ABSTRAKSI
Sutan Takdir
Alisjahbana (Natal, 1908-1994), adalah seorang filsuf, sastrawan, tokoh
pergerakan kemerdekaan, ahli bahasa, budayawan dan pemikir. STA, menjadi
seorang sosok penting dalam perjuangan untuk mendorong bahasa melayu menjadi
bahasa Indonesia dan menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Nasionalisme STA yang mengakar dan menyatu
dengan apa yang dilakukan semasa hidupnya. Hal ini dibuktikan STA dengan
mendorong kebudayaan nusantara sebagai kebudayaan nasional, di mana, dasar
pijak kebudayaan nasional adalah penghargaan terhadap nilai luhur yang tumbuh
subur dan berkembang ditengah masyarakat. Nasionalisme Indonesia dalam pandangan STA merupakan kemauan untuk bersatu yang didesak oleh keinsyafan akan
kepentingan dan akan cita-cita bersama. Semangat Indonesia pada prinsipnya
bertumpu pada soal kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang mana dikuasai
oleh dunia Barat dan keserakahannya tentu membuat Indonesia tidak berdaya
dengan kebudayaan tradisional untuk melangkah ke dunia modern. bertolak dari kemauan
yang yang besar untuk bersatu dan berkehendak bersama-sama demi untuk menduduki
tempat yang layak di sisi bangsa-bangsa lain di dunia dan universitas adalah
tempat yang utama dalam mewujudkan semangat nasionalisme Indonesia tersebut.
Oleh karenanya, STA mewujudkan cita-citanya dengan mendirikan Universitas
Nasional sebagai wadah perjuangan kemerdekaan Nasional Indonesia.
Judul : Nasionalisme
Indonesia. Studi Pemikiran Sutan Takdir
Alisjahbana
Kata kunci
: Nasionalisme
Penulis : Kamaruddin Salim
Penulis : Kamaruddin Salim
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1.
GAMBARAN UMUM
Nasionalisme Indonesia yang dimaksudkan disini adalah
persatuan yang mampu mengatasi provinsialisme dan suku bangsa-isme yang mendahulukan
kepentingan daerah dan suku bangsa daripada kepentingan seluruh Indonesia dan
seluruh bangsa. Nasionalisme adalah suatu kesadaran sebagai bangsa yang
disertai oleh hasrat untuk memelihara, melestarikan dan mengajukan identitas,
integritas, serta ketangguhan bangsa. Hal ini dapat dimaknai bahwa nasionalisme
adalah sikap atau perilaku yang diwujudkan atau diaktualisasikan dalam bentuk
tindakan untuk memelihara dan melestarikan identitas dan terus berjuang untuk
memajukan bangsa dan negara, dengan membasmi setiap kendala yang menghalangi di
jalan kemajuan. Di sisi lain, ketika Diponegoro, Tuaku Imam Bonjol, Teungku
Umar dan lain-lain itu berjuang dahulu belum ada, atau belum bermakna perasaan
ke Indonesiaan. Diponegoro berjuang bagi Tanah jawa itupun agaknya tiada dapat
kita katakana bagi seluruh Tanah Jawa. Tuanku Imam Bonjol bagi Minangkabau,
ataupun Teungku Umar bagi Aceh. Siapa yang dapat menjamin sekarang ini, bahwa
baik Diponegoro, baik Tuanku Imam Bonjol ataupun Teungku Umar tidak akan
melabrak bahagian kepulauan ini yang lain sekiranya mereka mendapat kesempatan
dahulu. ( STA: 2008,32-33).
Menurut pendirian Sutan Takdir Alisjahbana, zaman Indonesia
harus dipisahkan zaman Pra-Indonesia. Alasan Takdir, Jangan sekali-kali zaman
Indonesia dianggap sambungan atau terusan yang biasa dari zaman Pra-Indonesia.
Konsep Indonesia, harus dibersihkan. Pandangan Takdir yang menonjol soal
nasionalisme Pra-Indonesia, perlu sekali pengertian ke-Indonesiaan itu
diberihkan, sehingga bersinar pula hakekatnyayang sebenarnya. Pengertian
tentang semangat ke-Indonesiaan sebagai semangat Barat. Semangat Indonesia
sebagai semangat Nasionalisme memang bermanfaat dan efektif untuk mengatasi
privinsialisme atau sukubangsa-isme. Akan tetapi konsep ini belum sanggup
memberikan isi kepada “ Indonesia” pembinaan “ Indonesia”, ia hanya menetapkan
titik tolaknya semata, yaitu kemauan untuk bersatu, tetapi belum menunjukkan haluan (tujuan). Hal ini berarti
bahwa konsep ini tidak berdaya bila dipakai dalam pembinaan Indonesia( STA: 2008,34).
Dengan
penjelasan di atas, STA, mencari haluan itu dalam sejarah yang lampau. Demikian
STA mencari haluan pada dunia Barat, di mana menurut STA, “Meski bagaimana
sekalipun tidak enak bunyinya semboyan, bahwa kita harus belajar pada Barat,
meski bagaimana sekalipun sedih hati kita memikirkan hal yang demikian, dalam
hal ini rasanya kita dapat memilih”. Dengan kalimat ini STA menjelaskan konsep
semangat Indonesia dengan mengaitkan kepada semangat Barat. Yang dimaksudkan
oleh STA adalah semangat yang dinamik, yang diwarnai atau berciri
intelektualisme, individualisme, egoism, dam materalisme. Bila dicari aranya
lebih mendalam, semangat ini berasal dari semangat yang hendak menguasai alam, hendak memakai alam bagi dirinya.
Semangat Indonesia ini dalam pandangan STAadalah semangat yang berasal dari
bangsa Semiet (agama Yahudi, Nasrani dan Islam), untuk membinakan Indonesia,
semangat yang harus diterima dan dicerna menjadi darah daging sendiri. Lalu STA
menegaskan, saya berkeyakinan, bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang
terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elemen Barat, yaitu elemen
yang dynamic, dan sekarang tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke
Barat”(STA, 1994,18)
STA
membicarakan kebudayaan dengan bertolak dari falsafah dan sejarah. Dan kemudian
meletakkan pemikirannya dalam lingkait (konteks) perjuangan bangsa Indonesia
yang sedang berusaha membangun kebudayaan baru yang bercorak nasional dan
supra-daerah. Kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan STA bukanlah himpunan
dari puncak-puncak kebudayaan daerah, tetapi suatu kebudayaan modern yang mampu
menjadikan bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang telah
maju dan memiliki kebudayaan tinggi.
Menurut STA,
sebagai dampak dari penjajahan selama lebih dua ratus tahun, kedudukan bangsa
Indonesia menjadi sangat terpuruk, miskin dan terbelakang di tengah-tengah
bangsa lain yang jauh lebih maju dan makmur seperti bangsa-bangsa Eropa dan
Jepang. Untuk mendorong bangsa ini bangkit, kondisi kebudayaannya yang
menyedihkan harus diperbaiki dengan melakukan perubahan dan pembaruan
besar-besaran. Dalam rangka inilah STA mengembangkan teori dan pemikiran
kebudayaannya. Ia berharap pemikiran dapat dijadikan panduan dalam melakukan
transformasi budaya. STA percaya bahwa hanya dengan mengubah kebudayaannya,
bangsa Indonesia bisa bangkit dari keadaannya yang terpuruk. Konsep kebudayaan
yang diperlukan ialah konsep yang dinamis. Untuk itu STA harus berfalsafah
kembali tentang manusia sebagai makhluk yang mencipta kebudayaan dan sebagai
makhluk yang yang sepanjang sejarahnya hidup dalam berbagai kebudayaan yang
selalu berubah. Gagasan STA ini bukan didorong oleh sikap kebarat-baratannya
yang melanda masyarakat Indonesia yang terpelajar seperti Sutan Sjahrir, STA
adalah sosok nasionalis sejati. Dasar pijak gagasan STA yang mendorong bangsa
Indonesia menoleh ke Barat, karena hal itu dilakukan STA karena keinginannya
untuk menempatkan Indonesia dalam kedudukan yang setaraf dengan kedudukan
bangsa-bangsa yang maju di Dunia.(STA,2008, 62)
1.2.
ALASAN
MEMILIH JUDUL
Alasan penulis memilih judul Nasionalisme Sutan Takdir
Alisjahbana, karena. Pertama karena judul ini menarik untuk dikaji. Kedua,
judul ini belum pernah dituliskan oleh penulis yang lain.
1.3. POKOK MASALAH
Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang
menakjubkan dalam perjalanan sejarah umat manusia, setidaknya dalam kurun seratus
tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial dan politik di muka bumi yang terlepas
dari pengaruh ideologi dan budaya pemikiran politik. Disamping itu, nasionalisme
dalam perjalanan sejarah perkembangan umat manusia tentunya dalam proses dan
implementasinyai. Berakhirnya perang dingin dan kian berkembangnya gagasan dan
budaya globalisme (internasionalisme) pada dasaearsa 1990-an hingga sekarang
ini, khususnya dengan adanya revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang
berkembang dengan cepat, tentunya tidak dengan serta-merta membawa kemunduran bagi
semangat nasionalisme itu sendiri. Merujuk pada gagasan tersebut, penulis
mencoba menguraikan pokok-pokok pikiran Sutan Takdir Alisjahbana tentang mengapa
STA berupaya mendorong terwujudnya Semangat Nasionalisme Indonesia pada saat
itu?
BAB
II
GAMBARAN
KEHIDUPAN STA
2.1. Masa Kecil
Ibunya seorang
Minangkabau yang telah turun temurun menetap di Natal, Sumatra Utara. Ayahnya,
Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Selain itu, dia juga
menjalani pekerjaan sebagai penjahit, pengacara tradisional dan ahli reparasi
jam. Selain itu, dia juga dikenal sebagai pemain sepak bola yang handal. Kakek
STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang
dianggap memiliki pengetahuan agama dan ilmu yang luas. Di atas makamnya
tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika
dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih
senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu,
STA pergi ke Bandung, dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam
dari Jawa ke Sumatera setiap kali dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa
terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di dalam salah satu bukunya
yang paling terkenal: Layar Terkembang.
Sutan Takdir
Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 –
meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun), adalah sastrawan
Indonesia. Diberi nama Takdir karena jari tangannya hanya ada 4. Sutan
Alisjahbana gelar sutan Arbi mempunyai banyak putra-putri, salah seorang yang
terkenal baik dalam skala nasional maupun internasional adalah Sutan Takdir
Alisjahbana atau lebih dikenal dengan singkatan STA. dalam buku saku berjudul
Sutan Takdir Alisjahbana dan hasil karyanya, terbitan Dian Rakyat, tercantum
daftar jabatan, judul buku berbagai kegiatan, serta tanda penghargaan yang
pernah diterimanya. karangan dalam bidang bahasa yang ditulisnya sejak tahun
1930 – 1986 berjumlah lebih kurang 108 buah judul, sedangkan karangan atau
buku-buku yang ditulisnya dalam bidang-bidang lain seperti roman, puisi,
filsafat, pendidikan dan kebudayaan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa
asing jumlahnya lebih dari 150 judul. belum lagi sejumlah jabatan yang pernah
dipegangnya dalam berbagai organisasi yang bersifat nasional maupun
internasional. STA memang seorang tokoh besar dalam bidang bahasa, sastra dan
filsafat.
Menamatkan HKS
di Bandung (1928), meraih Mr. dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan
menerima Dr. Honoris Causa dari UI (1979) dan Universiti Sains, Penang,
Malaysia (1987). Pernah menjadi redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka
(1930-1933), kemudian mendirikan dan memimpin majalah Pujangga Baru (1933-1942
dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952), dan Konfrontasi
(1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929), dosen Bahasa
Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di UI (1946-1948), guru besar Bahasa
Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional,
Jakarta (1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas,
Padang (1956-1958), dan guru besar & Ketua Departemen Studi Melayu Universitas
Malaya, Kuala Lumpur (1963-1968). Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia,
STA pernah menjadi anggota parlemen (1945-1949), anggota Komite Nasional
Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960).
Selain itu, STA
menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite
of Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties
(1954-1959), anggota Board of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968),
anggota World Futures Studies Federation, Roma (sejak 1974), dan anggota
kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en Volkenkunde, Belanda (sejak
1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional, Jakarta, Ketua
Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan Budaya
(1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (-1994). Dan menjabat sebagai Rektor Universitas Nasional
Jakarta sejak 1968. Jabatan Rektor Universitas Nasional baru diletakkannya pada
hari ulang tahunnya yang ke-85, 11 Februari 1993, tubuhnya masih tegap, tidak
ada kelebihan lemak, tidak juga ada keluhan mengenai kesehatannya. Sutan Takdir
Alisjahbana dilahirkan di Natal, pada tanggal 11 Februari 1908. ibunya bernama
Puti Samiah, seorang wanita Natal, ia masih mempunyai hubungan keluarga dengan
Sutan Sjahrir sebagai saudara sepupu karena mereka sama-sama keturunan Sutan
Kabidun, putra Tuanku Besar Si Intan (Sintan). tidak banyak yang dapat
diceritakan oleh Tadir tentang kota kelahirannya, karena sejak berusia empat
tahun ia sudah diajak merantau. Sebagai seorang guru, ayahnya, Sutan Arbi
pernah ditempatkan di Cunangka, lalu dipindahkan ke Curup, Kerkap, dan Ipuh,
kota-kota kecil yang terletak dekat Muko-muko. sekarang kota-kota ini masuk
dalam wilayah Propinsi Bengkulu. Ia hanya ingat cerita ibunya ketika ia masih kecil,
bahwa di Natal banyak ditemukan emas yang didulang oleh penduduk. menurut ibu,
jika menjemur emas laksana menjemur padi. ada sebongkah emas yang kemudian di
jadikan kalung oleh ibu. (STA,1999,4)
Rumah STA di
Natal terletak di tepi sungai Batang Natal yang secara alami telah dihanyutkan
banjir beberapa tahun lalu. lantai bangunannya berbentuk panggung tradisional
dengan tiang-tiangnya yang tinggi. diantara lantai bangunan dan tanah terdapat
ruang kosong. dihalamannya, terdapat pohon-pohon bambu yang rindang. jika ibu
mencuci di tepian sungai, Takdir kecil sering bermain-main di dekatnya, dibawah
naungan pohon bambu. sejak meninggalkan Natal, Takdir belum pernah menginjakkan
kakinya lagi di tanah kelahirannya, ketika mengikuti sebuah kongres di Medan,
beberapa tahun yang lalu, ia pernah berniat mengunjungi Natal. Taksi sudah di
sewa, ia pun sudah menuju Natal dan telah berjalan cukup jauh. sampai di jalan
buruk yang sulit dilalui, taksi yang ditumpanginya rusak. rencana kunjungan ke
Natal menjadi batal karenanya. hubungan
Takdir dengan ibunya sangat dekat dan hangat. Ketika mereka berpisah, usianya
masih muda karena ia harus belajar di tempat yang jauh. mula-mula ia bersekolah
di Bengkulu, kemudian Lahat, di Muara Enim. Saat itu STA dalam kondisi yang
serba kekurangan sebagai siswa di sekolah itu dan kepidahan STA ke Lahat karena
atas permintaan pihak sekolah kweekschool. (STA,1999,13)
Pada tahun 1935,
takdir ditinggalkan untuk selamanya oleh isteri pertamanya, Raden Adjeng Rohani
Daha, yang meninggalkan tiga orang anak yang masih kecil dan yang paling kecil
ketika itu masih bayi, sehingga ia harus menjadi ayah dan ibu sekaligus. sepeninggal
istri pertamanya, Takdir menikah lagi dengan Sugiarti, seorang gadis Jawa yang
berpendidikan tinggi. ia pernah belajar di negeri Belanda dan menguasai
beberapa bahasa asing. dalam sebuah kunjungan ke Amerika Serikat, istrinya
meninggal dunia. dua anak perempuan yang ditinggalkannya baru berusia enam dan
tiga setengah tahun. untuk kedua kalinya Takdir harus memikul peran ganda
sebagai seorang ayah dan sekaligus seorang ibu dalam mendidik dan membesarkan
anak-anaknya.
Pada sebuah
kongres penulis diseluruh dunia, Takdir menikah lagi dengan seorang wanita
Eropa yang dijumpainya dalam kongres tersebut. sudah lama ia “bertualang” dalam
alam pikiran Eropa dan bertekad menguasai kebudayaannya. Dr. Margret Axer, yang
ketika itu menjadi redaktur kebudayaan sebuah surat kabar di Jerman, adalah
seorang ahli bahasa, serta ahli sastra Jerman dan Inggris. dari perkawinan
mereka dikaruniai empat orang anak. dari sembilan orang anak Sutan Takdir
Alisjahbana, dua orang diantaranya menjadi tokoh masyarakat. yang pertama,
Iskandar Alisjahbana, seorang cendikiawan; dan Sofyan Alisjahbana, pemimpin
sebuah perusahaan penerbitan yang sukses.Adapun keluarga, istri dan anak-anak
Sutan Takdir Alisjahbana. (S.Abdul Karim Mashad,2006,xxiv), yaitu:
1. Samiati
Alisjahbana, Alm.
2. Iskandar
Alisjahbana
3. Sofyan Alisjahbana
Adalah anak-anak
STA dari hasil perkawinannya dengan Raden Ajeng Rohani Daha, tahun 1929. pada
tahun 1935, istrinya meninggal di Jakarta.
4. Mitra Alisjahbana
5. Sri Artaria Alisjahbana
Adalah anak-anak STA, dari perkawinannya dengan Raden Roro Sugiarti, tahun 1941. Raden Roro Sugiarti meninggal di Los Angeles, Amerika Serikat; pada tahun 1952
6. Tamalia Alisjahbana
7. Marita Alisjahbana
8. Marga Alisjahbana
9. Mario Alisjahbana
4. Mitra Alisjahbana
5. Sri Artaria Alisjahbana
Adalah anak-anak STA, dari perkawinannya dengan Raden Roro Sugiarti, tahun 1941. Raden Roro Sugiarti meninggal di Los Angeles, Amerika Serikat; pada tahun 1952
6. Tamalia Alisjahbana
7. Marita Alisjahbana
8. Marga Alisjahbana
9. Mario Alisjahbana
Empat anak-anak
hasil perkawinan STA dengan Dr. Margret Axer pada tahun 1953 di Bonn, Jerman
Barat. Istrinya meninggal pada tanggal 15 Maret 1994. ketika istrinya mulai jatuh sakit, Takdir
meminta adiknya, Puti Balkis Alisjahbana untuk mengurus rumah tangga STA.
meskipun tampak lelah dan harus banyak beristirahat sambil berbaring di kursi
panjang di ruang tamu rumahnya sambil membaca atau beristirahat. di ruang tamu
ini juga STA menerima tamu-tamunya; kebanyakan dari kalangan mahasiswa,
wartawan yang sudah kenal dengannya, dan tokoh-tokoh dari kalangan intelektual
baik orang Indonesia maupun dari luar negeri. adik STA inilah yang mengatur
pertemuan dengan para tamu Takdir. Sepanjang ingatannya, kakaknya tidak pernah
menolak siapapun. pada pertemuan itu
tampak perubahan sikap pada STA, suaranya kedengaran tegar dan lantang.
seolah-olah bukan dia yang berbicara, namun seorang yang masih muda yang
melontarkan pikiran dan gagasan dengan penuh keyakinan. ia menyinggung demikian
banyak pokok dan masalah seperti bidang kebudayaan, sastra, filsafat dan banyak
lainnya hingga politik, termasuk impiannya agar Indonesia menjadi sebuah negara
yang maju dan makmur, sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Yang paling
banyak ia singgung adalah soal bahasa Indonesia, yang menurutnya, tidak
berkembang, malahan merosot dengan terbentuknya kata-kata singkatan dan
pengaruh dari bahasa asing.
Obsesi yang lain
ialah keinginannya untuk mendirikan sebuah yayasan bertaraf internasional dalam
bentuk semacam hadiah Nobel, yang secara berkala menghadiahkan sejumlah uang
yang cukup besar, misalnya untuk seorang penulis terbaik atau seseorang yang
dianggap berjasa bagi kemanusiaan. Begitu banyak yang ingin ia lakukan… dan
waktunya sudah menipis "So much to do… and time is running out!" di
hari tuanya, Takdir sangat tekun menjaga kondisi tubuhnya, misalnya dengan
menyusun sendiri menu sehari-hari, memilih sayuran dan buah-buahan disamping
makanan bergizi lainnya. ia juga sangat berdisiplin menjalankan perintah
dokter, seperti meminum atau menelan bermacam-macam vitamin serta obat-obatan.
ia juga tida pernah mengabaikan olah raga yang ketika itu hanya berjalan-jalan
di pagi hari di sekeliling pekarangan rumahnya. kebiasaan berenang telah
ditinggalkannya beberapa bulan sebelumnya karena sudah tidak kuat.
Menurut Puti
Balkis Alisjahbana, Takdir adalah seorang ayah yang galak, berdisiplin serta
sangat mengagungkan kejujuran di atas segalanya. kepada keluarganya
diperkenalkan dengan sistem “bonus” untuk prestasi yang berlebih. jika
angka-angka di rapor lebih tinggi dari enam, maka akan diberikan hadiah. jika
angka rata-rata lebih dari enam, hadiah yang diberikan juga lebih besar,
apalagi jika semua angka-angka di rapor nilainya baik sekali, hadiahnya pasti
amat besar. STA tak segan-segan berkelahi dengan anaknya, jika mereka memilih
jalan yang di matanya termasuk kritis. Sikap tegas.
Hukuman untuk
anak-anak bukan dengan cara fisik dan itupun tergantung pada kesalahannya.
Pendidikan moral secara khusus pada anak-anak tidak ada. STA mengakui bahwa ia
tak bisa mengaji. Waktu kecil, saat anak-anak lain mengaji, STA malah mencari
udang. STA mengenal agama justru setelah berkeliling dunia. Bagia anak-anaknya,
mereka bebas mencari yang terbaik. Waktu SMP, Tamalia pernah menolak mengikuti
pelajaran agama karena gurunya dianggap bodoh. STA membiarkannya. Kemudian
waktu mahasiswa. Anak-anaknya memang dibiarkan mencari yang terbaik dan mereka
merasakan yang diinginkan orang tuanya. Misalnya Marita. Setelah lulus SMA, ia
kuliah di ITB. Harapan STA, mereka sudah bisa bertanggungjawab jika dibebaskan.
Bagi STA, kita liberal bukan berarti tak ada batas. Perselisihan bukan sesuatu
yang tak mungkin terjadi dalam keluarga. Namun STA beruntung karena banyak
orang tua mempunyai masalh dengan anak-anaknya.(STA.1999,120)
Sutan Takdir
Alisjahbana meninggal pada 17 Juli 1994 di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita,
Jakarta. Sebelum STA menutup mata, ia ingat akan tempat kelahirannya, Natal;
beberapa tahun yang lalu ia pernah mencoba pergi ke Natal dengan mobil sewaan
dari Medan, tetapi mobil itu mengalami kerusakan dan rencana mendatangi kota
Natal terpaksa di batalkan. STA juga tertarik pada Materai Di Raja dari
kerajaan Lingga Bayu, Ranah Nata, yang bertuliskan Aksara Arab yang menyebutkan
bahwa kakek buyut keluarga Sutan Takdir sebagai salah seorang raja Natal di
masa lalu. STA juga memperlihatkan materai tersebut kepada seorang sahabat
dekatnya, Drs. Abu Hasan untuk mengetahui lebih banyak tentang apa yang tertera
di materai kuno itu. pada kesempatan lain, Takdir juga menyatakan keinginannya
untuk bertemu dengan seseorang yang lebih tahu tentang Natal, STA juga
berkeinginan mengembangkan sayap perusahaan keluarganya di sana. Paling tidak
membeli tanah yang cukup luas dipinggir pantai atau membeli rumah untuk
melakukan sesuatu di Natal dalam bentuk usaha-usaha.
Hal tersebut
juga disampaikannya kepada anak-anaknya yang paling bungsu, Mario dan Tamalia. sebulan
kemudian setelah berpulangnya STA, tepat pada 15 Agustus, 1994 istri ke tiganya
Margret Axer menyusul suaminya ke alam baka, setelah beberapa lama menderita
penyakit jantung. Margret dimakamkan di tempat yang sama dengan suaminya, di
halaman rumah peristirahatan mereka sendiri di Tugu, Cisarua, Bogor; atas
kehendak mereka berdua yang disampaikan kepada anak-anak mereka beberapa waktu
sebelum meninggal dunia. Suasana seperti itulah yang sulit ditemukan pada masa
sekarang. Di mana STA menulis, “saya lahir tanpa diminta. Jika tiba-tiba
saya mati, tak menyesal atau protes.
Sebelum ada saya, kehidupan ini dan abadi ini sudah ada. Begitupula setelah
saya mati, kehidupan akan berjalan terus”. (STA, 1999,131)
2.2. Keterlibatan
dengan Balai Pustaka
Di Bandung, STA
masuk sekolah guru dan berhasil menamatkan sekolahnya pada tahun 1928. setelah
itu ia diangkat menjadi guru dan ditempatkan di Palembang. pada waktu Surat
Keputusan pengangkatannya keluar, ia meminjam gajinya selama 3 bulan pertama
untuk membeli pakaian dan sepeda. hanya sebagian yang terpakai dan sisanya
dikirimkan kepada ibunya di Bengkulu. betapa hancur hatinya, ketika seorang
sepupu dari Bengkulu datang mengabarkan, bahwa ibunya telah meninggal dunia.
uang yang dikirimkannya digunakan untuk biaya pemakaman. Ia benar-benar
terpukul dan menangisi kepergian ibu sampai akhirnya ia terkena penyakit
jantung. cuti sakit selama 3 bulan di berikan oleh sekolah tempatnya mengajar
karena ia harus berobat ke Bandung. setelah 3 minggu dirawat di rumah sakit kesehatannya
mulai membaik. kesempatan ini dipergunakan oleh Takdir untuk menyelesaikan
roman yang sudah lama digarapnya, berjudul Tak Putus Dirundung Malang.
naskah tersebut kemudian diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Setelah lulus
dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte Cursus di
Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di
Hindia Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan
untuk Balai Pustaka, yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi
Belanda. Dia diterima setelah melamar, dan di dalam biro itulah STA bertemu
dengan banyak intelektual-intelektual Hindia Belanda pada saat itu, baik
intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah rekan
intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane. Takdir merasa, pekerjaan sebagai
seorang guru tidak cocok baginya karena ia tidak cukup memiliki kesabaran. ia
sering kali menampar murid-muridnya sehingga orang tua murid-murid tersebut
mengadu ke sebuah majalah. pada tajuk berita, ditulis tentang ulah Takdir
dengan judul 'Guru yang Ganas'. hingga Takdir memutuskan meninggalkan
pekerjaannya sebagai guru, dan pindah ke Balai Pustaka sebagai redaktur. ketika
berusia 20 tahun, STA berhasil menyelesaikan 3 buah roman masing-masing Dian
Yang Tak Kunjung Padam, Anak Perawan di Sarang Penyamun, dan Layar
Terkembang.
STA, menjadi
sala seorang yang mencintai bahasa Indonesia, hal tersebut dapat dilihat dari
karya-karya yang disumbangkannya. pada waktu Jepang berkuasa, STA dan sekretarisnya,
Suwandi, mendirikan Komisi Bahasa Indonesia. STA lah yang diangkat menjadi
sekretaris ahli. Dua tokoh pejuang yaitu Subadio Sasrosatomo dan Miriam
Budiardjo ikut bergabung. mereka resah dan khawatir memikirkan niat bangsa
Jepang yang pasti akan memaksakan pemakaian bahasa Jepang kepada Bangsa
Indonesia dan hal itu tentu harus dicegah sejak dini
2.3. Sutan Takdir
Alisjahbana dan Perkembangan Bahasa Indonesia
Dalam
kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama
pendudukan Jepang,Takdir melakukan modernisasi bahasa Indonesia sehingga dapat
menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali
menulis Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia,
buku mana masih dipakai sampai sekarang,serta Kamus Istilah yang berisi
istilah- istilah baru yang dibutuhkan oleh ingui baru yang ingin mengejar
modernisasi dalam berbagai bidang.
Setelah Kantor
Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan
bahasa Indonesia melalui majalah Pembina Bahasa yang diterbitkan dan
dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, Takdir adalah pencetus Kongres Bahasa
Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970 Takdir menjadi Ketua Gerakan Pembina
Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- Bahasa Asia tentang “The
Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967) Direktur
Cenfer for Malay Studies Universitas Malaya tahun 1060-1968
Karya
Sebagai penulis
Sebagai penulis
·
Tak
Putus Dirundung Malang (novel, 1929)
·
Dian
Tak Kunjung Padam (novel, 1932)
·
Tebaran
Mega (kumpulan sajak, 1935)
·
Tatabahasa
Baru Bahasa Indonesia (1936)
·
Layar
Terkembang (novel, 1936)
·
Anak
Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)
·
Puisi
Lama (bunga rampai, 1941)
·
Puisi
Baru (bunga rampai, 1946)
·
Pelangi
(bunga rampai, 1946)
·
Pembimbing
ke Filsafat (1946)
·
Dari
Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)
·
The
Indonesian language and literature (1962)
·
Revolusi
Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)
·
Kebangkitan
Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)
·
Grotta
Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)
·
Values
as integrating vorces in personality, society and culture (1974)
·
The
failure of modern linguistics (1976)
·
Perjuangan
dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)
·
Dari
Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai Bahasa
Modern (kumpulan esai, 1977)
·
Perkembangan
Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)
·
Lagu
Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)
·
Amir
Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)
·
Kalah
dan Menang (novel, 1978)
·
Menuju
Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)
·
Kelakuan
Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)
·
Sociocultural
creativity in the converging and restructuring process of the emerging world
(1983)
·
Kebangkitan:
Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (drama bersajak, 1984)
·
Perempuan
di Persimpangan Zaman (kumpulan sajak, 1985)
·
Seni
dan Sastra di Tengah-Tengah Pergolakan Masyarakat dan Kebudayaan (1985)
·
Sajak-Sajak
dan Renungan (1987).
Sebagai editor
·
Kreativitas
(kumpulan esai, 1984)
·
Dasar-Dasar
Kritis Semesta dan Tanggung Jawab Kita (kumpulan esai, 1984).
Sebagai
penerjemah
·
Nelayan
di Laut Utara (karya Pierre Loti, 1944)
·
Nikudan
Korban Manusia (karya Tadayoshi Sakurai; terjemahan bersama Soebadio
Sastrosatomo, 1944)
Buku tentang
Sutan Takdir Alisyahbana
·
Muhammmad
Fauzi, S. Takdir Alisjahbana & Perjuangan Kebudayaan Indonesia 1908-1994
(1999) * S. Abdul Karim Mashad Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan,
Menyongsong Satu Abad S. Takdir Alisjahbana (2006)
Penghargaan
·
Tahun
1970 STA menerima Satyalencana Kebudayaan dari Pemerintah RI.
·
STA
adalah pelopor dan tokoh sastrawan “Pujangga Baru”.
·
Doktor
Kehormatan dari School For Oriental And African Studies London 2 Mei 1990
·
DR.HC
dari Universitas Indonesia
·
DR.HC
dari Universitas Sains Malaysia (S.Abdul Karim Mashad,2006,xxviii)
Lain-lain
Kepada bangsanya STA mewariskan gagasan dan padangannya yang tertuang dalam ratusan karya berupa puisi, makalah, novel, buku, balai seni dan universitas. Inilah kematian yang menyimpan keabadian (STA,1999,133) dan banyak karya buku, roman, dan artikel yang tidak semua dapat penulis lampirkan dalam karya tulis ini.
Kepada bangsanya STA mewariskan gagasan dan padangannya yang tertuang dalam ratusan karya berupa puisi, makalah, novel, buku, balai seni dan universitas. Inilah kematian yang menyimpan keabadian (STA,1999,133) dan banyak karya buku, roman, dan artikel yang tidak semua dapat penulis lampirkan dalam karya tulis ini.
BAB
III
TINJAUAN
PUSTAKA
3.1. TEORI
NASIONALISME
Nasionalisme merupakan suatu paham
yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan
satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme sangat
dibutuhkan bagi seluruh warga negara Indonesia, karena paham inilah yang dapat
menjaga keutuhan negara. Rasa persatuan dan kesatuan hanya dapat terwujud
ketika seluruh masyarakat memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Tanpa memiliki
rasa etnosentris yang berlebihan yang dapat memicu perpecahan. Namun sifat
kedaerahan tersebut melebur menjadi satu di bawah payung nasionalisme.
Nasionalisme menurut A.Dahlan
Ranuwihadjo. Nasonalisme sebagai sikap mencintai dan mengabdi bangsa dan tanah
air, jika nasionalisme itu disebut secara umum saja, artinya tidak dikaitkan
kepada bangsa dan Negara tertentu. Dalam kata nasonalisme itu belumlah
terkandung warna dan substansinya. Nasionalisme dalam arti yang materiil, yaitu
yang menunjukkan warna dan substansinya, akan selalu terkait kepada sejarah,
budaya dan cita-cita setiap bangsa; di Eropa, nasionalisme Inggris berbeda dengan
nasionalisme Burma, di Afrika, di Asia, nasionalisme Jepang berbeda dengan
nasionalisme Mesir (A.D. Ranuwihadjo,2000,30).
Memahami apa yang uraikan oleh Ranuwihadjo, bahwa dalam
nasionalisme yang berkembang dalam suatu Negara tentunya memunyai warna dan
substansi nilai sejarah, budaya dan
cita-cita kebangsaannya. Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang
paling menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus
tahun terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari
pengaruh ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda
sama sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan
budaya globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang,
khususnya dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang
dengan sangat akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi
nasionalisme. Fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep
kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai
konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang
disebut sebagai ethnie suatu kelompok sosial yang diikat oleh atribut kultural
meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.
Stiven Grosby berpendapat, untuk
memahami bangsa dan nasionalisem perlu mempertimbangkan signifikasi kata-kata
tertentu yang dipakai secara meluas dalam proses dialektika sehari-hari,
seperti ibu pertiwi, fatherland dan tanah air. Masing-masing dari ketiga kata ini
merupakan kombinasi dari dua istilah. Kata pertama dan kedua masing-masing
mengombinasikan, istilah “ibu” dan “ayah”, di mana keduanya merujuk pada
relasional keturunan dari anak pada mereka yang secara langsung
bertanggungjawab untuk generasi biologisnya dengan istilah “tanah”, yang
menghantarkan imej wilayah yang luas tetapi memiliki batas. Kata ketiga, “tanah
air” mengombinasikan referensi pada kediaman keluarga dan wilayah terdekat di
mana dengan gambaran wilayah yang lebih luas. Kombinasi istilah ini
menyisyaratkan pengklasifikasian kekerabatan. Namun, ini adalah bentuk
kekerabatana yang mengitari di seputaran imej wilayah yang memiliki
perbatasan(Grosby,2010,74-45).
Nasionalisme merupakan suatu paham
yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan
satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme sangat
dibutuhkan bagi seluruh warga negara Indonesia, karena paham inilah yang dapat
menjaga keutuhan negara. Rasa persatuan dan kesatuan hanya dapat terwujud
ketika seluruh masyarakat memiliki rasa nasionalisme yang kuat. Tanpa memiliki
rasa etnosentris yang berlebihan yang dapat memicu perpecahan. Namun sifat
kedaerahan tersebut melebur menjadi satu di bawah payung nasionalisme.
Terdapat bermacam-macam definisi tentang nasionalisme dengan
sudut pandangan masing- asing. Misalnya Carlton J. H. Hayes berpendapat bahwa
nasionalisme adalah gabungan rasa kesetianan terhadap negara dengan kesadaran
kerakyatan (nationality). Pendapat lain yang mendukung argumentasi Carlton
adalah Hans Kohn, di mana menurut Kohn, nasionalisme
sebagai suatu keadaan atau pikiran yang mengembangkan keyakinan bahwa kesetiaan
terbesar harus diberikan kepada Negara. Kohn juga menegaskan bahwa kesetiaan
ini kemudian menjadi suatu keinginan dan sentimen yang berkembang melalui
berbagai pengalaman hidup masyarakat tertentu. Keinginan dan sentimen ini
menimbulkan gerak kesadaran bagi anggota masyarakat tersebut untuk
menyumbangkan jasa-jasa melalui aktivitas-aktivitas yang teratur dengan tujuan terkahirnya
untuk menegak sebuah negara berdaulat.
Memahami apa yagn dipaparkan Hayes dan Kohn, di mana,
nasionalisme merupakan suatu implementasi terhadap rasa cinta yang tergambarkan
dengan penyaluran rasa kesetiaan kepada bangsa dan Negara dengan berdasar pada
tindakan nyata ataupun perbuatan baik yang terhitung berjasa atau aktiviyas
yang positif demia dikhususkan kepada bangsa dan Negara dengan tujuan
pemersatuan bangsa yang berdaulat. Di sisi lain Ellie Kedourie menjelaskan
nahwa gerak kesadaran demikian lebih menitikberatkan penentuan hasil diri
sendiri, bangsa dan negara untuk mencapai kebebasan dan kesejahteraan serta
memupuk kepribadian sejati, yang timbul oleh adanya tekanan-tekanan sosial,
ekonomi, politik dan pengaruh asing (Kedourie,1966, 73).
Dengan demikian, nasionalisme dapat diterangkan sebagai
satupaham kebangsaan yang tumbuh karena adanya persamaan nasib dan sejarah
serta kepentingan untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa yang merdeka,
bersatu, berdaulat, demokratis dan maju di dalam satu kesatuan bangsa dan
negara serta cita-cita bersama guna mencapai dan memelihara identitas,
kemakmuran negara bangsa yang bersangkutan. Dapat dikatakan bahwa suatu
definisi atau konsep nasionalisme tidak dapat diterapkan untuk semua negara
bagi menguraikan gerakan nasionalisme masing-masing. Ini disebabkan karena
berbedanya pengalaman hidup yang menumbuhkan gerak kesadaran sesuatu masyarakat
ke arah penentuan nasibnya.
Kawasan Asia Tenggara khususnya yang pernah mengalami
jajahan kuasa asing mempunyai desakan kesadaran bangsa sebagai usaha melepaskan
diri darikeadaan yang menyengsarakan. Maka, dalam masyarakat di Asia Tenggara,
gerakan akibat tekanan-tekanan sosial, ekonomi, dan politik itu mulai terlihat
secara jelas dengan kemasukan kuasa-kuasa Barat, terutama pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20. Kalau ditinjau dari segi ini, perlu ditemukan satu
definisi nasionalisme yang berlainan dengan definisi umum bagi Indonesia, yang
walaupun terdiri dari begitu banyak suku bangsa dan mempunyai budaya daerah
masing-masing, tetapi bergabung dalam satu kasatuan geografik-politik. Ini
bermaksud bahwa selain gejala yang wujud sebagai gerakan mengutamakan
kepentingan suatu bangsa yang sudah ada – meskipun mungkin perlu dibangun,
diperkuat, dibebaskan dari kekuasaan atau pengaruh buruk kekuatan-kekuatan
asing – ada juga gejala-gejala lain, yaitu gejala pembentukan suatu bangsa
baru. Kaitan dengan perkembangan sejarah tersebut STA menguraikan pandangannya,
di mana STA mengingat dengan renungan Suta Sjahrir dari pembuangan yang
disampaikan kepadanya. Betapa Sjahrir mencintai bangsanya tetapi betapa ia
merasa asing dengan Borobudur dan sebagainya. Sjahrir mengimpikan Indonesia
seperti Faust yang selalu gelisah untuk mencapai sesuatu. Bertolak dengan kegelisahan
Sjahrir tersebut, STA melontarkan pernyataan yang keras tentang kebudayaan
Indonesia pra-Indonesia yang telah mati dengan sengaja STA sepertinya
meniadakan secara konseptual realitas yang sedungguhnya. Sejakk 1930-an
aktivitas kebudayaan adalah pengganti kegiatan politik setelah para tokoh utama
pergerakan dibuang dan ditangkap dan politik radilak terkena segala macam corak
hakistimewa dari Gubernur Jenderal (STA,2008,48).
Dengan meniadakan semua konsep realitas ini sesuatu yang
juga diingat bahwa sesungguhnya STA ingin meletakkan landasan cultural
Indonesia yang baru, yang terlepas dari pengaruh masa lalu Indonesia yang
terfragmentasi. Kalau yang lama itu masih dianggap sebagai kekuatan yang
relevan. Tentu STA juga seakan-akan mengatakan sesauatu hal yang baru,
integrative dan progresif, hanya mungkin dibangun jika keterikatan kepada yang
lama itu telah putus. STA tak ingin keragu-raguan dalam belenggu menjadi gaya
hidup manusia modern Indonesia. Dasar kegelisahan STA dan Sjahrir pada
prinsipnya bertumpu pada soal kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang
mana dikuasai oleh dunia Barat dan keserakahannya tentu membuat Indonesia tidak
berdaya dengan kebudayaan tradisional untuk melangkah ke dunia modern.
Dengan gagasan inilah STA membawa kebudayaan Indonesia
sejalan dan setingkat dengan lapis-lapis sejarah yang telah dilaluinya, dan
dipahami sebagai kebudayaan asli. Menurut STA, bukan semata akronim, tetapi
juga ketakukan untuk masuk dunia modern. Tetapi dengan kebudayaan asli yang
terdapat di kepulauan Indonesia ini tentunya dating bersamaan dengan kebudayaan
Hindu-Budha, yang memperkenalkan agama dan sistem kerajaan. Kemudian dating
kebudayaan islam, yan gmengajarkan konsep akan Keesaan Allah yang mutlak, dan
akhirnya dating kebudayaan Barat. Berbeda dengan kedua yang pertama, Islam
mempunyai kedekatan dengan Barat, karena kedua-duanya berangkat dari sistem
rasionalitas yang sama. Namun Barat berhasil melanjutkannya pada penguasaan
pengetahuan dan tekhnologi. Islam dan Baratbukan yang bertentangan tetapi
berbeda tekanan. Dengan kata lain, seseorang tetap Islam, tetapi dengan
orientasi Barat. Karena kebudayaan inilah yang praktis telah mempersatukan
dunia. (STA,2008,49).
Senada dengan uraian di atas, Anderson mendefinesikan bahwa
bangsa dapat dimengerti sebagai suatu komunitas yang dibayangkan sekaligus
sebagai terbatas maupun berdaulat. Anderson menguraikan juga bahwa bangsa itu
dibayangkan karena anggotanya tidak akan pernah mengenal satu dengan yang lain,
tetapi dalam benak tiap anggota itu, hidup satu bayangan mengenai keterkaitan
antara mereka. Selanjutnya, bangsa itu dibayangkan sebagai terbatas, karena
pasti ada perbatasan dengan bangsa-bangsa lain, dan sebagai berdaulat, karena
negara yang adalah lambang kebebasan yang diimpikan setiap bangsa. Selain itu,
menurut Anderson, bangsa itu dibayangkan sebagai satu komunitas karena, lepas
dari ketidakadilan dan penindasan yang mungkin secara nyata ada, bangsa selalu
dibayangkan sebagai persaudaraan yang horizontal dan mendalam. (Anderson 1986:
15-16).
Anderson menawarkan bahwa nasionalisme hanya dapat dipahami
dengan menghubungkannya dengan kemerosotan sistem-sistem budaya besar yang
mendahuluinya – dan dua sistem budaya besar yang relevan menurutnya adalah
komunitas agama dan kuasa dinasti hirarkis dengan penguasa yang berwahyu
sebagai puncaknya. Menurut Anderson, perlahan-lahan sejak abad ke-17 dan ke-18,
kedua sistem ini mengalami kemerosotan. Kemerosotan keduanya menjadi penting
bagi perkembangan bayangan tentang bangsa, karena mereka menanamkan manusia
dalam keberaturan yang ada, dengan memebrikan makna kepada berbagai penderitaan
duniawi, dan dalam berbagai cara, menawarkan penyelamatan dari penderitaan itu.
Selain itu, dia berpendapat bahwa satu hal yang telah memungkinkan bayangan
tentang bangsa itu adalah perubahan dalam gagasan tentang keserentakan.
Anderson menerangkan bahwa gagasan waktu seperti ini
terkandung jelas dalam bentuk buku atau novel modern, dan lebih jauh lagi,
dalam surtatkabar. Oleh karena itu, perkembangan kapitalisme cetak-mencetak
merupakan faktor yang sangat menentukan, karena memungkinkan orang untuk
berpikirtentang dirinya sendiri, dan dalam hubungan dengan orang lain, menurut
cara-cara yang sama sekali baru. Lebih jauh lagi, kapitalisme cetak-mencetak
ini mendorong kemerosotan ‘bahasa-bahasa kebenaran’ seperti bahasa Latin,
karena logika kapitalisme menuntut pencetakan buku-buku dalam bahasa-bahasa
rakyat, setelah pasar untuk buku-buku bahasa Latin menjadi jenuh karena memang
secara inheren terbatas. Oleh karena itu, berkembanglah secara perlahan
‘bahasa-bahasa cetak mencetak’,yang timbul dari berbagai bahasa rakyat
sehari-hari yang ada, melalui suatu proses yang alamiah dan arbitrer.
(Anderson1986,19).
Sedangkan John Hutchinson berpendapat bahwa, nasionalisme
lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia
berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme
bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat
superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi
oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan.
Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan
kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan
kesamaan budaya. Senada dengan Hutchinson. STA menggambarkan bahwa semangat
Indonesia, konsep kunci pemikirannya tentang kebudayaan Indonesia, mempunyai
tiga aspek. Pertama, berkaitan dengan nasionalisme, aspek kedua berkaitan
dengan semangat Barat dan aspek ketiga berkaitan dengan semangat universal.
Pemikiran STA tentang semangat Indonesia ini sering beralih
satu akspek ke aspek yang lain, sejalan dengan peralihan penjelasan tentang
Semangat Indonesia ini. Pemikiran STA tentang kebudayaan Indonesia pun
berkembang, mulai dari mengingkari dan memisahkan diri dari tradisi, lalu
menitu Barat atau membaratkan diri, kemudian meningkatkan sampai ke tahap
universal. Pemikiran STA ini dibina dengan bertujuan untuk menanggulangi
tantangan abad ke-20 Indonesia. Tantangan ini meliputi kepentingan untuk
menghindari dari kerangka tradisi yang berbau provinsialisme, yang mungkin
menghambat persatuan dan kemajuan bangsa dan Negara: kebutuhan untuk memperoleh
tenaga dunia Barat baik di bidang material maupun bidang spiritual; dan
keperluan untuk mencari kepribadian budaya yang dapat member kebanggan kepada
bangsa dan Negara (STA, 2008,39-40)
3.2. BENTUK-BENTUK NASIONALISME
Berikut ini ada beberapa bentuk
nasionalisme yang berkembang di dunia, diantaranya nasionalisme Etnis,
Nasionalisme Budaya, Nasionalisme Agama, Nasionalisme Barat dan nasionalisme
Indonesia. Pertama, Nasionalisme
Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik
dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johan Gottfried
von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk “rakyat”). Kepada
perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik kisah tradisi yang
telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya “Grimm Bersaudara”
yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan
etnis Jerman.
Kedua, Nasionalisme
Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik
dari budaya bersama dan bukannya “sifat keturunan” seperti warna kulit, ras,
dan sebagainya. Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme
kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan
nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak
universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan
berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah
’national state’ adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk
kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri.
Nasionalisme
memiliki kapasitas memobilisasi massa melalui janji-janji kemajuan yang
merupakan teleologi modernitas. Nasionalisme dibentuk oleh kematerian
industrialisme yang membawa perubahan sosial dan budaya dalam masyarakat.
Nasionalismelah yang melahirkan bangsa. Nasionalisme lebih merupakan sebuah
fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan
budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan
politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis
pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis
identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme
adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam
membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya. Contoh biasa adalah
Nazisme, serta nasionalime Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih
kecil, Fransquisme sayap kanan di Spanyol, serta sikap ’Jacobin’ terhadap
unitaris dan golongan pemusat negeri Prancis, seperti juga nasionalisme
masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraann
(equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque
atau Korsika.
Tiga, Nasionalisme
agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik
dari persamaan agama. Nasionalisme merupakan sebuah penemuan sosial yang paling
menakjubkan dalam perjalanan sejarah manusia, paling tidak dalam seratus tahun
terakhir. Tak ada satu pun ruang sosial di muka bumi yang lepas dari pengaruh
ideologi ini. Tanpa nasionalisme, lajur sejarah manusia akan berbeda sama
sekali. Berakhirnya perang dingin dan semakin merebaknya gagasan dan budaya
globalisme (internasionalisme) pada dekade 1990-an hingga sekarang, khususnya
dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang dengan sangat
akseleratif, tidak dengan serta-merta membawa lagu kematian bagi nasionalisme. Zernatto
(1944), kata nation berasal dari kata Latin natio yang berakar pada kata nascor
’saya lahir’. Selama Kekaisaran Romawi, kata natio secara peyoratif dipakai
untuk mengolok-olok orang asing. Kaca mata etnonasionalisme ini berangkat dari
asumsi bahwa fenomena nasionalisme telah eksis sejak manusia mengenal konsep
kekerabatan biologis. Dalam sudut pandang ini, nasionalisme dilihat sebagai
konsep yang alamiah berakar pada setiap kelompok masyarakat masa lampau yang
disebut sebagai ethnie (Anthony Smith, 1986), suatu kelompok sosial yang diikat
oleh atribut kultural meliputi memori kolektif, nilai, mitos, dan simbolisme.
Keempat, Nasionalisme
Barat bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan budaya
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan
industrialisme. Namun, Partha Chatterjee memecahkan dilema nasionalisme
antikolonialisme ini dengan memisahkan dunia materi dan dunia spirit yang
membentuk institusi dan praktik sosial masyarakat pascakolonial. Dunia materi
adalah "dunia luar" meliputi ekonomi, tata negara, serta sains dan
teknologi. Konsep-konsep Barat yang secara retoris direpresentasikan sesuatu
yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati
konsep gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila,
tetapi jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme.
Kelima,
Nasionalisme Indonesia. yang
dimaksudkan oleh STA, adalah persatuan yang mampu mengatasi provinsialisme dan
suku bangsa-isme yang mendahulukan kepentingan daerah dan suku bangsa daripada
kepentingan seluruh Indonesia dan seluruh bangsa. Nasionalisme adalah suatu
kesadaran sebagai bangsa yang disertai oleh hasrat untuk memelihara,
melestarikan dan mengajukan identitas, integritas, serta ketangguhan bangsa(
STA: 2008,32) .
Dalam konteks untuk memahami semangat nasionalisme yang
diuraikan oleh STA, George Mc Turnan Kahin, menguraikan pandangannya, di mana
untuk memahmai Nasionalisme Indonesia ada hal yang perlu diketahui dari
beberapa ciri penting dari lingkungan
sosial yang kemudian memunculkan semangat Nasionalisme Indonesia guna mamahami
karakter semangat nasionalisme Indonesia maupun revolusi sebagai kelanjutannya.
Alam penjajahan abad ke-20 yang melahirkan tahapan nasionalisme Indonesia yang
modern, jelas dan kongkrit menurut analisis secara menyeluruh. Namun
nasionalisme Indonesia mutakhir terutama berakar dari kondisi abad ke-20,
sebagai akar terpenting justru menjalar ke dalam lapisan sejarah yang jauh
lebih tua. (George Mc Turnan Kahin, 2013,1)
BAB
IV
GAGASAN
STA TENTANG NASIONALISME
4.1.
NASIONALISME INDONESIA DALAM PEMIKIRAN
STA
Kaum intelek Indonesia yang sejak tahun 1908 dengan pelbagai
cara telah berusaha mendirikan organisasi-organisasi bagi mempengaruhi rakyat
agar mereka bangun dan maju, lambat laun mereka menyadari bahwa tidak akan
dapat berhubungan rapat dengan seluruh rakyat melalui perantaraan bahasa
Belanda. Ini disebabkan karena bahasa Belanda itu hanya dapat dipahami oleh
sejumlah yang kecil dari bangsa Indonesia. Berdasarkan keyakinan bahwa hanya
penyatuan bangsa Indonesia seluruhnya yang dapat mewujudkan suatu tenaga besar
untuk menentang kuasa penjajahan, maka dengan sendirinya mereka berusaha
mencari satu bahasa yang dapat dipahami bagian rakyat yang terbesar, yaitu
bahasa Melayu (STA,1956,14-15).
Dialektika ini
menyegarkan pemikiran Takdir yang kemudian melihat filsafat sebagai upaya untuk
membawa manusia keluar dari keterancaman akibat hasil kemajuannya sendiri
karena filsafat bebas dari kepentingan dan segala keterikatan yang dapat
membuatnya tidak lagi mengabdi pada satu-satunya tujuan, yaitu kebenaran.
Sebagai upaya berpikir guna mencari kebenaran yang terakhir, telah selayaknya
berfilsafat itu menghendaki penyelidikan yang bebas, yang jauh dari sikap
dogmatis. Bagi STA, semua hal dapat dibawa ke gelanggang pikiran dan
penyelidikan. Selain itu, kebebasan itu
pun berarti bebas dari maksud yang tersembunyi, yang terletak di luar filsafat.
Waktu berfilsafat itu, meskipun barangkali untuk sementara, harus dikeluarkan
segala keinginan akan kekuasaan, akan kemenangan, akan kemegahan, akan
kekayaan. Sehingga optimisme tidak lagi dilihat sebagai suatu ketidakberanian
tetapi suatu keberanian untuk mempersoalkan pelbagai situasi pelik yang terjadi
dalam ranah kehidupan kita. Optimisme hendaklah membentuk kesadaran pemimpin
dan masyarakat untuk siap digembleng dalam pelbagai sistem yang mengatur
kehidupan kita.
Dalam
upaya untuk mendorong semangat nasionalisme Indonesia, STA tentunya selalu
mempunyai ide, rencana baru, dinamika, dan inisiatif yang mencerahkan. STA memiliki
gagasan cerdas jauh ke masa depan, mempunyai idealisme untuk membangun negara Indonesia
ini ke arah yang kondusif. Idealisme STA adalah idealisme ke Indonesiaan dan
pemikirannya masih tetap actual. Pemikiran dan sikap filosofisnya yang tulus,
optimismenya akan masa depan, semangat intelektual, penegasan akan pentingnya
keberanian untuk berpikir rasional, keterbukaannya pada cakrawala kemanusiaan
yang melampaui segala kebobrokan yang terjadi, dan pengabdiannya akan kebenaran
adalah nilai-nilai warisannya yang harus menjiwai kepemimpinan segala masa.
STA
menguraikan semangat Revolusi Nasional di masa pendudukan Jepang, mendorong dia
akan masalah kebudayaan nasional di mana tidak semata dapat diselesaikan semata
dengan semboyan yang tegas ataupun dengan memperbanyak penciptaan keseian yang
baru, bahkan juga bisa hanya dengan melakukan usaha perjuangan bahasa belaka.
STA dalam bentuk kongkrit mengadakan
studi yang kian mendalam tentang sistem dan dinamika kebudayaan. Dan akhirnya
STA melahirkan teori tentang kebudayaan dan dirumuskan dalam sebuah karya yang
sangat padat, bukan saja dalam pemikiran tetapi juga dalam dialog dengan para
ilmuwan dan ahli filsafat. Seiring perjalanannya waktu, STA semakin mengimpikan
terwujudnya Kesatuan Budaya yang universal. Di mana Globalisasi masih belum
merupakan wacana umum seperti halnya sekarang, tetapi STA telah melihat betapa
dunia modern telah semakin meniadakan perbedaan. STA, membayangkan bahwa pada
waktunya nanti Asia akan menjadi bagian dari nilai dunia. Tetapi sekarang
intelektual Asia mengahadpi krisis, pertama ia akan memasuki dunia cosmopolitan
dengan kesadaran bahwa ia berasal dari negeri yang masih berpegang pada nilai
lama dan ketika ia pun sadar pula bahwa dunia ini sedang krissi, karena
menaiknya sekularisme, skeptisme dan relativisme. Maka dengan begitu bisalah
dimaklumi kalau STA merasakan dengan sangat keras krisis yang sedang melanda
dunia. (STA,2008,49)
4.2. ANALISIS
Nasionalisme
merupakan satu sikap kebangsaan dan kecintaan yang ditunjukkan oleh setiap
individu adatu warga suatu bangsa terhadap identias kebangsaannya dengan secara
langsung dan tidak langsung dalam kehidupan sehari-hari. Nasionalisme menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa
yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan
mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu. Melihat dari definisi tentang nasionalisme di
atas sudah selayaknya rasa nasionalisme itu dipertahankan dalam jiwa dan raga warga
negara Indonesia demi menciptakan kebanggaan terhadap bangsa dan negeri ini dan
tentunya untuk mengantisipasi serangan pihak asing yang berusaha menguasai
bangsa ini.
Namun, nasionalisme
dewasa ini dapat dilihat ruhnya ketika kebudayaan Indonesia diklaim oleh pihak
asing, lalu memicu semangat untuk menyelamatkan kebudayaan yang ada. Akan tetapi bila setelah itu semua usai, rasa
nasionalisme kembali menurun bahkan seakan malas untuk mengaplikasikan
kebudayaan itu dalam kehidupan sehari-hari. Kasus semacam ini seakan menjadi
persoalan yang memicul perdebatan kritis tentang mengapa hilangnya rasa
nasionalisme dan sejauhmana pentingnya nasionalisme yang menjadi harapan untuk membawa
bangsa ini kearah yang jauh lebih baik dan tentunya tidak selalu terpengaruh
dengan kebudayaan asing yang justru dapat menjatuhkan bangsa Indonesia ke
tangan asing.
Persoalan
nasionalisme tentu bukan masalah baru dalam perkembangan sejarah Indonesia
bahkan dalam perkembangan sejarah dunia.
Dan perkembangan nasionalisme suatu bangsa tentunya berkolerasi dengan
perkembangan kebudayaan suatu bangsa itu sendiri. Di mana, perubahan kebudayaan
yang melahirkan kemanjuan tekhnologi, menurut STA merupakan zaman Poros Sejarah
yang baru, yang jauh lebih besar dari poros sejarah sekitar abad ke-5 SM. Sebab
dengan kapal terbang pada zaman saat ini telah lebih cepat dari suara, segala
bagian dunia dapat dicapai dalam beberapa jam atau beberapa hari. Dan kecepatan
ini masih terus bertambah dalam dasawarsa yang akan dating. Jelas, kapal terbang membawa perubahan hidup
baru dan dunia baru sebagai dasar awal kebudayaan baru. (STA. 1988.49)
Pada abad
ke-20 M, pengertian kebudayaan selalu dikaitkan dengan kemajuan, demokrasi dan
pengetahuan manusia dalam berbagai bidang seperti bahasa, sastra, seni rupa,
musik, industri hiburan, perdagangan, falsafah dan lain-lain. Semua bentuk dan
perwujudan ekspresi manusia (etika, estetika, intelektualitas dll) menjadikan
manusia lebih bermartabat dan berdaulat atas nasib dan hidupnya. Di sini
kebudayaan dikaitkan dengan kondisi ideal dan nyata yang digerakkan oleh
seperangkat pandangan hidup dan sistem yang mampu menghargai kemajemukan,
perbedaan pendapat, keadilan dan hak asasi manusia. Dengan perangkat-perangkat
ini perdamaian, kemajuan dan kebahagiaan bisa dicapai. Dan dengan
kondisi-kondisi seperti itu pula bangsa Indonesia mampu meningkatkan kehidupan
dan nilai-nilainya, serta mengembangkan ilmu pengetahuan, falsafah, agama,
bahasa, seni dan kesusastraan.
STA
membicarakan kebudayaan yang melahirkan semangat nasionalisme dengan bertolak
dari falsafah dan sejarah. Dan kemudian meletakkan pemikirannya dalam konteks
perjuangan bangsa Indonesia yang sedang berusaha membangun kebudayaan baru yang
bercorak nasional dan kedaerahan. Dalam
hal ini Kebudayaan Indonesia yang dicita-citakan STA bukanlah himpunan dari
puncak-puncak kebudayaan daerah, tetapi suatu kebudayaan modern yang mampu
menjadikan bangsa Indonesia dapat bersaing dengan bangsa-bangsa lain yang telah
maju dan memiliki kebudayaan tinggi.
Menurut STA,
sebagai dampak dari penjajahan selama lebih dua ratus tahun, kedudukan bangsa
Indonesia menjadi kian terpuruk, miskin dan terbelakang di tengah-tengah bangsa
lain yang jauh lebih maju dan makmur seperti bangsa-bangsa Eropa dan Jepang.
Dari hal inilah, semangat nasionalisme yang berangkat nilai-nilai kebudayaan
kedaerahaan perlu dipadukan menjadi nasionlisme seluruh bangsa Indonesia.
Dengan secara langsung Indonesia dapat menuju kebudayaan modern yang lebih dulu
dicapai bangsa lain di dunia.
Untuk
mendorong bangsa ini bangkit, kondisi kebudayaannya yang menyedihkan tersebut,
tentunya perlu diperbaiki dengan melakukan perubahan dan pembaruan
besar-besaran dalam semangat kebudayaan baru yang mengedepankan moderniasi di
berbagai bidang, termasuk penguasaan atas tekhnologi dan meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia yang baik dengan mendirikan lembaga pendidikan serta
pusat kebudayaan, sehingga dapat mendorong semangat nasionalisme Indonesia yang
bersumber pada semangat nusantara. Dalam rangka inilah STA mengembangkan teori
dan pemikiran kebudayaannya. STA sendiri berharap pemikiran dapat dijadikan
panduan dalam melakukan transformasi budaya. STA percaya bahwa hanya dengan
mengubah kebudayaannya, bangsa Indonesia dapat bangkit dari keadaannya yang
terpuruk. Konsep kebudayaan yang diperlukan ialah konsep yang dinamis.
Untuk itu STA
harus berfalsafah kembali tentang manusia sebagai makhluk yang mencipta
kebudayaan dan sebagai makhluk yang yang sepanjang sejarahnya hidup dalam
berbagai kebudayaan yang selalu berubah. Karena disisi lain dengan kemajuan
teknologi seperti alat-alat komunikasi elektronik dewasa ini dari bagian dunia
dapat dicapai dalam menit dan detik, sehingga sesungguhnya dnuia telah sangat
mengecil dan manusia telah bersatu, setiap hari dengan radio, TV, surat kabar,
telepon, manusia telah telah berhubungan dengan segala bangsa dan mengetahui
segala yang terjadi di dunia, sekaliannya ini dapat mempengaruhi jiwa dan
kehidupan manusia dan sesungguhnya umat manusia sekarang ini berada dalam
krisis transformasi masyarakat dan kebudayaan seperti belum pernah dialami
manusia dalam sejarah sebelumnya. (STA, 1988.49)
Menurut STA
perkataan budaya/kebudayaan dalam bahasa Indonesia/Melayu sangat tepat oleh
karena menghubungkan budaya dengan budi, karena kata-kata, budaya dibentuk dari
kata budi dan daya. Kata-kata budi berarti pikiran, kesadaran disebabkan
seseorang berpikir, sedang kata daya artinya ialah kekuatan untuk menghasilkan
atau mencapai sesuatu. Jadi kata budaya atau kebudayaan bisa diartikan pula
sebagai sebuah kemampuan menggunakan pikiran untuk menghasilkan atau
menjelmakan nilai-nilai yang baik yang dapat memajukan kehidupan.
Kebudayaan
Indonesia adalah serba tanggung. Kebudayaan yang tinggi ilmu pengetahuan dan
tehnologinya, rakyatnya makmur, masih belum dapat dicapai, sedang kebudayaan gotong
royong dan spiritualitas lama, serta moral bangsa Indonesia telah runtuh
seruntuh-runtuhnya. Kepada siapa lagi kita akan bersandar. Dalam kehidupan seni
dan amalan agama juga tampak berbagai kelemahan. Kebudayaan nasional atau
kebudayaan Indonesia mestinya merupakan penjelmaan dari kebudayaan modern yang
dikuasai oleh ilmu dan ekonomi sehingga melahirkan tehnologi dan tingkat
kecakapan dan kecerdasan yang dapat mengantarkan bangsa Indonesia maju. STA
menyebut pusat-pusat penting peradaban seperti universitas, bank, pasar, pusat
kekuasaan dan pusat-pusat kebudayaan. Pusat-pusat peradaban ini harus memainkan
peranan penting dalam penyebaran nilai-nilai kebudayaan modern. Untuk itu
bangsa Indonesia harus memiliki etika dan etos kerja yang mantap. Jika, tidak
ia akan tinggal sebagai bangsa paria di tengah bangsa-bangsa lain yang telah
maju.
Dari
pernyataannya ini kita dapat memahami mengapa STA tidak mau menerima pengertian
kebudayaan nasional seperti dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, yang kemudian
dituangkan dalam UUD 45, bahwa ”Kebudayaan nasional ialah puncak-puncak
kebudayaan daerah”. Pertama, menurut pendapat saya, kata-kata ’puncak
kebudayaan daerah’ bisa ditafsirkan secara ahistoris dan sempit yaitu
kebudayaan daerah yang pada abad ke-20 M masih tampak mewarisi monumen-monumen
besar dan seni adiluhung. Jika itu yang dimaksud maka yang menghasilkan
puncak-puncak kebudayaan hanyalah Jawa yang memiliki Borobudur, Lorojonggrang
dan wayang kulit, serta berbagai bentuk seni pertunjukan yang terpelihara disebabkan
eksistensi kraton.
Menurut STA,
dengan tradisi kecil ialah budaya-budaya lokal yang kelihatannya sangat
anekaragam itu, tetapi jiwa yang ikut membentuk dan mengikatnya tidak banyak
yaitu dua tradisi besar yang disebut kebudayaan Hindu-Buddha dan Islam.
Kenakeragaman budaya seperti diekspresikan oleh masyarakat tradisional Aceh,
Bugis, Madura, Minangkabau, Melayu, Bima, Banjar, Sunda, Jawa Pesisir, dan
lain-lain sebenarnya hanya penampakan lahirnya. Struktur batin atau intuitif
dari budaya-budaya itu ialah Islam, dengan sedikit unsur-unsur Hindu atau
pra-Hindu. Di lubuk kebudayaan Jawa adalah dua tradisi besar, yaitu Hindu dan
Islam. Tetapi berbagai faktor internal seperti runtuhnya pusat kekuasaan Hindu
pada abad ke-15 M dalam kaitannya dengan kebudayaan Jawa, proses ortodoksi dan
hadirnya kolonialisme dalam kaitannya dengan Islam, telah mengakibatkan
runtuhnya sendi-sendi tradisi besar itu dan mengakibatkan terserak-serak
menjadi tradisi-tradisi kecil yang kehilangan dinamika dan landasan intelektual.
Pada masanya
ketika komunitas-komunitas sukubangsa besar Nusantara ini masih merupakan
pendukung utama tradisi-tradisi besar, mereka ini menjadi komunitas bangsa yang
kreatif dan maju, meskipun struktur masyarakatnya masih bersifat feodal.
Dinasti Syeilendra di Jawa Tengah misalnya, dapat menghasilkan Borobudur dan
Mendut, dinasti Sanjaya melahirkan candi Lorojonggrang di Prambanan,
kerajaan-kerajaan di Jawa Timur seperti Kediri, Singasari dan Majapahit
melahirkan sastra kakawin dan candi-candi yang nilai seninya menakjubkan. Namun
setelah itu, tradisi intelektual Hindu seperti tercermin dalam falsafah
Vedanta, Nyaya dan Waisesika, ikut lenyap bersama berlalunya waktu. Dan dari
budaya suku bangsa nusantara inilah tentu menjadi nilai budaya yang membanggakan
sehingga tetap menjadi mercusuar baru dalam mewujudkan cita-cita nasionalisme
Indonesia yang dicita-citakan pada masa mendatang dengan berlajar dari
perkembangan teknologi dari barat, sebab bangsa barat jauh lebih matang dan
semua membuat bangsa kita bangsa yang besar dari segala zaman. (STA, 1988,126)
BABA
V.
KESIMPULAN
Nasionalisme Indoneisa pada prinsipnya bertumpu pada soal
kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, yang mana dikuasai oleh dunia Barat
dan keserakahannya tentu membuat Indonesia tidak berdaya dengan kebudayaan
tradisional untuk melangkah ke dunia modern. Dengan mempelajari apa yang disumbangsikan
barat pada dunia. Melalui moderniasi yang bergulir di Eropa sejak zaman renaissance
sesungguhnya menginspirasi STA untuk mewujudkan semangat nasionalisme Indonesia
dengan mempelajari apa yang ada dari barat dan dimasukkan dalam nilai-nilai luhur
keindonesiaan.
Dengan gagasan dan pemikiran inilah STA membawa kebudayaan
Indonesia sejalan dan setingkat dengan lapis-lapis sejarah yang telah
dilaluinya, dan dipahami sebagai kebudayaan asli. Menurut STA, bukan semata
akronim, tetapi juga ketakukan untuk masuk dunia modern. Tetapi dengan
kebudayaan asli yang terdapat di kepulauan Indonesia ini tentunya dating
bersamaan dengan kebudayaan Hindu-Budha, yang memperkenalkan agama dan sistem kerajaan.
Kemudian dating kebudayaan islam, yang mengajarkan konsep akan Keesaan Allah
yang mutlak, dan akhirnya dating kebudayaan Barat. Berbeda dengan kedua yang
pertama, Islam mempunyai kedekatan dengan Barat, karena kedua-duanya berangkat
dari sistem rasionalitas yang sama. Namun Barat berhasil melanjutkannya pada
penguasaan pengetahuan dan tekhnologi. Islam dan Baratbukan yang bertentangan
tetapi berbeda tekanan. Dengan kata lain, seseorang tetap Islam, tetapi dengan
orientasi Barat. Karena kebudayaan inilah yang praktis telah mempersatukan
dunia.
Nasionalisme Indonesia dalam Pemikiran STA ini tentunya bertujuan
untuk menanggulangi tantangan abad ke-20 Indonesia. Tantangan ini meliputi
kepentingan untuk menghindari dari kerangka tradisi yang berbau provinsialisme,
yang mungkin menghambat persatuan dan kemajuan bangsa dan Negara: kebutuhan
untuk memperoleh tenaga dunia Barat baik di bidang material maupun bidang
spiritual; dan keperluan untuk mencari kepribadian budaya yang dapat memberi
kebanggan kepada bangsa dan Negara pada masa dmendatang.
DAFTAR
PUSTAKA
George Mc Turnan Kahin.
Nasionalisme dan Revolusi Indonesia.
(Depok:Komunitas bambu. 2013)
Sutan Takdir
Alisjahbana, Manusia Renaissance,
Relevansi Pemikiran STA. Jakarta: PT. Dian Rakyat. 2008
S. Abdul Karim Mashad. Sang Pujangga, 70 Tahun Polemik Kebudayaan.
Menyongsong satu Abad Sutna Takdir ALisjahbana ( Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006)
Abuhasan Asy’ari. Sutan Takdir Alisjahbana Dalam Kenangan.
(Jakarta: PT. Dian Rakyat.2008)
Sutan Takdir
Alisjahbana, Sejarah Kebudayaan Indonesia
dilihat dari Segi Nilai-nilai. (Jakarta:PT.Dian Rakyat.82)
Sutan Takdir
Alisjahbana. Perjuangan Kebudayaan
Indonesia. (Jakarta: PT. Dian Rakyat.1999).
Sutan Takdir
Alisjahbana, Revolusi Masyarakat dan
Kebudayaan Indonesia. (PT. Dian Rakyat.1988)
Sutan Takdir
Alisjahbana, Perjuangan Tanggungjawab
dalam Kesusastraan.( Jakarta: Pustaka jaya1984)
Sutan Takdir
Alisjahbana, Perjuangan Sebagai Perjuangan
Perkenalan dengan Pemikiran Sutan Takdir Alisjhabana ( Jakarta: Pustaka jaya1988)
Anderson, B. Gambaran
Komunitas. Refleksi pada
Keaslian dan Penyebaran
Nasionalisme. (Edisi ke-2. London: Verso.1983)
Steven Grosby, Nasionalisme,
Makna Bangsa dan tanah air Di Antara Konflik dan Integrasi.(Surabaya, Pemeriksa
Aksara. 2010)
A.D. Ranuwihadjo,Nasionalisme Indonesia.Tantangan dan Reaktualisasi
(Jakarta: Unas Press. 2000,30).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar