KEKUATAN
POLITIK ABRI DI MASA ORDE BARU
Kamaruddin
Salim
ABSTRAKSI
Pada
saat Presiden Suharto berkuasa lebih dari 30 tahun, sejumlah kebijakan di
bidang keamanan banyak dilahirkan. Mulai konsep massa mengambang, Dwi fungsi
ABRI, hingga penerapan azas tunggal. Pencanangan Pancasila sebagai satu-satunya
azas organisasi politik, Merupakan langkah pemerintah Orba untuk menghindari
perpecahan di kalangan elit politik. Dwi Fungsi ABRI, adalah konsep jalan
tengah ABRI, itu intinya peran ABRI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan
dan peran yang sifatnya non-militer (sosial dan politik). Indoktrinasi ideologi
resmi Pancasila ini digelar secara sistematis oleh rezim Orde Baru, karena
didasarkan asumsi bahwa Pancasila telah diselewengkan pada masa Orde Lama.
A. Latar
Belakang
Keterlibatan tentara
dalam politik telah terjadi sejak awal kemerdekaan dan banyak tentara yang
berasal dari elemen-elemen politik yang secara spontan ingin mempertahankan
kemerdekaan dengan mengangkat senjata melawan penjajah. Pada masa agresi
Belanda, tentara melakukan peran pemerintah, karena ada pemerintah daerah yang
tidak dapat berfungsi sebabkan situasi perang kemerdekaan, kemudian tentara
melaksanakan fungsi pemerintah. Peran tentara pada masa tersebut dianggap
positif, untuk menjamin kelangsungan hidup bangs dan negara yang telah di
proklamirkan. Sifat tentara dalam melibatkan diri dalam politik itu pada masa
selanjutnya menjadi kebiasaan, bahkan dianggap sebagai haknya.. ditambah dengan
diberlakukannya keadaan darurat perang yang memeberi legitimasi tentara untuk
melakukan perannya di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara.
Pekembangan
selanjutnya, muncul doktrin dwifungsi ABRI dan dilegitimasikan dengan diakuinya
tentara sebagai golongan fungsional yang dapat masuk ke dalam kelembangaan politik negara. Yang kemudian menjadi
kekuatan politik yang menonjol pada era edmokrasi terpimpin pemerintahan
Presiden Soekarno. Pada masa pemerintahan Pemerintahan Presiden Soeharto
ketrerlibatan tenatara dlam politik menjadi sangat dominan. Karena tentara dijadikan
sebagai alat kekuasaan dan dilegitimasikan dengan berbagai Undang-undang.
Kenyataan selama berlangsunya pemerintahan Orde baru menunjukkan bahwa ikut
camputnya tentara dalam politik kurang memberi ruang gerak bagi berkembangnya civil society. (Abdoel Fatah,2005: viii)
Dalam rangka
membersihkan aparatur negara dan tata kehidupan bernegara dari unsur-unsur PKI
dan segala ormasnya, pemerintah tidak memberi hak pilih kepada bekas anggota
PKI dan segala ormasnya yang terlibat G 30 S/PKI. Ketegasan sikap ini sangat
penting dalam rangka tetap mewaspadai bahaya laten PKI dan penyusupan
ideologinya. Namun, sikap waspada dan kehati-hatian pemerintahan Orde Baru itu
sangat kebablasan yang menyebabkan peran negara makin membelenggu berbagai
aspek kehidupan masyarakat. Istilah pembangunan, atas nama rakyat, stabilitas,
dan pertumbuhan menjadi jargon yang dilontarkan pemerintahan Orde Baru. Dan
munculnya poros tengah yang dalam hal ini di pelopori oleh Ankatan Darat
menunjukkan posisi yang dominan dan tak tertandingi di dalam pemerintahan dan
disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politik sipil, sedangkan sebagian
terbesar yang lain menerima itu sebagai suatu kenyataan yang tak
terhindarkan.(Crouch, 199:276)
Untuk mencapai tujuan
semua itu, negara mengambil peran besar yang sangat menentukan dengan
menempatkan pada tangan presiden. Sebetulnya, secara semu pemerintahan Orde
Baru mirip pada masa Indonesia melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Hanya pejabat
presidennya saja yang ganti, sistemnya tetap sama. Orde Baru dengan motor
penggerak Golongan Karya (Golkar) dan ABRI berusaha mengambil peranan
yang lebih besar pada aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
dengan mengatasnamakan negara. Golkar yang dibina oleh Presiden Soeharto terus
berusaha mengamankan posisi pemerintahan sejak Pemilu 1971.
B. Analisis
Krisis ekonomi yang telah menjelma
menjadi ketidakpastian politik yang berkepanjangan membuat diversifikasi
kebijakan politik Orde Baru yang selama ini tercentralistik kepada satu
kekuatan politik dibawah legitimasi Panglima tertinggi ABRI. Dalam analisis
pendekatan struktural, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di
tanah air, dinilai tidak menciptakan struktur sosial ekonomi yang menjadi dasar
bagi kukuhnya proses demokratisasi. Proposisi Kelas Menengah yang secara
signifikan mampu menciptakan tuntutan kearah demokratisasi, masih amat kecil.
Selain itu, struktur hubungan pusat - daerah juga diwarnai oleh dominasi elite
Birokrasi - Militer yang berorientasi kepada dukungan pusat, sehingga kurangnya
kepentingan dengan penegakkan institusi demokratis di wilayah mereka. Selama 32
tahun lebih telah terjadi penyimpangan yang menghambat proses demokratisasi
melalui berbagai kebijakan politik sebagai bagian dari implementasi struktural
peran sosial politik ABRI. Selama itu pula militer tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan politik sepanjang pemerintahan Orde Baru, baik melalui doktrin peran
sosial politiknya maupun bentuk perundangan yang menjadi basis legitimasinya.
Di tengah arus gelombang demokratisasi
yang begitu kuat melanda negara-negara dunia ketiga (third world countries) saat ini telah membuat redifinisi tentang
keterlibatan militer dalam politik dan dominos
effect yang juga begitu kuat dirasakan Republik ini terutama melalui apa
yang selama ini diperjuangkan oleh kalangan masyarakat sipil dengan cita - cita
reformasi total.. Latar belakang sejarah kemerdekaan suatu bangsa biasanya
menjadi titik tolak bagi militer untuk berkiprah dalam kehidupan politik,
begitupun halnya dengan kalangan militer di Indonesia yang cenderung memelihara
doktrin tentang kontribusi militer dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Selain
itu, faktor ketidakstabilan politik suatu bangsa dengan indikasi ketika regime
sipil berkuasa kemudian didiskriditkan karena tidak mampu menguasai keadaan
sehingga lambat laun kekerasan fisik bisa terjadi. Dengan demikian lambat laun
militer akan memasuki ruang kehidupan politik yang pada akhirnya akan menjadi
salah satu kekuatan politik.
Sejarah keterlibatan militer dalam
politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi
kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian
berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi
militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan
berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana
suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak
berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or
dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang
militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari AS, menilai
bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. Model operasinya,
Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu dari belakang.
Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh aparat militer
dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan kebiadaban dan
berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah diluar batas kemanusiaan.
(http://nurfajri90.blogspot.com/2012/10/sejarah-dan-perkembangan-militer.html)
Proses demokratisasi hanya bisa
tumbuh didalam komunitas masyarakat di mana terdapat optimalisasi peran dan
fungsi civil society serta lembaga - lembaga politik. Referensi dan wacana
dalam political science selalu menghasilkan suatu tesis bahwa keterlibatan
militer dalam politik hanya akan menghasilkan pemerintahan yang
otoritarianisme. Dalam konteks politik indonesia saat ini, diperlukan sebuah
platform baru untuk meminimalisir peran politik militer dengan tujuan
menstimulasi proses demokratisasi. Dalam teori hubungan sipil - militer seperti
yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, usaha pengendalian golongan sipil
terhadap kelompok militerdibagi dua metode. Pertama, disbut pengendalian sipil
subyektif. Metode ini dilakukan dengan memperbesar kekuasaan sipil dibandingkan
militer. Namun metode ini akan mengalami banyak tantangan sebab yang namanya
golongan sipil itu merupakan kelompok yang heterogen dan mempunyai kepentingan
yang berbeda- beda. Metode kedua, disebut pengendalian sipil obyektif. (Huntington,
2001:22)
Metode ini dilakukan dengan cara
meningkatkan profesionalisme kelompok militer. Dalam pengertian ini kekuasaan
militer akan diminimalkan tetapi tidak dilenyapkan sama sekali. Militer masih
diberikan kekuasaan sebatas yang diperlukan, dan dengan demikian tetap
menjalankan sesuai dengan profesinya. Landasan teoritis yang diajukan oleh
Huntington mungkin bisa menjadi kerangka berpikir bagi kekuatan - kekuatan
sipil untuk menggusur militer dari pentas politik.
Dalam pemikiran William Liddle,
pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan
Piramida Orde Baru yang mencakup seorang Presiden dengan kekuasaan yang sangat
dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses decision
making yang berpusat pada birokrasi, dan pola hubungan state - society yang
mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena tersebut
kemudian menimbulkan keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi
ABRI. Dekonstruksi dan kaji ulang terhadap konsep Dwifungsi ABRI merupkan
kebutuhan politik yang mendesak disaat angin reformasi sedang berhembus. Ketika
masyarakat mulai sepakat mendefinisikan reformasi sebagai redemokratisasi,
muncul beberapa pertanyaan akan posisi ABRI dalam proses reformasi serta
bagaiman seandainya ABRI mempertahankan status quo. Beberapa pemikiran kemudian
muncul untuk melenyapkan militer dari panggung politik.
Kontroversi dari Dwifungsi ABRI
timbul karena adanya ekses negatif di masyarakat seperti stabilitas menjadi
tujuan, dinamika masyarakat menjadi terhambat, aspirasi akan pluralitas
dikalahkan keseragaman dan monoloyalitas, sementara asas desentralisasi melemah
bersama menguatnya sentralisasi, sehingga demokrasi sulit dicapai karena adanya
pelembagaan otoritarianisme. Secara struktural, banyak pula dikalangan militer
yang diposkan pada posisi yang sebelumnya dianggap domain - nya orang sipil.
Kaji ulang Dwifungsi ABRI banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal. Beberapa hal yang menyangkut meningkatnya stabilitas politik,
menguatnya civil society, globalnya tuntutan demokratisasi serta diferensiasi
dan profesionalisme, merupakan faktor bagi militer untuk re - thinking terhadap
keterlibatannya dalam militer. Selain itu, kekerasan politik sebagai ekses dari
prakter militeristik begitu mendominasi kehidupan politik rezim Orde Baru.
Telah menjadi kepentingan kita semua bahwa peran politik ABRI dimasa mendatang
bagaimanapun harus dihilangkan.
C. Kesimpulan
Keterlibatan militer di dalam
perpolitikan, tentunya berdampak besar terhadap terwujudnya proses demokrasi
yang baik. Di mana, peranan ABRI dengan konsep Dwifungsi sebagai legitimasi
yang secara politik menghambat terciptanya proses demokrasi di Indonesia. Hal
ini dapat dilihat dengan peranan militer yang oleh penguasa Orde Baru di pakai
sebagai alat kekuasaan untuk menghadang segala bentuk gerakan perubahan dari
elemen masyarakat yang dengan giat mendorong terciptanya proses demokrasi yang
terbuka dan tidak dihegomoni oleh penguasa.
Disamping itu, dengan optimalisasi
partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik menjadi agenda
terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran
politik militer. Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu
mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya lembaga legislatif,
eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan sesuatu kekuatan
check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik.
Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan
dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan (state) yang merefleksikan
kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat (society). Karena itu,
merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro Demokrasi untuk
memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan dalam menolak
segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik. Perkembangan arus
demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat ini, melahirkan
pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik sudah tidak
diperluakan lagi.
D. Daftar Pustaka
-
Horal
Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia. (Jakarta: SInar Harapan, 1999)
-
Abdoel
Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,
Yogyakarta: LKIS, 2005).
-
Samuel
P. Huntington, The Solder and the State
The Theory of Civil Militery Relations (Harvard University Prses.1957)
-
(http://nurfajri90.blogspot.com/2012/10/sejarah-dan-perkembangan-militer.html)
Saya ingin bertanya mengenai bagaimana seharusnya sikap abri dalam politik indonesia untuk masa depan.
BalasHapussikap ABRI (TNI) dalam politik tentu dibutuhkan, terutama terkait dengan politik nasional lebih khusus fokus pada persoalan ketahanan nasional, bela negara dan ancaman terorisme. selain partai politik yang mempunyai kader mempuni utk terlibat aktif dalam praktik politik kenegaraan, TNI juga mempunyai kader yg mempuni dan kredibel.
BalasHapus