Laman

Senin, 30 Mei 2016

TAHAPAN EKONOMI POLITIK KAJIAN TERHADAP TEORI WALT WHITMAN. ROSTOW



TAHAPAN EKONOMI POLITIK
KAJIAN TERHADAP TEORI  WALT WHITMAN. ROSTOW
OLEH: KAMARUDDIN SALIM
A.                Latar Belakang

Teori modernisasi lahir di tahun 1950-an di Amerika Serikat, dan merupakan respon kaum intelektual terhadap Perang Dunia yang bagi penganut evolusi dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan. Moderniasi menjadi penemuan teori yang terpenting dari perjalanan kapitalisme yang panjang dibawah kepemimpinan Amerika Serikat. Teori ini lahir dalam suasana ketika dunia memasuki Perang Dingin, antara Negara Sosialis Uni Soviet Rusia (USSR). Perang dingin merupakan bentuk peperangan ideologi dan teori antara kapitalisme dan sosialisme. Sementara itu gerakan sosialisme Rusia mulai mengembangkan pengaruhnya tidak semata di Eropa Timur, melainkan juga di negara-negara yang baru meredeka. Dengan demikian dalam konteks Perang Dingin tersebut, teori moderniasi terlibat dalam peperangan ideologi.
Teori moderniasi dan pembangunan yang pada dasarnya merupakan sebuah gagasan tentang perubahan sosial dalam perjalanannya telah menjadi sebuah ideologi. Perkembangan ini adalah akibat dari dukungan dana dan politik yang luar biasa besarnya dari pemerintah dan organisasi maupun perusahan swasta di Amerika Serikat serta negara-negara liberal lainnya. Semua itu menjadikan moderniasi dan pembangunan sebagai suatu gerakan ilmuwan antardisiplin ilmu-ilmu sosial di Dunia Ketiga menjadi sangat berpengaruh. Akibatnya menjadikan teori moderniasi tidak hanya sekedar merupakan industri yang sedang tumbuh, tetapi menjadi sebuah aliran pemikiran            (a school of thought), bahkan telah menjadi sebuah ideologi. Pengaruh moderniasi di negara Dunia Ketiga sangat luas, tidak semata pada kalangan akademis di Perguruan Tinggi, tetapi juga di kalangan birokrasi yakni pada perencana dan pelaksana program pembangunan di negara-negara Dunia Ketiga. Bahkan moderniasi juga sangat mempengaruhi banyak pemikiran kalangan organisasi nonpemerintah[1].
Untuk membangun masyarakat ini diperlukan bantuan dari luar. Dan pihak yang mampu memberikan bantuan tidak lain adalah mereka yang lebih dulu mencapai kemajuan. Masyarakat  Barat dianggap mampu memberikan bantuan yang yang dibutuhkan masyarakat Timur, baik itu bantuan uang maupun transfer mentalitas, untuk maju. Teori modernisasi, dengan demikian memberikan ruang yang luas bagi apa yang disebut sebagai bantuan luar negeri.
Penyaluaran luar negeri tidak lain diberikan kepada pemerintah negara-negara berkembang. Teori Moderniasi memang tidak lepas dari pengaruh pemikiran Keynes. Keynes menitiberatkan peran pemerintah dalam menggerakkan perekonomian. John Maynard Keynes adalah ekonom Inggris yang hidup di masa Depresi Besar pada masa antara Perang Dunia (dasawarsa 1930-an). Akibat dari perang dunia ini adalah hancurnya perekonomian Eropa. Pabrik-pabrik serta unit-unit ekonomi lainnya hancur akibat gempuran senjata. Akibat baik sisi pemerintah maupun penawaran tidak bekerja. Dalam kondisi ini, pemerintah harus turun tangan untuk menghidupi baik isi permintaan maupun penawaran dari perekonomian tersebut. Logika liberal agar pemerintah tidak ikut campur dalam kehidupan perekonomian harus dilanggar.
Perencanaan secara makro kemudian meerupakan hal yang penting dalam pemikiran Keynes. Bagi Keynes, adalah penting bagi suatu negara untuk menetapkan perencanaan anggaran untuk dipergunakan bagi kinerja perekonomian. Deficit anggaran dianggap perlu untuk menghidupkan perkeonomian karena pengeluaran negara disalurkan ke hal-hal yang produktif bagi ekonomi nasional. Teori moderniasi memakai logika ini sehingga mengijinkan pengeluaran besar-besaran dalam anggaran penerintah negara berkembang. Logikanya adalah bahwa pengeluaran yang besar akan mempu menggerakan perkeonomian sehingga kemungkinan mencapai tahanpan yang di dalam negara maju semakin cepat. Badan-badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi hal yan glazim bagi perekonomian yang menggunakan teori moderniasi. Badan-badan usaha ini diharapkan dapat menyumbankan peyerapan tenaga kerja serta menggerakkan perkeonomian secara makro. Yang terpenting bagi Teroi Modernisasi adalah tingkat tabung yang dapat digunakan untuk melaksanakan pembangunan.
Walt Whitman Rostow mengukur tahapan perkembangan perekonomian suatu Negara berdasarkan perhitungan tabungan dan konsumsi. Setiap tahap memiliki ciri-cirinya masing-masing. Ada lima tahap dalam perekmbangan perekonomian menurut Rostow, yaitu;
1.      Tahap Tradisional
2.      Tahapan Lepas Landas
3.      Tahapan Persiapan menuju Kematangan
4.      Tahapan Konsumsi Tinggi
Peralihan dari satu tahap ke tahap berikutnya sangat membutuhkan peran pemerintah. Pemerintah disini memegang potensi terbesar untuk mampu menggerakkan perekonomian dengan anggaran yang dimiliki. Pemerintah dianggap mampu mengalokasikan anggaran Negara ke sektor-sektor yang potensial untuk menggerakkan perekonomian[2].
Dalam bukunya yang terkenal, The Stages of Economic Growth, A Non-Commnunist Manifesto yang mula-mula terbit pada tahun 1960, Rostow menguraikan teorinya, tentang proses pembangunan dalam sebuah masyarakat. Seperti juga para ahli ekonomi umumnya pada zaman itu, bagi Rostow pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat yang terkebelakang ke masyarakat maju. Proses ini, dengan pelbagai variasinya, pada dasrnya berlangsung sama di mana pun dan kapan pun juga. Variasi yang ada bukanlah merupakan perubahan yang mendasar dari proses ini, melainkan hanya hanya berlangsung di permukaan[3].
Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi ini diklasifikan sebagai teori modernisasi. Artikel Rostow yang dimuat dalam Economics Journal pada Maret 1956 berjudul The Take-Off Into Self-Sustained Growth pada awalnya memuat ide sederhana bahwa transformasi ekonomi setiap negara dapat ditelisik dari aspek sejarah pertumbuhan ekonominya hanya dalam tiga tahap: tahap prekondisi tinggal landas (yang membutuhkan waktu berabad-abad lamanya), tahap tinggal landas (20-30 tahun), dan tahap kemandirian ekonomi yang terjadi secara terus-menerus.
Rostow kemudian mengembangkan ide tentang perspektif identifikasi dimensi ekonomi tersebut menjadi lima tahap kategori dalam bukunya  The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto yang diterbitkan pada tahun 1960. Ia meluncurkan teorinya sebagai ‘sebuah manifesto anti-komunis’ sebagaimana tertulis dalam bentuk subjudul. Rostow menjadikan teorinya sebagai alternatif bagi teori Karl Marx mengenai sejarah modern. Fokusnya pada peningkatan pendapatan per kapita, Buku itu kemudian mengalami pengembangan dan variasi pada tahun 1978 dan 1980.
Rostow pulalah yang membuat distingsi antara sektor tradisional dan sektor kapitalis modern. Frasa-frasa ini terkenal dengan terminologi ‘less developed’, untuk menyebut kondisi suatu negara yang masih mengandalkan sektor tradisional, dan terminologi ’more developed’ untuk menyebut kondisi suatu negara yang sudah mencapai tahap industrialisasi dengan mengandalkan sektor kapitalis modern.
Dalam hal prekondisi untuk meningkatkan ekonomi suatu negara, penekanannya terdapat pada keseluruhan proses di mana masyarakat berkembang dari suatu tahap ke tahap yang lain. Tahap-tahap yang berbeda ini ditujukan untuk mengidentifikasi variabel-variabel kritis atau strategis yang dianggap mengangkat kondisi-kondisi yang cukup dan perlu untuk perubahan dan transisi menuju tahapan baru yang berkualitas. Teori ini secara mendasar bersifat unilinear dan universal, serta dianggap bersifat permanen.
Pembangunan, dalam arti proses, diartikan sebagai modernisasi yakni pergerakan dari masyarakat pertanian berbudaya tradisional ke arah ekonomi yang berfokus pada rasional, industri, dan jasa. Untuk menekankan sifat alami ‘pembangunan’ sebagai sebuah proses, Rostow menggunakan analogi dari sebuah pesawat terbang yang bergerak sepanjang lintasan terbang hingga pesawat itu dapat lepas landas dan kemudian melayang di angkasa.
Pembangunan, dalam arti tujuan, dianggap sebagai kondisi suatu negara yang ditandai dengan adanya: a) kemampuan konsumsi yang besar pada sebagian besar masyarakat, b) sebagian besar non-pertanian, dan c) sangat berbasis perkotaan.
Sebagai bagian teori modernisasi, teori ini mengkonsepsikan pembangunan sebagai modernisasi yang dicapai dengan mengikuti model kesuksesan Barat. Para pakar ekonomi menganggap bahwa teori tahap-tahap pertumbuhan ekonomi ini merupakan contoh terbaik dari apa yang diistilahkan sebagai ‘teori modernisasi’.
Tahap-Tahap Linear Pertumbuhan Ekonomi Rostow
Tahap-tahap pertumbuhan ekonomi yang linear (mono-economic approach) inilah yang menjadi syarat pembangunan untuk mencapai ‘status lebih maju’. Rostow membagi proses pembangunan ke dalam lima tahapan yaitu:
1. Tahap masyarakat tradisional (the traditional society), dengan karakteristiknya:
1.      Pertanian padat tenaga kerja;
2.      Belum mengenal ilmu pengetahuan dan teknologi (era Newton);
3.      Ekonomi mata pencaharian;
4.      Hasil-hasil tidak disimpan atau diperdagangkan; dan
5.      Adanya sistem barter.
2. Tahap pembentukan prasyarat tinggal landas (the preconditions for takeoff),
yang ditandai dengan:
1.         Pendirian industri-industri pertambangan;
2.         Peningkatan penggunaan modal dalam pertanian;
3.         Perlunya pendanaan asing;
4.         Tabungan dan investasi meningkat;
5.         Terdapat lembaga dan organisasi tingkat nasional;
6.         Adanya elit-elit baru;
7.         Perubahan seringkali dipicu oleh gangguan dari luar.
3. Tahap tinggal landas (the take-off), yaitu ditandai dengan:
1. Industrialisasi meningkat;
2. Tabungan dan investasi semakin meningkat;
3. Peningkatan pertumbuhan regional;
4. Tenaga kerja di sektor pertanian menurun;
5. Stimulus ekonomi berupa revolusi politik,
6. Inovasi teknologi,
7.  Perubahan ekonomi internasional,
8.  Laju investasi dan tabungan meningkat 5 – 10 persen dari
9.  Pendapatan nasional,
10. Sektor usaha pengolahan (manufaktur),
11. Pengaturan kelembagaan (misalnya sistem perbankan).
4. Tahap pergerakan menuju kematangan ekonomi (the drive to maturity), ciri-cirinya:
Pertumbuhan ekonomi berkelanjutan;
1.    Diversifikasi industri;
2.    Penggunaan teknologi secara meluas;
3.    Pembangunan di sektor-sektor baru;
4.  Investasi dan tabungan meningkat 10 – 20 persen dari pendapatan nasional.
5. Tahap era konsumsi-massal tingkat tinggi (the age of high mass-consumption) dengan:
1. Proporsi ketenagakerjaan yang tinggi di bidang jasa;
2. Meluasnya konsumsi atas barang-barang yang tahan lama dan jasa;
3. Peningkatan atas belanja jasa-jasa kemakmuran[4]
Dengan melihat aspek lainnya yaitu sosial, politik, dan aspek nilai-nilai mengenai karakteristik tahap-tahap pertumbuhan ekonomi di atas, maka dapat digambarkan sebagai berikut: Menurut Rostow, dalam hal mengenai perubahan dari tahap tradisional ke arah industrial sebagai syarat pembangunan dan kemajuan, pembangunan ekonomi atau proses transformasi masyarakat dari tahap tradisional menjadi masyarakat modern merupakan suatu proses yang multi-dimensional. Pembangunan ekonomi bukan berarti perubahan struktur ekonomi suatu negara yang ditunjukkan oleh menurunnya peranan sektor pertanian dan meningkatnya peran sektor industri saja.
Perubahan yang dimaksud selain dari perubahan struktural dari tradisionalitas menuju modernitas, dapat digambarkan sebagai berikut:
1.    Perubahan orientasi organisasi ekonomi, politik, dan sosial yang pada mulanya berorientasi kepada suatu daerah menjadi berorientasi ke luar.
2.      Perubahan pandangan masyarakat mengenai jumlah anak dalam keluarga, yaitu dari menginginkan banyak anak menjadi keluarga kecil.
3.      Perubahan dalam kegiatan investasi masyarkat, dari melakukan investasi yang tidak produktif (seperti halnya menumpuk emas, membeli rumah, dan sebagainya) menjadi investasi yang produktif.
4.      Perubahan sikap hidup dan adat istiadat yang terjadi kurang merangsang pembangunan ekonomi (misalnya penghargaan terhadap waktu, penghargaan terhadap prestasi perorangan, dan sebagainya)
Dengan demikian, dasar pembedaan proses pembangunan ekonomi menjadi lima tahap tersebut adalah karateristik perubahan keadaan ekonomi, sosial, dan politik, serta nilai-nilai dalam masyarakat. Ketika masa tinggal landas selesai, maka perekonomian benar-benar berada di di atas garis pertumbuhan diri secara berkesinambungan. Tinkat investasi meningkat secara tetap, produksi melampaui pertumbuhan penduduk. Perusahan-perusahan ekonomi terbaru termasuk perdagangan internasional yang menguntungkan berkembang. Akhirnya, produksi barang dan jasa berskala besar mendorong ke arah konsumsi missal tidka hanya kebutuhan dasar tetapi jug akemakmuran yang menyenangkan dan mewah. Perekonomian mandiri yang berkesinambungan lebih menekankan pad apelayanan (jasa) sosial dan kesejahteraaan di atas segala-galanya.
B.                 Kritik Teori
Tesis Rostow telah mengundang banyak kritik dalam beberapa tahun belakangan ini. Di satu segi Rostow telah memperpendek masa-masa perjuangan/pergulatan ekonomi dalam sejarah bangsa-bangsa menjaga model transisi lima tahap yang rapi dan menarik yang menyebar tidak lebih dari dua abad pad kebanyakan negara. Analisis keterbelakangannya, efek-efek sampingan dan depan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan contoh pemesinan tekstil modernnya dan mesin uap agaknya memiliki kelemahan. Dan titik sentral dari argumentasi Rostow adalah bahwa cepat atau lambat, semua masyarakat dunia akan melewati rentetan dari kelima tahap pertumbuhan ekonomi di atas. Faktor penentunya adalah kondisi alam, ekonomi, politik, dan budaya.
Kritik terhadap Teori Tahap-Tahap Pertumbuhan Ekonomi[5]
Sejumlah kritik terhadap teori Rostow dapat digambarkan sebagai berikut:
Teori Rostow dianggap terlalu sederhana;
-          Rostow menyebut tentang tabungan dan investasi namun tidak mengklarifikasi mengenai perlunya infrastruktur keuangan untuk menyalurkan tabungan yang ada ke dalam investasi;
-          Bahwa investasi yang dimaksud Rostow belum tentu akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi;
-          Rostow tidak memasukkan unsur-unsur lain sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi. Perlunya infrastruktur lainnya seperti sumber daya manusia (pendidikan), jalan-jalan, jalur kereta api, jaringan-jaringan komunikasi;
-          Teori Rostow tidak menjelaskan bahwa efisiensi dari penggunaan investasi apakah ditujukan untuk aktivitas-aktivitas produksi ataukah untuk penggunaan lainnya;
-          Bahwa pernyataan Rostow mengenai ekonomi negara-negara di dunia akan saling mempelajari satu sama lain dan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk pembangunan pada kenyataannya belum pernah terjadi.
-          Argumentasi Rostow tentang pertanian sebagai ciri keterbelakangan tidak beralasan.
-          Rostow berargumentasi bahwa tahapan pertumbuhan ekonomi di Eropa akan juga terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
-          Bahwa sejarah pada kenyataannya tidak akan berulang dengan cara yang sama. Dengan kata lain, bahwa setiap pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia tidak selalu sama, tetapi justru punya karakteristik masing-masing.



[1] Mansour Fakih. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. (Yogyakarta:INSIST Press. 2005). Hlm. 46-48.
[2] Syamsul Hadi dkk. Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF. (Jakarta: GRANIT. 2004). Hlm. 9-12
[3] Arief Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga.  (Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Utama. 2000). Hlm. 25-26
[4] Ibid. hlm. 26-28
[5] M. Fancis Abraham. Modernisasi di Dunia Ketiga Suatu Teori Umum Pembangunan. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.1991) hlm. 44

Perbedaan pandangan Teori Ilmu Pengetahuan Neo Positivisme dan Interpretativisme dengan Realisme Ilmiah (scientific realism)



1.    Jelaskan Perbedaan pandangan Teori Ilmu Pengetahuan Neo Positivisme dan Interpretativisme dengan Realisme Ilmiah (scientific realism)

a. Tuntutan Pengetahuan Positivisme dan Postpositivisme
Positivisme yang kadang-kadang dirujuk sebagai ‘metode ilmiah’ didasarkan pada filsafat empirisme yang dipelopori oleh Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, August Comte, dan Emmanuel Kant (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Aliran ini mencerminkan filsafat deterministik yang memandang suatu penyebab mungkin menentukan efek atau hasil (Creswell, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Aliran ini bertujuan untuk menguji sebuah teori atau menjelaskan sebuah pengalaman melalui observasi dan pengukuran dalam rangka meramalkan dan mengontrol kekuatan-kekuatan di sekitar manusia. Positivisme berasumsi bahwa fenomena sosial dapat diteliti dengan cara yang sama dengan fenomena alam dengan menggunakan pendekatan yang bebas nilai dan penjelasan sebab-akibat sebagaimana halnya dalam penelitian fenomena alam.
Setelah Perang Dunia II, positivisme digantikan aliran postpositivisme. Aliran ini berasumsi bahwa setiap penelitian dipengaruhi oleh hukum-hukum atau teori-teori yang menguasai dunia. Teori-teori ini perlu diverifikasi sehingga pemahaman terhadap dunia semakin lengkap. Oleh karena itu, penganut positivisme dan postpositivisme akan memulai penelitian dengan suatu teori, mengumpulkan data yang mendukung atau menolak teori tersebut, dan membuat revisi yang diperlukan. Dengan demikian, pengetahuan yang dikembangkan melalui lensa postpositivisme didasarkan pada observasi yang cermat dan pengukuran realitas yang objektif (Emzir, 2008: 9), sehingga positivisme dan postpositivisme selalu diasosiasikan dengan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif.
b. Tuntutan Pengetahuan Konstruktivisme/Interpretivisme
Konstruktivisme/interpretivisme berkembang dari filsafat fenomenologi yang digagas Edmund Husserl and pemahaman intepretatif yang disebut hermeneutiks yang dikemukakan and Wilhelm Dilthey (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Bagi penganut konstruktivisme/interpretivisme penelitian merupakan upaya untuk memahami realitas pengalaman manusia, dan realitas itu sendiri dibentuk oleh kehidupan sosial. Penelitian berlensa konstruktivisme/interpretivisme cenderung tergantung pada pandangan partisipan tentang situasi yang diteliti. Penelitian konstruktivisme pada umumnya tidak dimulai dengan seperangkat teori (sebagaimana halnya dengan postpositivisme) namun mengembangkan sebuah teori atau sebuah pola makna secara induktif selama proses berlangsung. Metode penjaringan dan analisis yang digunakan penganut konstruktivisme biasanya berbentuk kuantitatif. Akan tetapi, data kuantitatif dapat digunakan untuk mendukung data kualitatif serta memperdalam analisis secara efektif.

c. Tuntutan Pengetahuan Advokasi/Partisipatori/Transformatif
Aliran advokasi/partisipatori/transformatif muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada dan kesadaran bahwa teori-teori sosiologi dan psikologi yang mendasari paradigma-paradigma yang ada pada dasarnya dikembangkan melalui pandangan ’kulit putih’, didominasi oleh perspektif kaum pria, dan didasarkan pada penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek. Peneliti advokasi/partisipatori/transformatif merasa bahwa pendekatan konstruktivisme/ interpretivisme tidak membahas isu-isu keadilan sosial dan kaum yang terpinggirkan secara memadai (Creswell, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Peneliti advokasi/ partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin dengan agenda-agenda politik dan politisi agar penelitian tersebut menghasilkan tindakan-tindakan yang mereformasi kehidupan partisipan, lembaga tempat individu hidup, dan kehidupan peneliti sendiri (Emzir, 2008: 16). Sehubungan dengan itu, penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial yang penting sebagai topik, seperti isu kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan, dan perampasan hak. Peneliti advokasi sering memulai dengan menjadikan salah satu dari isu ini sebagai fokus penelitian. Kemudian, dia akan berjalan bersama secara kolaboratif dengan partisipan dengan pengertian partisipan dapat membantu merancang pertanyaan, mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau menerima penghargaan untuk partisipasinya dalam penelitian. Sebagaimana halnya dalam penelitian konstruktivisme, peneliti advokasi/partisipatori/transformatif dapat mengkombinasikan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Namun, penggunaan pendekatan gabungan (mixed methods) akan memberikan kepada peneliti transformatif sebuah struktur untuk mengembangkan potret kehidupan sosial yang lebih utuh. Penggunaan berbagai perspektif dan lensa memungkinkan diperolehnya pemahaman yang lebih beragam tentang nilai-nilai, pandangan dan keberadaan kehidupan sosial.
Realisme ilmiah ialah teori umum dari pengetahuan ilmiah. Salah satunya mengasumsikan bahwa dunia adalah lumbung pengetahuan yang masih banyak belum tergali oleh manusia. Dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan cara yang terbaik untuk mengeksplorasi pengetahuan yang masih misteri tersebut. Sains tidak hanya menghasilkan prediksi, tetapi juga menghasilkan pengetahuan tentang sifat alami benda-benda; Sains mencakup teori metafisika dan teknik dalam satu kesatuan.
Realisme ilmiah memperlihatkan konsep dan eksistensinya untuk sebuah pertentangan antara akal-sehat dengan teori-teori umum yang ada. Berbagai macam kisah baru (sekarang disebut ’argumen’) dan nilai-nilai baru kehidupan muncul, menolak pendapat tradisional dan mencoba menggantikannya dengan pendapat baru tersebut. Itu adalah pertentangan antara pendapat traditional/lama dengan pendapat mereka yang baru.
Realisme ilmiah telah mempunyai pengaruh yang sangat besar pada perkembangan sains. Realisme ilmiah tidak hanya menggambarkan apa yang sudah dihasilkan, tetapi juga menyediakan strategi, saran dan solusi dalam penelitian untuk masalah khusus. Hingga Copernicus mengklaim bahwa ilmu astronomi barunya mencerminkan susunan bola yang benar yang timbul secara dinamis. Idenya itu pun bertentangan dengan teori fisika pada saat itu, epistemologi dan doktrin agama yang dianut oleh orang-orang di zaman tersebut. Copernicus telah membuat masalah baru tetapi dia pun juga memberikan solusi penyelesaian dari masalah yang telah dia buat dan tradisi penelitian baru pun mulai berkembang. Pada abad ke-19, teori-teori atom yang berkembang pada saat itu menimbulkan masalah-masalah secara filosofis, fisika, kimia dan metafisika. Banyak kekurangan dari teori-teori tersebut dimana ilmuwan belum mempu untuk menjawabnya. Kekurangan-kekurangan itu dijadikan dasar untuk penemuan-penemuan teori lebih lanjut. Para realis mengembangkannya lebih jauh dan akhirnya bisa mendemonstrasikan batasan-batasan dari teori-teori tersebut. Kritikan einstein pada teori kuantum mulai memberikan peningkatan perkembangan teoretis dan percobaan-percobaan yang akurat dan mengklarifikasi konsep dasar dari teori pada semua kasus tersebut. Dan realisme ilmiah menghasilkan penemuan-penemuan dan menyumbang untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Hanya beberapa filsuf telah menguji interaksi keberhasilan antara realisme ilmiah dan praktek ilmiah. Alasannya bahwa ilmuwan dan filsuf tertarik pada perbedaan sifat benda-benda dan pendekatan masalahnya dalam cara yang berbeda. Seorang ilmuwan berurusan dengan kesulitan-kesulitan konkrit dalam menilai asumsi, teori, pandangan dunia, aturan prosedur dengan cara yang mana mereka mempengaruhi situasi permasalahnnya. Pendapatnya mungkin mengubah satu kasus ke kasus berikutnya dia boleh menemukan bahwa bila sebuah ide seperti realisme ilmiah bermanfaat pada beberapa peristiwa dia hanya mempersulit persoalan pada yang lainnya.
Seorang filsuf juga mau memecahkan masalah, tetapi mereka bermasalah pada berbagai macam perbedaan. Mereka tersangkut ide-ide abstrak seperti ’rasionalitas’, ’determinisme’, ’realitas’ dan sebagainya. Filsuf menguji ide-ide tersebut dengan tenaga yang besar dan, adakalanya, dalam semangat yang kritis, tetapi dia juga percaya bahwa keadaan yang sangat umum dari penyelidikannya akan memberikan kepada dia kebenaran untuk menjatuhkan hasil yang sudah dicapai pada seluruh subjek tanpa mempertimbangkan masalah-masalah khusus, metode-metode, dan asumsi-asumsinya. Secara sederhana dia menganggap bahwa pembicaraan umum dari ide-ide umum menutupi seluruh penerapan-penerapan khusus.
Bila asumsi ini mungkin menjadi benar untuk tradisi abstrak yang mana dikembangkan dari prinsip dan oleh karena itu dapat diharapkan untuk disetujui dengan mereka, tidak benar untuk tradisi sejarah dimana kasus tertentu, termasuk penggunaan hukum-hukum dan teori-teori, diperlakukan sesuai dengan keadaan tertentu yang mana mereka terjadi dan dimana prinsip dimodifikasi, atau disediakan dengan pengecualian supaya setuju dengan keperluan keadaan tersebut. Penelitian yang sudah dilakukan sudah membuat kita menyadari praktek ilmiah, praktek ilmu pengetahuan alam yang tetap, adalah menganyam jaring tradisi sejarah dengan ketat (dalam matematika ini adalah pertama ditunjukkan oleh ahli intuisi, Kuhn sudah mempopulerkan hasil tersebut untuk ilmu pengetahuan alam ketika Wittgenstein telah mengembangkan latar belakang filsafat). Ini berarti bahwa pernyataan umum tentang sains, termasuk pernyataan logika, tidak bisa tanpa keributan lebih lanjut diambil untuk setuju dengan praktik ilmiah (mencoba menerapkannya pada praktek ini dan pada waktu yang sama untuk memberikan catatan kebenaran berdasarkan sejarah darinya yang sudah memimpin kemunduran rasionalisme). Kita harus menyelidiki bagaimana ilmuwan sebenarnya berpikir tentang realitas dan apa ide realisme yang mereka kerjakan. Kita harus mempelajari bermacam-macam versi realisme ilmiah.









2. Jelaskan Persamaan dan Perbedaan pandangan Teori Ilmu Pengetahuan Realimes Kritis  (critical realism) dengan Realisme Ilmiah (scientific realism)

Realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant, seorang pesintesis yan besar. Ia mensitesiskan pandangan-pandangan yan berbeda, antara empirisme dan rasionalisme, antara skepitisme dan paham kepastian, antara eudaeomanisme dengan puritanisme. Ia bukan melakukan eklektisisme yang dangkal. Melainkan, suatu sintesis asli yang menolak kekurangan-kekurangan dari kedua belah pihak yang disintesiskannya. Dan ia membangun filsafat yang kuat.
Hasil pemikiran Kant  merupakan titik temu antara idealism dan realism, antara empirisme yang dikembangkan Locke, yang bermuara pada empirisme David Hume, dengan rasionalisme dari Descartes. Dilihat dari idealism, ia seorang realism kritis. Oleh karena itu, banyak orang yang mempelajari filsafat dan sejarah filsafat, menanamkan ia sebagai krisisme. Kritisme Kant dimulai dengan penyelidikan kemampuan dan batas-batas rasio, berbeda dengan filosof-filosof sebelumnya yang secara dogmatis apriori mempercayai kemmpuan rasio secara bulat.
Menurut Kant, semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semuanya dari pengalaman. Objek luar dikenal melalui indera, namun pikiran atau rasio, atau pengertian, mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut. Pikiran tanpa isi adalah kosong, dan tanggapan tanpa konsepsi adalah buta. Demikian kata Kant. :Thoughts without content are empty, percepts without concepts are blind” (Henderson, 1959 : 218).
Selanjutnya, menurut Kant, pengalaman tidak hanya sekedar warna, suara, bau yang diterima alat indera, melainkan hal-hal tersebutdiatur dan disusun menjadi suatu bentuk yang terorganisasi oleh pikiran kita. Pengalaman merupakan suatu interpretasi tentang benda-benda yang kita terima melalui alat indera kita. Dan di dalam interpretasi tersebut kita mempergunakan suatu struktur untuk mengorganisasi benda-benda.
Lebih lanjut Kant mengemukakan, bahwa manusia telah dilengkapi dengan seperangkat kemauan, sehingga kita dapat member betuk terhadap data mentah yang kita amati. Dengan demikian, kita mungkin memiliki pengetahuan apriori, yang tidak perlu untuk mengalami sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang fundamental, dan pengetahuan yang aposteriori, pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Manusia tidak bisa mengetahui realitas yang sebenarnya, melainkan suatu realitas di luar pengalaman, dan merupakan objek pengetahuan. Kant mengaui, bahwa manusia tidak hanya memiliki kemampuan alamiah, melainkan juga memiliki kemampuan agama dan moral.