Laman

Senin, 16 Desember 2013

SEMANGAT BUDAYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA

                    SEMANGAT BUDAYA SUTAN TAKDIR ALISJAHBANA

                                            Oleh: Kamaruddin Salim


Menulis kisah pribadi ataupun pokok-pokok pemikiran Sutan Takdir  AliSjahbana, berkaitan dengan budaya, filsafat maupun Antropologi tidaklah cukup. Karena semasa hidupnya STA telah banyak melahirkan karya saStra, budaya serta istilah bahasa Indonesia. Sang Pujangga ini menuai banyak perdebatan kritis dan kritik  sampai  saat ini. Namun, sumbangan utamanya sebetulnya bukan hanya dalam bidang sastra, melainkan dalam bidang bahasa dan kebudayaan. Ia memodernisasikan bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional negara modern yang merdeka yang ikut mempersatukan Nusantara. Bahkan Prof. Dr, Frans Magnis Suseno, mengaku banyak mendapat inspirasi dari STA.
Dari sekian banyak hasil karyanya STA menjadi seorang sosok sastrawan tangguh yang mampu menggeser masa Tradisional menuju zaman modern. Zaman yang dimana semua manusia mengandalkan akal dan pemikirannya untuk berkarya serta berkreatifitas demi masa depan. STA sendiri menginginkan bangsanya agar selalu belajar dari Negara lain. Disamping itu STA sendiri bukanlah seorang relativis atau seorang skeptis. Sesungguhnya sesorang rasionalis dapat menjadi skptisis, hal ini terbukti dimana STA berani berpolemik dengan sekian banyak tokoh dan sastrawan di nagara ini.
Hal itu berkaitan dengan prinsip STA tentang semangat untuk bangkit dari keterpurukan, bangsa Indonesia perlu belajar dari bangsa barat. Apa yang terlontar dari perkataan STA tak hanya sebatas guyonan semata. Tetapi di buktikan dengan hasil yang praktis dan objektif. Karena kondisi yang pragmatis perlu di dorong dengan semangat baru yang revolusioner serta prinsip yang kritis. Pembuktian STA tak hanya sebatas melahirkan karya maupun mengikuti seminar Filsafat atau budaya di luar negeri tetapi STA mampu mewujudkan perkataannya itu dengan mendirikan Yayasan memajukan Ilmu dan Kebudayaan, dulunya dikenal dengan nama PMIK (Perkoempoelan Memadjoekan Ilmoe dan Koeboedajaan )dan Kampus Universitas Nasional Jakarta. Yang pada perkembangannya masih berjalan hingga sekarang.
STA juga adalah seorang pencetus Polemik Kebudayaan yang menjadi pembicaraan hangat pada tahun 1930-an. Melalui Polemik Kebudayaan STA berusaha menemukan jati diri bangsa dan membimbing pembentukan kebudayaan baru, yang dapat menjadi pemersatu penduduk Nusantara. Karena dari polemik kebudayaan tersebut mengundang banyak perdebatan kritis dalam bidang kebudayaan dan filsafat. Perdebatan kritis tentang kebudayaan baru tersebut mendorong STA semangat untuk memajukan kebudayaan Indonesia. Namun demikian pribadi STA tetap menjadi sosok yang demokrat yang tidak hanya memancing pandangan yang berbeda-beda, tetapi juga menyediakan wadah untuk mengekspresikannya melalui majalah Pudjangga Baru.
Sejarah telah membuktikan bahwa sepanjang hidupnya, STA tidak pernah berhenti dalam menyampaikan pandangannya mengenai masyarakat dan kebudayaan. Keseriusan STA untuk memajukan kebudayaan dan masyarakat tersebut merupakan visi utama STA. pada proses realisasi gagasan serta pemikirannya. Ketika tahun 1969, STA diangkat sebagai ketua Akademi Jakarta oleh Gubernur Ali Sadikin. Dengan pengangkatan dirinya sebagai  ketua DKJ, STA mengajak para seniman dan sastrawan untuk melakukan kegiatan yang bertujuan untuk memajukan kebudayaan Indonesia selain itu  STA juga mendirikan Balai Seni di Desa Truyan dekat danau Toyabungkah,Bali, sebagai bentuk keseriusannya membangun kebudayaan Indonesia.
Keseriusan STA membangkitkan semangat kebudayaan Indonesia Baru tercermin dari ucapannya; Wahai apabila datang masanya kebudayaan Indonesia tumbuh rimbun dan dashyat sebagai pohon beringin. Beribu akarnya menyalami bumi dan dibawah lindungannya bangsa Indonesia hidup jaya dan bahagia. Pemaknaan dari apa yang di sampaikan STA tersebut adalah Cita-cita STA untuk melihat perkembangan Indonesia kearah yang lebih maju. Dimana STA melihat bahwa keperluan dunia terhadap perubahan adalah bukan lagi kembali pada masa lampau, tetapi lebih terfokus pada masa yang akan datang. Karena dunia menyimpan unsur-unsur baru dan membung unsur-unsur lama. Unsure-unsur baru tersebut adalah sifat kemoderenan.
Pengecapan STA lebih kebarat-baratan adalah satu sikap yang keliru, sebab keinginan STA untuk Bangsa Indonesia agar belajar ke Barat bukan berarti secara pribadi STA berubah wujud menjadi orang barat. Karena sampai akhir hayatnya STA tetap menjadi sosok Sastrawan yang lebih mencintai Indonesia. Walaupun pada masa Orde baru STA sempat terkatung-katung hidupnya karena di kucilkan pemerintah sehingga mengasingkan dieinya Ke Malaysia dan beberapa Negara lain. Tetapi kecintaan terhadap Indonesia tidak perlu di ragukan.
Banyak hal yang membuktikan rasa cinta terhadap Ibu Pertiwi. Semenjak menjadi Rektor Universitas Nasional Jakarta, STA menunjukkan kecintaannya terhadap Indonesia. Lewat Unas, STA memposisikan Kampus ini sebagai barometer perjuangan serta menyediakan pendidikan murah untuk masyarakat yang tidak mampu. Disamping itu, STA pernah bercita-cita untuk menyekolahkan sebanyak mungkin putra Indonesia ke luar negeri. Namun hal itu belum terterealisasi sepenuhnya sampai akhir hayatnya pada Minggu, 17 Juli 1994, pada pukul 6.45 WIB, di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta, STA meninggal dunia dalam usia 86 tahun. Keseriusan STA untuk membangun kebudayaan baru tersebut, mendorong kita untuk tetap menjadi generasi Dian Tak Pernah Kunjung Padam kedepan. Selamat jalan Sang Pahlawan Kebudayaan!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar