KEKUATAN PROPAGANDA MEDIA MASSA PKI DI MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN
Di Susun Oleh: Kamaruddin Salim
Abstraksi
Pada masa demokrasi terpimpin
pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama,
dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa. Bagi presiden
NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden
yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia
akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat. Dikeluarkan
ajaran Nasakom sama dengan upaya untuk memperkuat kedudukan Presiden sebab jika
menolak Nasakom sama artinya dengan menolak presiden. Kelompok yang kritis
terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya
penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa
PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut
menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan
bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis.
Selain itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah
dengan alat propaganda melalui media massa yang mereka miliki, yakni Harian Rakyat dan Bintang Merah. Akhirnya PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa
Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.
BAB I
PENDAHULUAN
.
A. LATARBELAKANG
Soekarno
dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat
liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan
sistim Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang
dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem
liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di
Indonesia.
Partai
politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan
kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu
kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu
berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun
demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk
berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan
kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan
oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang.
Pada
masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.
Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan
suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian
partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan
kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar
dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin.
Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan
karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah
dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan
temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap
diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan
dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan
ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
Partai
politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi
Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling
ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi
yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai
asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata
dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter.
Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri
dari partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang
dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi
dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai
politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat
dikendalikan, dibubarkan pula.
Dalam
penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada
satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai
Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga
kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk
mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi
terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan. PKI di bawah
pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif
dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian
progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar
pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga
juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek
organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai
terbesar.
Dalam
pada itu, Presiden Soekarno telah mengambil langkah untuk memecah kekompakkan
inern TNI-AD dan menempatkan angkatan-angkatan lain dalam posisi mengeimbangi
TNI-AD. Hal itu dilakukan dengan memisahkan wewenang administrasi terhadap ABRI
dari kewenangan operasional. Wewenang administrated berada di tangan Menteri
Koordinator (Menko) Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab), sedangkan
wewenang operasional berada di tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI melalui
sebuah Komando Operasi Tertinggi (Koti). Masing-masing angkatan di pimpin oleh
Menteri Panglima Angkatan yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden
Panglima Tertinggi dan bukan melalu Menko Hankam/Kasab.
PKI
dalam periode ini melancarkan apa yang dikenal sebagai aksi-aksi sepihak, yakni
tindakan-tindakan illegal oleh anggota-anggota organisasi massa PKI seperti BTI
untuk menguasai tanah yang bukan haknya. PKI pula melancarkan pula dengan apa
yang dinamakan ofensif revolusioner,
dengan jalan menyerang secara pribadi, character
assassionation pihak-pihak yang dianggap sebagai lawannya melalui media
massa, demosntrasi, poster-poster dan alat-alat agitasi propaganda lainnya.[1]
Hubungan
antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan
merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk
mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden
seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur
kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat
perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada
saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari
Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan
TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan
hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan
ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang
radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya
yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar.
Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan
September tahun 1965. Di mana, PKI
kemudian mengusulkan supaya buruh dan tani dipersenjatai. Dalam pada itu
Presiden Soekarno melontarkan gagasan untuk membentuk angkatan ke-5 di samping
itu Angkatan Darat, Laut, Udara dan Polisi yang terdiri atas duapuluh satu juta
sukarelawan yang telah diorganisasi untuk melakukan konfrontasi terhadap Malaysia.
Usul tersebut segera didukung oleh PKI dengan aksi-aksi demonstrasi maupun
melalui media massa. Pendeknya antara Presiden Soekarno dan PKI terbentuk suatu
poros mengahdapi TNI-AD. Suasana antagonistis inilah yang terdapat di tanah air Indonesia menjelang pemberontakan G.30S/PKI.[2]
B. RUMUSAN MASALAH
Hubungan media dan politik telah berlangsung lama, jauh
sebelum ilmu politik menemukan jatidirinya sebagai ilmu yang berdiri sendiri
dari Filsafat. Tetapi politik sebagai disiplin ilmu baru diakui pada 1880
setelah School of Political berdiri
di Columbia College. Karena hubungan
yang begitu erat antara media dan poltik, ama studi tentang pengaruh dalam
pembentukan pendapat umum (opini publik)
senantiasa mendapat tempat tersendiri dalam wacana politik. Kaitan
dengan hubungan media dan politik, dalam perkembangan sejarah Demokrasi
Terpimpin, maka penulis mencoba mengangkat judul Kekuatan Media Massa PKI di
Masa Demokrasi Terpimpin. Dan judul ini dipilih, karena menurut penulis, dalam
sejarah perkembangan Demokrasi Terpimpin tersebut menarik untuk dipahami bahwa,
peranan media massa di dalam mendukung dan menolak proses penerapan Demokrasi
Terpimpin yang dilakukan oleh Presiden Soekarno tersebut mendapat peran
tersendiri dalam catatan sejarah Indonesia.
Di mana, Media Massa memiliki hubungan yang sangat erat dengan
organisasi politik maupun partai politik dari pertamakalinya pers dikelola oleh
para jurnalis Indonesia. Hubungan ini berkaitan dengan fungsi pers sebagai
penyebar informasi dan alat propaganda yang efektif bagi partai politik dalam
mengkampanyekan program serta tujuan partai tersebut. Masa demokrasi liberal
hingga demokrasi terpimpin pers sangat berperan bagi kelangsungan kampanye
partai politik, hampir setiap partai politik memiliki surat kabar baik yang
terbit harian maupun mingguan serta bulanan. Surat kabar ini dikelola sama
baiknya dengan surat kabar umum yang tidak berafiliasi dengan partai politik
dan bahkan menjadi alat pemasukan dana bagi partai politik. Partai-partai
politik yang memiliki surat kabar seperti PKI, Masyumi, PNI, NU dan lain sebagainya
sangat gencar melakukan propaganda melalui media massa. Dan propaganda yang
dilakukan di Era Demokrasi Terpimpin dan mendapat kritik dari berbagai kekuatan
politik yang lain adalah Media Massa yang berafiliasi dengan PKI. Dari
propaganda yang dilakukan oleh media massa PKI tersebut menimbulkan polemik
serta mendorong pemerintah Soekarno melakukan pembredelan terhadap media massa
dilaur dari PKI. Berdasarkan fakta yang ada maka Penulis mencoba merumuskan
pokok permasalahan, Mengapa Media Massa
PKI melakukan propaganda politik untuk mendukung kebijakan politik Presiden
Soekarno?
C. IDENTIFIKASI MASALAH
Pemerintah melalui Departemen Penerangan memberi ijin
terhadap kembali terbitnya majalah Bintang Merah. Kembalinya PKI dengan
corongnya Bintang Merah ke dalam pentas politik nasional merupakan
perjuangan berat bagi Aidit dan tokoh muda lainnya. Terjadinya razia Agustus
yang dilakukan oleh Kabinet Sukiman terhadap anggota-anggota PKI adalah salah
satu upaya mematikan eksistensi PKI yaitu dengan menangkap beberapa tokoh PKI.
Namun Aidit sendiri berhasil lolos dari usaha penangkapan politik tersebut.
Adanya razia tersebut jelas menambah kesulitan terutama bagi kelompok Bintang
Merah yang sedang berjuang membangun kembali partainya serta
berpengaruhnya Propaganda yang dilakukan PKI melalui Harian Rakyat yang dimotori oleh Nyoto menambah energi perlawan
terhadap kekuatan lain yang selama ini menjadi musuh politik PKI semenjak
terjadi permberontakan PKI di Madiun. Dan kelompok yang dianggap PKI sebagai
senantiasa menghalangi berkembangnya misi politik mereka adalah ABRI, khususnya
Angkatan Darat dan Partai Politik seperti PSI dan Masyumi.
D . KERANGKA TEORI
Untuk membahas permasalahan tersebut di atas, penulis menggunakan
beberapa teori sebagai berikut:
1.
Teori
Demokrasi
a.
Teori
Demokrasi
Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dicetuskan di Athena pada abad ke-5
sebelum Masehi. Demos berarti rakyat, dan Cratos/Kratien/Kratia yang artinya
kekuasaan/berkuasa/pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal
dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi
perwakilan).
Demokrasi menurut Schumpeter, adalah pengaturan untuk mencapai
keputusan-keputusan politik di dalam mana individu-individu, melalui perjuangan
memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan.
Defenisi Schumpeterian yang lebih
bersifat empirik, deskriptif, institusional dan prosedural inilah yang
mendominasi teorisasi mengenai demokrasi sejak 1970-an. Gagasan yang memandang
demokrasi sebagai suatu sistem untuk memprotes konflik di mana partai yang
kalah dalam pemilihan umum tidak berusaha merusak rezim demi mencapai
tujuannya, tetapi bersedia menerima kenyataan dan menunggu putaran pertarungan
dalam pemilihan umum berikutnya[3].
Memahami apa yang dipaparkan
Schumpeter, bahwa demokrasi pada hakekatnya menjunjung tinggi sikap ketaatan
terhadap aturan yang berlaku dalam suatu Negara demi tercapainya
keputusan-keputusan politiknya. Disamping itu individu yang terlibat dalam
setiap kegiatan politik perlu dihargai dan diapresiasi sehingga cita-cita dari
terwujudnya demokasi dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik. Sehingga
proses perjuangan yang dilakukan demi mendapat simpati rakyat direspon secara
maksimal tanpa melakukan proses propaganda ataupun konflik yang mengarah kepada
hilangnya nilai demokrasi itu sendiri.
Diamond, Linz dan Lipset,
mendefenisikan Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga
syarat kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu-individu
dan kelompok-kelompok organisasi
(terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan
pemerintahan yang memiliki kekusaan efektif, pada jangka panjang yang reguler
dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa; partisipasi politik yang melibatkan
sebanyak mungkin warga Negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling
tidak melalui pemilihan umum yang disenggelarakan secara reguler dan adil,
sedemikian rupa sehingga tidak satupun kelompok sosial (warganera dewasa) yang
dikecualikan ; dan suatu tingkat kebebasan sipil dan politik. Yaitu kebebasan
berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk memben tuk dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup untuk
menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik[4].
Merujuk dari apa yang diuraikan oleh Diamond, Linz dan Lipset, demokrasi dalam
praktiknya perlu dilakukan dengan cara yang mengedepankan azas kebebasan. Di
mana, kebebasan sipil dan politik dapat memberikan partisipasi yang baik dari
warga Negara di dalam setiap proses politik, baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun partai politik termasuk di dalam agenda politik melalu
pemilihan umum. Kekebasan menjadi kata kunci yang perlu dikedepankan sehingga
individu ataupun kelompok yang melakukan aktivitasnya dengan sadar tentu
membantu proses pencapaian kepentingan politik nasional dari sautu Negara. Bila
ada pelarangan ataupun pemberedelan terhadap media massa tentu akan menggangu
proses politik yang demokratis dalam Negara ataupun masyarakat.
b.
Teori
Demokrasi Terpimpin
Menurut Ketetapan MPRS No. XVIII/MPRS
/1965 demokrasi terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksamaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi terpimpin merupakan kebalikan dari demokrasi liberal dalam kenyataanya demokrasi yang dijalankan Presiden Soekarno menyimpang dari
prinsip-prinsip negara demokrasi. Penyimpanyan tersebut antara lain :
b.
Peranan parlemen yang lemah.
c.
Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah.
d.
Terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan antara pusat
dan daerah.
e.
Terbatasnya kebebasan pers sehingga banyak media masa yang
tidak dijinkan terbit.
Praktek
demokrasi terpimpin dari aspek peran partai politik dan suprasruktur politik. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi dimana yang memimpin bangsa ini
adalah Bung Karno atau Ir. Soekarno. Selama masa Orde Lama, ada sistem yang
pernah diterapkan di Indonesia, yakni : Masa
demokrasi liberal, Demokrasi yang dipakai adalah demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Demokrasi pada masa itu telah dinilai gagal dalam menjamin stabilitas
politik. Ketegangan politik demokrasi liberal / parlementer disebabkan hal-hal sebagai berikut :
a. Dominannya politik aliran maksudnya partai politik yang sangat mementingkan kelompok atau alirannya sendiri
dari pada mengutamakan kepentingan bangsa.
b. Landasan sosial ekonomi rakyat yang
masih rendah.
c. Tidak mampunya para anggota
konstituante bersidang dalam mennetukan dasar negara.
Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai
sejak adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Latar belakang munculnya dekrit
Presiden tesebut adalah :
a. Undang - Undang Dasar yang menjadi
pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang
Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal
dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
b. Kegagalan konstituante dalam menetapkan
Undang - Undang Dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab
Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
c. Situasi politik yang kacau dan semakin
buruk.
d. Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam
negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
e. Konflik antar partai politik yang
mengganggu stabilitas nasional.
f. Banyaknya partai dalam parlemen yang
saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya.
g. Masing-masing partai politik selalu
berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Demi menyelamatkan negara maka Presiden
melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit
yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan
dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan
untuk menyelamatkan negara. Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
a. Pembubaran konstituante
b. Tidak berlakunya UUDS 1950 dan
berlakunya kembali UUD 1945
c. Pembentukan MPRS dan DPRS
Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden :
d. Rakyat menyambut baik sebab mereka
telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa
Liberal.
e. Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung
pelaksanaan Dekrit Presiden.
f. KSAD meminta kepada seluruh anggota
TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.
g. DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara
aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD 1945.
Dampak positif diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut :
h. Menyelamatkan negara dari perpecahan
dan krisis politik berkepanjangan.
i.
Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi
kelangsungan negara.
j.
Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS
dan lembaga tinggi negara berupa DPRS yang selama masa Demokrasi Parlemen
tertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut. :
k. Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan
secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum
konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi
slogan-slogan kosong belaka.
l.
Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga
tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut
sampai Orde Baru.
m. Memberi peluang bagi militer untuk
terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat
menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde
Baru dan tetap terasa sampai sekarang. Dengan turunnya dekrit presiden
berakhirlan masa demokrasi parlementer atau demokrasi liberal[5].
2.
Teori
Propaganda.
Propaganda adalah
suatu kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi. Propaganda juga
diartikan sebagai proses diseminasi infomasi untuk memengaruhi sikap dan
tingkah laku seseorang atau kelompok masyarakat dengan motif indoktrinasi
ideologi. Menurut Dr. Joseph Gobbels, propaganda tidak mengenal aturan dan
etika. Tujuannya ialah membelenggu rakyat dengan segala cara untuk mencapai
tujuan yang diinginkan. Salah satu taktik propaganda Gobbels ialah bisikan,
(gossip, desas-desus) dalam bentuk dari mulut ke mulut. Salah satu contoh untuk
mengelabui Rusia dalam rangka mendukung invasi Jerman ke wilaya tersebut,
Gobbels menyebarluaskan desas-desus bahwa sebuah pasukan terlatih dengan perang
amphibi telah berkumpul untuk suatu pendaratan di Inggris.
Menurut Edward
Bernaiys , propaganda bukanlah suatu usaha yang patut dicela dalam meracuni
pikiran orang dengan penuh kebohongan, melainkan lebih dari itu, yakni suatu
usaha yang terorganisasi untuk menyebarluaskan sesuatu guna mendapatkan
kepercayaan atau opini. Propaganda menurut Bernays sangat dibutuhkan untuk
peradaban umat manusia. Untuk meningkatkan efektivitas propaganda, seorang juru
kampanye perlu perlu mengetahui tipe atau bentuk propaganda, yakni sebagai
berikut:
a. Propaganda
Putih, ialah propaganda yang menyebarkan informasi ideologi dengan menyebut
sumbernya.
b. Propaganda
Kelabu, ialah propaganda yang dilakukan oleh kelompok yang tidak jelas.
Biasanya ditujukan untuk mengacaukan pikiran orang lain, seperti adu domba, intik
dan gossip.
c. Propaganda
Hitam, ialah propaganda yang menyebarkan informasi palsu untuk menjatuhkan
moral lawan. Tidak mengenal etika dan cenderung berpikir sepihak. Misalnya CIA
dan KGB sealing menyebarkan berita palsu untuk menggertak atau menakut-nakuti
lawannya[6].
3.Teori Media Massa
Untuk memahmi dampak komunikasi massa, diperlukan kajian
yang mendalam dan referensi luas untuk memahaminya. Karena dampak komunikasi
massa sangat kompleks, yakni banyak dihubungkan dengan variabel-variabel bebas lainnya;
dan dinamis, yakni selalu berubah dari waktu ke waktu. Belum lagi bagaimana
sisi para ahli memandang subjektifitas teori-teorinya. Teori yang paling awal
dikenal mengenai dampak media massa adalah The Magic Bullet Theory atau teori peluru, teori ini berkembang
pada awal abad 19 dimana perang dunia telah banyak berpegaruh dalam dimensi
teori ini. Teori ini menekankan bahwa pesan yang dibawa dalam komunikasi massa
adalah[7]:
a.
Menjangkau secara langsung setiap audiens
b.
Panetrasi setiap pikiran secara langsung
c.
Mempengaruhi gagasan dan tindakan setiap orang, secara
terang-terangan dan sangat berpengaruh.
Teori ini terbukti memang akurat untuk menggambarkan fungsi
utama media massa sebagai alat prropaganda pada kisaran abad 20. Media massa
merupakan alat propaganda paling utama baik politik maupun kapitalis. Pada
massa berkembangnya teori ini, propaganda politik memang sangat kentara. Contohnya: propaganda media massa PKI
seperti Lekra dan Bintang Merah di Era
Demokrasi Terpimpin yang mampu menarik simpati Presiden Sokearno sehingga
menimblkan persilisihan yang berujung pada terror yang secara membabi buta
terhadap kekuatan Angkatan Darat dan Partai Politik yang lain, yang dengan
sepihak di bubarkan oleh Presiden Soekarno karena menolak gagasan politiknya
terkait dengan Ide Nasakom.
Media massa merupakan alat propaganda paling utama. Proses
propaganda tersbut akhirnya berlanjut untuk menjatuhkan ideologi komunis
misalnya, setiap memperingati hari G-30S PKI, TVRI selalu menampilkan film
mengenai pembunuhan jendral-jendral TNI AD di tahun 1965. Film yang diputar
didramatisir sedemikian rupa, dibuat secara berlebih-lebihan bahkan terbukti
rekayasa atau fiktif semata. Tujuannya hanyalah alat propaganda kepada
masyarakat, agar membenci ideologi sekaligus pengikut PKI yang notabene
dianggap sesat oleh pemerintahan Orde Baru. Dan terbukti tidak hanya itu,
tujuan propaganda tersebut kini diketahui lebih dari sekedar menjauhkan
ideologi Komunis-Lenin. Karena kenyatannya telah banyak condong pada tujuan
propaganda demi kepentingan pribadi penguasa saat itu juga. Propaganda dalam
film dan buku-buku sejarah yang merupakan bentuk dari media massa tentang PKI
pada masa silam pun masih sangat berpengaruh hingga saat ini. Terbukti dengan
banyaknya pradigma miring tentang eks tapol PKI dan keluarganya di
tengah-tengah masyarakat kita. Dalam konteks inilah teori peluru masih sangat
efektif digunakan untuk membaca dampak media komunikasi massa yang bersifat powerfull.
BAB II
GAMBARAN UMUM
A. OBJEK PENELITIAN
Penelitian ini khususkan mempejari kekuatan propaganda media
massa PKI di masa Demokrasi Terpimpin. Di mana, di Masa demokrasi terpimpin
tersebut, merupakan suatu pergolakan politik yang syarat dengan kepentingan
politik, baik berdifat kedaerahan, nasional maupun internasional. Dan
pertarungan ideologi dari Nasionalisme, Islam (agama dan Komunisme), oleh Bung
Karno di gabung dalam konsepsinya NASAKOM. Di era ini pula, partai politik maupun organisasi politik dalam
berbagai pergerakannya tidak terlepas dari peranan media massa amupun aksi
propaganda dengan berbagai macam cara tentu dilakukan.
Partai politik telah menggunakan pers dalam mendukung maupun
menjadi oposisi dari pemerintahan yang berkuasa. Sistem kekuasaan masa
demokrasi terpimpin juga mempengaruhi fungsi pers, yang lebih banyak bersifat
sebagai corong kekuasaan pemerintah yang berkuasa, sehingga fungsi pers sebagai
kontrol sosial tidak nampak bahkan hilang[8].
Simbol Demokrasi Terpimpin mulai dominan sejak pertengahan tahun 1958,
sedangkan salah satunya lawan yang gigih, partai Masyumi dan partai Sosialis,
tidak begitu kedengaran suaranya lagi. Namun perdebatan mengenai bentuk konstitusi
yang menunjang Demokrasi Terpimpin tidak pernah selesai. Pada bulan Februari
1959, pemerintah bersikeras untuk kembali ke UUD 1945, tetapi Sidang
Konstituante tidak mamu memberikan dua pertiga suaranya untuk mendukung usulan
itu. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Pesiden Soekarno membubarkan
Konstituante dan mengajukan lagi Undang-undang Dasar zaman revolusi melalui
sebuah dektrit, dan diakui dengan serangkaian perubahan Revolusi”, yaitu tema
pidato Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus ditahun yang sama[9].
Dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno
menjelaskan Landasan idiil dan dan landasan strukturil untuk bekerja sesuai
dengan dasar dan tujuan Revolusi, terdapatlah dalam UUD 1945. Landasan Idiil
Pancasila dan landsana strukturil yaitu Pemerintahan yang stabil. “..Bangsa
Indoensia sejak zaman purbakala-mula mendasarkan sistem pemerintahannya kepada
musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan-sentral di tangan seorang
sesepuh-seorang tetua, yang tidak mendiktatori, tetapi pemimpin, mengayomi.
Demokrasi Indonesia sejak zaman purbakala-mula adalah Demokrasi Terpimpin.
Pidato tersebut kemudian dirumuskan menjadi GBHN dan kemudian dinamakan
Manifesto Politik atau MANIPOL. Sejak itu, segala tata kehidupan berbangsa, dan
bernegara harus menngacu ke Manipol, bila tidak, tentu akan tersingkir atau
disingkirkan karena dianggap kontra
revolusi. Namun konflik-konflik politik kian menguat sampai dua partai politik
yaitu Masyumi dan PSI dibubarkan karena dianggap terlibat pemberontakan PRRI.[10]
Pers memiliki hubungan yang sangat erat dengan organisasi
politik maupun partai politik dari pertamakalinya pers dikelola oleh para
jurnalis Indonesia. Hubungan ini berkaitan dengan fungsi pers sebagai penyebar
informasi dan alat propaganda yang efektif bagi partai politik dalam
mengkampanyekan program serta tujuan partai tersebut. Masa demokrasi liberal
hingga demokrasi terpimpin pers sangat berperan bagi kelangsungan kampanye
partai politik, hampir setiap partai politik memiliki surat kabar baik yang terbit
harian maupun mingguan serta bulanan. Surat kabar ini dikelola sama baiknya
dengan surat kabar umum yang tidak berafiliasi dengan partai politik dan bahkan
menjadi alat pemasukan dana bagi partai politik. Partai-partai politik yang
memiliki surat kabar seperti PKI, Masyumi, PNI, NU dan lain sebagainya sangat
gencar melakukan kampanye melalui media massa.
Soekarno dengan konsep
Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak
dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim
Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang
dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem
liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di
Indonesia. Partai politik dianggap
sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan
kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam
membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak
40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi
Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan
dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan
kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk
dijadikan sebagai penyeimbang.
Pada
masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.
Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan
suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian
partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan
kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar
dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin.
Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan
karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah
dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen
yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan
untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan
terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide
mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
Partai
politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi
Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling
ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi
yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung
nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat,
ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang
otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang
didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan.
Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun
1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada
tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong
atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula.
Dalam
penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada
satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai
Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga
kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk
mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi
terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan.
PKI
di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan
intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang
sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah
partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah
memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi
antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI
merupakan partai terbesar.
Hubungan
antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan
merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk
mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden
seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur
kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat
perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada
saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari
Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan
TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan
hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan
ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang
radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya
yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar.
Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan
September tahun 1965.
Seperti
yang telah disebutkan di atas, partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin
mengalami pembubaran secara paksa. Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan
dengan cara diterapkannya Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada
tanggal 31 Desember 1959. Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai,
sebagai berikut:
1)
Menerima dan membela
Konstitusi 1945 dan Pancasila
2)
Menggunakan cara-cara
damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya
3)
Menerima bantuan luar
negeri hanya seizin pemerintah
4)
Partai-partai harus
mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat jumlah daerah
tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari
jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia.
5)
Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai.
6)
Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong
politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai,
yang membantu pemberontakan
Sampai
dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap memenuhi
prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang
diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba,
PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya
PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat
nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No. 440 tahun 1961
telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah
Islam (Perti). Demikianlah kehidupan partai-partai politik di masa Demokrasi
Terpimpin. Partai-partai tersebut hampir tidak bisa memainkan perannya dalam
pentas perpolitikan nasional pada masa itu. Hal ini dimungkinkan antara lain
oleh peran Soekarno yang amat dominan dalam menjalankan pemerintahannya dengan
cirinya utamanya yang sangat otoriter pada waktu itu di era demokrasi
terpimpin.
BAB IV.
ANALISIS
A.
TEORITIS
Perbedaan pandangan antara pers dan penguasa dalam melihat
sesuatu dapat menjadi masalah karena keduanya mempunyai paradigma
sendiri-sendiri. Pemerintah memandang kegiatan pers dianggap dapat mengganggu
stabilitas politik dan penerapan kebijakan pemerintah. Hal tersebut dianggap
sebagai pelanggaran etika politik dan dengan alasan pelanggaran etika politik
itulah Soekarno melakukan pemberedelan pers yang oleh Soekarno seniri kebijakan
tersebut diambil karena sebuah keterpaksaan. Jika dicermati lebih lanjut,
kebijakan Soekarno dalam mekakukan pemberedelan pers hanya untuk kepentingan
politik otoriter semata tanpa pernah mempertimbangkan nilai moral dan etika.
Kondisi pers yang diterapkan Soekarno jauh dari konsep pers
idealis yaitu sebagai mediator negara dengan rakyatnya sekaligus menjadi
intuisi yang mengontrol antara hubungan rakyat dengan Negara, didasarkan pada
sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang segalanya berada di bawah kekuasaan
seorang Presiden. Dalam setiap pidatonya, Presiden
Soekarno di samping menjelaskan ideologi Demokrasi terpimpin, juga menyerukan
kepada seluruh rakyat Indonesia agar dibangkitkan kembali semangat revolusi,
keadilan sosial, dan retolling lembaga-lembaga Negara demi kelanjutan revolusi
yang belum selesai. Revoluis adalah menjebol tatanan lama dan membangun tatanan
baru yaitu masyarakat yang adil dan makmur bersih dari penghisapan manusia atas
manusia, dan juga bersih dari exploitasi atau penhisapan suatu bangsa atas
bangsa lain.
B.
ANALISIS
TEORI
1.
Awal
Propaganda PKI
Sementara
itu, terjadi saling ketergantungan antara Presiden Soekarno dan PKI. Presiden
Soekarno berusaha menggunakan kesempatan dukungan dari kekuatan-kekuatan kiri
dan PKI untuk memperkokoh posisinya. Sebaliknya PKI yang menjalankan strategi
kerja sama dengan Presiden Soekarno dengan Manipol-Usdek dan Nasakom-nya,
menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan konsolidasi di seluruh
Indonesia. Dalam pidato-pidatonya, Bung Karno mengecam orang-orang yang
menentang doktrin Nasakom dengan menyebutnya terjangkit penyakit komunisto phobia. Kemajuan luar biasa
yang dicapai PKI menimbulkan keresahan di kalangan Angkatan Darat dan dan sudah
tentu Amerika Serikat yang yang sedang sibuk berperang di Vietnam Selatan,
mencegah menjalarnya pengaruh komunis di Asia Tenggara.
Presiden
Soekarno semakin intensif mempropagandakan seluruh doktrinnya terutama
ajarannya mengenai Pancasila, Manipol-Usdek, Nasakom, Trisakti dan sebagainya
yang disatukan menjadi Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi atau Tubapi. Untuk itu,
Bung Karno mengangkat Roeslan Abdulganni menjadi Ketua Tim Indoktrinasi
Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Oleh karena itu, beberapa
Partai Politik seperti PSI dan Masyumi di bubarkan dengan alasan tidak
mendukung ajaran Demokrasi Terpimpin. Disamping itu, alasan pelarangan tersebut
dikarenakan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran Pancasila
telah menjadi garis haluan Negara dan tidak dapat di damping oleh Manifesto
lain, apalagi kalau Manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi
dan member kesan berdiri di sampingnya, padahal demi suksesnya Revolusi, maka
di atas el Revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol dan beban Indoktrinasi
lain-lainnya. [11]
Sejak
akhir tahun 1963, dengan semboyan “Ganyang Tujuh Setan Desa”, di Sumatera Utara,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali secara Agersif PKI dengan
Ormas-ormasnya terutama Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat
melakukan kampanye aksi sepihak. PKI menjalankan Landreform yang selama itu belum pernah dilaksanakan. Antara lain
dengan cara menguasai tanah-tanah pertanian yang melanggarnUU Pokok Agraria
(UUPA) tahun 1960 untuk dibagikan kepada petani penggarap dan melaksanakan
Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH).
Demikian
pula, dikalangan seniman dan budayawan terjadi polarisasi antara pedukung
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), ormas para budayawan, dan seniman yang
bernaung di bawah PKI dengan penentangnya. Para tokoh Lekra antara lain,
Pramodeya Ananta Toer, H.R. Bandaharo, Joebar Ajoeb dan lain-lain dengan sangat
agresif mengembangkan doktrin seni untuk rakyat melawan kesenian borjuis dengan
semboyan seni untuk yang reaksioner. Kemudian terjadi polemik yang sengit
antara harian Merdeka (B.M. Diah)
dengan Harian Rakyat (Nyoto) mengenai
gagasan satu partai yang dilontarkan oleh Merdeka.
Kelompok Merdeka mendukung gagasan pembubaran partai-partai
politik dan pembentukan satu partai yang berasaskan Pancasila. Hai inti tentu ditentang oleh PKI
melalui Harian Rakyat yang menuduh Merdeka menuduh PKI dan Harian Rakyat hanya mementingkan partai
dan golongannya sendiri. Polemic yang
berlangusung sejak 4 Juli
Soekarno
dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat
liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan
sistim Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang
dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem
liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di
Indonesia.
Partai
politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan
kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu
kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu
berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun
demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk
berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan
kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan
oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang.
Pada
masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata.
Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan
suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian
partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan
kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar
dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin.
Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan
karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah
dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan
temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap
diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan
dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan
ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
Partai
politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi
Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling
ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi
yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung
nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat,
ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang
otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang
didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan.
Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun
1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada
tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong
atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula.
Dalam
penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada
satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai
Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga
kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk
mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi
terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan.
PKI
di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan
intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang
sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah
partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah
memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi
antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI
merupakan partai terbesar.
Hubungan
antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan
merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk
mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden
seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur
kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat
perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada
saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari
Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan
TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan
hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan
ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang
radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya
yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar.
Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan
September tahun 1965.
1. Majalah Bintang Merah dan Harian Rakyat Sebagai Corong
PKI
Partai politik yang sejak masa penjajahan Belanda sangat
efektif menggunakan media massa dalam mengkampanyekan program politik dan
pembangunan kader-kadernya adalah PKI. Hal ini dilakukan kembali oleh PKI
setelah Indonesia merdeka melalui alat propaganda partai yaitu majalah Bintang
Merah. Majalah Bintang Merah pertamakali diterbitkan pada
November 1945 oleh Mr. Moh Yusuf dan sempat dilarang terbit oleh pemerintah
pada September 1948 akibat peristiwa Madiun. Pada tanggal 15 Agustus 1950
majalah Bintang Merah terbit kembali dan menjadi simbol bangkitnya kembali
eksistensi PKI dalam perjuangan politiknya. Bertindak sebagai Sekretaris
Redaksi adalah Peris Pardede yang pernah bekerja di sekretariat FDR sebagai
tenaga teknis. Dewan Redaksi terdiri dari Aidit, Lukman, dan Nyoto. Majalah Bintang
Merah di samping sebagai majalah teori, oleh Lukman dan Aidit juga
digunakan untuk menghimpun orang yang sepaham dengan mereka berdua dan kemudian
membentuk kelompok. Kelompok ini oleh Jacques Leclerc disebut “Kelompok Bintang
Merah”. Sehubungan dengan terbentuknya kelompok ini Jacques Leclerc berpendapat
bahwa: “Kelompok yang berkumpul di sekitar Bintang Merah di Jakarta sudah cukup
kuat dan cukup mendapat sokongan dengan bersandar pada kontak-kontak yang
berkembang di seluruh negeri selama beberapa bulan, untuk dengan cepat
menampilkan diri sebagai pimpinan dari seluruh partai[12].
Pemerintah melalui Departemen Penerangan memberi ijin
terhadap kembali terbitnya majalah Bintang Merah. Kembalinya PKI dengan
corongnya Bintang Merah ke dalam pentas politik nasional merupakan perjuangan
berat bagi Aidit dan tokoh muda lainnya. Terjadinya razia Agustus yang
dilakukan oleh Kabinet Sukiman terhadap anggota-anggota PKI adalah salah satu
upaya mematikan eksistensi PKI yaitu dengan menangkap beberapa tokoh PKI. Namun
Aidit sendiri berhasil lolos dari usaha penangkapan politik tersebut. Adanya
razia tersebut jelas menambah kesulitan terutama bagi kelompok Bintang Merah
yang sedang berjuang membangun kembali partainya. Pembangunan kembali partai
yang dilakukan oleh PKI dengan usaha mendapatkan kembali legitimasi masyarakat,
mengalami tentangan oleh Masyumi yang saat itu sedang berkuasa dengan Sukiman
sebagai Perdana Menterinya. Penentangan terhadap kehadiran PKI kembali oleh
Masyumi dikarenakan Masyumi merupakan pihak yang paling dirugikan oleh PKI
dalam peristiwa Madiun. Selain itu, pada masa awal kembalinya PKI, setelah
peristiwa Madiun tahun 1948, PKI menerapkan strategi yang sangat memojokkan
Masyumi. Masyumi dan PSI dianggap sebagai partai kaum borjuis komprador. PKI
jugalah yang merasa senang ketika Nahdatul Ulama memisahkan diri dari Masyumi
sehingga memperlemah kekuatan Masyumi secara keseluruhan[13].
Selain menerbitkan majalah Bintang Merah, untuk mendukung peran media
partai yang sudah ada maka perlu ditopang surat kabar lain sebagai alat
propaganda. Harian Rakjat, sebelum menjadi harian resmi milik PKI, telah
ada sejak 1 Februari 1951 dan dibangun oleh Siauw Giok Tjan seorang peranakan
Tionghoa yang garis politiknya cenderung ke PSI dan bukan merupakan anggota
PKI, melainkan seorang jurnalis senior pendiri majalah Sunday Courier
dan sebagai pendiri serta ketua BAPERKI[14].
Nyoto, mengambil alih pimpinan sekaligus sebagai penanggungjawab surat kabar Harian
Rakjat dari Siauw Giok Tjan pada 31 Oktober 1953 dan meresmikannya menjadi
surat kabar PKI. Harian Rakjat pada awalnya hanya terbit dua kali dalam
seminggu. Setelah menjadi surat kabar resmi PKI surat kabar Harian Rakjat
terbit setiap hari dan isi pemberitaannya berupa propaganda serta kampanye
politik PKI, meskipun kebijakan pemberitaan sepenuhnya dikontrol Siauw Giok
Tjan. Harian Rakjat di tempatkan di bawah Depertemen Agitprop CC PKI.
Oplah Harian Rakjat meningkat tiga kali lipat dalam kurun waktu Februari
1954, 15.000 eksemplar dan Januari 1956 menjadi 55.000 eksempalar. Pada masa
itu Harian Rakjat merupakan koran terbesar di antara media massa lainnya
yang tentu berafiliasi dengan partai politik.
Surat kabar Harian Rakjat selain memberi keuntungan
dalam hal propaganda PKI dengan oplah yang sangat besar, surat kabar ini juga
memberi keuntungan finansial bagi PKI. Sehingga PKI menjadi partai paling kaya
dengan sumber dana selain dari oplah Harian Rakjat, juga dana yang diperoleh
dari iuran anggota, gerakan-gerakan pemungutan dana dan sumber lainnya. Menurut
Ricklefs sebagian besar uang PKI didapatkan dari komunitas pedagang Cina yang
memberikannya secara sukarela maupun tekanan dari kedutaan besar Cina. Fungsi
surat kabar Harian Rakjat agak berbeda dengan majalah Bintang Merah.
Surat kabar Harian Rakjat ditujukan bagi pembaca umum dan simpatisan
serta anggota PKI dengan fungsi utama sebagai pedoman bagi semua anggota partai
diseluruh penjuru negara mengenai sikap CC PKI terhadap isu-isu yang sedang
berkembang, selain juga memuat berita-berita umum layaknya surat kabar lainnya,
sedangkan majalah Bintang Merah ditujukan bagi anggota-anggota tetap PKI
karena berisi teori, garis politik partai dan ideologi komunis.
Surat kabar Harian Rakjat memiliki semboyan “Tetap
Teguh Dalam Pendirian dan Jangan Mencampuri Masalah”. Surat kabar Harian
Rakjat gencar melakukan propaganda tentang masalah kerakyatan, persatuan,
demokrasi dan masalah nasional. Pemberitaan yang utama adalah berita mengenai
masalah buruh dan petani. Selain pemberitaan tentang masyarakat kecil, surat
kabar ini tidak henti-hentinya secara rutin melaksanakan propaganda partai yang
mengajak dan menganjurkan untuk hidup sederhana. Sedangkan untuk berita partai,
berupa pemuatan biografi tokoh-tokoh komunis. Model pemberitaan ini oleh PKI
sebagai tujuan meraih massa sebanyak-banyaknya. Surat kabar Harian Rakjat
secara jelas membela kepentingan PKI melalui isi tajuk rencana, gambar
karikatur dan pojok pers yang sering memojokkan lawan politiknya. Pemberitaan
yang sangat terbuka dalam menyerang maupun mengkritik kebijakan-kebijakan
pemerintah dan lawan-lawan politiknya, pada tahun 1957 surat kabar Harian
Rakjat dilarang terbit selama satu minggu. Memasuki masa Demokrasi
Terpimpin, surat kabar Harian Rakjat semakin gencar melancarkan isu-isu
politik. Provokasi yang dilakukan Harian Rakjat juga diikuti oleh media
massa yang juga simpatisan PKI, seperti Harian Bintang Timur dan Warta
Bakti yang terbit di Jakarta, Trompet Masyarakat di Surabaya, Harian
Harapan dan Gotong Royong terbitan Medan. Gencarnya pemberitaan Harian
Rakjat dalam megangkat isu-isu politik membuat munculya polemik dengan
surat kabar Merdeka.[15]
2. Surat
Kabar Merdeka
Kemunculan harian Merdeka tidak lama setelah
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena didirikan pada tanggal 1
Oktober 1945. Surat kabar ini digunakan untuk menyiarkan kejadian yang sifatnya
untuk mempertahankan kemerdekaan yang diperoleh, dengan motto “Suara Rakyat Republik
Indonesia”[16].
Harian Merdeka merupakan media yang bersifat nasionalis dan independen
yang tidak memihak kepentingan partai manapun yang dapat mengakomodasikan dan
berkompromi dengan kepentingan pemerintah sehingga dapat survive lebih
lama. Hal ini dikarenakan pada tahun 1959 B.M Diah selaku pemimpin redaksi
diangkat menjadi duta besar RI untuk Cekoslovakia bersamaan dengan Adam Malik
yang diangkat menjadi duta besar RI di Moscow, Uni Soviet.
Pergolakan pada masa revolusi kemerdekaan sangat berpengaruh
terhadap penerbitan Merdeka. Kedatangan tentara NICA yang menduduki
Jakarta, membuat pusat pemerintahan pindah ke Yogjakarta, sehingga berdampak
pada surat kabar Merdeka karena tempat mencetaknya yaitu Percetakan
Negara juga diduduki NICA. Percetakan Negara yang disegel oleh pihak NICA
membuat Merdeka tidak bisa diterbitkan. Situasi seperti ini membuat
pimpinan Merdeka sejak awal 1946 menerbitkannya di Solo. Tidak jarang Merdeka
berfungsi sebagai pamflet untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Hal ini dapat
dilihat dengan banyaknya lembaran Merdeka yang ditempel di pohon-pohon dengan
tujuan agar bisa dibaca oleh orang-orang yang melintas, akan tetapi edisi Solo
tidak berumur lama karena ketika terjadi agresi militer Belanda kedua,
penerbitan surat kabar ini dihentikan[17].
Untuk mengamankan aset-aset Merdeka, B.M Diah
mengambil langkah dengan mendirikan NV Merdeka Press pada awal 1948. Dengan
berbadan hukum juga membuka kesempatan untuk mengembangkan perusahaan agar
lebih modern. NV Merdeka Press dibentuk oleh beberapa tenaga inti selain B.M
Diah juga istrinya Herawati serta M.T Hutagalung. Pada tahun 1947 surat kabar Merdeka
sudah memiliki 10 agen besar di Jakarta, 21 agen sejenisnya di Jawa dan
luar Jawa, seperti Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Serang, Rangkasbitung, Tegal,
Pekalongan, Madiun, Karawang, Purwokerto, Cirebon, Indramayu, Makasar,
Kandangan, Samarinda, Balikpapan, Denpasar, Semarang, Palembang, Biliton, dan
Alaibu. NV Merdeka Press juga menerbitkan majalah mingguan Merdeka,
majalah Keluarga, dan Indonesian Observer. Majalah mingguan Merdeka
mulai diterbitkan sejak 1948 untuk mengolah berita-berita yang menonjol dalam
satu minggu yang dimuat di harian Merdeka. Uraian pada majalah mingguan
berisi masalah-masalah yang terjadi dibalik berita harian.
3. Harian Pedoman
Harian Pedoman didirikan oleh Rosihan Anwar dan
Soedjatmoko pada 29 November 1948 di Jakarta, setelah sebelumnya mendirikan
tabloid mingguan Siasat. Pada bulan September 1960 harian Pedoman
yang dikenal sebagai media massa yang pemimpinnya condong ke PSI menulis sebuah
tajuk rencana yang menyudutkan PKI dengan judul “18 September 1948,
Pemberontakan PKI”. Tentunya PKI sebagai partai yang berusaha untuk bangkit dan
kembali di tengah-tengah perpolitikan nasional merasa “geram” dengan tajuk
rencana yang ditulis oleh Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi Pedoman.
PKI sendiri melalui sekretaris jendralnya, D.N. Aidit telah melakukan pembelaan
dan mengembalikan kredibilitas PKI sejak tahun 1955 melalui Pengadilan Negeri
Jakarta.[18]
Penghinaan politik terhadap PKI yang dilakukan oleh harian Pedoman
ditanggapi oleh PKI melalui Harian Rakjat yang diwakili oleh Soepeno dan
Fransisca Fanggidaej. Sidang gugatan terhadap Rosihan Anwar di adakan di
Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta dengan Soepeno dan Fransisca Fanggidaej
sebagai penggugat. Sidang gugatan ini diketuai oleh hakim Mr. Sutidjan dan
Jaksa J. Naro pada tanggal 19 April-9 Mei 1961. Gugatan tersebut dimentahkan
oleh Jaksa J. Naro yang menilai tajuk rencana harian Pedoman yang
ditulis oleh Rosihan Anwar tidak mengandung penghinaan secara objektif,
sehingga pengadilan ini dimenangkan oleh Rosihan Anwar dan menjadi kekalahan
PKI dan Harian Rakjat[19].
2.
Kondisi
Pers Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Perkembangan politik Indonesia sejak dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 terjadi perubahan dalam kehidupan berpolitik dengan sistem
Demokrasi Terpimpin. Situasi ini membuat politik menjadi panglima, Soekarno
membentuk aliansi politik yang bertujuan untuk menggalang persatuan yaitu
dengan menggalang kekuatan dari Nasionalis, Agama, dan Komunis yeng kemudian
dikenal dengan Nasakom. Kemunculan Manifesto Politik (Manipol) yang kemudian
dikenal dengan Manipol USDEK yang diperkenalkan oleh Soekarno sebagai dasar
adanya Demokrasi Terpimpin dan kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar
Haluan Negara membuat semakin rumitnya persoalan bagi media massa. Dalam
Manipol disebutkan adanya retooling lembaga-lembaga dan organisasi
bangsa demi jalannya revolusi. Tugas retooling yang dibebankan kepada
Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh Nasution
mengontrol bidang kebudayaan dan bidang pers[20].
Pada tahun 1960 merupakan awal mulai penerapan Manipolisasi
media massa sebagai usaha untuk menyeragamkan pemberitaan yang mendukung
kebijaksanaan pemerintah. Tindakan yang dilakukan pertama kali oleh pemerintah
adalah mengeluarkan peringatan yang dilakukan oleh Menteri Muda Penerangan R.
Maladi yang menyatakan bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat-surat
kabar, majalah-majalah, dan kantor berita yang tidak mentaati
peraturan-peraturan yang diperlukan dalam usaha penerbiatan pers nasional.
Apabila surat-surat kabar tidak ingin kehilangan subsidi dan izin pembelian
kertas, mereka harus memberikan sumbangan pada usaha-usaha pelaksanaan
Manifesto Politik dari Presiden serta prinsip-prinsip kepada Undang-Undang
Dasar 1945[21]. Sikap
represif pemerintah tidak hanya menimpa penerbit pers, perusahaan percetakan
pun mengalami nasib yang sama. Pada tanggal 1 Maret 1961 dikeluarkannya
peraturan yang menetapkan semua percetakan yang dimiliki perseorangan atau
swasta harus dibawah pengawasan pemerintah dengan membentuk Badan Pengawas dan
Pembinaan yang bertujuan untuk mengelola serta mengawasi semua percetakan.
Unsur-unsur dari badan pengawas tersebut terdiri dari Angkatan Darat, Kepolisian,
Penerangan dan Kejaksaan[22].
Pada tanggal 7 Januari 1961 akibat dari pembubaran PSI dan
Masyumi maka dilakukan pembredelan terhadap Harian Pedoman yang
pemimpinnya adalah Rosihan Anwar yang pro kepada PSI. Sementara Harian Abadi
yang merupakan alat perjuangan Masyumi juga mengundurkan diri. Harian Abadi
secara sukarela mengundurkan diri sebelum dibredel oleh pemerintahan.Mundurnya
harian Abadi selain dikarenakan dibubarkannya Masyumi sebagai partai
induknya juga karena masalah penandatanganan 19 butir kesepakatan media massa
yang dikeluarkan oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). Saat Presiden
Soekarno melancarkan kampanye Manipol, pers sendiri tidak berdaya karena tidak
dilengkapi dengan undang-undang pers yang melindungi fungsi, tugas, kewajiban
dan hak pers. Pers pada tahun tersebut hanya diatur dengan Ketetapan Presiden
nomor 6/1963 dimana peraturan tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip yang
berhubungan dengan bentuk, tujuan dan pelaksanaan pembinaan pers agar sejalan
dengan Manipol dalam usahanya mewujudkan Demokrasi Terpimpin.
Tabel
. Surat Kabar yang dibreidel oleh Pemerintah pada Masa Demokrasi Terpimpin.[23]
No.
|
Nama
Surat Kabar
|
Kota
Terbit
|
1
|
Suara
Maluku
|
Ambon
|
2
|
Masjarakat
Baru
|
Samarinda
|
3
|
Berita
Minggu
|
Jakarta
|
4
|
Bintang
Minggu
|
Jakarta
|
5
|
Suara
Andalas
|
Medan
|
6
|
Suara
Islam
|
Maluku
|
7
|
Indonesia
Raya
|
Jakarta
|
8
|
Tjahaja
Islam
|
Pontianak
|
9
|
Penerangan
|
Padang
|
10
|
Kengpo
|
Jakarta
|
11
|
Utusan
Banten
|
Serang
|
12
|
Tegas
|
Kutaraja
|
13
|
Bara
|
Makasar
|
14
|
Pedoman
|
Jakarta
|
15
|
Sin
Po
|
Jakarta
|
16
|
Pembanguan
|
Palembang
|
17
|
Pemuda
|
Jakarta
|
18
|
Times
of Indonesia
|
Jakarta
|
BAB V. KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
ANALISIS
Dapat disimpulkan bahwa sejak Demokrasi Terpimpin.
Pengekangan terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dengan
tidak dikeluarkannnya UU pers. Pada masa itu juga banyak dimunculkan
peraturan-peraturan, pemberitahuan, ketentuan-ketentuan, dan berbagai macam
bentuk pernyataan-pernyatan dari pemerintah yang berfungsi untuk mengingatkan
pers. Dengan banyaknya peraturan-peraturan yang menyudutkan posisi pers
sehingga menyebabkan pemerintah dapat dengan sangat mudah melakukan pembredelan
pers. Seluruh media masa yang sifatnya oposisi akan sangat mudah dijinakkan dan
diberangus.
Kondisi
pers yang diterapkan Soekarno sangat jauh dari konsep pers idealis yaitu
sebagai mediator negara dengan rakyatnya sekaligus menjadi intuisi yang
mengontrol antara hubungan rakyat dengan Negara, didasarkan pada sistem
pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang segalanya berada di bawah kekuasaan
seorang Presiden. Wina Armada menuliskan bahwa kebebasan pers adalah kebebasan
berekspresi untuk mengungkapkan pendapat yang mempunyai posisi dan fungsi yang penting
serta dihargai sepenuhnya. Kenyataanya, kondisi pers pada masa Demokrasi
Terpimpin berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Berbagai macam
tekanan yang dilakukan pihak pemerintah kepada insan pers semakin mempersempit
ruang gerak mereka dalam mewujudkan kebebasan pers. Wartawan dan pimpinan
redaksi pers pada masa itu harus bersifat pro dengan pemerintah kalau ingin
tetap mempunyai pekerjaan. Kebebasan pers pada waktu Demokrasi Terpimpin adalah
sesuatu yang tidak mungkin, dikarenakan sama sekali tidak didukung oleh kondisi
politik yang kondusif melainkan harus menghadapi politik tangan besi Soekarno
yang menjadikan dirinya sebagai penguasa otoriter.
Perbedaan
pandangan antara pers dan penguasa dalam melihat sesuatu dapat menjadi masalah
karena keduanya mempunyai paradigma sendiri-sendiri. Pemerintah memandang
kegiatan pers dianggap bisa mengganggu stabilitas politik dan penerapan
kebijakan pemerintah. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran etika politik
dan dengan alasan pelanggaran etika politik itulah Soekarno melakukan
pemberedelan pers yang oleh Soekarno seniri kebijakan tersebut diambil karena
sebuah keterpaksaan. Jika dicermati lebih lanjut, kebijakan Soekarno dalam
mekakukan pemberedelan pers hanya untuk kepentingan politik otoriter semata
tanpa pernah mempertimbangkan nilai moral dan etika.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebenarnya pernah
mengusulkan kepada Soekarno untuk terlebih dahulu membicarakan keputusannya
bila akan melakukan pemberedelan pers. Usulan PWI tersebut pada akhirnya hanya
menjadi sebuah usulan saja, karena ketidakmampuan mereka melawan penguasa yang
sudah sedemikian kuat. PWI sendiri sebenarnya sudah tidak mampu untuk bersikap
mandiri, terbukti dengan pendaftaran organisasi ini menjadi bagian dari Front
Nasional, padahal PWI bukanlah organisasi massa. Menariknya, PWI tetap diterima
menjadi anggota Front Nasional dngan pertimbangan PWI mempunyai pengaruh yang
besar dalam hal menggerakan massa. Sebagai konsekuensinya, PWI perlu
menyesuaikan diri dengan politik Nasakom yang sudah menjadi ideologi negara.
Masuknya PWI kedalam Front Nasional menjadi bukti kongkrit bahwa adanya
Nasakomisasi dalam tubuh pers. Pers yang dapat menerima Nasakomisasi Soekarno
dibiarkan tetap hidup dan sekaligus dijadikan alat untuk menyuarakan
kepentingan politik suatu partai tertentu. Akibatnya, pers secara
terang-terangan membela kepentingan kelompoknya sehingga agresifitas pers
tergantung dari sikap partai politik yang berada dibelakangnya. Namun, usulan
tersebut dianggap sebagai satu sikat yang logis. Dalam padangan PKI kelompok
yang bertentangan dengan kepentingan politiknya akan tetap dianggap sebagai
musuh idelogi. Hal tersebut tetap berlanjut sampai pasca tragedi 30 September
dan akhirnya PKI-pun di musuhi seluruh partai dan rakyat Indonesia.
B.
TEMUAN
Propaganda media Massa PKI melalui
Harian Rakyat dan Bintang Merah merupakan salahsatu sikap politik
partai yang dengan terangan di buktikan PKI dengan segala resiko dan harapan
untuk meraih simpati Presiden Soekarno. Walaupun dengan propaganda maupun
kampanye politik PKI, dalam upaya untuk menyokong kekuasaan Bung Karno, tetapi
hal tersbut tidak secara dominan mendapat tanggapan postif dari Presiden
Soekarno. Karena konsep NASAKOM yang dilahirkan Bung Karno bukanlah salahsatu
konsep yang lahir dari kolaborasi kepentingan dengan PKI. Karena dalam
pandangan Bung Karno, larinya Nasakom adalah salah satu penggambaran
sosio-politik dan kebadayaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Kongkritnya, dalam banyak soal kebijakan ataupun peristiwa yang meninpa PKI
tidak selamanya di bela oleh Presiden Soekarno baik di masa Demokrasi Terpimpin
maupun pasca tragedi 65.
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho
Notosusanto, Angkatan Bersenjata dalam
Percaturan Politik Indonesia. Dalam Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia.
Pilihan Artikel Prisma. (Jakarta: LP3ES. 1995)
Mohtar
Mas’oed. Negara Kapital, Kapital dan
Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994).
Hafied Cangara. Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan
Strategi. (Jakarta:Rajawali Press. 2011).
Margaret
DeFleur (Ed). Fundamentals of Human Communication,
3rd edition.New York: Mc-Graw
Hill
Herbert Feith dan Lance Castle. Pemikiran Politik Idonesia 1945-1965. (Jakarta:
LP3ES. 1988).
Sumono Mustoffa dan Muhammad
Chudori. Penyusupan PKI Ke Dalam Media
Massa Di Indonesia. ( Jakarta: Koperasi Karyawan Pers ADIJAYA. 1995)
Benny G. Setiono. Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Mengungkap
Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. (Jakarta: Trans
Media, 2008).
Jacques Leclerc. “Aidit Dan Partai Pada Tahun 1950”, dalam Prisma No 7, Juli
1982, Tahun XI
M.C Ricklefs, 1995, Sejarah
Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press)
I.N
Soebagijo, 1982, Jagat Wartawan Indonesia, (Jakarta:
Gunung Agung),
I.N Soebagijo, 1977, Sejarah Pers
Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers),
J.R Chaniago, 1986, Ditugaskan
Sejarah: Perjuangan Merdeka 1945-1985, (Jakarta: Pustaka Merdeka
H. Rosihan Anwar, 1981, Sebelum
Prahara Politik: Pergolakan Politik 1961-1965, (Jakarta: Sinar Harapan)
Ulf Sundhausen, 1986, Politik
Militer Indonesia 1954-67, Menuju Dwi Fungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES)
INTERNET
http//www.demokrasiterpimpinIndonesia.com.
[1].
Nugroho Notosusanto, Angkatan Bersenjata
dalam Percaturan Politik Indonesia. Dalam Analisa Kekuatan Politik Di
Indonesia. Pilihan Artikel Prisma. (Jakarta: LP3ES. 1995). Hlm. 25-26
[2]
. Ibid. Hlm. 26
[3].
Mohtar Mas’oed. Negara Kapital, Kapital
dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994). Hlm. 8
[4].
Ibid. Hlm. 10-10
[6]
Hafied Cangara. Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan
Strategi. (Jakarta:Rajawali Press. 2011). Hlm. 270-273
[7]
Margaret DeFleur (Ed). Fundamentals of Human Communication,
3rd edition.New York: Mc-Graw
Hill. Hlm. 392
[8]
Lihat Edwar C Smith, 1986, Pembredelan Pers Di Indonesia,
(Jakarta: Grafiti press)
[9] Herbert Feith dan Lance Castle.
Pemikiran Politik Idonesia 1945-1965. (Jakarta:
LP3ES. 1988). Hlm. 84
[10]. Sumono Mustoffa dan Muhammad
Chudori. Penyusupan PKI Ke Dalam Media
Massa Di Indonesia. ( Jakarta: Koperasi Karyawan Pers ADIJAYA. 1995). Hlm.
37
[11] Benny G. Setiono. Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Mengungkap
Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. (Jakarta: Trans
Media, 2008). Hlm. 840-841.
[12].
Jacques Leclerc. “Aidit Dan Partai Pada Tahun 1950”,dalam Prisma No.7 Juli
1982, Tahun XI. Hlm 64.
[13]
. M.C Ricklefs, 1995, Sejarah
Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), Hlm. 362-363.
[15].
I.N Soebagijo, 1977, Sejarah Pers
Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers), Hlm. 100.
[16]. J.R
Chaniago, 1986, Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka 1945-1985, (Jakarta:
Pustaka Merdeka), Hlm. 5.
[18].
H. Rosihan Anwar, 1981, Sebelum
Prahara Politik: Pergolakan Politik 1961-1965, (Jakarta: Sinar Harapan),
Hlm. 39.
[20]. Ulf Sundhausen, 1986, Politik
Militer Indonesia 1954-67, Menuju Dwi Fungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES),Hlm.
282.
[21]
. Edwar C Smith, 1986, Pembredelan
Pers Di Indonesia, (Jakarta: Grafiti press), Hlm. 189.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar