MEDIA TELEVISI DAN PENGARUH GLOBALISASI
Oleh: Kamaruddin Salim
Media
Televisi menjadi pilihan utama bagi masyarakat untuk mendapatkan
informasi yang mereka butuhkan, dibandingkan dengan media-media lain
seperti, Koran, majalah, buku ataupun media yang lainnya. Disamping itu,
televisi menyajikan informasi dilengkapi dengan gambar, tetapi juga
informasi yang disajikan langsung (Live) dari tempat kejadian. Televisi menjadi media terpenting dalam menginformasikan berita kepada masyarakat secara Up To That.
Selain menjadi media penyajian berita, televisi pula menyuguhkan
beragam acara yang secara langsung menjadi media penghibur masyarakat.
Menurut,
Baudrillard. Kita paham bahwa sekarang era berada pada tingkat
reproduksi (fashion, media, publisitas, informasi, dan jaringan
komunikasi), pada tingkat yang secara serampangan disebut Marx dengan
sektor kapital yang tidak esensial artinya dalam ruang simulakra, kode,
proses kapital global ditemukan. (Baudrillard, 1983:99).
Dalam
situasi sekarang ini, dimana media televisi menjadi alternatif utama
sebagai sumber informasi dan wadah kreativitas ataupun sarana pulikasi
manusia, tak terlepas dari pengaruh globalisasi, seperti yang diutarakan
oleh Baudrillard. Bahwa dimana, media ini menjadi media alternatif
akibat proses kapitalisasi global.
Beberapa
ilmuan sosial sependapat bahwa, faktor utama mendorong menguatnya
tindakan konsumtif dan praktis dari individu maupun masyarakat adalah
faktor globalisasi, yaitu sebuah proses kebudayaan dimana
wilayah-wilayah di berbagai belahan dunia menjadi satu format
sosial-ekonomi dan politik. Globalisasi menjadi pembicaraan ramai pada
dekade ini. Globalisasi ditandai dengan perluasan pasar di mana-mana,
baik di dalam Negara-negara maju maupun di Negara-negara berkembang.
Namun, yang nampak kuat adalah ekspansi pasar dari negara industri tahap
lanjut ke Negara-negara berkembang.
Perluasan
pasar merupakan konsekuensi logis dari cara produksi masyarakat
kapitalis (pemodal) yang selalu berupaya mempertahankan pertumbuhan
dengan mencari wilayah-wilayah baru untuk penjualan produknya. Di
sinilah, media televisi dipakai sebagai media untuk mempromosikan produk
atau barang dagangan mereka. Kalau kolonialisasi merupakan tahap lanjut
dari kapitalisme, maka ekspansi pasar tersebut dibungkus dalam berbagai
kemasan budaya konsumen dengan menggunakan media iklan yang bersifat
menghibur seperti televis, majalah, tabloid, Koran, radio, dan
lain-lain.
Dalam
dunia yang yang semakin kapitalistik sekarang ini, televisi bukan
semata-mata media untuk menyebarkan informasi, tetapi menjadi ideologi hiburan,
juga terselubung dibaliknya. Iklan-iklan yang berbau hiburan agar
menarik pemirsanya sehingga strategi yang ditempuh pengusaha adalah
melakukan pemasaran global secara efektif dengan menempuh jalur iklan di
televisi. Contoh, iklan tentang susu Dancow, sabun/shampoo, biscuit,
Hamburger McDonald dan lain-lain. (Heru Nugroho, 2001-35-36)
Pasti
ada sesuatu yang salah dengan media hingga Baudrillard menempatkannya
sebagai bagian dari simulakra. Mengacu pada pemikirannya mengenai
simulakra, maka media hanya dipandang sebagai pabrik yang mereproduksi
hal-hal yang sama sekali tidak nyata (imajiner).
Atau jelas Baudrillard, yang benar dan yang nyata, lenyap dalam
kelongsoran simulasi tidak ada realitas atau kebenaran di belakang
bagian luar simulasi. Ini juga yang mematahkan asumsi bahwa setiap
kondisi zaman sekarang adalah godokan dari yang nyata dan yang imajiner.
Maka,
dalam dunia simulasi, media mereproduksi hiperrealitas. Dan dalam dunia
hiperrealitas tidak ada yang asli dan nyata, tetapi dapat dilahap atas
apa yang lebih nyata dari apa yang nyata, atas apa yang lebih ramah dari
yang ramah dan sebagainya. Contoh terdekat yang diajukan Baudrillard
adalah pornografi, di mana ia mamandang pornografi lebih seksual
daripada seks.
Media
di zaman ini memainkan peranan besar sebagai pengobok-obok atau
menghancurkan realitas pada setiap detik waktu yang kita lalui, dalam
jeda kedipan mata kita yang memandang 25 frame per second citra televisi, dan dalam gerakan jempol tangan yang menekan remote control.
Di saat kita menyadari media memberi kita kesadaran penuh terhadap
hal-hal yang nyata di luar lingkungan kita, maka pada saat itulah kita
dihadapkan pada permainan narasi besar yang sejatinya tidak menyuguhkan
makna yang tidak nyata.
Media
dalam tataran dunia modern yang awalnya menjanjikan manusia bisa
bersifat manusiawi, tidak seluruhnya terpenuhi. Yang muncul hanyalah
praktik ideologi kapitalisme global di dalam media yang menjadi serigala
pemangsa domba-domba yang lemah. Yang kita lihat juga, adalah upaya
media mengacu konsep Baudrillard yang menutupi dan menyelewengkan dasar
realitas, yang menutupi ketidakadaan dasar realitas dan yang melahirkan
ketidakberhubungan pada berbagai realitas apapun.
Sifat
hiperrealita media adalah sebuah upaya cerdik tetapi idiot yang
mereproduksi hal-hal yang dianggapnya bisa menambah pundi-pundi tabungan
pemilik modal, semisal program reality show dan talents searching—di
televisi. Audisi Dai Cilik, Audisi Boy Band/Gils ala artis Korea,
Kontes Dangdut, Penghuni Terakhir, pentas musik dari subuh hingga
Magrib, sejatinya mereproduksi dari materi yang sudah matang.
Indonesian Idol tidak akan dibeli lisensinya oleh RCTI dari American Idol, jika AFI tidak laku dipelototin
pemirsanya. Demikian juga KDI dengan model yang sama, berharap bisa
mendulang uang lewat representasi program mereka sebagai kampus yang
mengajarkan “ilmu dangdut”. Dan
ia pun dikemas dengan kode-kode promosi: “Jadilah anda saksi bintang
dangdut masa depan. Dsamping itu acara ini memberikan kesan bahwa segala
sesutu menjadi praktis dan menuju tangga kesuksesan bagi berlaku bagi
siapapun. Namun yang disayangkan adalah cara mudah seperti ini terkesan
meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Kecantikan, kegantengan dan warna
kulitlah menjadi parameter utama.
Media
yang selama ini kita anggap sebagai sahabat terbaik di mana dan kapan
saja, ternyata menyimpan sejuta mata pedang yang setiap detik membunuh
makna informasi yang direproduksinya. Akan tetapi rangkaian teks-teks
dalam newsletter ini mengambil peran kecil, bukan figuran
semata. Untuk menghidupkan kembali makna informasi media atau setidaknya
menjadi penjaga agar makna itu tidak pingsan di tengah jalan.
Disamping
itu, keberadaan media televisi sebagai sarana penyampain informasi
kepada masyarakat secara netral dan tidak berpihak kepada pengusaha
ataupun penguasa semata. Memang efek dari globalisasi berpengaruh besar
terhadap media televisi. Media televii yang sering mendapat apresiasi
posotif dari masyarakat terkait dengan proses penyajian informasi tidak
lebih dari 2 media dibandingkan dengan stasiun televisi yang lainnya.
Terlepas
dari ada program yang secara terang-terangan menayangkan iklan produk
asing maupun acara yang terkesan kontraversi namun tetap menjadi media
pilihan masyarakat. Hal ini disebabkan karena media televisi tidak mampu
membaca apa yang diinginkan penonton. Masyarakat merasa jenuh dengan
informasi berkaitan dengan kekerasan, pelecehan hak individu maupun
acara infoteimant yang menyajikan gosip maupun sinetron yang
bertentangan dengan realitas sosial masyarakat Indonesia pada umumnya.
Pada
akhirnya, media televisilah yang memberikan masyarakat untuk menilai
acara atau informasi apa yang mereka sukai. Hal ini telah menjadi
program para kapitalisme bahwa semuanya kembali kepada masyarakat,
tanpa melihat nilai-nilai positif dari acara yang disuguhkan. Intinya
mereka meraup keuntungan sebanyak mungkin. Memag pada kenyataannya
globalisasi menyerang Negara-negara berkembang dari segala sisi, dan hal
ini sulit untuk dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar