Sejarah pertama tentang kekuasaan
“Saudara,
kau yang lebih besar daru aku, apa kau dapat menjangkau buah delima,
yang di sana antara bunga kupu-kupu antara dedaunan, tersenyum padaku
dengan bibir merekah seperti seorang gadis yang mengamit? Ia telah
merekah karena masak dan merah api warna luka yang ia buat di badannya
sendiri untuk menyenangkan hatiku! Aku ingin, buah delima itu,
saudaraku. Kau yang lebih besar, tolong jangkaukan tanganmu dan
petiklah, dia boleh kumakan.”
Lalu si kakak mengabulkan permuntaan itu supaya adiknya dapat makan.
Yang sulung pergi ke ladang lalui melihat seekor kambing gunung lagi menurun mencari anaknya.
“Apa
kau ada melihat anakku,” tanyanya pada singa, “kau yang tinggal di
dataran rendah yang lebih kenal jalan-jalan di tanah rata. Jalan-jalan
yang begitu melelahkan bagiku karena kukuku terbelah dua?”
“Jangan kaucari anakmu…” kata singa itu, “datanglah ke mari supaya kau boleh kumakan.”
Lalu singa itu melaksanakan niatnya itu.
Tapi kakak yang sulung bertanya pada singa:
“Apa maksudmu makanya kambing yang mencari anaknya itu kau makan?”
“Kau
sendiri mendengar keluhannya tentang kukunya yang tidak memenuhi
syarat,” jawab singa. “Bukankah adil jika ia kumakan? Lihatlah cakarku
yang memenuhi syarat; lihat gigiku yang memenuhi syarat. Maka itu kambing ku makan.”
Anak muda itu berfikir, lalu memandangi lengannya yang panjang, kuar dan besar. Ia menganggap lengannya begitu memenuhi syarat… hingga ia memutuskan untuk memaksa adiknya untuk melayani dia dengan patuh.
Dan waktu adiknya suatu waktu memintanya untuk memetikkan buah, ia menjawab:
Lihat
lenganku. Bukankah kau mengatakan bahwa lenganmu tidak dapat menjangkau
buah delima itu? Jadilah abdiku, supaya kau tidak kumakan.”
Semenjak itu sang adik jadi abdi kakaknya. Tapi ia tidak bergembira bahwa berkat singa hal ini teleah diketahui abangnya. Sampai hari ini keadaan itu tetap berlangsung.
Sejarah ketiga tentang kekuasaan
Seorang
musyafir sarat membawa emas dan perak. Karena takut pada perampok maka
ia membawa senjata. Juga ia diikuti oleh para pelayannya dalam jumlah
yang besar, ya bahkan mereka lebih banyak dari jumlaj perampok yang ada
di negeri itu. Persenjataannya dan pengirinya begitu lengkap hingga
sebuah pasukan lengkap pun tidak akan sanggup merampas kekayaannya.
Banyak
perampok yang tidak tahu hal ini, menyerang dia, tapi mereka akan lama
sekali menyesali perbuatan tersebut, sekirannya mereka tidak tewas pada
saat itu juga.
Seorang
perampok yang jadi hati-hati setelah melihat contoh yang dilami
saudara-saudaranya minta nasihat pada seorang pertapa yang tahu
segala-galanya, karena ia telah lama menyendiri dengan dua potong tulang
orang mati dan segendi air.
“Apa yang harus kulakukan, hai orang suci untuk dapat menguasai harta musyafir itu?”
“Caranya
bersahaja sekali,” jawab petapa yang saleh itu, “Lemparkan padanya
jerat yang akan kuberikan pada anda di lehernya, maka ia tidak akan
melawan. Ia memerintahkan khadam-khadamnya untuk bersujud ke bumi depan
anda dan ia akan memberiakan apa yang anda inginkan.”
Dan apa yang dikatakan orang suci itupun terjadilah. Tapi musyafir dan kawan-kawannay bernasib buruk sekali.
Jerat itu bernama “Kepercayaan” dan sampai hari ini ia masih memiliki kekuatannya.
Sejarah keempat tentang kekuasaan
“Bapa, katakan padaku mengapa matahari tidak jatuh.”
Bapak
itu jadi malu karena ia tidak tahu mengapa matahari tidak jatuh. Lalu
ia hukum anaknya dan semenjak itu tidak pernah lagi bertanya, baikk
mengenai mengapa matahari tidak jatuh maupun mengenai hal-hal lain yang
sangat ia ketahui.
Anak
itu tidak pernah jadi dewasa biarpun ia hidup enam ribu tahun… tidak,
lebih lagi dari itu. Sampai hari ini ia masih saja tetap dungu dan
bodoh.
Sejarah kelima tentang kekuasaan
“Mau ke mana, o Philoinos?” tanya Hudoor oada kawannya yang oa temuai di jalan-jalan di Yunani.
“Saya
buru-buru untuk minum tiga guci anggur buruk yang disediakan oleh yang
terburuk dari ketiga gundikku,” jawab Philoinos terhuyung-huyung karena
ia mabuk.
“Mari, aku khawatir kau telah banyak minum anggur dan punya gundik terlalu banyak.”
“Tiga, Hudoor, tiga… guru telah berkata begitu! Tiga… katanya.”
“Guru tidak bicara tentang anggur maupun gundik, mari…”
“Ia berkara: tiga… tiga… TIGA!”
Dan untuk ketiga kalinta malam itu Philoinos rebah, tapi kali ini ia tidak bangkit lagi. Dan sampai hari ini ia tetap terbaring.
Sejarah keenam tentang kekuasaan
Di
sama tempat anak dilahirkan untuk pertama kali. Sang ibu gembira sekali
dan juga sang bapak memandangi anaknya dengan penuh kasih sayang.
“Tapi Genius, coba kaukatakan, apa ia akan selalu sekecil ini?” tanya sang ibu dan… ia menambahkan lagi:
“Dan
aku sendiri tidak tahu apa memang itu yang kuingini! Aku ingin melihat
ia besar sebagai seorang manusia, tapi rasanya sayang sekali jika ia
begitu berobah, hingga ia tidak dapat lagi kupangku dan kususukan.”
“Anakmu
akan tumbuh jadi manusia,” kata Genius. Ia tidak akan terus-menerus
menyusu padamu. Satu kali ia tidak akan dapat kaupangku…”
“O
Genius,” seru ibu itu dengan terkejut, “apa anakku akan pergi…? Jika ia
pandai berjalan, apa ia akan meninggalkan aku jika ia sudah pandai
berjalan?”
“Cintailah anakmu,” kata Genius, “dan ia tidak akan meninggalkan kau.”
Demikianlah
adanya. Demikianlah keadannya beberapa lama. Tapi sesudah itu makin
banyak anak yang lahir. Dan bagi kebanyakan orang tua menjadi sulit
untuk mencintai semua anak-anak itu.
Lalu
orang menemui sebuah perintah yang seperti perintah-perintah lainnya
dapat menggantikan cinta. Karena memberikan perintah lebih mudah dari
memberikan cinta. Hormatilah ibu dan bapakmu!
Lalu anak-anak itu meninggalkan orang tuanya setelah mereka pandai berjalan.
Orang menambahkan sebuah janji pada perintah itu: Supaya engkau selamat!
Waktu
itu beberapa anak tinggal pada orang tuanya. Tapi mereka tinggal tidak
dengan cara yang dimaksudkan oleh ibu pertama waktu ia menanyakan pada
Genius: “Apa yang harus kulakukan supaya anakku tidak meninggalkan aku
jika ia pandai berjalan?” Dan sampai hari ini keadaan ini masih tetap
begini.
Sejarah ketujuh tentang kekuasaan
“Le premier roi fut un soldat heureux!”
kata Voltaire, tapi aku tidak tahu apa ucapannya ini benar. Mungkin
sekali, bahkan sangat mungkin, bahwa raja yang pertama adalah seseorang
yang kenal pertapa-pertapa yang menyediakan jerat… Tapi kisah berikutnya
adalah benar.
Krates
adalah seorang yang kuat sekali. Dengan ibu jari dan jari tengahnya ia
menggunting dinding sedada yang terbuat dari pohon-pohon kayu hingga
tumbang, dan dengan satu kali pukul ia dapat membunuh tiga belas orang
musuh. Kalau ia batuk, terjadi kebakaran akibat udara yang merejan dan
bulan bergoyang jika ia ingat pada gerakan.
Berkat jasa-jasanya itu Krates diangkat jadi raja.
Ia berpulang setelah ia jadi raja selama beberapa lama.
Tapi
Krates kecil, putranya menderita sakit tulang. Penyakit ini tidak
menghalanginya untuk menggantikan ayahnya yang begitu kuat. Ia mengambil
tempat di atas sebuah kursi yang ia sebut singgasana lalu berseru:
“Akulah raja!”
“Kenapa kau jadi raja?” tanya rakyat yang masih bodoh dan tidak mengerti hukum turun-temurun.
“Ya, karena ibuku tinggal sepondok dengan Krates tua yang kini sudah mati.”
Sebetulnya ia mengatakan istana, tapi kenyataannya hanya sebuah pondok. Rakyat tidak mengerti kesimpulan itu dan jika Krates II berseru “Mari!” maka rakyatpun pergi. Tapi jika ia berkata “pergi!” maka orang datang berlarian. Pendeknya, kewibawaan hilang sudah dan Krates Dua terlalu bodoh untuk memberikan perintah terbalik.
Dalam
majalah oposisi kala itu orang dapat membaca tulisan berikut: “Kenapa, o
Krates Kedua, anda yang berkaki bengkok dan berfikiran singkat, kenapa
anda menduduki kursi seorang laki-laki yang selama dua puluh tahun diam
sepondok dengan perempuan yang telah melahirkan anda?”
“Bangkitlah
dan berikan tempat dan jangan mengucapkan “pergi” atau “datang”
seolah-olah anda adalah Krates tua yang asli! Mana benteng-benteng pohon
kayu eik, yang dapat anda tumbangkan dengan jari anda? Bulan
tidak bergoyang, biarpun anda lagi merundungkan alam semesta yang belah.
Anda tak sanggup membunuh kutu, kebakaran tidak terjadi jika anda
bersin. Berdirilah, dan berikan tempat untuk orang lain yang mengerti
hal-hal berguna seperti ini.”
Demikian oposisi berkata.
Krates
sebetulnya sudah bersedia untuk meninggalkan kursi yang ia sebut
singgasana sekiranya tidak ada seorang pengasuh tua yang bicara pada
rakyat seperti berikut:
“Dengarkan
aku, o rakyat, karena aku pengasuh Krates kecil, kala ia masih lebih
kecil dari sekarang ini! Waktu ia lahir ayahnya meminyaki kepalanya,
lalu lihat, setetes minyak telah jatuh ke atas kepala anak asuhanku.
Karena itu tidak perlu ia robohkan dinding, dan juga tidak perlu bulan
bergoyang atau menimbulkan kebakaran jika ia bersin. Percayalah…”
Tapi
pengasuh yang bijak itu tidak perlu menyelesaikan ucapannya.
Kesimpulannya begitu mudah untuk difahami, hingga seluruh rakyat
berteriak dengan satu suara—termasuk redaksi koran oposisi yang
berteriak paling keras—:
“Hidup yang dipertuan yang diminyaki!”
Dan Krates tetap tinggal di kursinya yang ia sebut singgasana. Dan sampai hari ini ia masih duduk di sana.
Sejarah kedelapan tentang kekuasaan
Thugater
memerah sapi ayahnya dan ia pandai sekali, karena susu yang oa bawa
pulang lebih banyak menghasilkan mentega dari susu yang diperah
kakak-kakaknya. Akan kukatakan pada kau, Fancy bagaimana
semua ini bisa terjadi dan perhatikan baik-baik hingga kau tahu…
sekiranya suatu kali kau harus memerah susu sapi. Hal ini kukatakan,
bukan supaya kau memerah susu seperti telah dilakukan Thugater, tapi
untuk menggambarkan contoh yang diberikan kakak-kakaknya, yang beroleh nasib lebih baik: setidak-tidaknya mereka lebih cerdik.
Lama
sebelum anak-anak muda itu memasuki padang rumput, ya lama sebelum masa
itu, sapi-sapi telah menunggu dekat pagar untuk dibebaskan dari
kelebihan yang sebetulnya telah disiapkan untuk anak-anak sapi. Tapi
manusia memakan anak-anak sapi itu, karena mereka merasa pantas,
hingga susu bertumpuk dalam susu-susu sapi. Apa yang kini terjadi selama
sapi bermuka bodoh itu menunggu depan pagar? Selama itu bagian susu
yang teringan mendorong kepala susu, gemuk, mentega ke atas hingga
berada di bagian yang paling jauh dari puting susu.
Siapa
yang memerah dengan sabar, sampai tetes darah terakhir, akan memperoleh
susu gemuk. Siapa yang terburu-buru akan meninggalkan kepala susu.
Lihatlah Thugater tidak terburu-buru, tapi kakak-kakaknya ya.
Karena
mereka mengatakan bahwa mereka punya hak untuk melakukan hal-hal
lainnya kecuali memerah susu sapi ayahnya. Tapi Thugater tidak
memikirkan hal tersebut.
“Ayah
telah mengajar aku menembak dengan panah dan busur,” kata salah seorang
kakak-kakak itu. “Aku dapat hidup dari berburu dan aku ingin mengembara
di dunia dan bekerja untuk diriku sendiri.”
“Aku ia ajar menangkap ikat,” kata yang kedua. “Aku gilam kalau mau terus-menerus memerah susu untuk orang lain.”
“Ia memperlihatkan padaku bagaimana caranya membuat perahu,” kata yang ketiga. “Kupotong sebatang kayu lalu aku duduk di atasnya, di air. Aku ingin tahu apa yang terjadi di seberang danau.”
“Aku
berselera untuk hidup bersama dengan Gune yang berambut pirang,” tutur
yang keempat. “Aku ingin punya rumah dengan thugater-thugater di
dalamnya untuk memerahkan susu bagiku.”
Demikian
setiap kakak punya keinginan, kehendak—kemauan. Dan mereka begitu asyik
dengan keinginan-keinginannya, hingga mereka tidak sempat untuk membawa
kepala susu, yang dengan sedih terpaksa disimpan sapi-sapi itu tanpa
guna sama sekali bagi siapapun jua.
Tapi Thugater memerah susu sampai tetes terakhir.
“Ayah,” teriak kakak-kakaknya itu akhirnya, “kami pergi!”
“Siapa yang akan memerah susu?” tanya ayah mereka.
“Ada Thugater.”
“Apa
yang akan terjadi jika dia juga beroleh keinginan untuk berlayar,
menangkap ikan, berburu dan melihat dunia? Apa yang akan terjadi jika ia
beroleh fikiran untuk hidup bersama dengan seseorang yang berambut
pirang atau coklat, supaya ia punya rumah sendiri dan segala yang
menjadi bagiannya? Kalian boleh pergi, tapi dia tidak… karena susu yang
ia bawa pulang banyak gemuknya.”
Putra-putranya berkata setelah berunding:
“Ayah, jangan ajarkan apa-apa padanya,
hingga ia akan tetap memerah susu sampai akhir hayatnya. Jangan
perlihatkan padanya, bagaimana seuntai tali yang diregang dapat
menembakkan anak panah jika ditarik. Hingga ia tidak akan punya selera
untuk berburu. Sembunyikan baginya sifat-sifat ikan, yang menelan kail
yang tajam jika diselubungi dengan sedikit umpan. Ia tidak akan teringat
untuk melemparkan kail atai jala. Jangan ajarkan padanya bagaimana
orang memasah kayu dan dengan naik itu dapat berhanyut-hanyut ke
seberang danau. Dan ia tidak akan punya keinginan untuk pergi ke
seberang danau. Dan jangan sekali-kali beritahu dia, bagaimana ia dengan
seorang lelaki pirang atau coklat, dapat memiliki rumah dan segala yang
menjadi bagiannya! Jangan dia sekali-kali diberitahu tentang ini, ayah,
dan ia akan tetap tinggal bersama ayah dan susu sapi ayah akan penuh
gemuk. Sebaliknya, biarkan kami pergi, ayah, masing-masing menurut
keinginannya.”
Demikian putra-putranya berkata. Tapi sang ayah—ia adalah seorang laki-laki yang sangat hati-hati—menjawab:
“Nak
sayang, saya dapat menghalangi dia untuk mengetahui hal-hal yang tidak
kuajarkan padanya? Bagaimana kalau dia melihat lalat biru berlayar atas
sebuah ranting mengapung? Bagaimana, kalau benang tenunannya yang regang
kembali ke ukuran asalnya dan karena mengerut dengan cepat secara
kebetulan mendorong gulungan tenunannya? Bagaimana, kalau di tepi
selokan ia mengintip ikan yang mencoba menggigit cacing yang
bergeliat-geliat, tapi berhasil berkat kegigihan yang salah diarahkan
hingga ia tersangkut pada kelopak pimping yang tajam? Dan bagaimana
kalau akhirnya ia juga menemui sarang yang dibuat burung-burung dalam
bulan Mei di antara kembang kupu-kupu?”
Para putra itu berfikir kembali, lalu berkata:
“Ia
tidak akan belajar apa-apa dari itu, ayah? Ia terlalu bodoh untuk dapat
memungut keinginan dari pengetahuan. Juga kami tidak akan tahu apa-apa,
kalau ayah tidak memberi tahu kami.”
Tapi sang ayah menjawab:
“Tidak,
dia tidak bodoh. Aku khawatir ia tanpa bantuanku akan mengetahui
hal-hal yang tidak akan dapat kalian ketahui jika tidak kuajarkan.
Thugater bukan anak bodoh!”
Lalu mereka berfikir lagi—tapi kali ini lebih dalam—lalu berkata:
“Ayah, katakan padanya, bahwa pengetahuan, pengertian dan keinginan… adalah dosa bagi seorang gadis!”
Kali
ini ayah yang sangat berhati-hati itu puas. Ia biarkan anak-anak
laki-lakinya pergi menangkap ikan, berburu, bekelana, berumah-tangga… ke
mana saja. Tapi ia melarang Thugater untuk tahu, mengerti dan berkeinginan, yang sampai akhir hayat dalam kebodohannya terus memerah susu. Dan sampai sekarang keadaannya masih begitu.
Sejarah kesembilan tentang kekuasaan
Hassan
menjual kurma di jalan-jalan Damaskus. Biarpun aku mengatakan ia
menjual kurma, maksudku sebenarnya, ialah bahwa ia tidak menjualnya,
karena kurmanya begitu kecil hingga tak ada yang mau membeli. Dengan
rasa sedih dan iri hati ia melihat bagaimana orang lebih menyukai kurma
Aoled yang kaya, yang diam di sebelahnya di atas sebuah tikar. Di
Damaskus orang tinggal di atas tikar dengan tingkat-tingkat tinggi,
karena mereka tak memiliki atap di atas kepalanya. Hingga kekayaan
Aouled tidaklah terdiri dari rumah-rumah, melainkan dari sebidang kebun
kurma yang subur, ya begitu subur hingga kurma yang tumbuh di sana tiga
kali labih besarnya dari kurma biasa. Karena itu orang yang lewat
membeli kurma Aouled dan bukan kurma Hassan.
Lalu
datang ke kota itu seorang Darwis yang memiliki ilmu terlalu banyak,
tetapi kekurangan makan. Pendeknya ia menukar ilmunya dengan makanan,
dan kita akan melihat bagaimana beruntungnya Hasaan dengan pertukaran
ini.
“Beri
aku makan,” kata Darwis itu padanya, “lalu aku akan melakukan buat anda
hal yang tidak dapat khalifah manapun juga. Aku akan memaksa orang
banyak untuk membeli kurma anda, dengan jalan membuatnya lebih besar, ya
lebih besar dari buah-buahan Aouled… Berapa besar buah kurma itu?”
“Apa
boleh buat, Darwis kiriman Tuhan—kucium kaki anda—kurma Aouled—semoga
Tuhan membuat perutnya mules—tiga kali lebih besar dari kurma biasa!
Naiklah ke atas tikarku, silakan duduk bersila, semoga anda diberkati
Tuhan lalu ajarkan padaku untuk membuat kurmaku lebih besar dan memaksa
orang banyak untuk membelinya.”
Sebetulnya
Hasaan dapat bertanya, kenapa Darwis yang begitu pandai, memerlukan
makanan. Tapi Hassan tidak pernah suka selidik-menyelidik. Ia menjamu
tamunya dengan kulit rebus, yang masih tersisa dari seekor kambing
jantan hasil curian.
Darwis itu makan sampai kenyang lalu berkata:
“Buah-buahan
tetanggamu tiga kali lebih besar dari kurma biasa… berapa besar kau
inginkan kepunyaanmu ya, Hassan, anak aku-tak tahu-siapa?”
Hassan berfikir sebentar, lalu berkata:
“Tuhan akan memberikan anak-anak dan sapi padamu? Aku ingin kurmaku tiga kali lebih besar dari pada yang anda buat.”
“Baik
sekali,” kata Darwis itu. “Ini seekor burung yang kubawa dari Timur
Jauh. Katakan padanya bahwa setiap kurmamu tiga kali lebih besar dari
kurmamu.”
“Kudoakan
supaya anda beroleh istri dan onta, o, Darwis—yang harum bagai buah
zaitun—tapi apa gunanya kukatakan pada burung ini sesuatu yang tidak
ada?”
“Lakukanlah seperti kataku,” ulang orang keramat itu. “Untuk ini aku seorang Darwis , hingga kau tidak mengerti aku,”
Hassan
mendoakan supaya burung itu beroleh bulu-bulu panjang lalu menyebutnya
Rock. Tapi burung ini bukan rock. Burung ini adalah seekor burung kecil
yang rada mirip seekor gagak dengan ledang yang lincah dan berjalan agak
melenggok-lenggok. Darwis itu memperolehnya di Andalusia dibawa oleh
saudagar-saudagar yang datang dari seberang laut, dari negeri di mana
penduduknya mirip orang negro, biarpun negeri itu jauh dari Afrika.
Hassan menamakan burung itu rock, karena ia melihat bahwa tubuh
seseorang jika orang meminta, mengembang. Juga sebaliknya terjadi.
Seseorang yang memerlukan sesuatu dari orang lain tubuhnya akan
mengerut. Demikianlah halnya di Damaskus.
Hassan mengerut lalu berkata:
“Aku budakmu, burung rock! Ayahku seorang anjing… dan setiap butir kurmaku sama besarnya dengan tiga butir kurmaku!”
“Bagus,” kata Darwis. “Teruslah begitu dan takutlah pada Tuhan.”
Hassan
melanjutkan perbuatannya. Ia takut pada Tuhan dan ia berkata pada
burung itu tak henti-hentinya bahwa kurmanya tak masuk akal besarnya.
Upah
untuk kebaikan akhirnya datang juga. Belum lagi tiga kali khalifah
membunuh penghuni haremnya; belum lahi ibu-ibu beroleh kesempatan
mendandani anak-anak gadisnya siap untuk menuju pasar Rum; belum lagi
Hassan sempat menemui bandot yang sesaat untuk menemaninya dan untuk
melanjutkan hidupnya di atas tikarnya, burung itu sudah berseru:
“Ayahku seekor anjing…”
Sebetulnya itu tidak perlu, tapi ia menyimak Hassan.
“Ayahku
seekor anjing, dapat bulu panjang, kurma Hassan bin…”Aku tidak tahu
nama ayah Hassan, tapi karena ayahnya itu seekor anjing, maka hal ini
tidaklah jadi persoalan.
“Kurma Hassan tiga kali lebih besar dari sebenarnya.”
Waktu
itu ada pembangkang-pembangkang di Damaskus yang membantah. Tapi tak
lama. Dalam suara burung ini ada sesuatu yang membuat udara gemetar
dengan suatu cara yang mempengaruhi pembekokan cahaya. Kurma tumbuh,
tumbuh… depan mata orang banyak…
Dab burung itu tidak putus-putusnya berseru:
“Kurma Hassan tiga kali lebih besar daripada sebenarnya!”
Dan mereka tumbuh…! Orang terpaksa menganga besar untuk dapat menggigitnya.
Dan
Aouled jadi kurus. Tapi Hasaan makin banyak membeli bandot dan anak
domba dan ia membangun atap di atas tikarnya. Ia jadi sangat jujur dan
menganggap sebagai perbuatan jahat jika ada orang yang tidak punya anak
domba lantas memakan salah seekor kepunyaannya. Ia tidak henti-hentinya
takut akan Tuhan.
Kekayaan
dan kelaliman ia beroleh berkat burung kecil, yang selalu mengucapkan
hal yang sama dan menjadikan dusta jadi kebenarannya dengan cara
mengulang-ulangnya. Setiap orang menganggap kurma Hassan besar-besar dan
setiap orang terpaksa membelinya setiap…
Kecuali Hassan sendiri yang secara diam-diam mengambil persediannya dari Aouled. H Hassan adalah satu-satunya langganan Aouled. Sampai sekarang masih demikian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar