Laman

Selasa, 13 Mei 2014

KEKUATAN PROPAGANDA MEDIA MASSA PKI DI MASA DEMOKRASI TERPIMPIN


KEKUATAN PROPAGANDA MEDIA MASSA PKI DI MASA DEMOKRASI TERPIMPIN
Di Susun Oleh: Kamaruddin Salim
Abstraksi
Pada masa demokrasi terpimpin pemerintah mengambil langkah untuk menyamakan pemahaman mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara dengan menyampaikan ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis). Tujuannya untuk menggalang persatuan bangsa. Bagi presiden NASAKOM merupakan cerminan paham berbagai golongan dalam masyarakat. Presiden yakin bahwa dengan menerima dan melaksanakan Nasakom maka persatuan Indonesia akan terwujud. Ajaran Nasakom mulai disebarkan pada masyarakat. Dikeluarkan ajaran Nasakom sama dengan upaya untuk memperkuat kedudukan Presiden sebab jika menolak Nasakom sama artinya dengan menolak presiden. Kelompok yang kritis terhadap ajaran Nasakom adalah kalangan cendekiawan dan ABRI. Upaya penyebarluasan ajaran Nasakom dimanfaatkan oleh PKI dengan mengemukakan bahwa PKI merupakan barisan terdepan pembela NASAKOM. Keterlibatan PKI tersebut menyebabkan ajaran Nasakom menyimpang dari ajaran kehidupan berbangsa dan bernegara serta mengeser kedudukan Pancasila dan UUD 1945 menjadi komunis. Selain itu PKI mengambil alih kedudukan dan kekuasaan pemerintahan yang sah dengan alat propaganda melalui media massa yang mereka miliki, yakni Harian Rakyat dan Bintang Merah. Akhirnya PKI berhasil meyakinkan presiden bahwa Presiden Sukarno tanpa PKI akan menjadi lemah terhadap TNI.

BAB I
PENDAHULUAN
.
A.        LATARBELAKANG
Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia.
Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula.
Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan. PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar.
Dalam pada itu, Presiden Soekarno telah mengambil langkah untuk memecah kekompakkan inern TNI-AD dan menempatkan angkatan-angkatan lain dalam posisi mengeimbangi TNI-AD. Hal itu dilakukan dengan memisahkan wewenang administrasi terhadap ABRI dari kewenangan operasional. Wewenang administrated berada di tangan Menteri Koordinator (Menko) Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata (Kasab), sedangkan wewenang operasional berada di tangan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI melalui sebuah Komando Operasi Tertinggi (Koti). Masing-masing angkatan di pimpin oleh Menteri Panglima Angkatan yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden Panglima Tertinggi dan bukan melalu Menko Hankam/Kasab.
PKI dalam periode ini melancarkan apa yang dikenal sebagai aksi-aksi sepihak, yakni tindakan-tindakan illegal oleh anggota-anggota organisasi massa PKI seperti BTI untuk menguasai tanah yang bukan haknya. PKI pula melancarkan pula dengan apa yang dinamakan ofensif revolusioner, dengan jalan menyerang secara pribadi, character assassionation pihak-pihak yang dianggap sebagai lawannya melalui media massa, demosntrasi, poster-poster dan alat-alat agitasi propaganda lainnya.[1]
Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.  Di mana, PKI kemudian mengusulkan supaya buruh dan tani dipersenjatai. Dalam pada itu Presiden Soekarno melontarkan gagasan untuk membentuk angkatan ke-5 di samping itu Angkatan Darat, Laut, Udara dan Polisi yang terdiri atas duapuluh satu juta sukarelawan yang telah diorganisasi untuk melakukan konfrontasi terhadap Malaysia. Usul tersebut segera didukung oleh PKI dengan aksi-aksi demonstrasi maupun melalui media massa. Pendeknya antara Presiden Soekarno dan PKI terbentuk suatu poros mengahdapi TNI-AD. Suasana antagonistis inilah yang terdapat di tanah air  Indonesia menjelang pemberontakan G.30S/PKI.[2]


B. RUMUSAN MASALAH
Hubungan media dan politik telah berlangsung lama, jauh sebelum ilmu politik menemukan jatidirinya sebagai ilmu yang berdiri sendiri dari Filsafat. Tetapi politik sebagai disiplin ilmu baru diakui pada 1880 setelah School of Political berdiri di Columbia College. Karena hubungan yang begitu erat antara media dan poltik, ama studi tentang pengaruh dalam pembentukan pendapat umum (opini publik)  senantiasa mendapat tempat tersendiri dalam wacana politik. Kaitan dengan hubungan media dan politik, dalam perkembangan sejarah Demokrasi Terpimpin, maka penulis mencoba mengangkat judul Kekuatan Media Massa PKI di Masa Demokrasi Terpimpin. Dan judul ini dipilih, karena menurut penulis, dalam sejarah perkembangan Demokrasi Terpimpin tersebut menarik untuk dipahami bahwa, peranan media massa di dalam mendukung dan menolak proses penerapan Demokrasi Terpimpin yang dilakukan oleh Presiden Soekarno tersebut mendapat peran tersendiri dalam catatan sejarah Indonesia.
Di mana, Media Massa memiliki hubungan yang sangat erat dengan organisasi politik maupun partai politik dari pertamakalinya pers dikelola oleh para jurnalis Indonesia. Hubungan ini berkaitan dengan fungsi pers sebagai penyebar informasi dan alat propaganda yang efektif bagi partai politik dalam mengkampanyekan program serta tujuan partai tersebut. Masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin pers sangat berperan bagi kelangsungan kampanye partai politik, hampir setiap partai politik memiliki surat kabar baik yang terbit harian maupun mingguan serta bulanan. Surat kabar ini dikelola sama baiknya dengan surat kabar umum yang tidak berafiliasi dengan partai politik dan bahkan menjadi alat pemasukan dana bagi partai politik. Partai-partai politik yang memiliki surat kabar seperti PKI, Masyumi, PNI, NU dan lain sebagainya sangat gencar melakukan propaganda melalui media massa. Dan propaganda yang dilakukan di Era Demokrasi Terpimpin dan mendapat kritik dari berbagai kekuatan politik yang lain adalah Media Massa yang berafiliasi dengan PKI. Dari propaganda yang dilakukan oleh media massa PKI tersebut menimbulkan polemik serta mendorong pemerintah Soekarno melakukan pembredelan terhadap media massa dilaur dari PKI. Berdasarkan fakta yang ada maka Penulis mencoba merumuskan pokok permasalahan, Mengapa Media Massa PKI melakukan propaganda politik untuk mendukung kebijakan politik Presiden Soekarno?

C. IDENTIFIKASI MASALAH
Pemerintah melalui Departemen Penerangan memberi ijin terhadap kembali terbitnya majalah Bintang Merah. Kembalinya PKI dengan corongnya Bintang Merah ke dalam pentas politik nasional merupakan perjuangan berat bagi Aidit dan tokoh muda lainnya. Terjadinya razia Agustus yang dilakukan oleh Kabinet Sukiman terhadap anggota-anggota PKI adalah salah satu upaya mematikan eksistensi PKI yaitu dengan menangkap beberapa tokoh PKI. Namun Aidit sendiri berhasil lolos dari usaha penangkapan politik tersebut. Adanya razia tersebut jelas menambah kesulitan terutama bagi kelompok Bintang Merah yang sedang berjuang membangun kembali partainya serta berpengaruhnya Propaganda yang dilakukan PKI melalui Harian Rakyat yang dimotori oleh Nyoto menambah energi perlawan terhadap kekuatan lain yang selama ini menjadi musuh politik PKI semenjak terjadi permberontakan PKI di Madiun. Dan kelompok yang dianggap PKI sebagai senantiasa menghalangi berkembangnya misi politik mereka adalah ABRI, khususnya Angkatan Darat dan Partai Politik seperti PSI dan Masyumi.


D . KERANGKA TEORI
Untuk membahas permasalahan tersebut di atas, penulis menggunakan beberapa teori sebagai berikut:
1.                  Teori Demokrasi
a.        Teori Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dicetuskan di Athena pada abad ke-5 sebelum Masehi. Demos berarti rakyat, dan Cratos/Kratien/Kratia yang artinya kekuasaan/berkuasa/pemerintahan, sehingga demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Demokrasi menurut Schumpeter, adalah pengaturan untuk mencapai keputusan-keputusan politik di dalam mana individu-individu, melalui perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan.
Defenisi Schumpeterian yang lebih bersifat empirik, deskriptif, institusional dan prosedural inilah yang mendominasi teorisasi mengenai demokrasi sejak 1970-an. Gagasan yang memandang demokrasi sebagai suatu sistem untuk memprotes konflik di mana partai yang kalah dalam pemilihan umum tidak berusaha merusak rezim demi mencapai tujuannya, tetapi bersedia menerima kenyataan dan menunggu putaran pertarungan dalam pemilihan umum berikutnya[3].
Memahami apa yang dipaparkan Schumpeter, bahwa demokrasi pada hakekatnya menjunjung tinggi sikap ketaatan terhadap aturan yang berlaku dalam suatu Negara demi tercapainya keputusan-keputusan politiknya. Disamping itu individu yang terlibat dalam setiap kegiatan politik perlu dihargai dan diapresiasi sehingga cita-cita dari terwujudnya demokasi dalam masyarakat dapat berjalan dengan baik. Sehingga proses perjuangan yang dilakukan demi mendapat simpati rakyat direspon secara maksimal tanpa melakukan proses propaganda ataupun konflik yang mengarah kepada hilangnya nilai demokrasi itu sendiri.
Diamond, Linz dan Lipset, mendefenisikan Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu-individu dan kelompok-kelompok organisasi  (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan yang memiliki kekusaan efektif, pada jangka panjang yang reguler dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa; partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga Negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui pemilihan umum yang disenggelarakan secara reguler dan adil, sedemikian rupa sehingga tidak satupun kelompok sosial (warganera dewasa) yang dikecualikan ; dan suatu tingkat kebebasan sipil dan politik. Yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk memben tuk dan bergabung  ke dalam organisasi, yang cukup untuk menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik[4].
Merujuk dari apa yang diuraikan oleh  Diamond, Linz dan Lipset, demokrasi dalam praktiknya perlu dilakukan dengan cara yang mengedepankan azas kebebasan. Di mana, kebebasan sipil dan politik dapat memberikan partisipasi yang baik dari warga Negara di dalam setiap proses politik, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun partai politik termasuk di dalam agenda politik melalu pemilihan umum. Kekebasan menjadi kata kunci yang perlu dikedepankan sehingga individu ataupun kelompok yang melakukan aktivitasnya dengan sadar tentu membantu proses pencapaian kepentingan politik nasional dari sautu Negara. Bila ada pelarangan ataupun pemberedelan terhadap media massa tentu akan menggangu proses politik yang demokratis dalam Negara ataupun masyarakat.

b.   Teori Demokrasi Terpimpin
Menurut Ketetapan MPRS No. XVIII/MPRS /1965 demokrasi terpimpin adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksamaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi terpimpin merupakan kebalikan dari demokrasi liberal dalam kenyataanya demokrasi yang dijalankan Presiden Soekarno menyimpang dari prinsip-prinsip negara demokrasi. Penyimpanyan tersebut antara lain :
a.       Kaburnya sistem kepartaian dan lemahnya peranan partai politik.
b.      Peranan parlemen yang lemah.
c.       Jaminan hak-hak dasar warga negara masih lemah.
d.      Terjadinya sentralisasi kekuasaan pada hubungan antara pusat dan daerah.
e.        Terbatasnya kebebasan pers sehingga banyak media masa yang tidak dijinkan terbit.
Praktek demokrasi terpimpin dari aspek peran partai politik dan suprasruktur politik. Demokrasi terpimpin adalah demokrasi dimana yang memimpin bangsa ini adalah Bung Karno atau Ir. Soekarno. Selama masa Orde Lama, ada sistem yang pernah diterapkan di Indonesia, yakni : Masa demokrasi liberal, Demokrasi yang dipakai adalah demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Demokrasi pada masa itu telah dinilai gagal dalam menjamin stabilitas politik. Ketegangan politik demokrasi liberal / parlementer disebabkan hal-hal sebagai berikut :
a.       Dominannya politik aliran maksudnya partai politik yang sangat mementingkan kelompok atau alirannya sendiri dari pada mengutamakan kepentingan bangsa.
b.      Landasan sosial ekonomi rakyat yang masih rendah.
c.       Tidak mampunya para anggota konstituante bersidang dalam mennetukan dasar negara.
Pelaksanaan demokrasi terpimpin dimulai sejak adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Latar belakang munculnya dekrit Presiden tesebut adalah : 
a.       Undang - Undang Dasar yang menjadi pelaksanaan pemerintahan negara belum berhasil dibuat sedangkan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS 1950) dengan sistem pemerintahan demokrasi liberal dianggap tidak sesuai dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia.
b.      Kegagalan konstituante dalam menetapkan Undang - Undang Dasar sehingga membawa Indonesia ke jurang kehancuran sebab Indonesia tidak mempunyai pijakan hukum yang mantap.
c.       Situasi politik yang kacau dan semakin buruk.
d.      Terjadinya sejumlah pemberontakan di dalam negeri yang semakin bertambah gawat bahkan menjurus menuju gerakan sparatisme.
e.       Konflik antar partai politik yang mengganggu stabilitas nasional.
f.       Banyaknya partai dalam parlemen yang saling berbeda pendapat sementara sulit sekali untuk mempertemukannya.
g.      Masing-masing partai politik selalu berusaha untuk menghalalkan segala cara agar tujuan partainya tercapai.
Demi menyelamatkan negara maka Presiden melakukan tindakan mengeluarkan keputusan Presiden RI No. 75/1959 sebuah dekrit yang selanjutnya dikenal dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tujuan dikeluarkan dekrit adalah untuk menyelesaikan masalah negara yang semakin tidak menentu dan untuk menyelamatkan negara. Isi Dekrit Presiden adalah sebagai berikut.
a.       Pembubaran konstituante
b.      Tidak berlakunya UUDS 1950 dan berlakunya kembali UUD 1945
c.       Pembentukan MPRS dan DPRS
Reaksi dengan adanya Dekrit Presiden :
d.      Rakyat menyambut baik sebab mereka telah mendambakan adanya stabilitas politik yang telah goyah selama masa Liberal.
e.       Mahkamah Agung membenarkan dan mendukung pelaksanaan Dekrit Presiden.
f.       KSAD meminta kepada seluruh anggota TNI-AD untuk melaksanakan pengamanan Dekrit Presiden.
g.      DPR pada tanggal 22 Juli 1945 secara aklamasi menyatakan kesediaannya untuk melakanakan UUD 1945.
Dampak positif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut :
h.      Menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik berkepanjangan.
i.        Memberikan pedoman yang jelas, yaitu UUD 1945 bagi kelangsungan negara.
j.        Merintis pembentukan lembaga tertinggi negara, yaitu MPRS dan lembaga tinggi negara berupa DPRS yang selama masa Demokrasi Parlemen tertunda pembentukannya.
Dampak negatif diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, adalah sebagai berikut. :
k.      Ternyata UUD 1945 tidak dilaksanakan secara murni dan konsekuen. UUD 45 yang harusnya menjadi dasar hukum konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya hanya menjadi slogan-slogan kosong belaka.
l.        Memberi kekeuasaan yang besar pada presiden, MPR,dan lembaga tinggi negara. Hal itu terlihat pada masa Demokrasi terpimpin dan berlanjut sampai Orde Baru.
m.    Memberi peluang bagi militer untuk terjun dalam bidang politik. Sejak Dekrit, militer terutama Angkatan Darat menjadi kekuatan politik yang disegani. Hal itu semakin terlihat pada masa Orde Baru dan tetap terasa sampai sekarang. Dengan turunnya dekrit presiden berakhirlan masa demokrasi parlementer atau demokrasi liberal[5].

2.        Teori Propaganda.
Propaganda adalah suatu kegiatan komunikasi yang erat kaitannya dengan persuasi. Propaganda juga diartikan sebagai proses diseminasi infomasi untuk memengaruhi sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok masyarakat dengan motif indoktrinasi ideologi. Menurut Dr. Joseph Gobbels, propaganda tidak mengenal aturan dan etika. Tujuannya ialah membelenggu rakyat dengan segala cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu taktik propaganda Gobbels ialah bisikan, (gossip, desas-desus) dalam bentuk dari mulut ke mulut. Salah satu contoh untuk mengelabui Rusia dalam rangka mendukung invasi Jerman ke wilaya tersebut, Gobbels menyebarluaskan desas-desus bahwa sebuah pasukan terlatih dengan perang amphibi telah berkumpul untuk suatu pendaratan di Inggris.
Menurut Edward Bernaiys , propaganda bukanlah suatu usaha yang patut dicela dalam meracuni pikiran orang dengan penuh kebohongan, melainkan lebih dari itu, yakni suatu usaha yang terorganisasi untuk menyebarluaskan sesuatu guna mendapatkan kepercayaan atau opini. Propaganda menurut Bernays sangat dibutuhkan untuk peradaban umat manusia. Untuk meningkatkan efektivitas propaganda, seorang juru kampanye perlu perlu mengetahui tipe atau bentuk propaganda, yakni sebagai berikut:
a.       Propaganda Putih, ialah propaganda yang menyebarkan informasi ideologi dengan menyebut sumbernya.
b.      Propaganda Kelabu, ialah propaganda yang dilakukan oleh kelompok yang tidak jelas. Biasanya ditujukan untuk mengacaukan pikiran orang lain, seperti adu domba, intik dan gossip.
c.       Propaganda Hitam, ialah propaganda yang menyebarkan informasi palsu untuk menjatuhkan moral lawan. Tidak mengenal etika dan cenderung berpikir sepihak. Misalnya CIA dan KGB sealing menyebarkan berita palsu untuk menggertak atau menakut-nakuti lawannya[6].


                                                                                                                                 
3.Teori Media Massa
Untuk memahmi dampak komunikasi massa, diperlukan kajian yang mendalam dan referensi luas untuk memahaminya. Karena dampak komunikasi massa sangat kompleks, yakni banyak dihubungkan dengan variabel-variabel bebas lainnya; dan dinamis, yakni selalu berubah dari waktu ke waktu. Belum lagi bagaimana sisi para ahli memandang subjektifitas teori-teorinya. Teori yang paling awal dikenal mengenai dampak media massa adalah The Magic Bullet Theory atau teori peluru, teori ini berkembang pada awal abad 19 dimana perang dunia telah banyak berpegaruh dalam dimensi teori ini. Teori ini menekankan bahwa pesan yang dibawa dalam komunikasi massa adalah[7]:
a.    Menjangkau secara langsung setiap audiens
b.    Panetrasi setiap pikiran secara langsung
c.    Mempengaruhi gagasan dan tindakan setiap orang, secara terang-terangan dan sangat berpengaruh.
Teori ini terbukti memang akurat untuk menggambarkan fungsi utama media massa sebagai alat prropaganda pada kisaran abad 20. Media massa merupakan alat propaganda paling utama baik politik maupun kapitalis. Pada massa berkembangnya teori ini, propaganda politik memang sangat kentara. Contohnya: propaganda media massa PKI seperti Lekra dan Bintang Merah di Era Demokrasi Terpimpin yang mampu menarik simpati Presiden Sokearno sehingga menimblkan persilisihan yang berujung pada terror yang secara membabi buta terhadap kekuatan Angkatan Darat dan Partai Politik yang lain, yang dengan sepihak di bubarkan oleh Presiden Soekarno karena menolak gagasan politiknya terkait dengan Ide Nasakom.
Media massa merupakan alat propaganda paling utama. Proses propaganda tersbut akhirnya berlanjut untuk menjatuhkan ideologi komunis misalnya, setiap memperingati hari G-30S PKI, TVRI selalu menampilkan film mengenai pembunuhan jendral-jendral TNI AD di tahun 1965. Film yang diputar didramatisir sedemikian rupa, dibuat secara berlebih-lebihan bahkan terbukti rekayasa atau fiktif semata. Tujuannya hanyalah alat propaganda kepada masyarakat, agar membenci ideologi sekaligus pengikut  PKI yang notabene dianggap sesat oleh pemerintahan Orde Baru. Dan terbukti tidak hanya itu, tujuan propaganda tersebut kini diketahui lebih dari sekedar menjauhkan ideologi Komunis-Lenin. Karena kenyatannya telah banyak condong pada tujuan propaganda demi kepentingan pribadi penguasa saat itu juga. Propaganda dalam film dan buku-buku sejarah yang merupakan bentuk dari media massa tentang PKI pada masa silam pun masih sangat berpengaruh hingga saat ini. Terbukti dengan banyaknya pradigma miring tentang eks tapol PKI dan keluarganya di tengah-tengah masyarakat kita. Dalam konteks inilah teori peluru masih sangat efektif digunakan untuk membaca dampak media komunikasi massa yang bersifat powerfull.


                                                                     BAB II
GAMBARAN UMUM

 A.   OBJEK PENELITIAN
Penelitian ini khususkan mempejari kekuatan propaganda media massa PKI di masa Demokrasi Terpimpin. Di mana, di Masa demokrasi terpimpin tersebut, merupakan suatu pergolakan politik yang syarat dengan kepentingan politik, baik berdifat kedaerahan, nasional maupun internasional. Dan pertarungan ideologi dari Nasionalisme, Islam (agama dan Komunisme), oleh Bung Karno di gabung dalam konsepsinya NASAKOM. Di era ini pula,  partai politik maupun organisasi politik dalam berbagai pergerakannya tidak terlepas dari peranan media massa amupun aksi propaganda dengan berbagai macam cara tentu dilakukan.
Partai politik telah menggunakan pers dalam mendukung maupun menjadi oposisi dari pemerintahan yang berkuasa. Sistem kekuasaan masa demokrasi terpimpin juga mempengaruhi fungsi pers, yang lebih banyak bersifat sebagai corong kekuasaan pemerintah yang berkuasa, sehingga fungsi pers sebagai kontrol sosial tidak nampak bahkan hilang[8]. Simbol Demokrasi Terpimpin mulai dominan sejak pertengahan tahun 1958, sedangkan salah satunya lawan yang gigih, partai Masyumi dan partai Sosialis, tidak begitu kedengaran suaranya lagi. Namun perdebatan mengenai bentuk konstitusi yang menunjang Demokrasi Terpimpin tidak pernah selesai. Pada bulan Februari 1959, pemerintah bersikeras untuk kembali ke UUD 1945, tetapi Sidang Konstituante tidak mamu memberikan dua pertiga suaranya untuk mendukung usulan itu. Akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 Pesiden Soekarno membubarkan Konstituante dan mengajukan lagi Undang-undang Dasar zaman revolusi melalui sebuah dektrit, dan diakui dengan serangkaian perubahan Revolusi”, yaitu tema pidato Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus ditahun yang sama[9]. 
Dalam pidato tanggal 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno menjelaskan Landasan idiil dan dan landasan strukturil untuk bekerja sesuai dengan dasar dan tujuan Revolusi, terdapatlah dalam UUD 1945. Landasan Idiil Pancasila dan landsana strukturil yaitu Pemerintahan yang stabil. “..Bangsa Indoensia sejak zaman purbakala-mula mendasarkan sistem pemerintahannya kepada musyawarah dan mufakat dengan pimpinan satu kekuasaan-sentral di tangan seorang sesepuh-seorang tetua, yang tidak mendiktatori, tetapi pemimpin, mengayomi. Demokrasi Indonesia sejak zaman purbakala-mula adalah Demokrasi Terpimpin. Pidato tersebut kemudian dirumuskan menjadi GBHN dan kemudian dinamakan Manifesto Politik atau MANIPOL. Sejak itu, segala tata kehidupan berbangsa, dan bernegara harus menngacu ke Manipol, bila tidak, tentu akan tersingkir atau disingkirkan  karena dianggap kontra revolusi. Namun konflik-konflik politik kian menguat sampai dua partai politik yaitu Masyumi dan PSI dibubarkan karena dianggap terlibat pemberontakan PRRI.[10]
Pers memiliki hubungan yang sangat erat dengan organisasi politik maupun partai politik dari pertamakalinya pers dikelola oleh para jurnalis Indonesia. Hubungan ini berkaitan dengan fungsi pers sebagai penyebar informasi dan alat propaganda yang efektif bagi partai politik dalam mengkampanyekan program serta tujuan partai tersebut. Masa demokrasi liberal hingga demokrasi terpimpin pers sangat berperan bagi kelangsungan kampanye partai politik, hampir setiap partai politik memiliki surat kabar baik yang terbit harian maupun mingguan serta bulanan. Surat kabar ini dikelola sama baiknya dengan surat kabar umum yang tidak berafiliasi dengan partai politik dan bahkan menjadi alat pemasukan dana bagi partai politik. Partai-partai politik yang memiliki surat kabar seperti PKI, Masyumi, PNI, NU dan lain sebagainya sangat gencar melakukan kampanye melalui media massa.
Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia.  Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula.
Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan.
PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar.
Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.
Seperti yang telah disebutkan di atas, partai politik pada masa Demokrasi Terpimpin mengalami pembubaran secara paksa. Pembubaran tersebut pada umumnya dilakukan dengan cara diterapkannya Penerapan Presiden (Penpres) yang dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1959. Peraturan tersebut menyangkut persyaratan partai, sebagai berikut:
1)            Menerima dan membela Konstitusi 1945 dan Pancasila
2)            Menggunakan cara-cara damai dan demokrasi untuk mewujudkan cita-cita politiknya
3)            Menerima bantuan luar negeri hanya seizin pemerintah
4)            Partai-partai harus mempunyai cabang-cabang yang terbesar paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah cabang-cabang itu harus sekurang-kurangnya seperempat dari jumlah daerah tingkat II seluruh wilayah Republik Indonesia.
5)      Presiden berhak menyelidiki administrasi dan keuangan partai.
6)      Presiden berhak membubarkan partai, yang programnya diarahkan untuk merongrong politik pemerintah atau yang secara resmi tidak mengutuk anggotanya partai, yang membantu pemberontakan
Sampai dengan tahun 1961, hanya ada 10 partai yang diakui dan dianggap memenuhi prasyarat di atas. Melalui Keppres No. 128 tahun 1961, partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII dan IPKI. Sedangkan Keppres No. 129 tahun 1961 menolak untuk diakuinya PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo dan partai rakyat nasional Djodi Goondokusumo. Selanjutnya melalui Keppres No. 440 tahun 1961 telah pula diakui Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti). Demikianlah kehidupan partai-partai politik di masa Demokrasi Terpimpin. Partai-partai tersebut hampir tidak bisa memainkan perannya dalam pentas perpolitikan nasional pada masa itu. Hal ini dimungkinkan antara lain oleh peran Soekarno yang amat dominan dalam menjalankan pemerintahannya dengan cirinya utamanya yang sangat otoriter pada waktu itu di era demokrasi terpimpin.
      
BAB IV.
ANALISIS
A.                TEORITIS
Perbedaan pandangan antara pers dan penguasa dalam melihat sesuatu dapat menjadi masalah karena keduanya mempunyai paradigma sendiri-sendiri. Pemerintah memandang kegiatan pers dianggap dapat mengganggu stabilitas politik dan penerapan kebijakan pemerintah. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran etika politik dan dengan alasan pelanggaran etika politik itulah Soekarno melakukan pemberedelan pers yang oleh Soekarno seniri kebijakan tersebut diambil karena sebuah keterpaksaan. Jika dicermati lebih lanjut, kebijakan Soekarno dalam mekakukan pemberedelan pers hanya untuk kepentingan politik otoriter semata tanpa pernah mempertimbangkan nilai moral dan etika.
Kondisi pers yang diterapkan Soekarno jauh dari konsep pers idealis yaitu sebagai mediator negara dengan rakyatnya sekaligus menjadi intuisi yang mengontrol antara hubungan rakyat dengan Negara, didasarkan pada sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang segalanya berada di bawah kekuasaan seorang Presiden. Dalam setiap pidatonya, Presiden Soekarno di samping menjelaskan ideologi Demokrasi terpimpin, juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia agar dibangkitkan kembali semangat revolusi, keadilan sosial, dan retolling lembaga-lembaga Negara demi kelanjutan revolusi yang belum selesai. Revoluis adalah menjebol tatanan lama dan membangun tatanan baru yaitu masyarakat yang adil dan makmur bersih dari penghisapan manusia atas manusia, dan juga bersih dari exploitasi atau penhisapan suatu bangsa atas bangsa lain.

B.                 ANALISIS TEORI

1.      Awal Propaganda PKI
Sementara itu, terjadi saling ketergantungan antara Presiden Soekarno dan PKI. Presiden Soekarno berusaha menggunakan kesempatan dukungan dari kekuatan-kekuatan kiri dan PKI untuk memperkokoh posisinya. Sebaliknya PKI yang menjalankan strategi kerja sama dengan Presiden Soekarno dengan Manipol-Usdek dan Nasakom-nya, menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan konsolidasi di seluruh Indonesia. Dalam pidato-pidatonya, Bung Karno mengecam orang-orang yang menentang doktrin Nasakom dengan menyebutnya terjangkit penyakit komunisto phobia. Kemajuan luar biasa yang dicapai PKI menimbulkan keresahan di kalangan Angkatan Darat dan dan sudah tentu Amerika Serikat yang yang sedang sibuk berperang di Vietnam Selatan, mencegah menjalarnya pengaruh komunis di Asia Tenggara.
Presiden Soekarno semakin intensif mempropagandakan seluruh doktrinnya terutama ajarannya mengenai Pancasila, Manipol-Usdek, Nasakom, Trisakti dan sebagainya yang disatukan menjadi Tujuh Bahan Pokok Indoktrinasi atau Tubapi. Untuk itu, Bung Karno mengangkat Roeslan Abdulganni menjadi Ketua Tim Indoktrinasi Ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Oleh karena itu, beberapa Partai Politik seperti PSI dan Masyumi di bubarkan dengan alasan tidak mendukung ajaran Demokrasi Terpimpin. Disamping itu, alasan pelarangan tersebut dikarenakan Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai pancaran Pancasila telah menjadi garis haluan Negara dan tidak dapat di damping oleh Manifesto lain, apalagi kalau Manifesto lain itu menunjukkan sikap ragu-ragu terhadap Revolusi dan member kesan berdiri di sampingnya, padahal demi suksesnya Revolusi, maka di atas el Revolusi menurut petunjuk-petunjuk Manipol dan beban Indoktrinasi lain-lainnya. [11]

Sejak akhir tahun 1963, dengan semboyan “Ganyang Tujuh Setan Desa”, di Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali secara Agersif PKI dengan Ormas-ormasnya terutama Barisan Tani Indonesia (BTI) dan Pemuda Rakyat melakukan kampanye aksi sepihak. PKI menjalankan Landreform yang selama itu belum pernah dilaksanakan. Antara lain dengan cara menguasai tanah-tanah pertanian yang melanggarnUU Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 untuk dibagikan kepada petani penggarap dan melaksanakan Undang-undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH).
Demikian pula, dikalangan seniman dan budayawan terjadi polarisasi antara pedukung Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), ormas para budayawan, dan seniman yang bernaung di bawah PKI dengan penentangnya. Para tokoh Lekra antara lain, Pramodeya Ananta Toer, H.R. Bandaharo, Joebar Ajoeb dan lain-lain dengan sangat agresif mengembangkan doktrin seni untuk rakyat melawan kesenian borjuis dengan semboyan seni untuk yang reaksioner. Kemudian terjadi polemik yang sengit antara harian Merdeka (B.M. Diah) dengan Harian Rakyat (Nyoto) mengenai gagasan satu partai yang dilontarkan oleh Merdeka. Kelompok Merdeka mendukung gagasan pembubaran partai-partai politik dan pembentukan satu partai yang berasaskan Pancasila. Hai inti tentu ditentang oleh PKI melalui Harian Rakyat yang menuduh Merdeka menuduh PKI dan Harian Rakyat hanya mementingkan partai dan golongannya sendiri.  Polemic yang berlangusung sejak 4 Juli 
Soekarno dengan konsep Demokrasi Terpimpinnya menilai Demokrasi Barat yang bersifat liberal tidak dapat menciptakan kestabilan politik. Menurut Soekarno, penerapan sistim Demokrasi Barat menyebabkan tidak terbentuknya pemerintahan kuat yang dibutuhkan untuk membangun Indonesia. Pandangan Soekarno terhadap sistem liberal ini pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan partai politik di Indonesia.
Partai politik dianggap sebagai sebuah penyakit yang lebih parah daripada perasaan kesukuan dan kedaerahan. Penyakit inilah yang menyebabkan tidak adanya satu kesatuan dalam membangun Indonesia. Partai-partai yang ada pada waktu itu berjumlah sebanyak 40 partai dan ditekan oleh Soekarno untuk dibubarkan. Namun demikian, Demokrasi Terpimpin masih menyisakan sejumlah partai untuk berkembang. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Soekarno akan keseimbangan kekuatan yang labil dengan kalangan militer. Beberapa partai dapat dimanfaatkan oleh Soekarno untuk dijadikan sebagai penyeimbang.
Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Sementara itu partai-partai lainnya dihimpun oleh Soekarno dengan menggunakan suatu ikatan kerjasama yang didominasi oleh sebuah ideologi. Dengan demikian partai-partai itu tidak dapat lagi menyuarakan gagasan dan keinginan kelompok-kelompok yang diwakilinya. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin. Partai politik seperti NU dan PNI dapat dikatakan pergerakannya dilumpuhkan karena ditekan oleh presiden yang menuntut agar mereka menyokong apa yang telah dilakukan olehnya. Sebaliknya, golongan komunis memainkan peranan penting dan temperamen yang tinggi. Pada dasarnya sepuluh partai politik yang ada tetap diperkenankan untuk hidup, termasuk NU dan PNI, tetapi semua wajib menyatakan dukungan terhadap gagasan presiden pada segala kesempatan serta mengemukakan ide-ide mereka sendiri dalam suatu bentuk yang sesuai dengan doktrin presiden.
Partai politik dalam pergerakannya tidak boleh bertolak belakang dengan konsepsi Soekarno. Penetapan Presiden (Penpres) adalah senjata Soekarno yang paling ampuh untuk melumpuhkan apa saja yang dinilainya menghalangi jalannya revolusi yang hendak dibawakannya. Demokrasi terpimpin yang dianggapnya mengandung nilai-nilai asli Indonesia dan lebih baik dibandingkan dengan sistim ala Barat, ternyata dalam pelaksanaannya lebih mengarah kepada praktek pemerintahan yang otoriter. Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum tahun 1955 yang didalamnya terdiri dari partai-partai pemenang pemilihan umum, dibubarkan. Beberapa partai yang dianggap terlibat dalam pemberontakan sepanjang tahun 1950an, seperti Masyumi dan PSI, juga dibubarkan dengan paksa. Bahkan pada tahun 1961 semua partai politik, kecuali 9 partai yang dianggap dapat menyokong atau dapat dikendalikan, dibubarkan pula.
Dalam penggambaran kiprah partai politik di percaturan politik nasional, maka ada satu partai yang pergerakan serta peranannya begitu dominan yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada masa itu kekuasaan memang berpusat pada tiga kekuatan yaitu, Soekarno, TNI-Angkatan Darat, dan PKI. Oleh karena itu untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan partai politik pada masa demokrasi terpimpin, pergerakan PKI pada masa ini tidak dapat dilepaskan.
PKI di bawah pemimpin mudanya, antara lain Aidit dan Nyoto, menghimpun massa dengan intensif dan segala cara, baik secara etis maupun tidak. Pergerakan PKI yang sedemikian progresifnya dalam pengumpulan massa membuat PKI menjadi sebuah partai besar pada akhir periode Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1965, telah memiliki tiga juta orang anggota ditambah 17 juta pengikut yang menjadi antek-antek organisasi pendukungnya, sehingga di negara non-komunis, PKI merupakan partai terbesar.
Hubungan antara PKI dan Soekarno sendiri pada masa Demokrasi Terpimpin dapat dikatakan merupakan hubungan timbal balik. PKI memanfaatkan popularitas Soekarno untuk mendapatkan massa. Pada bulan Mei 1963, MPRS mengangkatnya menjadi presiden seumur hidup. Keputusan ini mendapat dukungan dari PKI. Sementara itu di unsur kekuatan lainnya dalam Demokrasi Terpimpin, TNI-Angkatan Darat, melihat perkembangan yang terjadi antara PKI dan Soekarno, dengan curiga. Terlebih pada saat angkatan lain, seperti TNI-Angkatan Udara, mendapatkan dukungan dari Soekarno. Hal ini dianggap sebagai sebuah upaya untuk menyaingi kekuatan TNI-Angkatan Darat dan memecah belah militer untuk dapat ditunggangi. Keretakan hubungan antara Soekarno dengan pemimpin militer pada akhirnya muncul. Keadaan ini dimanfaatkan PKI untuk mencapai tujuan politiknya. Sikap militan yang radikal yang ditunjukkan PKI melalui agitasi dan tekanan-tekanan politiknya yang semakin meningkat, membuat jurang permusuhan yang terjadi semakin melebar. Konflik yang terjadi itu kemudian mencapai puncaknya pada pertengahan bulan September tahun 1965.
1. Majalah Bintang Merah dan Harian Rakyat Sebagai Corong PKI
Partai politik yang sejak masa penjajahan Belanda sangat efektif menggunakan media massa dalam mengkampanyekan program politik dan pembangunan kader-kadernya adalah PKI. Hal ini dilakukan kembali oleh PKI setelah Indonesia merdeka melalui alat propaganda partai yaitu majalah Bintang Merah. Majalah Bintang Merah pertamakali diterbitkan pada November 1945 oleh Mr. Moh Yusuf dan sempat dilarang terbit oleh pemerintah pada September 1948 akibat peristiwa Madiun. Pada tanggal 15 Agustus 1950 majalah Bintang Merah terbit kembali dan menjadi simbol bangkitnya kembali eksistensi PKI dalam perjuangan politiknya. Bertindak sebagai Sekretaris Redaksi adalah Peris Pardede yang pernah bekerja di sekretariat FDR sebagai tenaga teknis. Dewan Redaksi terdiri dari Aidit, Lukman, dan Nyoto. Majalah Bintang Merah di samping sebagai majalah teori, oleh Lukman dan Aidit juga digunakan untuk menghimpun orang yang sepaham dengan mereka berdua dan kemudian membentuk kelompok. Kelompok ini oleh Jacques Leclerc disebut “Kelompok Bintang Merah”. Sehubungan dengan terbentuknya kelompok ini Jacques Leclerc berpendapat bahwa: “Kelompok yang berkumpul di sekitar Bintang Merah di Jakarta sudah cukup kuat dan cukup mendapat sokongan dengan bersandar pada kontak-kontak yang berkembang di seluruh negeri selama beberapa bulan, untuk dengan cepat menampilkan diri sebagai pimpinan dari seluruh partai[12].
Pemerintah melalui Departemen Penerangan memberi ijin terhadap kembali terbitnya majalah Bintang Merah. Kembalinya PKI dengan corongnya Bintang Merah ke dalam pentas politik nasional merupakan perjuangan berat bagi Aidit dan tokoh muda lainnya. Terjadinya razia Agustus yang dilakukan oleh Kabinet Sukiman terhadap anggota-anggota PKI adalah salah satu upaya mematikan eksistensi PKI yaitu dengan menangkap beberapa tokoh PKI. Namun Aidit sendiri berhasil lolos dari usaha penangkapan politik tersebut. Adanya razia tersebut jelas menambah kesulitan terutama bagi kelompok Bintang Merah yang sedang berjuang membangun kembali partainya. Pembangunan kembali partai yang dilakukan oleh PKI dengan usaha mendapatkan kembali legitimasi masyarakat, mengalami tentangan oleh Masyumi yang saat itu sedang berkuasa dengan Sukiman sebagai Perdana Menterinya. Penentangan terhadap kehadiran PKI kembali oleh Masyumi dikarenakan Masyumi merupakan pihak yang paling dirugikan oleh PKI dalam peristiwa Madiun. Selain itu, pada masa awal kembalinya PKI, setelah peristiwa Madiun tahun 1948, PKI menerapkan strategi yang sangat memojokkan Masyumi. Masyumi dan PSI dianggap sebagai partai kaum borjuis komprador. PKI jugalah yang merasa senang ketika Nahdatul Ulama memisahkan diri dari Masyumi sehingga memperlemah kekuatan Masyumi secara keseluruhan[13]. Selain menerbitkan majalah Bintang Merah, untuk mendukung peran media partai yang sudah ada maka perlu ditopang surat kabar lain sebagai alat propaganda. Harian Rakjat, sebelum menjadi harian resmi milik PKI, telah ada sejak 1 Februari 1951 dan dibangun oleh Siauw Giok Tjan seorang peranakan Tionghoa yang garis politiknya cenderung ke PSI dan bukan merupakan anggota PKI, melainkan seorang jurnalis senior pendiri majalah Sunday Courier dan sebagai pendiri serta ketua BAPERKI[14]. Nyoto, mengambil alih pimpinan sekaligus sebagai penanggungjawab surat kabar Harian Rakjat dari Siauw Giok Tjan pada 31 Oktober 1953 dan meresmikannya menjadi surat kabar PKI. Harian Rakjat pada awalnya hanya terbit dua kali dalam seminggu. Setelah menjadi surat kabar resmi PKI surat kabar Harian Rakjat terbit setiap hari dan isi pemberitaannya berupa propaganda serta kampanye politik PKI, meskipun kebijakan pemberitaan sepenuhnya dikontrol Siauw Giok Tjan. Harian Rakjat di tempatkan di bawah Depertemen Agitprop CC PKI. Oplah Harian Rakjat meningkat tiga kali lipat dalam kurun waktu Februari 1954, 15.000 eksemplar dan Januari 1956 menjadi 55.000 eksempalar. Pada masa itu Harian Rakjat merupakan koran terbesar di antara media massa lainnya yang tentu berafiliasi dengan partai politik.
Surat kabar Harian Rakjat selain memberi keuntungan dalam hal propaganda PKI dengan oplah yang sangat besar, surat kabar ini juga memberi keuntungan finansial bagi PKI. Sehingga PKI menjadi partai paling kaya dengan sumber dana selain dari oplah Harian Rakjat, juga dana yang diperoleh dari iuran anggota, gerakan-gerakan pemungutan dana dan sumber lainnya. Menurut Ricklefs sebagian besar uang PKI didapatkan dari komunitas pedagang Cina yang memberikannya secara sukarela maupun tekanan dari kedutaan besar Cina. Fungsi surat kabar Harian Rakjat agak berbeda dengan majalah Bintang Merah. Surat kabar Harian Rakjat ditujukan bagi pembaca umum dan simpatisan serta anggota PKI dengan fungsi utama sebagai pedoman bagi semua anggota partai diseluruh penjuru negara mengenai sikap CC PKI terhadap isu-isu yang sedang berkembang, selain juga memuat berita-berita umum layaknya surat kabar lainnya, sedangkan majalah Bintang Merah ditujukan bagi anggota-anggota tetap PKI karena berisi teori, garis politik partai dan ideologi komunis.
Surat kabar Harian Rakjat memiliki semboyan “Tetap Teguh Dalam Pendirian dan Jangan Mencampuri Masalah”. Surat kabar Harian Rakjat gencar melakukan propaganda tentang masalah kerakyatan, persatuan, demokrasi dan masalah nasional. Pemberitaan yang utama adalah berita mengenai masalah buruh dan petani. Selain pemberitaan tentang masyarakat kecil, surat kabar ini tidak henti-hentinya secara rutin melaksanakan propaganda partai yang mengajak dan menganjurkan untuk hidup sederhana. Sedangkan untuk berita partai, berupa pemuatan biografi tokoh-tokoh komunis. Model pemberitaan ini oleh PKI sebagai tujuan meraih massa sebanyak-banyaknya. Surat kabar Harian Rakjat secara jelas membela kepentingan PKI melalui isi tajuk rencana, gambar karikatur dan pojok pers yang sering memojokkan lawan politiknya. Pemberitaan yang sangat terbuka dalam menyerang maupun mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah dan lawan-lawan politiknya, pada tahun 1957 surat kabar Harian Rakjat dilarang terbit selama satu minggu. Memasuki masa Demokrasi Terpimpin, surat kabar Harian Rakjat semakin gencar melancarkan isu-isu politik. Provokasi yang dilakukan Harian Rakjat juga diikuti oleh media massa yang juga simpatisan PKI, seperti Harian Bintang Timur dan Warta Bakti yang terbit di Jakarta, Trompet Masyarakat di Surabaya, Harian Harapan dan Gotong Royong terbitan Medan. Gencarnya pemberitaan Harian Rakjat dalam megangkat isu-isu politik membuat munculya polemik dengan surat kabar Merdeka.[15]
2. Surat Kabar Merdeka
Kemunculan harian Merdeka tidak lama setelah berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena didirikan pada tanggal 1 Oktober 1945. Surat kabar ini digunakan untuk menyiarkan kejadian yang sifatnya untuk mempertahankan kemerdekaan yang diperoleh, dengan motto “Suara Rakyat Republik Indonesia”[16]. Harian Merdeka merupakan media yang bersifat nasionalis dan independen yang tidak memihak kepentingan partai manapun yang dapat mengakomodasikan dan berkompromi dengan kepentingan pemerintah sehingga dapat survive lebih lama. Hal ini dikarenakan pada tahun 1959 B.M Diah selaku pemimpin redaksi diangkat menjadi duta besar RI untuk Cekoslovakia bersamaan dengan Adam Malik yang diangkat menjadi duta besar RI di Moscow, Uni Soviet.
Pergolakan pada masa revolusi kemerdekaan sangat berpengaruh terhadap penerbitan Merdeka. Kedatangan tentara NICA yang menduduki Jakarta, membuat pusat pemerintahan pindah ke Yogjakarta, sehingga berdampak pada surat kabar Merdeka karena tempat mencetaknya yaitu Percetakan Negara juga diduduki NICA. Percetakan Negara yang disegel oleh pihak NICA membuat Merdeka tidak bisa diterbitkan. Situasi seperti ini membuat pimpinan Merdeka sejak awal 1946 menerbitkannya di Solo. Tidak jarang Merdeka berfungsi sebagai pamflet untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya lembaran Merdeka yang ditempel di pohon-pohon dengan tujuan agar bisa dibaca oleh orang-orang yang melintas, akan tetapi edisi Solo tidak berumur lama karena ketika terjadi agresi militer Belanda kedua, penerbitan surat kabar ini dihentikan[17].
Untuk mengamankan aset-aset Merdeka, B.M Diah mengambil langkah dengan mendirikan NV Merdeka Press pada awal 1948. Dengan berbadan hukum juga membuka kesempatan untuk mengembangkan perusahaan agar lebih modern. NV Merdeka Press dibentuk oleh beberapa tenaga inti selain B.M Diah juga istrinya Herawati serta M.T Hutagalung. Pada tahun 1947 surat kabar Merdeka sudah memiliki 10 agen besar di Jakarta, 21  agen sejenisnya di Jawa dan luar Jawa, seperti Bogor, Sukabumi, Tasikmalaya, Serang, Rangkasbitung, Tegal, Pekalongan, Madiun, Karawang, Purwokerto, Cirebon, Indramayu, Makasar, Kandangan, Samarinda, Balikpapan, Denpasar, Semarang, Palembang, Biliton, dan Alaibu. NV Merdeka Press juga menerbitkan majalah mingguan Merdeka, majalah Keluarga, dan Indonesian Observer. Majalah mingguan Merdeka mulai diterbitkan sejak 1948 untuk mengolah berita-berita yang menonjol dalam satu minggu yang dimuat di harian Merdeka. Uraian pada majalah mingguan berisi masalah-masalah yang terjadi dibalik berita harian.
 3. Harian Pedoman
Harian Pedoman didirikan oleh Rosihan Anwar dan Soedjatmoko pada 29 November 1948 di Jakarta, setelah sebelumnya mendirikan tabloid mingguan Siasat. Pada bulan September 1960 harian Pedoman yang dikenal sebagai media massa yang pemimpinnya condong ke PSI menulis sebuah tajuk rencana yang menyudutkan PKI dengan judul “18 September 1948, Pemberontakan PKI”. Tentunya PKI sebagai partai yang berusaha untuk bangkit dan kembali di tengah-tengah perpolitikan nasional merasa “geram” dengan tajuk rencana yang ditulis oleh Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi Pedoman. PKI sendiri melalui sekretaris jendralnya, D.N. Aidit telah melakukan pembelaan dan mengembalikan kredibilitas PKI sejak tahun 1955 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.[18]
Penghinaan politik terhadap PKI yang dilakukan oleh harian Pedoman ditanggapi oleh PKI melalui Harian Rakjat yang diwakili oleh Soepeno dan Fransisca Fanggidaej. Sidang gugatan terhadap Rosihan Anwar di adakan di Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta dengan Soepeno dan Fransisca Fanggidaej sebagai penggugat. Sidang gugatan ini diketuai oleh hakim Mr. Sutidjan dan Jaksa J. Naro pada tanggal 19 April-9 Mei 1961. Gugatan tersebut dimentahkan oleh Jaksa J. Naro yang menilai tajuk rencana harian Pedoman yang ditulis oleh Rosihan Anwar tidak mengandung penghinaan secara objektif, sehingga pengadilan ini dimenangkan oleh Rosihan Anwar dan menjadi kekalahan PKI dan Harian Rakjat[19].
2.                  Kondisi Pers Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Perkembangan politik Indonesia sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 terjadi perubahan dalam kehidupan berpolitik dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Situasi ini membuat politik menjadi panglima, Soekarno membentuk aliansi politik yang bertujuan untuk menggalang persatuan yaitu dengan menggalang kekuatan dari Nasionalis, Agama, dan Komunis yeng kemudian dikenal dengan Nasakom. Kemunculan Manifesto Politik (Manipol) yang kemudian dikenal dengan Manipol USDEK yang diperkenalkan oleh Soekarno sebagai dasar adanya Demokrasi Terpimpin dan kemudian ditetapkan sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara membuat semakin rumitnya persoalan bagi media massa. Dalam Manipol disebutkan adanya retooling lembaga-lembaga dan organisasi bangsa demi jalannya revolusi. Tugas retooling yang dibebankan kepada Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin oleh Nasution mengontrol bidang kebudayaan dan bidang pers[20].
Pada tahun 1960 merupakan awal mulai penerapan Manipolisasi media massa sebagai usaha untuk menyeragamkan pemberitaan yang mendukung kebijaksanaan pemerintah. Tindakan yang dilakukan pertama kali oleh pemerintah adalah mengeluarkan peringatan yang dilakukan oleh Menteri Muda Penerangan R. Maladi yang menyatakan bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat-surat kabar, majalah-majalah, dan kantor berita yang tidak mentaati peraturan-peraturan yang diperlukan dalam usaha penerbiatan pers nasional. Apabila surat-surat kabar tidak ingin kehilangan subsidi dan izin pembelian kertas, mereka harus memberikan sumbangan pada usaha-usaha pelaksanaan Manifesto Politik dari Presiden serta prinsip-prinsip kepada Undang-Undang Dasar 1945[21]. Sikap represif pemerintah tidak hanya menimpa penerbit pers, perusahaan percetakan pun mengalami nasib yang sama. Pada tanggal 1 Maret 1961 dikeluarkannya peraturan yang menetapkan semua percetakan yang dimiliki perseorangan atau swasta harus dibawah pengawasan pemerintah dengan membentuk Badan Pengawas dan Pembinaan yang bertujuan untuk mengelola serta mengawasi semua percetakan. Unsur-unsur dari badan pengawas tersebut terdiri dari Angkatan Darat, Kepolisian, Penerangan dan Kejaksaan[22].
Pada tanggal 7 Januari 1961 akibat dari pembubaran PSI dan Masyumi maka dilakukan pembredelan terhadap Harian Pedoman yang pemimpinnya adalah Rosihan Anwar yang pro kepada PSI. Sementara Harian Abadi yang merupakan alat perjuangan Masyumi juga mengundurkan diri. Harian Abadi secara sukarela mengundurkan diri sebelum dibredel oleh pemerintahan.Mundurnya harian Abadi selain dikarenakan dibubarkannya Masyumi sebagai partai induknya juga karena masalah penandatanganan 19 butir kesepakatan media massa yang dikeluarkan oleh Penguasa Perang Tertinggi (Peperti). Saat Presiden Soekarno melancarkan kampanye Manipol, pers sendiri tidak berdaya karena tidak dilengkapi dengan undang-undang pers yang melindungi fungsi, tugas, kewajiban dan hak pers. Pers pada tahun tersebut hanya diatur dengan Ketetapan Presiden nomor 6/1963 dimana peraturan tersebut hanya mengatur prinsip-prinsip yang berhubungan dengan bentuk, tujuan dan pelaksanaan pembinaan pers agar sejalan dengan Manipol dalam usahanya mewujudkan Demokrasi Terpimpin.
Tabel . Surat Kabar yang dibreidel oleh Pemerintah pada Masa Demokrasi Terpimpin.[23]
No.
Nama Surat Kabar
Kota Terbit
1
Suara Maluku
Ambon
2
Masjarakat Baru
Samarinda
3
Berita Minggu
Jakarta
4
Bintang Minggu
Jakarta
5
Suara Andalas
Medan
6
Suara Islam
Maluku
7
Indonesia Raya
Jakarta
8
Tjahaja Islam
Pontianak
9
Penerangan
Padang
10
Kengpo
Jakarta
11
Utusan Banten
Serang
12
Tegas
Kutaraja
13
Bara
Makasar
14
Pedoman
Jakarta
15
Sin Po
Jakarta
16
Pembanguan
Palembang
17
Pemuda
Jakarta
18
Times of Indonesia
Jakarta


BAB V. KESIMPULAN
A.                KESIMPULAN ANALISIS
Dapat disimpulkan bahwa sejak Demokrasi Terpimpin. Pengekangan terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dengan tidak dikeluarkannnya UU pers. Pada masa itu juga banyak dimunculkan peraturan-peraturan, pemberitahuan, ketentuan-ketentuan, dan berbagai macam bentuk pernyataan-pernyatan dari pemerintah yang berfungsi untuk mengingatkan pers. Dengan banyaknya peraturan-peraturan yang menyudutkan posisi pers sehingga menyebabkan pemerintah dapat dengan sangat mudah melakukan pembredelan pers. Seluruh media masa yang sifatnya oposisi akan sangat mudah dijinakkan dan diberangus.
Kondisi pers yang diterapkan Soekarno sangat jauh dari konsep pers idealis yaitu sebagai mediator negara dengan rakyatnya sekaligus menjadi intuisi yang mengontrol antara hubungan rakyat dengan Negara, didasarkan pada sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin yang segalanya berada di bawah kekuasaan seorang Presiden. Wina Armada menuliskan bahwa kebebasan pers adalah kebebasan berekspresi untuk mengungkapkan pendapat yang mempunyai posisi dan fungsi yang penting serta dihargai sepenuhnya. Kenyataanya, kondisi pers pada masa Demokrasi Terpimpin berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Berbagai macam tekanan yang dilakukan pihak pemerintah kepada insan pers semakin mempersempit ruang gerak mereka dalam mewujudkan kebebasan pers. Wartawan dan pimpinan redaksi pers pada masa itu harus bersifat pro dengan pemerintah kalau ingin tetap mempunyai pekerjaan. Kebebasan pers pada waktu Demokrasi Terpimpin adalah sesuatu yang tidak mungkin, dikarenakan sama sekali tidak didukung oleh kondisi politik yang kondusif melainkan harus menghadapi politik tangan besi Soekarno yang menjadikan dirinya sebagai penguasa otoriter.
Perbedaan pandangan antara pers dan penguasa dalam melihat sesuatu dapat menjadi masalah karena keduanya mempunyai paradigma sendiri-sendiri. Pemerintah memandang kegiatan pers dianggap bisa mengganggu stabilitas politik dan penerapan kebijakan pemerintah. Hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran etika politik dan dengan alasan pelanggaran etika politik itulah Soekarno melakukan pemberedelan pers yang oleh Soekarno seniri kebijakan tersebut diambil karena sebuah keterpaksaan. Jika dicermati lebih lanjut, kebijakan Soekarno dalam mekakukan pemberedelan pers hanya untuk kepentingan politik otoriter semata tanpa pernah mempertimbangkan nilai moral dan etika.
PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) sebenarnya pernah mengusulkan kepada Soekarno untuk terlebih dahulu membicarakan keputusannya bila akan melakukan pemberedelan pers. Usulan PWI tersebut pada akhirnya hanya menjadi sebuah usulan saja, karena ketidakmampuan mereka melawan penguasa yang sudah sedemikian kuat. PWI sendiri sebenarnya sudah tidak mampu untuk bersikap mandiri, terbukti dengan pendaftaran organisasi ini menjadi bagian dari Front Nasional, padahal PWI bukanlah organisasi massa. Menariknya, PWI tetap diterima menjadi anggota Front Nasional dngan pertimbangan PWI mempunyai pengaruh yang besar dalam hal menggerakan massa. Sebagai konsekuensinya, PWI perlu menyesuaikan diri dengan politik Nasakom yang sudah menjadi ideologi negara. Masuknya PWI kedalam Front Nasional menjadi bukti kongkrit bahwa adanya Nasakomisasi dalam tubuh pers. Pers yang dapat menerima Nasakomisasi Soekarno dibiarkan tetap hidup dan sekaligus dijadikan alat untuk menyuarakan kepentingan politik suatu partai tertentu. Akibatnya, pers secara terang-terangan membela kepentingan kelompoknya sehingga agresifitas pers tergantung dari sikap partai politik yang berada dibelakangnya. Namun, usulan tersebut dianggap sebagai satu sikat yang logis. Dalam padangan PKI kelompok yang bertentangan dengan kepentingan politiknya akan tetap dianggap sebagai musuh idelogi. Hal tersebut tetap berlanjut sampai pasca tragedi 30 September dan akhirnya PKI-pun di musuhi seluruh partai dan rakyat Indonesia.
B.                 TEMUAN
Propaganda media Massa PKI melalui Harian Rakyat dan Bintang Merah merupakan salahsatu sikap politik partai yang dengan terangan di buktikan PKI dengan segala resiko dan harapan untuk meraih simpati Presiden Soekarno. Walaupun dengan propaganda maupun kampanye politik PKI, dalam upaya untuk menyokong kekuasaan Bung Karno, tetapi hal tersbut tidak secara dominan mendapat tanggapan postif dari Presiden Soekarno. Karena konsep NASAKOM yang dilahirkan Bung Karno bukanlah salahsatu konsep yang lahir dari kolaborasi kepentingan dengan PKI. Karena dalam pandangan Bung Karno, larinya Nasakom adalah salah satu penggambaran sosio-politik dan kebadayaan yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Kongkritnya, dalam banyak soal kebijakan ataupun peristiwa yang meninpa PKI tidak selamanya di bela oleh Presiden Soekarno baik di masa Demokrasi Terpimpin maupun pasca tragedi 65.
                       
DAFTAR PUSTAKA
Nugroho Notosusanto, Angkatan Bersenjata dalam Percaturan Politik Indonesia. Dalam Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia. Pilihan Artikel Prisma. (Jakarta: LP3ES. 1995)
Mohtar Mas’oed. Negara Kapital, Kapital dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994).
Hafied Cangara. Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi. (Jakarta:Rajawali Press. 2011).
Margaret DeFleur (Ed). Fundamentals of Human Communication, 3rd edition.New York: Mc-Graw Hill
Herbert Feith dan Lance Castle. Pemikiran Politik Idonesia 1945-1965. (Jakarta: LP3ES. 1988).
Sumono Mustoffa dan Muhammad Chudori. Penyusupan PKI Ke Dalam Media Massa Di Indonesia. ( Jakarta: Koperasi Karyawan Pers ADIJAYA. 1995)
Benny G. Setiono. Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. (Jakarta: Trans Media, 2008).
Jacques Leclerc. “Aidit Dan Partai Pada Tahun 1950”, dalam Prisma No 7, Juli 1982, Tahun XI
M.C Ricklefs, 1995, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press)
I.N Soebagijo, 1982, Jagat Wartawan Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung),
I.N Soebagijo, 1977, Sejarah Pers Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers),
J.R Chaniago, 1986, Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka 1945-1985, (Jakarta: Pustaka Merdeka
H. Rosihan Anwar, 1981, Sebelum Prahara Politik: Pergolakan Politik 1961-1965, (Jakarta: Sinar Harapan)
Ulf Sundhausen, 1986, Politik Militer Indonesia 1954-67, Menuju Dwi Fungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES)

INTERNET
http//www.demokrasiterpimpinIndonesia.com.


[1]. Nugroho Notosusanto, Angkatan Bersenjata dalam Percaturan Politik Indonesia. Dalam Analisa Kekuatan Politik Di Indonesia. Pilihan Artikel Prisma. (Jakarta: LP3ES. 1995). Hlm. 25-26
[2] . Ibid. Hlm. 26
[3]. Mohtar Mas’oed. Negara Kapital, Kapital dan Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1994). Hlm. 8
[4]. Ibid. Hlm. 10-10
[5] . http//www.demokrasiterpimpinIndonesia.com
[6] Hafied Cangara. Komunikasi Politik, Konsep, Teori, dan Strategi. (Jakarta:Rajawali Press. 2011). Hlm. 270-273
[7] Margaret DeFleur (Ed). Fundamentals of Human Communication, 3rd edition.New York: Mc-Graw Hill. Hlm. 392
[8] Lihat Edwar C Smith, 1986, Pembredelan Pers Di Indonesia, (Jakarta: Grafiti press)
[9] Herbert Feith dan Lance Castle. Pemikiran Politik Idonesia 1945-1965. (Jakarta: LP3ES. 1988). Hlm. 84
[10]. Sumono Mustoffa dan Muhammad Chudori. Penyusupan PKI Ke Dalam Media Massa Di Indonesia. ( Jakarta: Koperasi Karyawan Pers ADIJAYA. 1995). Hlm. 37
[11] Benny G. Setiono. Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Mengungkap Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia. (Jakarta: Trans Media, 2008). Hlm. 840-841.
[12]. Jacques Leclerc. “Aidit Dan Partai Pada Tahun 1950”,dalam Prisma No.7 Juli 1982, Tahun XI. Hlm  64.
[13] . M.C Ricklefs, 1995, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), Hlm. 362-363.
[14] . I.N Soebagijo, 1982, Jagat Wartawan Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung), Hlm.633.
[15]. I.N Soebagijo, 1977, Sejarah Pers Indonesia, (Jakarta: Dewan Pers), Hlm. 100.
[16].  J.R Chaniago, 1986, Ditugaskan Sejarah: Perjuangan Merdeka 1945-1985, (Jakarta: Pustaka Merdeka), Hlm. 5.
[17] . Ibid, Hlm. 75-17.
[18]. H. Rosihan Anwar, 1981, Sebelum Prahara Politik: Pergolakan Politik 1961-1965, (Jakarta: Sinar Harapan), Hlm. 39.
[19] . Ibid. Hlm. 39-51.
[20]. Ulf Sundhausen, 1986, Politik Militer Indonesia 1954-67, Menuju Dwi Fungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES),Hlm. 282.
[21] . Edwar C Smith, 1986, Pembredelan Pers Di Indonesia, (Jakarta: Grafiti press), Hlm. 189.
[22] Ibid , Hlm. 201.
[23] . I.N. Soebagijo, Op. Cit. Hlm. 106-107.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar