Laman

Jumat, 22 Maret 2013

MEDIA TELEVISI DAN PENGARUH GLOBALISAS


MEDIA TELEVISI DAN PENGARUH GLOBALISASI 

Oleh: Kamaruddin Salim


Media Televisi menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi yang mereka butuhkan, dibandingkan dengan media-media lain seperti, Koran, majalah, buku ataupun media yang lainnya. Disamping itu, televisi menyajikan informasi dilengkapi dengan gambar, tetapi juga informasi yang disajikan langsung (Live) dari tempat kejadian. Televisi menjadi media terpenting dalam menginformasikan berita kepada masyarakat secara Up To That. Selain menjadi media penyajian berita, televisi pula menyuguhkan beragam acara yang secara langsung menjadi media penghibur masyarakat.
Menurut, Baudrillard. Kita paham bahwa sekarang era berada pada tingkat reproduksi (fashion, media, publisitas, informasi, dan jaringan komunikasi), pada tingkat yang secara serampangan disebut Marx dengan sektor kapital yang tidak esensial artinya dalam ruang simulakra, kode, proses kapital global ditemukan. (Baudrillard, 1983:99).
Dalam situasi sekarang ini, dimana media televisi menjadi alternatif utama sebagai sumber informasi dan wadah kreativitas ataupun sarana pulikasi manusia, tak terlepas dari pengaruh globalisasi, seperti yang diutarakan oleh Baudrillard. Bahwa dimana, media ini menjadi media alternatif akibat proses kapitalisasi global.
Beberapa ilmuan sosial sependapat bahwa, faktor utama mendorong menguatnya tindakan konsumtif dan praktis dari individu maupun masyarakat adalah faktor globalisasi, yaitu sebuah proses kebudayaan dimana wilayah-wilayah di berbagai belahan dunia menjadi satu format sosial-ekonomi dan politik. Globalisasi menjadi pembicaraan ramai pada dekade ini. Globalisasi ditandai dengan perluasan pasar di mana-mana, baik di dalam Negara-negara maju maupun di Negara-negara berkembang. Namun, yang nampak kuat adalah ekspansi pasar dari negara industri tahap lanjut ke Negara-negara berkembang.
Perluasan pasar merupakan konsekuensi logis dari cara produksi masyarakat kapitalis (pemodal) yang selalu berupaya mempertahankan pertumbuhan dengan mencari wilayah-wilayah baru untuk penjualan produknya. Di sinilah, media televisi dipakai sebagai media untuk mempromosikan produk atau barang dagangan mereka. Kalau kolonialisasi merupakan tahap lanjut dari kapitalisme, maka ekspansi pasar tersebut dibungkus dalam berbagai kemasan budaya konsumen dengan menggunakan media iklan yang bersifat menghibur seperti televis, majalah, tabloid, Koran, radio, dan lain-lain.
Dalam dunia yang yang semakin kapitalistik sekarang ini, televisi bukan semata-mata media untuk menyebarkan informasi, tetapi menjadi ideologi hiburan, juga terselubung dibaliknya. Iklan-iklan yang berbau hiburan agar menarik pemirsanya sehingga strategi yang ditempuh pengusaha adalah melakukan pemasaran global secara efektif dengan menempuh jalur iklan di televisi. Contoh, iklan tentang susu Dancow, sabun/shampoo, biscuit, Hamburger McDonald dan lain-lain. (Heru Nugroho, 2001-35-36)            
Pasti ada sesuatu yang salah dengan media hingga Baudrillard menempatkannya sebagai bagian dari simulakra. Mengacu pada pemikirannya mengenai simulakra, maka media hanya dipandang sebagai pabrik yang mereproduksi hal-hal yang sama sekali tidak nyata (imajiner). Atau jelas Baudrillard, yang benar dan yang nyata, lenyap dalam kelongsoran simulasi tidak ada realitas atau kebenaran di belakang bagian luar simulasi. Ini juga yang mematahkan asumsi bahwa setiap kondisi zaman sekarang adalah godokan dari yang nyata dan yang imajiner.
Maka, dalam dunia simulasi, media mereproduksi hiperrealitas. Dan dalam dunia hiperrealitas tidak ada yang asli dan nyata, tetapi dapat dilahap atas apa yang lebih nyata dari apa yang nyata, atas apa yang lebih ramah dari yang ramah dan sebagainya. Contoh terdekat yang diajukan Baudrillard adalah pornografi, di mana ia mamandang pornografi lebih seksual daripada seks.
Media di zaman ini memainkan peranan besar sebagai pengobok-obok atau menghancurkan realitas pada setiap detik waktu yang kita lalui, dalam jeda kedipan mata kita yang memandang 25 frame per second citra televisi, dan dalam gerakan jempol tangan yang menekan remote control. Di saat kita menyadari media memberi kita kesadaran penuh terhadap hal-hal yang nyata di luar lingkungan kita, maka pada saat itulah kita dihadapkan pada permainan narasi besar yang sejatinya tidak menyuguhkan makna yang tidak nyata.
Media dalam tataran dunia modern yang awalnya menjanjikan manusia bisa bersifat manusiawi, tidak seluruhnya terpenuhi. Yang muncul hanyalah praktik ideologi kapitalisme global di dalam media yang menjadi serigala pemangsa domba-domba yang lemah. Yang kita lihat juga, adalah upaya media mengacu konsep Baudrillard yang menutupi dan menyelewengkan dasar realitas, yang menutupi ketidakadaan dasar realitas dan yang melahirkan ketidakberhubungan pada berbagai realitas apapun.
Sifat hiperrealita media adalah sebuah upaya cerdik tetapi idiot  yang mereproduksi hal-hal yang dianggapnya bisa menambah pundi-pundi tabungan pemilik modal, semisal program reality show dan talents searching—di televisi. Audisi Dai Cilik, Audisi Boy Band/Gils ala artis Korea, Kontes Dangdut, Penghuni Terakhir, pentas musik dari subuh hingga Magrib, sejatinya mereproduksi dari materi yang sudah matang.
Indonesian Idol tidak akan dibeli lisensinya oleh RCTI dari American Idol, jika AFI tidak laku dipelototin pemirsanya. Demikian juga KDI dengan model yang sama, berharap bisa mendulang uang lewat representasi program mereka sebagai kampus yang mengajarkan “ilmu dangdut”. Dan ia pun dikemas dengan kode-kode promosi: “Jadilah anda saksi bintang dangdut masa depan. Dsamping itu acara ini memberikan kesan bahwa segala sesutu menjadi praktis dan menuju tangga kesuksesan bagi berlaku bagi siapapun. Namun yang disayangkan adalah cara mudah seperti ini terkesan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Kecantikan, kegantengan dan warna kulitlah menjadi parameter utama.
Media yang selama ini kita anggap sebagai sahabat terbaik di mana dan kapan saja, ternyata menyimpan sejuta mata pedang yang setiap detik membunuh makna informasi yang direproduksinya. Akan tetapi rangkaian teks-teks dalam newsletter ini mengambil peran kecil, bukan figuran semata. Untuk menghidupkan kembali makna informasi media atau setidaknya menjadi penjaga agar makna itu tidak pingsan di tengah jalan.
Disamping itu, keberadaan media televisi sebagai sarana penyampain informasi kepada masyarakat secara netral dan tidak berpihak kepada pengusaha ataupun penguasa semata. Memang efek dari globalisasi berpengaruh besar terhadap media televisi. Media televii yang sering mendapat apresiasi posotif dari masyarakat terkait dengan proses penyajian informasi tidak lebih dari 2 media dibandingkan dengan stasiun televisi yang lainnya.
Terlepas dari ada program yang secara terang-terangan menayangkan iklan produk asing maupun acara yang terkesan kontraversi namun tetap menjadi media pilihan masyarakat. Hal ini disebabkan karena media televisi tidak mampu membaca apa yang diinginkan penonton. Masyarakat merasa jenuh dengan informasi berkaitan dengan kekerasan, pelecehan hak individu maupun acara infoteimant yang menyajikan gosip maupun sinetron yang bertentangan dengan realitas sosial masyarakat Indonesia pada umumnya.
   Pada akhirnya, media televisilah yang memberikan masyarakat untuk menilai acara atau informasi apa yang mereka sukai. Hal ini telah menjadi program para kapitalisme bahwa semuanya kembali kepada masyarakat, tanpa melihat nilai-nilai positif dari acara yang disuguhkan. Intinya mereka meraup keuntungan sebanyak mungkin. Memag pada kenyataannya globalisasi menyerang Negara-negara berkembang dari segala sisi, dan hal ini sulit untuk dihindari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar