Laman

Senin, 02 Desember 2013

CAPITA SELECTA I. Kumpulan Karangan Mohammad Natsir

CRITIKAL REVIEW  V
Buku                           ;CAPITA SELECTA I. Kumpulan Karangan Mohammad Natsir
Review                        : Tentang Persatuan Agama Dengan Negara
Dihimpun Oleh           :D.P. Sati Alimin
Penerbit                       : Bulan Bintang Djakarta Tjetakan Pertama 1955
Ditulis oleh                  : Kamaruddin Salim
NPM                           : 13011865016

Memahami pemikiran Mohammad Natsir, dalam buku Capita Selecta Jilid I ini, terlihat kepedulian utama Natsir salahsatunya soal agama dan negara. diawal pembahasan pokok gagasannya, Natsir mengkritik pemikiran Soekarno dalam tulisannya tentang keinginan Soekarno agar di dalam Islam ada pembaharuan dengan caranya sendiri. Di mana, Soekarno menghatam akan kebekuan dan ketololan yang dalam hal ini tentu beku dan klolot sepanjang pengertian dan pandangannya sendiri. Di mana, pandangan Soekarno tersebut bercermin ke Tanah Turki di bawah pemerintahan Kamal Attaturk dan kawan-kawan. Kritis Natsir adalahm beberapa tulisan Soekarno itu tidak dapat diterima dan dibiarkan begitu saja, sebab besar resikonya bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam di Indonesia. Dalam kritiknya, Natsir berpandangan bahwa Soekarno belum tahu dengan sungguh-sungguh duduknya hukum-hukum dan hudud-hudud dalam Islam, justru karena Soekarno baru mempelajari dan mencintai Islam sebagai diakuinya sendiri. Itupun pengetahuan tentang Islam diperolehnya bukan pula dari sumber yang dapat dipertanggungjawabkan, tetapi dari sumber penulis-penulis non-muslim, yang ditulis dalam bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis dan bahasa Barat yang lainnya. Terus terang saja dalam hal ini, walaupun penulis-penulis non-Muslim itu hendak memisahkan rasa antipasti atau sekurangnya rasa netralnya terhadap Islam., tetapi tentu tidak mungkin mereka dapat melepaskan diri ke-subjektivitasan pribadinya sebagai seorang yang bukan-Islam. Dari tulisan-tulisan non-Muslim macam itulah, yang jadi sumber pengetahuan Islam Ir. Soekarno. 
Dalam agama dalam negara, Natsir membahas hubungan antara agama (Islam) dengan negara. Menurut Natsir, yang sering orang lupakan jikalau membicarakan urusan agama dan negara ini ialah bahwa dalam pengertian Islam yang dinamakan agama itu bukanlah semata-mata peribadatan dalam istilah sehari-hari itu saja seperti shalat dan puasa itu, akan tetapi yang dinamakan “Agama” menurut pengertian Islam adalah meliputi semua kaidah-kaidah, hudud-hudud (batas-batas), dalam mu’amalah (pergaulan) dalam masyarakat menurut garis-garis yang telah ditetapkan oleh Islam itu. Natsir berpendapat, memang Rasulullah tidak perlu menyuruh mendirikan negara. Dengan atau tanpa Islam, negara bisa berdiri, dan memang sudah berdiri sebelum dan sesudah Islam, di mana saja ada segolongan manusia yang hidup bersama-sama dalam satu masyarakat. Dengan nada retorik, Natsir menegaskan, di zaman unta dan pohon korma, ada negara; di zaman kapal terbang, ada negara. Tentang ada negara yang terarur, dan ada yang kurang terarut, menurut Natsir, adalah soal biasa. Akan tetapi, bagaimana pun kedua-duanya adalah negara. Dengan, atau tidak dengan Islam. Yang dibawa oleh Nabi Muhammad, lanjut Natsir, ialah beberapa patokan untuk mengatur negara, supaya negara itu menjadi kuat dan subur, dan boleh menjadi wasilah (sarana) yang sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan hidup manusia yang berhimpun di dalam negara itu, untuk keselamatan diri dan masyarakat, untuk kesentosaan perseorangan dan kesentosaan umum. Merujuk kepada Q. S. Al-Dzariyat ayat 56, Natsir mengatakan bahwa cita-cita seorang Muslim ialah menjadi hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, mencapai kejayaan di dunia dan kemenangan di akhirat. Untuk mencapai tujuan itu, Tuhan memberi kita bermacam-macam aturan yang harus berlaku saat kita berhubungan dengan Tuhan, dan ketika berhubungan dengan sesama manusia.
Bagi Natsir, negara bukanlah tujuan. Negara hanyalah alat. Tujuannya, dalam kata-kata Natsir ialah kesempurnaan berlakunya undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan perikehidupan manusia sendiri (sebagai individu), ataupun sebagai anggota dari masyarakat. Di sisi lain Natsir menambahkan, Walau bagaimanapun, jangan kita lupakan, bahwa dalam lingkungan susunan kenegaraan yang sekarang inipun, masih banjak yang dapat dilekaskan membereskannya, yang mungkin memberi kepuasan banyak sedikitnya kepada pengharapan-pengharapan yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia ini, yang mungkin menambah inspirasi yang, menurut pendapat Pemerintah sudah ada itu, supaya bertambah besar inspirasi itu untuk memikul tiga macam beban yang amat berat, yang hendak diletakkan di atas bahu segenap rakyat. Masih banyak lagi urusan yang mungkin diatur, untuk menambah kekokohan dan keteguhan masyarakat Indonesia umumnya. Kita sebutkan umpamanya, urusan kekuasaan Dewan Rakyat yang sekarang ini, dalam lapangan pamong-praja, urusan milisi dalam lapangan pertahanan negeri, urusan penetapan upah minimum dan sewa tanah minimum dalam lapangan ekonomi, pendidikan industri untuk rakyat dan perbandingan subsidi untuk Islam dan Kristen dalam urusan pendidikan. Dan banjak lagi yang lain-lain. Semua ini dapat diselenggarakan dalam batas susunan kenegaraan sekarang ini, tidak berkehendak kepada perubahan-perubahan susunan kenegaraan dan kemasyarakatan" yang besar-besaraan lebih dahulu.
Sampai di sini, jelas bagi kita, Islam sebagai tolok ukur yang digagas dan diperjuangkan oleh Natsir bukan sekadar berlakunya secara formal Islam sebagai dasar negara. Yang lebih ditekankan oleh Natsir ialah berlakunya nilai-nilai Islam di dalam kehidupan berpribadi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan tujuan dan cita-cita seorang Muslim. Natsir berpendapat, suatu negeri yang pemerintahannya tidak memedulikan keperluan rakyat, membiarkan rakyat bodoh dan dungu, tidak mencukupkan alat-alat yang perlu untuk kemajuan agar tidak tercecer dari negeri-negeri lain, dan yang kepala- kepala (negara dan pemerintahannya) menindas rakyat dengan memakai Islam sebagai kedok atau memakai ibadah-ibadah sebagai kedok, sedangkan kepala-kepala pemerintahan itu sendiri penuh dengan segala macam maksiat dan membiarkan takhyul dan khurafat merajalela, sebagaimana keadaaan Turki di zaman sultan-sultannya yang terakhir, maka pemerintahan yang semacam itu bukanlah pemerintah Islam. Terhadap pemerintahan semacam itu, Natsir mengingatkan pengertian demokrasi di dalam Islam yang memberikan hak kepada kepada rakyat supaya mengeritik, menegur, membetulkan pemerintahan yang zalim. Kalau tidak cukup dengan kritik dan teguran, Islam memberi hak kepada rakyat untuk menghilangkan kezaliman itu dengan kekuatan dan kekerasan, jikalau perlu. Dalam rangka ini, Natsir mengutip hadits riwayat Nasai sebagai berikut: “Pernah orang bertanya kepada Rasulullah, apakah yang sebaik-baik jihad? Dijawab oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang zalim. Sementara itu, Natsir menguraikan tentang syarat memilih pemimpin dalam Islam. Menurut Natsir, dalam Islam hal menjadi pemimpin demi untuk keselamatan masyarakat manusia perlu ada beberapa sifat dan kriteria untuk menjadi Ketua atau Kepala Negara. Dan diperingatkan pula orang-orang yang seperti yang layak untuk di berikan amanat kekuasaan dan urusan. Ditetapkan bahwa yang akan jadi krtiterium atau ukuran untuk melantik yang akan jadi Kepala Negara itu, adalah agamanya, sifat, tabiatnya, akhlaknya dan kepercayaannya  untuk memegang kekuasaan yang diberikan kepadanya, jadi bukanlah bangsa dan keturunannya atau pun semata-mata intelektualnya saja. Disamping Natsir mengungkapkan bahwa, di dalam Islam telah berlaku beberapa Undang-undang yang belaku dengan tujuan untuk mengatur masyarakat dalam suatu negara. Berupa undang-undang perkawinan-perceraian, peraturan warisan dan orang-orang yang mewariskan.
Selain itu ada pula undang-undang yang mengatur tentang kemasyarakatan yang besar seperti pemberantasan kemiskinan dan kekafiran, pembagian kekayaan umat seperti zakar, Fitrah dan sedekah serta larangan terhadap riba. Hal itu untuk menjaga agar jangan elamanya ada jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Suatu hal yang berabad-abad, senantiasa mempengaruhi. Bahkan boleh dikatakan menjadi factor yang terpenting, yang menentukan nasib macam-macam umat. Akan tetapi, diluar dari aturan yang ditetapkan agama, semua boleh diatur menurut zamanm dengan cara-cara yang munasabah, dan tidak melanggar hukum-hukum yang telah ditetapkan. Maka umat islam dapat mencontokan nilai dan peraturan dari Negara lain seperti Inggris belajar dari Jepang dan Rusia dari Finlandia, selama tidak bertentangan dengan Islam. Seabab hasil kebudayaan bukan semata monopoli suatu bangsa.
Dalam membahas pandangan Islam terhadap demokrasi. Natsir memaparkan, Islam adalah agama yang bersifat demokratis. Dengan arti bahwa Islam itu artin istibdad, anti absolutis anti sewenang-wenangan. Akan tetapi ini, tidak berarti, bahwa dalam pemerintahan Islam semua urusan diserahkan kepada kepusutasn musyawarah Majelis Syura. Dalam parlemen Negara Islam, tidaklah akan dipermusyawaratkan terlebih dulu, apakah yang harus menjadi dasar bagi permerintah, dan tidaklah mesti ditunggu keputusan Parlemen terlebih dahulu. Natsir menambahkan, Kita akui demokari baik, akan tetapi sistem kenegaraan Islam tidak mengantungkan semua urusan kepada kerahiman insting-insting demokrasi. Oleh karena itu, menutur Natsir, Islam itu tidak hendak dinamakan bersifat demokratis, itu terserah! Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Silam tak usah demokrasi 100%, bukan pada ototkrasi 100%, Islam itu….ya, Islam.

Hal ini berbeda dengan tulisan Ir. Sorkarno soal dalam Punji’Perslah. Kita kembali kealasan Turki Muda, yang menyatakan bahwa dalam Negara mereka  yang demokratis itu dengan terlepasnya Agama dari Negara. Agama Islam bertambah segar dan bersifat laki-laki menjadi akil baligh  dan dewasa lantaran dalam sistem demokrasi mereka itu semua diberi kesempatan untuk berjuang memperteguh tempat kedudukan dalam parlemen dan lain-lain. Akan tetapi hal ini dikritik Natsir, kalau Kaum Kemalisten (Kemal Attaturk) terang-terangan katakana bahwa mereka melemparkan Agama dan jalankan pemerintahan dikattur, supaya merdeka berbuat dengan leluasa apa yang mereka kehendaki, barang kali masihs anggup juga kita menghormati alas an-alasan mereka sebagai orang jahat berlainan pendirian dengan kita dalam beberapa hal yang mengenai prinsip, tetapi yang tetap besikap jujur dan kesatria. Akan tetap mereka dengan mulut manis menggambarkan demokrasi itu adalah rahmat bagi Agama yang menjadikan Agama Islam jadi akil baligh, serta kuat dan dewasa. Perkataan muluk-muluk, maka kita terpaksa menjawab. Lalulah Tuan-tuan dulu, kami bukan anak-anak lagi! Dan tolong sampaikan pesan kami kepada Essad Bey, bahwa His Excellent itu tidaklah usah mencari amat jauh-jauh lagi, kalau hendak mencari orang-orang yang amat licin gunakan perkataan “demokaris sebagai kedok”. Natsir menambahkan, semua yang kita bawakan diatas ini, adalah kejadian, feiten bukan isapan jempol. Kita percaya bahwa Ir. Soekarno sendiripun telah mengetahui keadaan ini, sekurang-kurangnya dari satu diantara 20 buku yang beliau baca tentang politik Kemal Pasya. Akan tetapi boleh jadi beliau ketinggalan membawakannya waktu menggambarkan “perslah” kedemokrasian dibawah pemeritahan Kemalisten itu, disengaja, kita banyak memperbanyak baik-sangka, husnuz-dzan. Akan tetapi ini adalah satu ketinggalan yang tak boleh dan tak layak dibumkamkan begitu saja. Sebab lantaran keringgalan yang semacam itu, yang hitam menjadi putih dan yang putih menjadi hitam, sayang…..!

2 komentar:

  1. Dimana saya bisa mendapatkan bukunya untuk hang cetakan 1?thx

    BalasHapus
  2. Dimana saya bisa mendapatkan bukunya untuk hang cetakan 1?thx

    BalasHapus