Laman

Jumat, 22 Maret 2013

AKU SANG PERUBAH (cerita seorang Mahasiswi Feminis)

AKU SANG PERUBAH (cerita seorang Mahasiswi Feminis) 

 


Akulah sang perubah, ujar Erna. Didepan teman-teman para lelakinya ditaman kotak Kampus sore itu. Sekali lagi dia menyerukan. Akulah sang perubah dan pecinta emansipasi” Erna ingin menunjukkan pada teman-temannya, bahwa yang membuat perubahan itu tak semata-mata kaum lelaki.
Kalian perlu tahu, aku tak menyukai sifat kemanjaan dan belaian ataupun kata gombal murahan. Aku muak dengan dunia yang hanya meminggirkan kaumku! Aku ingin bebas dari penjara keluarga yang selalu membebaniku dari moral dan agama.
Dengan nada nanar, Erna, menirukan kata-kata sang ayah Tempo hari. Na kamu kan perempuan. Tidak boleh merokok, tidak boleh ajak cowok ke rumah malam-malam, Tak boleh pulang malam-malam dan jangan salah bergaul,  apa kata orang nantinya. Ujar sang ayah sehabis makan malam bersama kala itu.
Inilah yang membuat aku tertekan, Bi!. Kelur Erna sama Arbi kawan karibnya.
Na, apa yang disampaikan orang tuamu ada benarnya juga! Walau di satu sisi, itu bertentangan dengan nuranimu. Aku memaklumi kondisimu saat ini. Apalagi kamu sudah  jadi seorang mahasiswi. Na, aku senang, kamu mau merubah cara berpikirmu akan dunia yang dijadikan sempit itu.
Pokoknya, aku sang perubah Bi” aku tidak mau dikatakan orang yang lemah dan perlu di atur-atur oleh adat lama itu. Masa iya, lantaran aku perempuan terus kerjanya hanya jaga rumah selamanya” inikan tidak adil Bi!. Aku tidak mau merampas pekerjaan para hansip. Jaga keamanan lingkungan rumahan itu.
            Kamukan tahu isi hatiku, Bi. Aku ingin bebas menjadi manusia merdeka tanpa batasan kodrat. Menikah, punya anak dan menua. Pokoknya aku ingin sederajat dengan laki-laki!! Titik.
Arbi dan teman lelaki lainnya hanya tersenyum melihat kawan perempaun mereka yang tomboi itu berpidato. Dunia memang penuh sejarah baru.
Erna tetap berpidato, layaknya Rossa Luxemburg. Pemimpin Komunis Rusia itu. Wajahnya memerah dan rabut panjangnya terurai, tak diperdulikannya.
Aku bukan kelinci percobaan kaum laki-laki. Aku tidak mau direndahkan. Pokoknya aku mau di hargai sama dengan yang lainnya.
Para kawanan mahasiswa ini larut dalam obrolan yang lama dan cukup serius. diantara mereka saling bertukar pikirannya. Erna hanya perempuan satu-satunya yang menemani para mahasiswa laki-laki disana.
“Na, menurutku! Budaya patrliniel itu ada baiknya juga. Kenapa, karena budaya patrilieal itu sesungguhnya merugikan lagi-laki. Perempuan tak perlu kerja keras, cukup merawat tubuh dan kulit saja dirumah saja. Itukan bagus, agar tak mudah tua dan kulitmu tetap terawat bukan? Sambung Mukhlis.
Semua ikut tertawa dengan kata-kata Mukhlis. Namun, Erna sepertinya tidak senang dengan ide si Mukhlis.” Klis, bagus apanya? Bagiku sebagai perempuan, hidup itu tak semata-mata. Hanya merawat tubuh, kulit atau tetek benget tentang kecantikan saja”. Kalau hanya sebatas itu, buat apa aku hidup sebagai manusia? Jawab Erna dengan nada suara yang makin meninggi!
He, Na. apa yang dibilang Mukhlis itu ada benarnya. Itu karena laki-laki mau memanjakkan perempuan dan tidak mau perempuan terlalau bekerja keras. jaman sekarang. Mana ada lagi perempuan yang  mau bekerja keras dan tidak berpenampilan cantik di depan laki-laki. Jawab Aman.
Man, satu sisi pikiran kamu dan Mukhlis ada benarnya!... Tetapi pikiran kalian masih terlalu sempit. Kenapa, perempuan bukan hanya menjadi korban mode ataupun objek eksploitasi perusahan-perusahan kapitalis itu. Dan perlu kalian ingat. Perempaun itu makhluk yang kuat dan jaman sekarang, perempuan-perempuan sudah maju cara berpikirnya. Jangan kalian kira,perempuan mudah di manfaatkan seperti zaman kerajaan dulu.
            Dimana perempuan hanya bisa jadi pemuas nafsu para raja, ataupun menjadi selir para kaisar di dalam istana saja.aku menolak cara berpikir semacam itu! Jawab Erna ketus.
Ya, kalau aku setuju dengan cara berpikirmu Erna. Memang, perempuan di pandang rendah oleh laki-laki karena alasan sempit semata. Misalnya, tidak mau dipimpin perempuan ataupun kekuasaan kehebatan mereka tersaingi. tambah Arbi.
            “betul itu, jawab Erna. Dengan wajah ceria!
Bi, itukan hasilnya. Tapi kalau prosesnya tak semudah itu, kita harus menyalahkan laki-laki semata. Sebab hidup inikan pertarungan untuk mendapatkan status sosial sebagai manusia.
Dan apakah perempuan di dunia ini, sudah siap keluar dari bala bantuan laki-laki, Tanya Mukhlis?
Erna berpikir sejenak…..
Bantuan apa maksudmu, Klis,tanya Erna?
Menjadikan laki-laki sebagai pelindung hidup dan kelengkap dalam menjalani kehidupan secara seksualitas! Bagaimana kalau hidupnya perempuan tanpa laki-laki, apakah ada kehidupan baru? Tambah Mukhlis.
Klis, itu persoalan lain, jawab, Erna. Urusan bantuan, seksualitas ataupun status sosial. Aku rasa  kita semua juga membutuhkan hal itu. Bukan berarti segala sesuatu selesai hanya dalam sudut pandang yang sesempit itu. Kamu tentunya, tidak mungkin melahirkan dan menyusui sendiri bukan? Jawab si Erna sambil tertawa dengan merespon pertanyaan temannya.
Kamu harus banyak membaca buku tentang emansipasi dan feminism agas pemikiranmu tak sempit lagi! Ejek Erna!
Aku mengerti Na. tapi aku juga sudah membaca buku itu!
Lah…kalau sudah baca, mengapa kamu masih berpikir semacam itu?
Aku hanya melihat realitasnya. Dimana, perempuan kita masih sedikit tersadarkan dengan bacaan ataupun kampanye organisasi perempuan yang ada Na.
Kalau itu, aku setuju Klis. makanya aku mau menjadi sang perubah bagi kaumku.
            Na, menjadi sang perubah itu tak gampang!
Kamu harus melawan tantangan dan harapan dari dalam dirimu.kedua, kamu harus mampu menjawab aturan dalam keluargamu.
Apalagi aturan-aturan mengikat dari pacarmu Anto yang kolot itu.
Erna terdiam sejenak.
Inilah batu penghalang bagi diriku. Seharusnya aku mengakhiri hubungan ini saja.
Aku tidak mau di belenggu dengan aturan sepihak. Aturan yang tidak rasional.
Masa, hidup hanya dengan pergaulan yang terbatas. Aktifitas seharian, hanya.
“Makan dimana?” 
“Mau belanja apa? Nonton dimana? Dan aku cinta mati padamu!”
“Aku muak dengan hal itu semua. Kawan-kawan”.
“Aku adalah sang perubah. Tegas Erna.”
Sambil meneteskan air mata. Erna berlari meninggalkan teman-temannya.
Kemana Na?
Mau putusin dia. Akukan sang Perubah!!
Dengan penuh percaya diri, Erna pergi menemui kekasihnya. Yang kebetulan sedang kumpul dengan teman-temannya di kantin. Entah ada gerangan apa, tiba-tiba Erna menobatkan dirinya menjadi sang perubah. Dan para teman-temannya kaget dengan perubahan gadis itu. Usianya menanjak 20 tahun. Lahir dalam keluarga tergolong mapan secara ekonomi. Namun hal itu tidak membuat Erna menjadi anak yang gelamor mengikuti perubahan zaman yang terus mengilas rasionalitas generasi seusianya. Apa mungkin selalu dibatasi kemerdekaan hak keperampuanannya dalam keluarga atau ketidak bebasannya dengan pacarannya sehingga dim hendak berubah!
            Tampak dari kejauhan, pacarnya tertawa sembringah. Luapan kegembiraan dari kumpulan para lelaki itu, secara sadar membuat Erna ketus. Dia langsung menghampiri kekasihnya.
To, aku minta waktu mau bicara dengan kamu sebentar, boleh? Tapi jangan disini. Aku mau kita ngobrol di perpustakaan saja!
Ngobrol disini aja, kenapa sih! Tegas Anto. Aku maunya di perpustakaan. Sebab obrolan ini bersifat pribadi. Ok! Ya sudahlah. Teman-teman Anto terdiam dan penuh tanda Tanya. Apa yang hendak dibicarakan Erna. Mereka bertanya-tanya dalam hati.
Kedua pasangan itu berjalan menuju perpustakaan yang letaknya tak jauh dari kantin tersebut. Kekasihnya tampak keheranan melihat sikap Erna yang tak seperti biasanya.
Sesaat kedua pasangan ini terdiam. Anto berinisiatif membuak obrolan. Apa yang hendak kamu bicarakan Na? Tanya Anto penuh tanda Tanya. Begini To. Aku ingin menyampaikan hal penting padamu. Ini menyangkut hubungan kita!
Ada masalah apa dengan hubungan kita, Na? selama ini hubungan kita baik-baik saja kan? Memang baik-baik saja! Tetapi, menurutku tidak ada perkembangannya. Apa kamu pahami apa yang bergolak dalam diriku To? Apa kamu sadar bahwa aku mengharapkan keseriusanmu membimbing aku menelusuri kehebatan hidup yang belum kita raih. Kamu hanya menuruti hasrat cinta yang sungguhnya mirip kisah cinta dalam sinetron itu dan hanya itu-itu saja.   
Karya: Kamaruddin Salim
Jakarta, Selasa, 8 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar