Takdir untuk menyelesaikan roman yang sudah lama digarapnya, berjudul Tak Putus Dirundung Malang. naskah tersebut kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane. Takdir merasa, pekerjaan sebagai seorang guru tidak cocok baginya karena ia tidak cukup memiliki kesabaran. ia sering kali menampar murid-muridnya sehingga orang tua murid-murid tersebut mengadu ke sebuah majalah. pada tajuk berita, ditulis tentang ulah Takdir dengan judul 'Guru yang Ganas'. hingga Takdir memutuskan meninggalkan pekerjaannya sebagai guru, dan pindah ke Balai Pustaka sebagai redaktur. ketika berusia 20 tahun, STA berhasil menyelesaikan 3 buah roman masing-masing Dian Yang Tak Kunjung Padam, Anak Perawan di Sarang Penyamun, dan Layar Terkembang.
STA, menjadi sala seorang yang mencintai bahasa Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari karya-karya yang disumbangkannya. pada waktu Jepang berkuasa, STA dan sekretarisnya, Suwandi, mendirikan Komisi Bahasa Indonesia. STA lah yang diangkat menjadi sekretaris ahli. Dua tokoh pejuang yaitu Subadio Sasrosatomo dan Miriam Budiardjo ikut bergabung. mereka resah dan khawatir memikirkan niat bangsa Jepang yang pasti akan memaksakan pemakaian bahasa Jepang kepada Bangsa Indonesia dan hal itu tentu harus dicegah sejak dini

2.3. Sutan Takdir Alisjahbana dan Perkembangan Bahasa Indonesia
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama pendudukan Jepang,Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, buku mana masih dipakai sampai sekarang,serta Kamus Istilah yang berisi istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh ingui baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang.
Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir adalah pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang “The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967) Direktur Cenfer for Malay Studies Universitas Malaya tahun 1060-1968
Karya
Sebagai penulis
·         Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
·         Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
·         Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)
·         Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)
·         Layar Terkembang (novel, 1936)
·         Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
·         Puisi Lama (bunga rampai, 1941)
·         Puisi Baru (bunga rampai, 1946)
·         Pelangi (bunga rampai, 1946)
·         Pembimbing ke Filsafat (1946)
·         Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
·         The Indonesian language and literature (1962)
·         Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
·         Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
·         Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
·         Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
·         The failure of modern linguistics (1976)
·         Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
·         Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)
·         Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
·         Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
·         Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
·         Kalah dan Menang (novel, 1978)
·         Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
·         Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
·         Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging world (1983)
·         Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
·         Perempuan di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
·         Seni dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
·         Sajak-Sajak dan Renungan (1987).
Sebagai editor
·         Kreativitas (kumpulan esai, 1984)
·         Dasar-Dasar Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Sebagai penerjemah
·         Nelayan di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)
·         Nikudan Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio Sastrosatomo, 1944)
Buku tentang Sutan Takdir Alisyahbana
·         Muhammmad Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994 (1999) * S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan, Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006)
Penghargaan
·         Tahun 1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
·         STA adalah pelopor dan tokoh sastrawan “Pujangga Baru”.
·         Doktor Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990
·         DR.HC dari Universitas Indonesia
·         DR.HC dari Universitas Sains Malaysia (S.Abdul Karim Mashad,2006,xxviii)
Lain-lain
            Kepada bangsanya STA mewariskan gagasan dan padangannya yang tertuang dalam ratusan karya berupa puisi, makalah, novel, buku, balai seni dan universitas. Inilah kematian yang menyimpan keabadian (STA,1999,133)   dan banyak karya buku, roman, dan artikel yang tidak semua dapat penulis lampirkan dalam karya tulis ini.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.      TEORI NASIONALISME
Nasionalisme merupakan suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme sangat dibutuhkan bagi seluruh warga negara Indonesia, karena paham inilah yang dapat menjaga keutuhan negara. Rasa persatuan dan kesatuan hanya dapat terwujud ketika seluruh masyarakat memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Tanpa memiliki rasa etnosentris yang berlebihan yang dapat memicu perpecahan. Namun sifat kedaerahan tersebut melebur menjadi satu di bawah payung nasionalisme.
Nasionalisme menurut A.Dahlan Ranuwihadjo. Nasonalisme sebagai sikap mencintai dan mengabdi bangsa dan tanah air, jika nasionalisme itu disebut secara umum saja, artinya tidak dikaitkan kepada bangsa dan Negara tertentu. Dalam kata nasonalisme itu belumlah terkandung warna dan substansinya. Nasionalisme dalam arti yang materiil, yaitu yang menunjukkan warna dan substansinya, akan selalu terkait kepada sejarah, budaya dan cita-cita setiap bangsa; di Eropa, nasionalisme Inggris berbeda dengan nasionalisme Burma, di Afrika, di Asia, nasionalisme Jepang berbeda dengan nasionalisme Mesir (A.D. Ranuwihadjo,2000,30).
Memahami apa yang uraikan oleh Ranuwihadjo, bahwa dalam nasionalisme yang berkembang dalam suatu Negara tentunya memunyai warna dan substansi nilai sejarah,  budaya dan cita-cita kebangsaannya. Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme. Fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.
Stiven Grosby berpendapat, untuk memahami bangsa dan nasionalisem perlu mempertimbangkan signifikasi kata-kata tertentu yang dipakai secara meluas dalam proses dialektika sehari-hari, seperti ibu pertiwi, fatherland dan tanah air. Masing-masing dari ketiga kata ini merupakan kombinasi dari dua istilah. Kata pertama dan kedua masing-masing mengombinasikan, istilah “ibu” dan “ayah”, di mana keduanya merujuk pada relasional keturunan dari anak pada mereka yang secara langsung bertanggungjawab untuk generasi biologisnya dengan istilah “tanah”, yang menghantarkan imej wilayah yang luas tetapi memiliki batas. Kata ketiga, “tanah air” mengombinasikan referensi pada kediaman keluarga dan wilayah terdekat di mana dengan gambaran wilayah yang lebih luas. Kombinasi istilah ini menyisyaratkan pengklasifikasian kekerabatan. Namun, ini adalah bentuk kekerabatana yang mengitari di seputaran imej wilayah yang memiliki perbatasan(Grosby,2010,74-45).
Nasionalisme merupakan suatu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme sangat dibutuhkan bagi seluruh warga negara Indonesia, karena paham inilah yang dapat menjaga keutuhan negara. Rasa persatuan dan kesatuan hanya dapat terwujud ketika seluruh masyarakat memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Tanpa memiliki rasa etnosentris yang berlebihan yang dapat memicu perpecahan. Namun sifat kedaerahan tersebut melebur menjadi satu di bawah payung nasionalisme.
Terdapat bermacam-macam definisi tentang nasionalisme dengan sudut pandangan masing- asing. Misalnya Carlton J. H. Hayes berpendapat bahwa nasionalisme adalah gabungan rasa kesetianan terhadap negara dengan kesadaran kerakyatan (nationality). Pendapat lain yang mendukung argumentasi Carlton adalah Hans Kohn, di mana menurut  Kohn, nasionalisme sebagai suatu keadaan atau pikiran yang mengembangkan keyakinan bahwa kesetiaan terbesar harus diberikan kepada Negara. Kohn juga menegaskan bahwa kesetiaan ini kemudian menjadi suatu keinginan dan sentimen yang berkembang melalui berbagai pengalaman hidup masyarakat tertentu. Keinginan dan sentimen ini menimbulkan gerak kesadaran bagi anggota masyarakat tersebut untuk menyumbangkan jasa-jasa melalui aktivitas-aktivitas yang teratur dengan tujuan terkahirnya untuk menegak sebuah negara berdaulat.
Memahami apa yagn dipaparkan Hayes dan Kohn, di mana, nasionalisme merupakan suatu implementasi terhadap rasa cinta yang tergambarkan dengan penyaluran rasa kesetiaan kepada bangsa dan Negara dengan berdasar pada tindakan nyata ataupun perbuatan baik yang terhitung berjasa atau aktiviyas yang positif demia dikhususkan kepada bangsa dan Negara dengan tujuan pemersatuan bangsa yang berdaulat. Di sisi lain Ellie Kedourie menjelaskan nahwa gerak kesadaran demikian lebih menitikberatkan penentuan hasil diri sendiri, bangsa dan negara untuk mencapai kebebasan dan kesejahteraan serta memupuk kepribadian sejati, yang timbul oleh adanya tekanan-tekanan sosial, ekonomi, politik dan pengaruh asing (Kedourie,1966, 73).
Dengan demikian, nasionalisme dapat diterangkan sebagai satupaham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, demokratis dan maju di dalam satu kesatuan bangsa dan negara serta cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara identitas, kemakmuran negara bangsa yang bersangkutan. Dapat dikatakan bahwa suatu definisi atau konsep nasionalisme tidak dapat diterapkan untuk semua negara bagi menguraikan gerakan nasionalisme masing-masing. Ini disebabkan karena berbedanya pengalaman hidup yang menumbuhkan gerak kesadaran sesuatu masyarakat ke arah penentuan nasibnya.
Kawasan Asia Tenggara khususnya yang pernah mengalami jajahan kuasa asing mempunyai desakan kesadaran bangsa sebagai usaha melepaskan diri darikeadaan yang menyengsarakan. Maka, dalam masyarakat di Asia Tenggara, gerakan akibat tekanan-tekanan sosial, ekonomi, dan politik itu mulai terlihat secara jelas dengan kemasukan kuasa-kuasa Barat, terutama pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kalau ditinjau dari segi ini, perlu ditemukan satu definisi nasionalisme yang berlainan dengan definisi umum bagi Indonesia, yang walaupun terdiri dari begitu banyak suku bangsa dan mempunyai budaya daerah masing-masing, tetapi bergabung dalam satu kasatuan geografik-politik. Ini bermaksud bahwa selain gejala yang wujud sebagai gerakan mengutamakan kepentingan suatu bangsa yang sudah ada – meskipun mungkin perlu dibangun, diperkuat, dibebaskan dari kekuasaan atau pengaruh buruk kekuatan-kekuatan asing – ada juga gejala-gejala lain, yaitu gejala pembentukan suatu bangsa baru. Kaitan dengan perkembangan sejarah tersebut STA menguraikan pandangannya, di mana STA mengingat dengan renungan Suta Sjahrir dari pembuangan yang disampaikan kepadanya. Betapa Sjahrir mencintai bangsanya tetapi betapa ia merasa asing dengan Borobudur dan sebagainya. Sjahrir mengimpikan Indonesia seperti Faust yang selalu gelisah untuk mencapai sesuatu. Bertolak dengan kegelisahan Sjahrir tersebut, STA melontarkan pernyataan yang keras tentang kebudayaan Indonesia pra-Indonesia yang telah mati dengan sengaja STA sepertinya meniadakan secara konseptual realitas yang sedungguhnya. Sejakk 1930-an aktivitas kebudayaan adalah pengganti kegiatan politik setelah para tokoh utama pergerakan dibuang dan ditangkap dan politik radilak terkena segala macam corak hakistimewa dari Gubernur Jenderal (STA,2008,48).
Dengan meniadakan semua konsep realitas ini sesuatu yang juga diingat bahwa sesungguhnya STA ingin meletakkan landasan cultural Indonesia yang baru, yang terlepas dari pengaruh masa lalu Indonesia yang terfragmentasi. Kalau yang lama itu masih dianggap sebagai kekuatan yang relevan. Tentu STA juga seakan-akan mengatakan sesauatu hal yang baru, integrative dan progresif, hanya mungkin dibangun jika keterikatan kepada yang lama itu telah putus. STA tak ingin keragu-raguan dalam belenggu menjadi gaya hidup manusia modern Indonesia. Dasar kegelisahan STA dan Sjahrir pada prinsipnya bertumpu pada soal kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang mana dikuasai oleh dunia Barat dan keserakahannya tentu membuat Indonesia tidak berdaya dengan kebudayaan tradisional untuk melangkah ke dunia modern.
Dengan gagasan inilah STA membawa kebudayaan Indonesia sejalan dan setingkat dengan lapis-lapis sejarah yang telah dilaluinya, dan dipahami sebagai kebudayaan asli. Menurut STA, bukan semata akronim, tetapi juga ketakukan untuk masuk dunia modern. Tetapi dengan kebudayaan asli yang terdapat di kepulauan Indonesia ini tentunya dating bersamaan dengan kebudayaan Hindu-Budha, yang memperkenalkan agama dan sistem kerajaan. Kemudian dating kebudayaan islam, yan gmengajarkan konsep akan Keesaan Allah yang mutlak, dan akhirnya dating kebudayaan Barat. Berbeda dengan kedua yang pertama, Islam mempunyai kedekatan dengan Barat, karena kedua-duanya berangkat dari sistem rasionalitas yang sama. Namun Barat berhasil melanjutkannya pada penguasaan pengetahuan dan tekhnologi. Islam dan Baratbukan yang bertentangan tetapi berbeda tekanan. Dengan kata lain, seseorang tetap Islam, tetapi dengan orientasi Barat. Karena kebudayaan inilah yang praktis telah mempersatukan dunia. (STA,2008,49).
Senada dengan uraian di atas, Anderson mendefinesikan bahwa bangsa dapat dimengerti sebagai suatu komunitas yang dibayangkan sekaligus sebagai terbatas maupun berdaulat. Anderson menguraikan juga bahwa bangsa itu dibayangkan karena anggotanya tidak akan pernah mengenal satu dengan yang lain, tetapi dalam benak tiap anggota itu, hidup satu bayangan mengenai keterkaitan antara mereka. Selanjutnya, bangsa itu dibayangkan sebagai terbatas, karena pasti ada perbatasan dengan bangsa-bangsa lain, dan sebagai berdaulat, karena negara yang adalah lambang kebebasan yang diimpikan setiap bangsa. Selain itu, menurut Anderson, bangsa itu dibayangkan sebagai satu komunitas karena, lepas dari ketidakadilan dan penindasan yang mungkin secara nyata ada, bangsa selalu dibayangkan sebagai persaudaraan yang horizontal dan mendalam. (Anderson 1986: 15-16).
Anderson menawarkan bahwa nasionalisme hanya dapat dipahami dengan menghubungkannya dengan kemerosotan sistem-sistem budaya besar yang mendahuluinya – dan dua sistem budaya besar yang relevan menurutnya adalah komunitas agama dan kuasa dinasti hirarkis dengan penguasa yang berwahyu sebagai puncaknya. Menurut Anderson, perlahan-lahan sejak abad ke-17 dan ke-18, kedua sistem ini mengalami kemerosotan. Kemerosotan keduanya menjadi penting bagi perkembangan bayangan tentang bangsa, karena mereka menanamkan manusia dalam keberaturan yang ada, dengan memebrikan makna kepada berbagai penderitaan duniawi, dan dalam berbagai cara, menawarkan penyelamatan dari penderitaan itu. Selain itu, dia berpendapat bahwa satu hal yang telah memungkinkan bayangan tentang bangsa itu adalah perubahan dalam gagasan tentang keserentakan.  
Anderson menerangkan bahwa gagasan waktu seperti ini terkandung jelas dalam bentuk buku atau novel modern, dan lebih jauh lagi, dalam surtatkabar. Oleh karena itu, perkembangan kapitalisme cetak-mencetak merupakan faktor yang sangat menentukan, karena memungkinkan orang untuk berpikirtentang dirinya sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain, menurut cara-cara yang sama sekali baru. Lebih jauh lagi, kapitalisme cetak-mencetak ini mendorong kemerosotan ‘bahasa-bahasa kebenaran’ seperti bahasa Latin, karena logika kapitalisme menuntut pencetakan buku-buku dalam bahasa-bahasa rakyat, setelah pasar untuk buku-buku bahasa Latin menjadi jenuh karena memang secara inheren terbatas. Oleh karena itu, berkembanglah secara perlahan ‘bahasa-bahasa cetak mencetak’,yang timbul dari berbagai bahasa rakyat sehari-hari yang ada, melalui suatu proses yang alamiah dan arbitrer. (Anderson1986,19).
Sedangkan John Hutchinson berpendapat bahwa, nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya. Senada dengan Hutchinson. STA menggambarkan bahwa semangat Indonesia, konsep kunci pemikirannya tentang kebudayaan Indonesia, mempunyai tiga aspek. Pertama, berkaitan dengan nasionalisme, aspek kedua berkaitan dengan semangat Barat dan aspek ketiga berkaitan dengan semangat universal.
Pemikiran STA tentang semangat Indonesia ini sering beralih satu akspek ke aspek yang lain, sejalan dengan peralihan penjelasan tentang Semangat Indonesia ini. Pemikiran STA tentang kebudayaan Indonesia pun berkembang, mulai dari mengingkari dan memisahkan diri dari tradisi, lalu menitu Barat atau membaratkan diri, kemudian meningkatkan sampai ke tahap universal. Pemikiran STA ini dibina dengan bertujuan untuk menanggulangi tantangan abad ke-20 Indonesia. Tantangan ini meliputi kepentingan untuk menghindari dari kerangka tradisi yang berbau provinsialisme, yang mungkin menghambat persatuan dan kemajuan bangsa dan Negara: kebutuhan untuk memperoleh tenaga dunia Barat baik di bidang material maupun bidang spiritual; dan keperluan untuk mencari kepribadian budaya yang dapat member kebanggan kepada bangsa dan Negara (STA, 2008,39-40)


3.2.      BENTUK-BENTUK NASIONALISME
Berikut ini ada beberapa bentuk nasionalisme yang berkembang di dunia, diantaranya nasionalisme Etnis, Nasionalisme Budaya, Nasionalisme Agama, Nasionalisme Barat dan nasionalisme Indonesia.  Pertama, Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johan Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”). Kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya “Grimm Bersaudara” yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
Kedua, Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras, dan sebagainya. Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah ’national state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri.
Nasionalisme memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang merupakan teleologi modernitas. Nasionalisme dibentuk oleh kematerian industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat. Nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya. Contoh biasa adalah Nazisme, serta nasionalime Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Fransquisme sayap kanan di Spanyol, serta sikap ’Jacobin’ terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Prancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraann (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika.
Tiga, Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme. Zernatto (1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor ’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.
Keempat, Nasionalisme Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan industrialisme. Namun, Partha Chatterjee memecahkan dilema nasionalisme antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan teknologi. Konsep-konsep Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme.
Kelima, Nasionalisme Indonesia. yang dimaksudkan oleh STA, adalah persatuan yang mampu mengatasi provinsialisme dan suku bangsa-isme yang mendahulukan kepentingan daerah dan suku bangsa daripada kepentingan seluruh Indonesia dan seluruh bangsa. Nasionalisme adalah suatu kesadaran sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat untuk memelihara, melestarikan dan mengajukan identitas, integritas, serta ketangguhan bangsa( STA: 2008,32) .
Dalam konteks untuk memahami semangat nasionalisme yang diuraikan oleh STA, George Mc Turnan Kahin, menguraikan pandangannya, di mana untuk memahmai Nasionalisme Indonesia ada hal yang perlu diketahui dari beberapa ciri  penting dari lingkungan sosial yang kemudian memunculkan semangat Nasionalisme Indonesia guna mamahami karakter semangat nasionalisme Indonesia maupun revolusi sebagai kelanjutannya. Alam penjajahan abad ke-20 yang melahirkan tahapan nasionalisme Indonesia yang modern, jelas dan kongkrit menurut analisis secara menyeluruh. Namun nasionalisme Indonesia mutakhir terutama berakar dari kondisi abad ke-20, sebagai akar terpenting justru menjalar ke dalam lapisan sejarah yang jauh lebih tua. (George Mc Turnan Kahin, 2013,1)











BAB IV
GAGASAN STA TENTANG NASIONALISME
4.1.      NASIONALISME INDONESIA DALAM PEMIKIRAN STA
            Kaum intelek Indonesia yang sejak tahun 1908 dengan pelbagai cara telah berusaha mendirikan organisasi-organisasi bagi mempengaruhi rakyat agar mereka bangun dan maju, lambat laun mereka menyadari bahwa tidak akan dapat berhubungan rapat dengan seluruh rakyat melalui perantaraan bahasa Belanda. Ini disebabkan karena bahasa Belanda itu hanya dapat dipahami oleh sejumlah yang kecil dari bangsa Indonesia. Berdasarkan keyakinan bahwa hanya penyatuan bangsa Indonesia seluruhnya yang dapat mewujudkan suatu tenaga besar untuk menentang kuasa penjajahan, maka dengan sendirinya mereka berusaha mencari satu bahasa yang dapat dipahami bagian rakyat yang terbesar, yaitu bahasa Melayu (STA,1956,14-15).
Dialektika ini menyegarkan pemikiran Takdir yang kemudian melihat filsafat sebagai upaya untuk membawa manusia keluar dari keterancaman akibat hasil kemajuannya sendiri karena filsafat bebas dari kepentingan dan segala keterikatan yang dapat membuatnya tidak lagi mengabdi pada satu-satunya tujuan, yaitu kebenaran. Sebagai upaya berpikir guna mencari kebenaran yang terakhir, telah selayaknya berfilsafat itu menghendaki penyelidikan yang bebas, yang jauh dari sikap dogmatis. Bagi STA, semua hal dapat dibawa ke gelanggang pikiran dan penyelidikan.  Selain itu, kebebasan itu pun berarti bebas dari maksud yang tersembunyi, yang terletak di luar filsafat. Waktu berfilsafat itu, meskipun barangkali untuk sementara, harus dikeluarkan segala keinginan akan kekuasaan, akan kemenangan, akan kemegahan, akan kekayaan. Sehingga optimisme tidak lagi dilihat sebagai suatu ketidakberanian tetapi suatu keberanian untuk mempersoalkan pelbagai situasi pelik yang terjadi dalam ranah kehidupan kita. Optimisme hendaklah membentuk kesadaran pemimpin dan masyarakat untuk siap digembleng dalam pelbagai sistem yang mengatur kehidupan kita.
            Dalam upaya untuk mendorong semangat nasionalisme Indonesia, STA tentunya selalu mempunyai ide, rencana baru, dinamika, dan inisiatif yang mencerahkan. STA memiliki gagasan cerdas jauh ke masa depan, mempunyai idealisme untuk membangun negara Indonesia ini ke arah yang kondusif. Idealisme STA adalah idealisme ke Indonesiaan dan pemikirannya masih tetap actual. Pemikiran dan sikap filosofisnya yang tulus, optimismenya akan masa depan, semangat intelektual, penegasan akan pentingnya keberanian untuk berpikir rasional, keterbukaannya pada cakrawala kemanusiaan yang melampaui segala kebobrokan yang terjadi, dan pengabdiannya akan kebenaran adalah nilai-nilai warisannya yang harus menjiwai kepemimpinan segala masa.
            STA menguraikan semangat Revolusi Nasional di masa pendudukan Jepang, mendorong dia akan masalah kebudayaan nasional di mana tidak semata dapat diselesaikan semata dengan semboyan yang tegas ataupun dengan memperbanyak penciptaan keseian yang baru, bahkan juga bisa hanya dengan melakukan usaha perjuangan bahasa belaka. STA  dalam bentuk kongkrit mengadakan studi yang kian mendalam tentang sistem dan dinamika kebudayaan. Dan akhirnya STA melahirkan teori tentang kebudayaan dan dirumuskan dalam sebuah karya yang sangat padat, bukan saja dalam pemikiran tetapi juga dalam dialog dengan para ilmuwan dan ahli filsafat. Seiring perjalanannya waktu, STA semakin mengimpikan terwujudnya Kesatuan Budaya yang universal. Di mana Globalisasi masih belum merupakan wacana umum seperti halnya sekarang, tetapi STA telah melihat betapa dunia modern telah semakin meniadakan perbedaan. STA, membayangkan bahwa pada waktunya nanti Asia akan menjadi bagian dari nilai dunia. Tetapi sekarang intelektual Asia mengahadpi krisis, pertama ia akan memasuki dunia cosmopolitan dengan kesadaran bahwa ia berasal dari negeri yang masih berpegang pada nilai lama dan ketika ia pun sadar pula bahwa dunia ini sedang krissi, karena menaiknya sekularisme, skeptisme dan relativisme. Maka dengan begitu bisalah dimaklumi kalau STA merasakan dengan sangat keras krisis yang sedang melanda dunia. (STA,2008,49)   
4.2.      ANALISIS
            Nasionalisme merupakan satu sikap kebangsaan dan kecintaan yang ditunjukkan oleh setiap individu adatu warga suatu bangsa terhadap identias kebangsaannya dengan secara langsung dan tidak langsung dalam kehidupan sehari-hari. Nasionalisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu.  Melihat dari definisi tentang nasionalisme di atas sudah selayaknya rasa nasionalisme itu dipertahankan dalam jiwa dan raga warga negara Indonesia demi menciptakan kebanggaan terhadap bangsa dan negeri ini dan tentunya untuk mengantisipasi serangan pihak asing yang berusaha menguasai bangsa ini.
Namun, nasionalisme dewasa ini dapat dilihat ruhnya ketika kebudayaan Indonesia diklaim oleh pihak asing, lalu memicu semangat untuk menyelamatkan kebudayaan yang ada. Akan  tetapi bila setelah itu semua usai, rasa nasionalisme kembali menurun bahkan seakan malas untuk mengaplikasikan kebudayaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Kasus semacam ini seakan menjadi persoalan yang memicul perdebatan kritis tentang mengapa hilangnya rasa nasionalisme dan sejauhmana pentingnya nasionalisme yang menjadi harapan untuk membawa bangsa ini kearah yang jauh lebih baik dan tentunya tidak selalu terpengaruh dengan kebudayaan asing yang justru dapat menjatuhkan bangsa Indonesia ke tangan asing.
Persoalan nasionalisme tentu bukan masalah baru dalam perkembangan sejarah Indonesia bahkan dalam perkembangan sejarah dunia.  Dan perkembangan nasionalisme suatu bangsa tentunya berkolerasi dengan perkembangan kebudayaan suatu bangsa itu sendiri. Di mana, perubahan kebudayaan yang melahirkan kemanjuan tekhnologi, menurut STA merupakan zaman Poros Sejarah yang baru, yang jauh lebih besar dari poros sejarah sekitar abad ke-5 SM. Sebab dengan kapal terbang pada zaman saat ini telah lebih cepat dari suara, segala bagian dunia dapat dicapai dalam beberapa jam atau beberapa hari. Dan kecepatan ini masih terus bertambah dalam dasawarsa yang akan dating.  Jelas, kapal terbang membawa perubahan hidup baru dan dunia baru sebagai dasar awal kebudayaan baru. (STA. 1988.49)
Pada abad ke-20 M, pengertian kebudayaan selalu dikaitkan dengan kemajuan, demokrasi dan pengetahuan manusia dalam berbagai bidang seperti bahasa, sastra, seni rupa, musik, industri hiburan, perdagangan, falsafah dan lain-lain. Semua bentuk dan perwujudan ekspresi manusia (etika, estetika, intelektualitas dll) menjadikan manusia lebih bermartabat dan berdaulat atas nasib dan hidupnya. Di sini kebudayaan dikaitkan dengan kondisi ideal dan nyata yang digerakkan oleh seperangkat pandangan hidup dan sistem yang mampu menghargai kemajemukan, perbedaan pendapat, keadilan dan hak asasi manusia. Dengan perangkat-perangkat ini perdamaian, kemajuan dan kebahagiaan bisa dicapai. Dan dengan kondisi-kondisi seperti itu pula bangsa Indonesia mampu meningkatkan kehidupan dan nilai-nilainya, serta mengembangkan ilmu pengetahuan, falsafah, agama, bahasa, seni dan kesusastraan.
STA membicarakan kebudayaan yang melahirkan semangat nasionalisme dengan bertolak dari falsafah dan sejarah. Dan kemudian meletakkan pemikirannya dalam konteks perjuangan bangsa Indonesia yang sedang berusaha membangun kebudayaan baru yang bercorak nasional dan kedaerahan.  Dalam hal ini Kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan STA bukanlah himpunan dari puncak-puncak kebudayaan daerah, tetapi suatu kebudayaan modern yang mampu menjadikan bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju dan memiliki kebudayaan tinggi.
Menurut STA, sebagai dampak dari penjajahan selama lebih dua ratus tahun, kedudukan bangsa Indonesia menjadi kian terpuruk, miskin dan terbelakang di tengah-tengah bangsa lain yang jauh lebih maju dan makmur seperti bangsa-bangsa Eropa dan Jepang. Dari hal inilah, semangat nasionalisme yang berangkat nilai-nilai kebudayaan kedaerahaan perlu dipadukan menjadi nasionlisme seluruh bangsa Indonesia. Dengan secara langsung Indonesia dapat menuju kebudayaan modern yang lebih dulu dicapai bangsa lain di dunia.
Untuk mendorong bangsa ini bangkit, kondisi kebudayaannya yang menyedihkan tersebut, tentunya perlu diperbaiki dengan melakukan perubahan dan pembaruan besar-besaran dalam semangat kebudayaan baru yang mengedepankan moderniasi di berbagai bidang, termasuk penguasaan atas tekhnologi dan meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang baik dengan mendirikan lembaga pendidikan serta pusat kebudayaan, sehingga dapat mendorong semangat nasionalisme Indonesia yang bersumber pada semangat nusantara. Dalam rangka inilah STA mengembangkan teori dan pemikiran kebudayaannya. STA sendiri berharap pemikiran dapat dijadikan panduan dalam melakukan transformasi budaya. STA percaya bahwa hanya dengan mengubah kebudayaannya, bangsa Indonesia dapat bangkit dari keadaannya yang terpuruk. Konsep kebudayaan yang diperlukan ialah konsep yang dinamis.
Untuk itu STA harus berfalsafah kembali tentang manusia sebagai makhluk yang mencipta kebudayaan dan sebagai makhluk yang yang sepanjang sejarahnya hidup dalam berbagai kebudayaan yang selalu berubah. Karena disisi lain dengan kemajuan teknologi seperti alat-alat komunikasi elektronik dewasa ini dari bagian dunia dapat dicapai dalam menit dan detik, sehingga sesungguhnya dnuia telah sangat mengecil dan manusia telah bersatu, setiap hari dengan radio, TV, surat kabar, telepon, manusia telah telah berhubungan dengan segala bangsa dan mengetahui segala yang terjadi di dunia, sekaliannya ini dapat mempengaruhi jiwa dan kehidupan manusia dan sesungguhnya umat manusia sekarang ini berada dalam krisis transformasi masyarakat dan kebudayaan seperti belum pernah dialami manusia dalam sejarah sebelumnya. (STA, 1988.49)
Menurut STA perkataan budaya/kebudayaan dalam bahasa Indonesia/Melayu sangat tepat oleh karena menghubungkan budaya dengan budi, karena kata-kata, budaya dibentuk dari kata budi dan daya. Kata-kata budi berarti pikiran, kesadaran disebabkan seseorang berpikir, sedang kata daya artinya ialah kekuatan untuk menghasilkan atau mencapai sesuatu. Jadi kata budaya atau kebudayaan bisa diartikan pula sebagai sebuah kemampuan menggunakan pikiran untuk menghasilkan atau menjelmakan nilai-nilai yang baik yang dapat memajukan kehidupan.
Kebudayaan Indonesia adalah serba tanggung. Kebudayaan yang tinggi ilmu pengetahuan dan tehnologinya, rakyatnya makmur, masih belum dapat dicapai, sedang kebudayaan gotong royong dan spiritualitas lama, serta moral bangsa Indonesia telah runtuh seruntuh-runtuhnya. Kepada siapa lagi kita akan bersandar. Dalam kehidupan seni dan amalan agama juga tampak berbagai kelemahan. Kebudayaan nasional atau kebudayaan Indonesia mestinya merupakan penjelmaan dari kebudayaan modern yang dikuasai oleh ilmu dan ekonomi sehingga melahirkan tehnologi dan tingkat kecakapan dan kecerdasan yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia maju. STA menyebut pusat-pusat penting peradaban seperti universitas, bank, pasar, pusat kekuasaan dan pusat-pusat kebudayaan. Pusat-pusat peradaban ini harus memainkan peranan penting dalam penyebaran nilai-nilai kebudayaan modern. Untuk itu bangsa Indonesia harus memiliki etika dan etos kerja yang mantap. Jika, tidak ia akan tinggal sebagai bangsa paria di tengah bangsa-bangsa lain yang telah maju.
Dari pernyataannya ini kita dapat memahami mengapa STA tidak mau menerima pengertian kebudayaan nasional seperti dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang kemudian dituangkan dalam UUD 45, bahwa ”Kebudayaan nasional ialah puncak-puncak kebudayaan daerah”. Pertama, menurut pendapat saya, kata-kata ’puncak kebudayaan daerah’ bisa ditafsirkan secara ahistoris dan sempit yaitu kebudayaan daerah yang pada abad ke-20 M masih tampak mewarisi monumen-monumen besar dan seni adiluhung. Jika itu yang dimaksud maka yang menghasilkan puncak-puncak kebudayaan hanyalah Jawa yang memiliki Borobudur, Lorojonggrang dan wayang kulit, serta berbagai bentuk seni pertunjukan yang terpelihara disebabkan eksistensi kraton.  
Menurut STA, dengan tradisi kecil ialah budaya-budaya lokal yang kelihatannya sangat anekaragam itu, tetapi jiwa yang ikut membentuk dan mengikatnya tidak banyak yaitu dua tradisi besar yang disebut kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam. Kenakeragaman budaya seperti diekspresikan oleh masyarakat tradisional Aceh, Bugis, Madura, Minangkabau, Melayu, Bima, Banjar, Sunda, Jawa Pesisir, dan lain-lain sebenarnya hanya penampakan lahirnya. Struktur batin atau intuitif dari budaya-budaya itu ialah Islam, dengan sedikit unsur-unsur Hindu atau pra-Hindu. Di lubuk kebudayaan Jawa adalah dua tradisi besar, yaitu Hindu dan Islam. Tetapi berbagai faktor internal seperti runtuhnya pusat kekuasaan Hindu pada abad ke-15 M dalam kaitannya dengan kebudayaan Jawa, proses ortodoksi dan hadirnya kolonialisme dalam kaitannya dengan Islam, telah mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi tradisi besar itu dan mengakibatkan terserak-serak menjadi tradisi-tradisi kecil yang kehilangan dinamika dan landasan intelektual.
Pada masanya ketika komunitas-komunitas sukubangsa besar Nusantara ini masih merupakan pendukung utama tradisi-tradisi besar, mereka ini menjadi komunitas bangsa yang kreatif dan maju, meskipun struktur masyarakatnya masih bersifat feodal. Dinasti Syeilendra di Jawa Tengah misalnya, dapat menghasilkan Borobudur dan Mendut, dinasti Sanjaya melahirkan candi Lorojonggrang di Prambanan, kerajaan-kerajaan di Jawa Timur seperti Kediri, Singasari dan Majapahit melahirkan sastra kakawin dan candi-candi yang nilai seninya menakjubkan. Namun setelah itu, tradisi intelektual Hindu seperti tercermin dalam falsafah Vedanta, Nyaya dan Waisesika, ikut lenyap bersama berlalunya waktu. Dan dari budaya suku bangsa nusantara inilah tentu menjadi nilai budaya yang membanggakan sehingga tetap menjadi mercusuar baru dalam mewujudkan cita-cita nasionalisme Indonesia yang dicita-citakan pada masa mendatang dengan berlajar dari perkembangan teknologi dari barat, sebab bangsa barat jauh lebih matang dan semua membuat bangsa kita bangsa yang besar dari segala zaman. (STA, 1988,126)


BABA V.
KESIMPULAN
Nasionalisme Indoneisa pada prinsipnya bertumpu pada soal kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang mana dikuasai oleh dunia Barat dan keserakahannya tentu membuat Indonesia tidak berdaya dengan kebudayaan tradisional untuk melangkah ke dunia modern. Dengan mempelajari apa yang disumbangsikan barat pada dunia. Melalui moderniasi yang bergulir di Eropa sejak zaman renaissance sesungguhnya menginspirasi STA untuk mewujudkan semangat nasionalisme Indonesia dengan mempelajari apa yang ada dari barat dan dimasukkan dalam nilai-nilai luhur keindonesiaan.
Dengan gagasan dan pemikiran inilah STA membawa kebudayaan Indonesia sejalan dan setingkat dengan lapis-lapis sejarah yang telah dilaluinya, dan dipahami sebagai kebudayaan asli. Menurut STA, bukan semata akronim, tetapi juga ketakukan untuk masuk dunia modern. Tetapi dengan kebudayaan asli yang terdapat di kepulauan Indonesia ini tentunya dating bersamaan dengan kebudayaan Hindu-Budha, yang memperkenalkan agama dan sistem kerajaan. Kemudian dating kebudayaan islam, yang mengajarkan konsep akan Keesaan Allah yang mutlak, dan akhirnya dating kebudayaan Barat. Berbeda dengan kedua yang pertama, Islam mempunyai kedekatan dengan Barat, karena kedua-duanya berangkat dari sistem rasionalitas yang sama. Namun Barat berhasil melanjutkannya pada penguasaan pengetahuan dan tekhnologi. Islam dan Baratbukan yang bertentangan tetapi berbeda tekanan. Dengan kata lain, seseorang tetap Islam, tetapi dengan orientasi Barat. Karena kebudayaan inilah yang praktis telah mempersatukan dunia.
Nasionalisme Indonesia dalam Pemikiran STA ini tentunya bertujuan untuk menanggulangi tantangan abad ke-20 Indonesia. Tantangan ini meliputi kepentingan untuk menghindari dari kerangka tradisi yang berbau provinsialisme, yang mungkin menghambat persatuan dan kemajuan bangsa dan Negara: kebutuhan untuk memperoleh tenaga dunia Barat baik di bidang material maupun bidang spiritual; dan keperluan untuk mencari kepribadian budaya yang dapat memberi kebanggan kepada bangsa dan Negara pada masa dmendatang.

DAFTAR PUSTAKA

George Mc Turnan Kahin. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. (Depok:Komunitas bambu. 2013)
Sutan Takdir Alisjahbana, Manusia Renaissance, Relevansi Pemikiran STA. Jakarta: PT. Dian Rakyat. 2008
S. Abdul Karim Mashad. Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan. Menyongsong satu Abad Sutna Takdir ALisjahbana ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006)
Abuhasan Asy’ari. Sutan Takdir Alisjahbana Dalam Kenangan. (Jakarta: PT. Dian Rakyat.2008)
Sutan Takdir Alisjahbana, Sejarah Kebudayaan Indonesia dilihat dari Segi Nilai-nilai. (Jakarta:PT.Dian Rakyat.82)
Sutan Takdir Alisjahbana. Perjuangan Kebudayaan Indonesia. (Jakarta: PT. Dian Rakyat.1999).
Sutan Takdir Alisjahbana, Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan Indonesia. (PT. Dian Rakyat.1988)
Sutan Takdir Alisjahbana, Perjuangan Tanggungjawab dalam Kesusastraan.( Jakarta: Pustaka jaya1984)
Sutan Takdir Alisjahbana, Perjuangan Sebagai Perjuangan Perkenalan dengan Pemikiran Sutan Takdir Alisjhabana  ( Jakarta: Pustaka jaya1988)
Anderson, B. Gambaran Komunitas. Refleksi pada Keaslian dan Penyebaran Nasionalisme. (Edisi ke-2. London: Verso.1983)
Steven Grosby, Nasionalisme, Makna Bangsa dan tanah air Di Antara Konflik dan Integrasi.(Surabaya, Pemeriksa Aksara. 2010)
A.D. Ranuwihadjo,Nasionalisme Indonesia.Tantangan dan Reaktualisasi (Jakarta: Unas Press. 2000,30).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar