SEMANGAT BUDAYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA
Oleh: Kamaruddin Salim

Dari
sekian banyak hasil karyanya STA menjadi seorang sosok sastrawan
tangguh yang mampu menggeser masa Tradisional menuju zaman modern. Zaman
yang dimana semua manusia mengandalkan akal dan pemikirannya untuk
berkarya serta berkreatifitas demi masa depan. STA sendiri menginginkan
bangsanya agar selalu belajar dari Negara lain. Disamping itu STA
sendiri bukanlah seorang relativis atau seorang skeptis. Sesungguhnya
sesorang rasionalis dapat menjadi skptisis, hal ini terbukti dimana STA
berani berpolemik dengan sekian banyak tokoh dan sastrawan di nagara
ini.
Hal
itu berkaitan dengan prinsip STA tentang semangat untuk bangkit dari
keterpurukan, bangsa Indonesia perlu belajar dari bangsa barat. Apa yang
terlontar dari perkataan STA tak hanya sebatas guyonan semata. Tetapi
di buktikan dengan hasil yang praktis dan objektif. Karena kondisi yang
pragmatis perlu di dorong dengan semangat baru yang revolusioner serta
prinsip yang kritis. Pembuktian STA tak hanya sebatas melahirkan karya
maupun mengikuti seminar Filsafat atau budaya di luar negeri tetapi STA
mampu mewujudkan perkataannya itu dengan mendirikan Yayasan memajukan
Ilmu dan Kebudayaan, dulunya dikenal dengan nama PMIK (Perkoempoelan Memadjoekan Ilmoe dan Koeboedajaan )dan Kampus Universitas Nasional Jakarta. Yang pada perkembangannya masih berjalan hingga sekarang.
STA juga adalah seorang pencetus Polemik Kebudayaan yang menjadi pembicaraan hangat pada tahun 1930-an. Melalui Polemik Kebudayaan STA
berusaha menemukan jati diri bangsa dan membimbing pembentukan
kebudayaan baru, yang dapat menjadi pemersatu penduduk Nusantara. Karena
dari polemik kebudayaan tersebut mengundang banyak perdebatan kritis
dalam bidang kebudayaan dan filsafat. Perdebatan kritis tentang
kebudayaan baru tersebut mendorong STA semangat untuk memajukan kebudayaan Indonesia. Namun demikian pribadi STA tetap menjadi sosok yang
demokrat yang tidak hanya memancing pandangan yang berbeda-beda, tetapi
juga menyediakan wadah untuk mengekspresikannya melalui majalah
Pudjangga Baru.
Sejarah telah membuktikan bahwa sepanjang hidupnya, STA tidak pernah berhenti dalam menyampaikan pandangannya mengenai masyarakat dan kebudayaan.
Keseriusan STA untuk memajukan kebudayaan dan masyarakat tersebut
merupakan visi utama STA. pada proses realisasi gagasan serta
pemikirannya. Ketika tahun 1969, STA diangkat sebagai ketua Akademi Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin. Dengan pengangkatan dirinya sebagai ketua
DKJ, STA mengajak para seniman dan sastrawan untuk melakukan kegiatan
yang bertujuan untuk memajukan kebudayaan Indonesia selain itu STA
juga mendirikan Balai Seni di Desa Truyan dekat danau Toyabungkah,Bali,
sebagai bentuk keseriusannya membangun kebudayaan Indonesia.
Keseriusan STA membangkitkan semangat kebudayaan Indonesia Baru tercermin dari ucapannya; Wahai
apabila datang masanya kebudayaan Indonesia tumbuh rimbun dan dashyat
sebagai pohon beringin. Beribu akarnya menyalami bumi dan dibawah
lindungannya bangsa Indonesia hidup jaya dan bahagia. Pemaknaan
dari apa yang di sampaikan STA tersebut adalah Cita-cita STA untuk
melihat perkembangan Indonesia kearah yang lebih maju. Dimana STA
melihat bahwa keperluan dunia terhadap perubahan adalah bukan lagi
kembali pada masa lampau, tetapi lebih terfokus pada masa yang akan
datang. Karena dunia menyimpan unsur-unsur baru dan membung unsur-unsur
lama. Unsure-unsur baru tersebut adalah sifat kemoderenan.
Pengecapan
STA lebih kebarat-baratan adalah satu sikap yang keliru, sebab
keinginan STA untuk Bangsa Indonesia agar belajar ke Barat bukan berarti
secara pribadi STA berubah wujud menjadi orang barat. Karena sampai
akhir hayatnya STA tetap menjadi sosok Sastrawan yang lebih mencintai
Indonesia. Walaupun pada masa Orde baru STA sempat terkatung-katung
hidupnya karena di kucilkan pemerintah sehingga mengasingkan dieinya Ke
Malaysia dan beberapa Negara lain. Tetapi kecintaan terhadap Indonesia
tidak perlu di ragukan.
Banyak
hal yang membuktikan rasa cinta terhadap Ibu Pertiwi. Semenjak menjadi
Rektor Universitas Nasional Jakarta, STA menunjukkan kecintaannya
terhadap Indonesia. Lewat Unas, STA memposisikan Kampus ini sebagai
barometer perjuangan serta menyediakan pendidikan murah untuk masyarakat
yang tidak mampu. Disamping itu, STA pernah bercita-cita untuk
menyekolahkan sebanyak mungkin putra Indonesia ke luar negeri. Namun hal
itu belum terterealisasi sepenuhnya sampai akhir hayatnya pada
Minggu, 17 Juli 1994, pada pukul 6.45 WIB, di Rumah Sakit Jantung
Harapan Kita Jakarta, STA meninggal dunia dalam usia 86 tahun. Keseriusan STA untuk membangun kebudayaan baru tersebut, mendorong kita untuk tetap menjadi generasi Dian Tak Pernah Kunjung Padam kedepan. Selamat jalan Sang Pahlawan Kebudayaan!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar