DEMONSTRASI SEBAGAI ANTITESA GERAKAN SOSIAL
OLEH: KAMARUDDIN SALIM
A. DEMONSTRASI DALAM PERSPEKTIF KRITIS
\
Berbicara tentang
Demonstrasi, secara defenisi adalah Peragaan atau pengungkapan sikap
ketidak setujuan terhadap sesuatu yang dianggap salah bertentangan
dengan kepentingan yang telah di sepakati bersama. Demonstrasi menjadi
fenomena menarik di Indonesia, di mana dalam kehidupan sosio-politik dan
sosio-budaya masyarakat Indonesia, demonstrasi menjadi pilihan untuk
memprotes kebijakan pemerintah yang dianggap keliru ataupun menyimpang.
Secara ilmiah demonstrasi masuk dalam kajian ilmu sosiologi. Banyak
pakar yang menyimak peran khas gerakan sosial adalah sebagai salah satu
cara penata ulang masyarakat modern, sebagai pencipta perubahan sosial;
sebagai aktor sejarah. Sebagai kelompok perubahan kehidupan politik
atau pembawa proyek sejarah, ada pula yang menyatakan: “Gerakan Massa
dan konflik yang ditimbulkan adalah Kelompok perubahan sosial”[1].
Kajian perubahan sosial merupakan inti dari ilmu sosiologi. Hampir
semua kajian ilmu sosiologi tentunya berkaitan dengan perubahan sosial.

Sejarah
telah membuktikan bahwa proses perjuangan merebut kemerdekaan dari
tangan kaum Kolonialisme dan Imperialisme Eropa dan Asia Timur Raya
(Jepang) yan dilakukan oleh The Faunding Fathers (Soekarno-Hatta Dkk)
telah menyisahkan banyak pengalaman dan pelajaran kepada generasi
setelah mereka. Perjuanagan yang tidak mengenal menyerah serta
mengorbankan darah, keringat dan air mata, harta benda serta keluarga
mereka. Prinsip perjuangan yang mereka lakukan adalah demi
terealisasinya keadilan dan kemerdekaan dapat di wujudkan dalam
kehidupan masyaraka Indonesia. Di dalam UUD 1945 pun menghimbau dan
mewajibkan pada setiap warga negara untuk tetap mepertahankan
kemerdekaan, rasa berkeadilan dan kebenaran. Maka substansi dari
perjuangan lewat jalan demonstrasi adalah salah satu bentuk proses
demokrasi yang perlu dilakukan di negara Indonesia yang masih merubah
perilaku politik dan ekonomi ini.
Pergerakan
perjuangan bangsa Indonesia dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat
telah melewati berbagai momen, pasca kemerdekaan gerakan rakyat daerah
telah muncul dengan ketidakpuasan akan pembangunan yang terpusat
(Sentralisasi Jawa) baik dari Indonesia Timur ataupun Indonesia bagian Barat,
kemudian di-ikuti oleh gerakan besar-besaran AMPERA (Amanat Penderiatan
Rakyat), dua hal ini masih berlatarbelakang pembangunan ekonomi. Pada
tahun 1998 Reformasi yang telah menjatuhkan orde baru juga
dilatarbelakangi oleh kompleksitas permasalahan bangsa salah satunya
perekonomian Indonesia. Berjalannya sepuluh tahun reformasi memerlukan
evaluasi yang tidak sedikit, peran ini mesti dijalankan oleh mahasiswa
sebagai control sosial dan ethic movement.
Instabilitas sosial, ekonomi, dan politik menimpa bangsa Indonesia kian menggelisahkan kehidupan masayrakat (civil society)
dari Sabang sampai Merauke. Mereka yang merasa tidak aman, tentram dan
damai mulai meninggalkan Jakarta dan mengungsi ke daerah yang jauh dari
kerawanan sosia, ibarat rombongan trek-vogels yang meninggalkan
Afrika kembali ke Benua Eropa demi keselamatan. Instabilitas ini
mempersulit para pakar untuk memprediksi hari esok Bangsa mengalama
krisis berkepanjangan ini.
Rupanya
instabilitas ini memunculkan proses adu kekuatan di kalangan elit
politik yang merasa lebih berhak menyelamatkan bangsa yang berenduduk
200-aqn juta jiwa ini. Yang incar umumnya tahta atau kekuasaan dan palu
penentu keputusan di arena pengadilan. Kadang metode untuk meluncurkan
ke kursi kekuasaan betentangan dengan perikemanusiaan. Tanah air
semakmur dan se kaya Indonesia ini menjadi objek rebutan sejumlah tokoh
pengendara mobil reformasi. Presikat Negara ini menjadi Negara miskin
hanya mempermudah memperoleh dana pinjaman kekal luar negeri dan
pinjaman itu sering dijadikan lahan subur perwujudan vested interest
pemegang roda pemerintah. Tak heran pendulum politik akhir-akhir ini
berusaha merebut hati rakyat banyak menjelang PEMILU (Pemilihan Umum),
masing-masing PARPOL (partai politik) berusaha untuk tidak melukai hati
rakyat[2].
Reformasi
diingatkan dengan krisis moneter yang dihadapi rakyat Indonesia, kurs
rupiah terhadap dolar mencapai Rp. 20.000. yang pada awalnya posisi
kurs rupiah konstan Rp. 2.500/U$. Inflasi yang tinggi menyebabkan
kehancuran perekonomian rakyat Indonesia. Faktor utama yang menyebabkan
ini adalah kebijakan moneter yang tidak tepat (misspolicy), masa orde
baru kebijakan exchange rate (pertukaran mata uang) menggunakan system
fixed exchange rate (pertukaran mata uang tetap). Dimana pada system ini
Negara harus memiliki cadangan yang banyak untuk mendorong mata uang
rupiah, permasalahannya devisa Negara sangat sedikit Karena neraca
keuangan Negara yang deficit sehingga utang luar negeri sebagai solusi
yang digunakan untuk menambah devisa Negara. Akibat utang yang
terus-menerus dan stabilitas ekonomi yang semu, akhirnya porak-poranda
setelah menghadapi gelombang perekonomian global, dimana bunga utang
Indonesia membengkak sedangkan kreditur (IMF) menangguk keuntungan yang
sangat besar. Aspek lain yang menjadi indikasi kebobrokan perekonomian
Indonesia, yakni sisi lembaga keuangan. Bank Indonesia sebagai penentu
kebijakan moneter tidak memiliki independensi penuh, kebijakan yang
dikeluarkan masih dipengaruhi oleh suara-suara dari “istana”. Sehingga
fungsi stabilitas moneter tidak berfungsi secara optimal, dan artinya
ini adalah bom waktu yang akhirnya meledak pada bulan juni 1997 ketika
bursa efek Jakarta mulai goncang.
Proses
demonstrasi yang makin marak ini tergambar mulai dari Rezim Orde Lama,
dimana Mahasiswa dan masyarakat memprotes pemerintahan Soekarno yang di
nilai mendukung PKI dan mendesak Presiden membubarkan PKI. Dari aksi
demonstrasi ini lebih dikenal sebagai Tritura (tiga Tuntutan Rakyat.
Fase demonstrasi ini mengorbankan Mahasiswa seebagai tumbal perjuanagan.
Dari demonstrasi ini pula lahirlah Angkatan 66, setelah lengsernya
ORLA, lahirlah rezim yang dikenal sebagai rezin otoriter dan rezim
militeristik membungkam semua aksi yang dinilai mengganggu stabilitas
nasional. Namun kebijakan rezim Orde Baru tersebut tidak mempengaruhi
masyarakat dan mahasiswa untuk melakukan aksi protes.
Terbukti
dengan kerusuhan Malari pada tahun 1974, yang dalam hal ini memprotes
kebijakan pemerintah yang selalu mendukung penanaman insvertasi asing di
Negara ini. Dan selalu mencampuri urusan kebijakan kampus sehingga
menimbulkan aksi protes yang marak dilakukan oleh mahasiswa. Iklim
investasi ketika reformasi sangat buruk, karena stabilitas politik dan
hukum yang lemah selain itu birokrasi merupakan ajang KKN sehingga
untuk mendirikan sebuah badan usaha hingga melewati 60 (enam puluh)
pintu sampai izin keluar. Investasi yang lemah ini, institusi perpajakan
yang dinilai korupsi, dan pengeluaran Negara yang tidak terlalu
mempengaruhi kehidupan riil masyarakat menyebabkan pendapatan nasional
begitu rendah, sehingga pertumbuhan ekonomi mencapai angka minus 3-4 %
ketika krisis moneter mencapai puncaknya (1997-1998).
B. PASCA REFORMASI
Sepuluh
tahun reformasi berjalan, perekonomian Nasional dan daerah masih belum
terlepas dari proses penganggaran yang tepat atastAPBN/APBD. APBN
menopang khidupan Negara dalam skala nasional, sedangkan APBD
diperuntukkan untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sebagai salah satu produk
pemerintah pusat. Akan tetapi pelaksanaanya cenderung sarat dengan
penyimpangan-penyimpangan dan tindak KKN. Hal ini mengharuskan peran
masyarakat publik untuk ikut berpartisipasi dalam suatu proses perumusan
kebijakan publik. Fase-fase yang dapat menjadi lahan partisipasi
masyarakat antara lain mulai dari perumusan masalah, agenda anggaran,
implementasi, dan evaluasi. Dengan begitu fungsi masyarakat sebagai
bagian penentu kebijakan public dapat berfungsi. Berjalannya anggaran
kerja yang tepat sasaran dan memperhatikan kondisi social masyarakat
dapat tercapai. Dikhawatirkan apabila fungsi masyarakat ini tidak
berjalan dengan baik profesionalitas, transparansi, dan akuntablitas
tidak akan muncul.
Oleh
karena itu ke depannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam
penggunaan anggaran daerah, maka masyarakat perlu diberikan ruang untuk
ikut berpartisipasi dalam mengawasi pengelolaan dan penggunaan anggaran
daerah tersebut (APBD). Meskipun dalam penyusunan RAPBD diawali dari
level kelurahan / desa yang melibatkan masyarakat sebagai wujud
partisipasi langsung. Namun tidak ada jaminan usulan penyusunan dari
masyarakat akan dimasukan dalam program pembangunan. Ini timbul karena
sering terjadi distorsi yang dimulai pada Rakorbang (Rapat Koordinasi
Pembangunan) Tingkat II. Itu karena pada kesempatan tersebut yang
bermain adalah rasionalitas dan lobi. Sehingga ruang partisipasi
masyarakat yang dominan saat ini adalah melalui seminar, publikasi lewat
media massa lokakarya, keorganisasian masyarakat (LSM) dan
keorganisasian kemahasiswaan (Badan Eksekutif Mahasiswa) sebagai wujud
partisipasi tidak langsung.
Selain
partisipasi masyarakat, juga perlu dicarikan model perumusan kebijakan
publik yang tepat dan baik. Salah satu model perumusan yang baik untuk
kondisi otonomi daerah dan reformasi adalah akumulasi dari beberapa
model kebijakan yang substansinya dapat menggarisbawahi permasalah yang
mendasar. Sehingga pembangunan dapat bermanfaat bagi semua pihak dan
menekan seminimal mungkin distorsi / penyimpangan. Dengan demikian
kehidupan bangsa dapat menuju ke arah masyarakat madani, dan pemerintah
yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance) yang benar-benar
memperhatikan kepentingan rakyat dipimpinya.
C. PILKADA SUATU ANALISA
Keputusan
politik pemberlakuan otonomi daerah (OTDA) yang dimulai sejak tanggal 1
Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi
daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan
pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik
partisipatoris.[3]
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang isinya
bahwa, otonomi daerah diperluas dengan titik berat pada daerah Tingkat
II.[4] Dan
telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang
meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah
kabupaten dan kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan
efektifitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan
pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh
diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan
tanggung jawab antara pusat dan daerah.
Lahirnya
undang-undang Nomor 22 tahun 1999 ini, juga akan memberikan implikasi
positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah
tidak lagi bersifat ”given” dan ”uniform” (selalu menerima dan seragam)
dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah daerah yang mesti
mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan
aspirasi, potensi dan sosio-kultural masyarakat setempat. UU ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance)
di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di pihak lain. Karena
dengan otonomi, pemerintahan kabupaten dan kota memiliki kewenangan
yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis
masyarakat.
Secara
politik otonomi daerah mempunyai arti tersendiri, dimana telah menuai
kebijakan yang tidak lagi sentralistik. Maka hasil dari reformasi
mempunyai dampak positif, dimana proses pemilihan kepala daerah tidak
lagi melalui penunjukkan langsung oleh Menrteri dan DPR.jadi proses
pilkada yang dilakukan sekarang dipandang sebagai jalan politik baru
yang dinamis dalam kehidupan politik masyarakat lokal.
Pilkada
menjadi agenda politik yang menjadi fenomena menarik dalam kurun waktu
berapa tahun terkahir ini, dalam implementasinya menimbulkan pro dan
konter, money politik serta konflik berkepanjangan. Dimana acuannya
kepada Undang-undang PEMILU No.32 serta Komisi Pemilihan Umum Daerah
(KPUD) sebagai penyelenggara dan Komisi Pengawasan Pemilu (PANWASLU) yan
mengontrol semua kegiatan PILKADA. Substansi dari semua proses itu,
berjalan dengan baik, namun patut disayangkan masih terdapat kompromi
politik antara penguasa (Calon Kandidat) dengan Pusat (Jakarta),
contohnya: Kasus PILKADA di Provinsi MALUKU UTARA yang sampai saat ini
belum urung selesia. Dan semua pihak mengaku tidak bertanggungjawab. Dan
masyarakat Maluku Utara selalu menjadi korban dan terus dirundung
dengan Konflik Horizontal hingga sekarang.
Dalam
kajian ini perlu di pahami bahwa, Pilkada pada prinsipnya hanya
memperebutkan kusri empuk kekuasaan di semata seingga hal dasar dari
Pemberlakuan otonomi daerah di satu sisi menuntut pemerintah daerah
kreatif mencari sumber-sumber pembiayaan, terutama daerah yang tidak
memiliki sumber daya alam melimpah. Apalagi ada pemikiran bahwa otonomi
daerah diartikan sebagai kesempatan meningkatkan pendapatan asli daerah
(PAD).[5]
Pemerintah daerah terlihat aktif mencari berbagai peluang yang bisa
dijadikan sumber pemasukan kas. Dengan meningkatnya pemasukan kas daerah yang
dikelola pemerintah daerah, maka semakin banyak pula kegiatan
pembangunan yang dapat dilakukan di daerah, yang berarti lebih
meningkatkan tanggung jawab pengelola keuangan dan pembangunan daerah
kecenderungannya terabaikan.
Dari
sekian banyak contoh positif yang perlu dikemabangkan dalam Pembangunan
yang dilaksanakan oleh yaitu, pemerintah daerah bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan sumber dana yang
tersedia dan program-program pembangunan yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat daerah, pemerintah daerah diharapkan dapat memberdayakan
potensi dan sumber daya masyarakat yang dimilikinya. Ini berarti
melibatkan masyarakat dalam pembangunan di daerah. Ikut aktifnya
masyarakat dalam pembangunan memberikan kesempatan untuk memajukan
daerahnya.
Pada
sisi lain, otonomi daerah dapat memberikan jalan bagi pemerataan
pembangunan di daerah-daerah. Pembangunan tidak lagi seragam dan
mengikuti apa yang menjadi kehendak pemerintah pusat. Pemerintah daerah
dapat berkreasi dalam melaksanakan pembangunan dengan melibatkan
masyarakatnya. Pemerataan pembangunan di daerah diharapkan dapat menekan
laju urbanisasi di kota-kota besar. Dan semoga PILKADA yang dilakukan
bukan hanya meenihi agenda politik para kelompok dan elit politik lokal
untuk memperebutkan kekuasaan semata tetapi memperhatikan ranah
kerhidupan masyarakat lokal yang masih tertinggal jauh dari penigkatan
Sumber daya Manusia dan kemampuan daya saing dengan daerah yang lain di
negara ini.
[2] Kerikil-kerikil di jalan Reformasi.catatan-catatan dari sudut etika politik.Jakarta.Kompas.Agustus.2002.Hlm.103-104
[3]. Herry Subagyo, ”Pengembangan Ekonomi Rakyat Di Era Otonomi Daerah”, Artikel Thn 1 No.XI Januari, 2003, Hlm 2.
[4] Sigit Pranawa, ”Otonomi Daerah Dan Bayang-Bayang Disintergrasi”, Jurnal Ilmu Dan Budaya, Volume: 27, No.1, Agustus, 2006, Universitas Nasonal, Jakarta, hlm 50.
Januari, 2003, hlm 64.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar