CRITIKAL REVIEW V
Buku ;CAPITA SELECTA I.
Kumpulan Karangan Mohammad Natsir
Review : Tentang Persatuan
Agama Dengan Negara
Dihimpun
Oleh :D.P. Sati Alimin
Penerbit
: Bulan Bintang
Djakarta Tjetakan Pertama 1955
Ditulis
oleh : Kamaruddin Salim
NPM :
13011865016
Memahami pemikiran Mohammad Natsir, dalam buku Capita Selecta Jilid I ini, terlihat kepedulian
utama Natsir salahsatunya soal agama dan negara. diawal pembahasan pokok
gagasannya, Natsir mengkritik pemikiran Soekarno dalam tulisannya tentang
keinginan Soekarno agar di dalam Islam ada pembaharuan dengan caranya sendiri.
Di mana, Soekarno menghatam akan kebekuan dan ketololan yang dalam hal ini
tentu beku dan klolot sepanjang pengertian dan pandangannya sendiri. Di mana,
pandangan Soekarno tersebut bercermin ke Tanah Turki di bawah pemerintahan
Kamal Attaturk dan kawan-kawan. Kritis Natsir adalahm beberapa tulisan Soekarno
itu tidak dapat diterima dan dibiarkan begitu saja, sebab besar resikonya bagi
pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia. Dalam kritiknya, Natsir
berpandangan bahwa Soekarno belum tahu dengan sungguh-sungguh duduknya
hukum-hukum dan hudud-hudud dalam Islam, justru karena Soekarno baru
mempelajari dan mencintai Islam sebagai diakuinya sendiri. Itupun pengetahuan
tentang Islam diperolehnya bukan pula dari sumber yang dapat
dipertanggungjawabkan, tetapi dari sumber penulis-penulis non-muslim, yang
ditulis dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis dan bahasa Barat yang
lainnya. Terus terang saja dalam hal ini, walaupun penulis-penulis non-Muslim
itu hendak memisahkan rasa antipasti atau sekurangnya rasa netralnya terhadap
Islam., tetapi tentu tidak mungkin mereka dapat melepaskan diri
ke-subjektivitasan pribadinya sebagai seorang yang bukan-Islam. Dari
tulisan-tulisan non-Muslim macam itulah, yang jadi sumber pengetahuan Islam Ir.
Soekarno.
Dalam agama dalam negara, Natsir
membahas hubungan antara agama (Islam) dengan negara. Menurut Natsir, yang
sering orang lupakan jikalau membicarakan urusan agama dan negara ini ialah
bahwa dalam pengertian Islam yang dinamakan agama itu bukanlah semata-mata
peribadatan dalam istilah sehari-hari itu saja seperti shalat dan puasa itu,
akan tetapi yang dinamakan “Agama” menurut pengertian Islam adalah meliputi
semua kaidah-kaidah, hudud-hudud (batas-batas), dalam mu’amalah
(pergaulan) dalam masyarakat menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh
Islam itu. Natsir berpendapat, memang Rasulullah tidak perlu menyuruh
mendirikan negara. Dengan atau tanpa Islam, negara bisa berdiri, dan memang
sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, di mana saja ada segolongan manusia
yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat. Dengan nada retorik, Natsir
menegaskan, di zaman unta dan pohon korma, ada negara; di zaman kapal terbang,
ada negara. Tentang ada negara yang terarur, dan ada yang kurang terarut,
menurut Natsir, adalah soal biasa. Akan tetapi, bagaimana pun kedua-duanya
adalah negara. Dengan, atau tidak dengan Islam. Yang dibawa oleh Nabi Muhammad,
lanjut Natsir, ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu
menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah (sarana) yang
sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun di dalam
negara itu, untuk keselamatan diri dan masyarakat, untuk kesentosaan perseorangan
dan kesentosaan umum. Merujuk kepada Q. S. Al-Dzariyat ayat 56, Natsir
mengatakan bahwa cita-cita seorang Muslim ialah menjadi hamba Allah dengan arti
yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan kemenangan di akhirat. Untuk
mencapai tujuan itu, Tuhan memberi kita bermacam-macam aturan yang harus
berlaku saat kita berhubungan dengan Tuhan, dan ketika berhubungan dengan
sesama manusia.
Bagi Natsir, negara bukanlah tujuan.
Negara hanyalah alat. Tujuannya, dalam kata-kata Natsir ialah kesempurnaan
berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan
manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat.
Di sisi lain Natsir menambahkan, Walau bagaimanapun, jangan kita lupakan, bahwa dalam
lingkungan susunan kenegaraan yang sekarang inipun, masih banjak yang dapat
dilekaskan membereskannya, yang mungkin memberi kepuasan banyak sedikitnya
kepada pengharapan-pengharapan yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia ini, yang
mungkin menambah inspirasi yang, menurut pendapat Pemerintah sudah ada itu,
supaya bertambah besar inspirasi itu untuk memikul tiga macam beban yang amat
berat, yang hendak diletakkan di atas bahu segenap rakyat. Masih banyak lagi
urusan yang mungkin diatur, untuk menambah kekokohan dan keteguhan masyarakat
Indonesia umumnya. Kita sebutkan umpamanya, urusan kekuasaan Dewan Rakyat yang
sekarang ini, dalam lapangan pamong-praja, urusan milisi dalam lapangan pertahanan
negeri, urusan penetapan upah minimum dan sewa tanah minimum dalam lapangan
ekonomi, pendidikan industri untuk rakyat dan perbandingan subsidi untuk Islam
dan Kristen dalam urusan pendidikan. Dan banjak lagi yang lain-lain. Semua ini dapat
diselenggarakan dalam batas susunan kenegaraan sekarang ini, tidak berkehendak
kepada perubahan-perubahan susunan kenegaraan dan kemasyarakatan" yang
besar-besaraan lebih dahulu.
Sampai di sini, jelas bagi kita,
Islam sebagai tolok ukur yang digagas dan diperjuangkan oleh Natsir bukan
sekadar berlakunya secara formal Islam sebagai dasar negara. Yang lebih ditekankan
oleh Natsir ialah berlakunya nilai-nilai Islam di dalam kehidupan berpribadi,
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan tujuan dan cita-cita
seorang Muslim. Natsir berpendapat, suatu negeri yang pemerintahannya tidak
memedulikan keperluan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan dungu, tidak
mencukupkan alat-alat yang perlu untuk kemajuan agar tidak tercecer dari
negeri-negeri lain, dan yang kepala- kepala (negara dan pemerintahannya)
menindas rakyat dengan memakai Islam sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah
sebagai kedok, sedangkan kepala-kepala pemerintahan itu sendiri penuh dengan
segala macam maksiat dan membiarkan takhyul dan khurafat merajalela,
sebagaimana keadaaan Turki di zaman sultan-sultannya yang terakhir, maka
pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintah Islam. Terhadap pemerintahan
semacam itu, Natsir mengingatkan pengertian demokrasi di dalam Islam yang
memberikan hak kepada kepada rakyat supaya mengeritik, menegur, membetulkan
pemerintahan yang zalim. Kalau tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam
memberi hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan
kekerasan, jikalau perlu. Dalam rangka ini, Natsir mengutip hadits
riwayat Nasai sebagai berikut: “Pernah orang bertanya kepada Rasulullah, apakah
yang sebaik-baik jihad? Dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang zalim. Sementara
itu, Natsir menguraikan tentang syarat memilih pemimpin dalam Islam. Menurut
Natsir, dalam Islam hal menjadi pemimpin demi untuk keselamatan masyarakat
manusia perlu ada beberapa sifat dan kriteria untuk menjadi Ketua atau Kepala
Negara. Dan diperingatkan pula orang-orang yang seperti yang layak untuk di
berikan amanat kekuasaan dan urusan. Ditetapkan bahwa yang akan jadi krtiterium
atau ukuran untuk melantik yang akan jadi Kepala Negara itu, adalah agamanya,
sifat, tabiatnya, akhlaknya dan kepercayaannya
untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan
keturunannya atau pun semata-mata intelektualnya saja. Disamping Natsir
mengungkapkan bahwa, di dalam Islam telah berlaku beberapa Undang-undang yang
belaku dengan tujuan untuk mengatur masyarakat dalam suatu negara. Berupa
undang-undang perkawinan-perceraian, peraturan warisan dan orang-orang yang
mewariskan.
Selain itu ada pula undang-undang
yang mengatur tentang kemasyarakatan yang besar seperti pemberantasan
kemiskinan dan kekafiran, pembagian kekayaan umat seperti zakar, Fitrah dan
sedekah serta larangan terhadap riba. Hal itu untuk menjaga agar jangan
elamanya ada jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Suatu hal yang
berabad-abad, senantiasa mempengaruhi. Bahkan boleh dikatakan menjadi factor
yang terpenting, yang menentukan nasib macam-macam umat. Akan tetapi, diluar
dari aturan yang ditetapkan agama, semua boleh diatur menurut zamanm dengan
cara-cara yang munasabah, dan tidak
melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan. Maka umat islam dapat mencontokan
nilai dan peraturan dari Negara lain seperti Inggris belajar dari Jepang dan Rusia
dari Finlandia, selama tidak bertentangan dengan Islam. Seabab hasil kebudayaan
bukan semata monopoli suatu bangsa.
Dalam membahas pandangan Islam
terhadap demokrasi. Natsir memaparkan, Islam adalah agama yang bersifat
demokratis. Dengan arti bahwa Islam itu artin istibdad, anti absolutis anti
sewenang-wenangan. Akan tetapi ini, tidak berarti, bahwa dalam pemerintahan
Islam semua urusan diserahkan kepada kepusutasn musyawarah Majelis Syura. Dalam
parlemen Negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dulu, apakah
yang harus menjadi dasar bagi permerintah, dan tidaklah mesti ditunggu
keputusan Parlemen terlebih dahulu. Natsir menambahkan, Kita akui demokari
baik, akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidak mengantungkan semua urusan
kepada kerahiman insting-insting demokrasi. Oleh karena itu, menutur Natsir,
Islam itu tidak hendak dinamakan bersifat demokratis, itu terserah! Islam
adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri yang mempunyai
sifat-sifat sendiri pula. Silam tak usah demokrasi
100%, bukan pada ototkrasi 100%,
Islam itu….ya, Islam.
Hal ini berbeda dengan tulisan Ir.
Sorkarno soal dalam Punji’Perslah. Kita kembali kealasan Turki Muda, yang
menyatakan bahwa dalam Negara mereka
yang demokratis itu dengan terlepasnya Agama dari Negara. Agama Islam bertambah segar dan bersifat laki-laki menjadi akil baligh dan dewasa
lantaran dalam sistem demokrasi mereka itu semua diberi kesempatan untuk
berjuang memperteguh tempat kedudukan dalam parlemen dan lain-lain. Akan tetapi
hal ini dikritik Natsir, kalau Kaum Kemalisten (Kemal Attaturk) terang-terangan
katakana bahwa mereka melemparkan Agama dan jalankan pemerintahan dikattur,
supaya merdeka berbuat dengan leluasa apa yang mereka kehendaki, barang kali
masihs anggup juga kita menghormati alas an-alasan mereka sebagai orang jahat
berlainan pendirian dengan kita dalam beberapa hal yang mengenai prinsip,
tetapi yang tetap besikap jujur dan kesatria. Akan tetap mereka dengan mulut
manis menggambarkan demokrasi itu
adalah rahmat bagi Agama yang menjadikan Agama Islam jadi akil baligh, serta kuat dan
dewasa. Perkataan muluk-muluk, maka
kita terpaksa menjawab. Lalulah Tuan-tuan
dulu, kami bukan anak-anak lagi! Dan tolong sampaikan pesan kami kepada Essad
Bey, bahwa His Excellent itu tidaklah usah mencari amat jauh-jauh lagi, kalau
hendak mencari orang-orang yang amat licin gunakan perkataan “demokaris sebagai
kedok”. Natsir menambahkan, semua yang kita bawakan diatas ini, adalah
kejadian, feiten bukan isapan jempol.
Kita percaya bahwa Ir. Soekarno sendiripun telah mengetahui keadaan ini,
sekurang-kurangnya dari satu diantara 20 buku yang beliau baca tentang politik
Kemal Pasya. Akan tetapi boleh jadi beliau ketinggalan membawakannya waktu
menggambarkan “perslah” kedemokrasian dibawah pemeritahan Kemalisten itu,
disengaja, kita banyak memperbanyak baik-sangka,
husnuz-dzan. Akan tetapi ini adalah satu ketinggalan yang tak boleh dan tak
layak dibumkamkan begitu saja. Sebab lantaran keringgalan yang semacam itu,
yang hitam menjadi putih dan yang putih menjadi hitam, sayang…..!
Dimana saya bisa mendapatkan bukunya untuk hang cetakan 1?thx
BalasHapusDimana saya bisa mendapatkan bukunya untuk hang cetakan 1?thx
BalasHapus