Laman

Selasa, 13 Mei 2014

KEKUATAN POLITIK ABRI DI MASA ORDE BARU



KEKUATAN POLITIK ABRI DI MASA ORDE BARU
Kamaruddin Salim
ABSTRAKSI
Pada saat Presiden Suharto berkuasa lebih dari 30 tahun, sejumlah kebijakan di bidang keamanan banyak dilahirkan. Mulai konsep massa mengambang, Dwi fungsi ABRI, hingga penerapan azas tunggal. Pencanangan Pancasila sebagai satu-satunya azas organisasi politik, Merupakan langkah pemerintah Orba untuk menghindari perpecahan di kalangan elit politik. Dwi Fungsi ABRI, adalah konsep jalan tengah ABRI, itu intinya peran ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan peran yang sifatnya non-militer (sosial dan politik). Indoktrinasi ideologi resmi Pancasila ini digelar secara sistematis oleh rezim Orde Baru, karena didasarkan asumsi bahwa Pancasila telah diselewengkan pada masa Orde Lama.

A.   Latar Belakang

Keterlibatan tentara dalam politik telah terjadi sejak awal kemerdekaan dan banyak tentara yang berasal dari elemen-elemen politik yang secara spontan ingin mempertahankan kemerdekaan dengan mengangkat senjata melawan penjajah. Pada masa agresi Belanda, tentara melakukan peran pemerintah, karena ada pemerintah daerah yang tidak dapat berfungsi sebabkan situasi perang kemerdekaan, kemudian tentara melaksanakan fungsi pemerintah. Peran tentara pada masa tersebut dianggap positif, untuk menjamin kelangsungan hidup bangs dan negara yang telah di proklamirkan. Sifat tentara dalam melibatkan diri dalam politik itu pada masa selanjutnya menjadi kebiasaan, bahkan dianggap sebagai haknya.. ditambah dengan diberlakukannya keadaan darurat perang yang memeberi legitimasi tentara untuk melakukan perannya di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara.
Pekembangan selanjutnya, muncul doktrin dwifungsi ABRI dan dilegitimasikan dengan diakuinya tentara sebagai golongan fungsional yang dapat masuk ke dalam kelembangaan  politik negara. Yang kemudian menjadi kekuatan politik yang menonjol pada era edmokrasi terpimpin pemerintahan Presiden Soekarno. Pada masa pemerintahan Pemerintahan Presiden Soeharto ketrerlibatan tenatara dlam politik menjadi sangat dominan. Karena tentara dijadikan sebagai alat kekuasaan dan dilegitimasikan dengan berbagai Undang-undang. Kenyataan selama berlangsunya pemerintahan Orde baru menunjukkan bahwa ikut camputnya tentara dalam politik kurang memberi ruang gerak bagi berkembangnya civil society. (Abdoel Fatah,2005: viii)
Dalam rangka membersihkan aparatur negara dan tata kehidupan bernegara dari unsur-unsur PKI dan segala ormasnya, pemerintah tidak memberi hak pilih kepada bekas anggota PKI dan segala ormasnya yang terlibat G 30 S/PKI. Ketegasan sikap ini sangat penting dalam rangka tetap mewaspadai bahaya laten PKI dan penyusupan ideologinya. Namun, sikap waspada dan kehati-hatian pemerintahan Orde Baru itu sangat kebablasan yang menyebabkan peran negara makin membelenggu berbagai aspek kehidupan masyarakat. Istilah pembangunan, atas nama rakyat, stabilitas, dan pertumbuhan menjadi jargon yang dilontarkan pemerintahan Orde Baru. Dan munculnya poros tengah yang dalam hal ini di pelopori oleh Ankatan Darat menunjukkan posisi yang dominan dan tak tertandingi di dalam pemerintahan dan disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politik sipil, sedangkan sebagian terbesar yang lain menerima itu sebagai suatu kenyataan yang tak terhindarkan.(Crouch, 199:276)   
Untuk mencapai tujuan semua itu, negara mengambil peran besar yang sangat menentukan dengan menempatkan pada tangan presiden. Sebetulnya, secara semu pemerintahan Orde Baru mirip pada masa Indonesia melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Hanya pejabat presidennya saja yang ganti, sistemnya tetap sama. Orde Baru dengan motor penggerak Golongan Karya (Golkar) dan ABRI berusaha mengambil peranan yang lebih besar pada aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan mengatasnamakan negara. Golkar yang dibina oleh Presiden Soeharto terus berusaha mengamankan posisi pemerintahan sejak Pemilu 1971.

B.  Analisis

Krisis ekonomi yang telah menjelma menjadi ketidakpastian politik yang berkepanjangan membuat diversifikasi kebijakan politik Orde Baru yang selama ini tercentralistik kepada satu kekuatan politik dibawah legitimasi Panglima tertinggi ABRI. Dalam analisis pendekatan struktural, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di tanah air, dinilai tidak menciptakan struktur sosial ekonomi yang menjadi dasar bagi kukuhnya proses demokratisasi. Proposisi Kelas Menengah yang secara signifikan mampu menciptakan tuntutan kearah demokratisasi, masih amat kecil. Selain itu, struktur hubungan pusat - daerah juga diwarnai oleh dominasi elite Birokrasi - Militer yang berorientasi kepada dukungan pusat, sehingga kurangnya kepentingan dengan penegakkan institusi demokratis di wilayah mereka. Selama 32 tahun lebih telah terjadi penyimpangan yang menghambat proses demokratisasi melalui berbagai kebijakan politik sebagai bagian dari implementasi struktural peran sosial politik ABRI. Selama itu pula militer tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik sepanjang pemerintahan Orde Baru, baik melalui doktrin peran sosial politiknya maupun bentuk perundangan yang menjadi basis legitimasinya.
Di tengah arus gelombang demokratisasi yang begitu kuat melanda negara-negara dunia ketiga (third world countries) saat ini telah membuat redifinisi tentang keterlibatan militer dalam politik dan dominos effect yang juga begitu kuat dirasakan Republik ini terutama melalui apa yang selama ini diperjuangkan oleh kalangan masyarakat sipil dengan cita - cita reformasi total.. Latar belakang sejarah kemerdekaan suatu bangsa biasanya menjadi titik tolak bagi militer untuk berkiprah dalam kehidupan politik, begitupun halnya dengan kalangan militer di Indonesia yang cenderung memelihara doktrin tentang kontribusi militer dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Selain itu, faktor ketidakstabilan politik suatu bangsa dengan indikasi ketika regime sipil berkuasa kemudian didiskriditkan karena tidak mampu menguasai keadaan sehingga lambat laun kekerasan fisik bisa terjadi. Dengan demikian lambat laun militer akan memasuki ruang kehidupan politik yang pada akhirnya akan menjadi salah satu kekuatan politik.
Sejarah keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari AS, menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. Model operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah diluar batas kemanusiaan. (http://nurfajri90.blogspot.com/2012/10/sejarah-dan-perkembangan-militer.html)
Proses demokratisasi hanya bisa tumbuh didalam komunitas masyarakat di mana terdapat optimalisasi peran dan fungsi civil society serta lembaga - lembaga politik. Referensi dan wacana dalam political science selalu menghasilkan suatu tesis bahwa keterlibatan militer dalam politik hanya akan menghasilkan pemerintahan yang otoritarianisme. Dalam konteks politik indonesia saat ini, diperlukan sebuah platform baru untuk meminimalisir peran politik militer dengan tujuan menstimulasi proses demokratisasi. Dalam teori hubungan sipil - militer seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, usaha pengendalian golongan sipil terhadap kelompok militerdibagi dua metode. Pertama, disbut pengendalian sipil subyektif. Metode ini dilakukan dengan memperbesar kekuasaan sipil dibandingkan militer. Namun metode ini akan mengalami banyak tantangan sebab yang namanya golongan sipil itu merupakan kelompok yang heterogen dan mempunyai kepentingan yang berbeda- beda. Metode kedua, disebut pengendalian sipil obyektif. (Huntington, 2001:22)
Metode ini dilakukan dengan cara meningkatkan profesionalisme kelompok militer. Dalam pengertian ini kekuasaan militer akan diminimalkan tetapi tidak dilenyapkan sama sekali. Militer masih diberikan kekuasaan sebatas yang diperlukan, dan dengan demikian tetap menjalankan sesuai dengan profesinya. Landasan teoritis yang diajukan oleh Huntington mungkin bisa menjadi kerangka berpikir bagi kekuatan - kekuatan sipil untuk menggusur militer dari pentas politik.
Dalam pemikiran William Liddle, pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses decision making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society yang mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena tersebut kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi ABRI. Dekonstruksi dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan kebutuhan politik yang mendesak disaat angin reformasi sedang berhembus. Ketika masyarakat mulai sepakat mendefinisikan reformasi sebagai redemokratisasi, muncul beberapa pertanyaan akan posisi ABRI dalam proses reformasi serta bagaiman seandainya ABRI mempertahankan status quo. Beberapa pemikiran kemudian muncul untuk melenyapkan militer dari panggung politik.
Kontroversi dari Dwifungsi ABRI timbul karena adanya ekses negatif di masyarakat seperti stabilitas menjadi tujuan, dinamika masyarakat menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas dikalahkan keseragaman dan monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah bersama menguatnya sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya pelembagaan otoritarianisme. Secara struktural, banyak pula dikalangan militer yang diposkan pada posisi yang sebelumnya dianggap domain - nya orang sipil. Kaji ulang Dwifungsi ABRI banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Beberapa hal yang menyangkut meningkatnya stabilitas politik, menguatnya civil society, globalnya tuntutan demokratisasi serta diferensiasi dan profesionalisme, merupakan faktor bagi militer untuk re - thinking terhadap keterlibatannya dalam militer. Selain itu, kekerasan politik sebagai ekses dari prakter militeristik begitu mendominasi kehidupan politik rezim Orde Baru. Telah menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI dimasa mendatang bagaimanapun harus dihilangkan.
C.   Kesimpulan
Keterlibatan militer di dalam perpolitikan, tentunya berdampak besar terhadap terwujudnya proses demokrasi yang baik. Di mana, peranan ABRI dengan konsep Dwifungsi sebagai legitimasi yang secara politik menghambat terciptanya proses demokrasi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan peranan militer yang oleh penguasa Orde Baru di pakai sebagai alat kekuasaan untuk menghadang segala bentuk gerakan perubahan dari elemen masyarakat yang dengan giat mendorong terciptanya proses demokrasi yang terbuka dan tidak dihegomoni oleh penguasa.
Disamping itu, dengan optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan sesuatu kekuatan check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan (state) yang merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat (society). Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik. Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik sudah tidak diperluakan lagi.
D.  Daftar Pustaka
-          Horal Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia. (Jakarta: SInar Harapan, 1999)
-          Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, Yogyakarta: LKIS, 2005).
-          Samuel P. Huntington, The Solder and the State The Theory of Civil Militery Relations (Harvard University Prses.1957)
-          (http://nurfajri90.blogspot.com/2012/10/sejarah-dan-perkembangan-militer.html)

2 komentar:

  1. Saya ingin bertanya mengenai bagaimana seharusnya sikap abri dalam politik indonesia untuk masa depan.

    BalasHapus
  2. sikap ABRI (TNI) dalam politik tentu dibutuhkan, terutama terkait dengan politik nasional lebih khusus fokus pada persoalan ketahanan nasional, bela negara dan ancaman terorisme. selain partai politik yang mempunyai kader mempuni utk terlibat aktif dalam praktik politik kenegaraan, TNI juga mempunyai kader yg mempuni dan kredibel.

    BalasHapus