Laman

Kamis, 14 Maret 2013

DI TANAH NEGERI, AKU ADA



DI TANAH NEGERI, AKU ADA
Oleh: Kamaruddin Salim

malaikat kita di biarkan berlari bebas di hutan, di laut, dan di bukit berbatu
biarlah dia belajar mengenal dunia nya
biarlah dia menyapa kita, ayah, ibu aku sayang padamu
ya inilah malaikat kecil kita wujud kasih Tuhan Yang Agung
By.Epos
Dunia dalam kehidupan menyisahkan hamaparan sejuta kata dan kiasan sejarah yang sama sekali tidak sepi untuk diperbincangkan manusia, ya termasuk aku hari ini. Sejarah kehidupan menyatu dengan proses menciptakan budaya selalu menjadi langkah yang sejajar dengan dunia yang tetap melaju dalam kepastiannya. Ada isyarat yang tercatat dalam berbagai referensi buku di tulis oleh ribuan manusia mendunia. Setiap manusia mempunyai sejarahnya sendiri, dan setiap manusia rela mati demi menjaga kearifan budaya lokalnya. Ya, inilah masalah harkat dan martabat identitas hidupnya.
Aku dilahirkan di tanah negeri Nusantara yang luas dan meliputi hamparan samudera, teluk tanjung serta hutan dan gugus pulau yang elok dipandang mata. Dan di Nusantara pula Aku Ada”. Keberadaanku di Nusantara inilah mewujudkan rasaku bangga yang tak terkira. Sikap dan kata jujur, serta kebanggan akan Indonesiaku di motivasi dari Mahatma Gandhi. Di mana, Gandhi berkata Berperilaku jujur memang sulit. Namun, bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Maka, aku perlu membuktikan bahwa apa yang dikatakan Gandhi mempunyai ruhnya sendiri. Sepatutnya kita bangga akan negeri Nusantara yang cantik rupawan ini yang menjadi daya tarik masyarakat dunia sejak zaman kolonialeme hingga zaman industrialisasi sekarang ini. Indonesia nama negeriku yang dikenal dalam rumusan sejarah tersirat dalam kisah para pemikir.
Sejarah Indonesiaku, diramu dalam berbagai sajak, syair dan lantunan bermakna. Kadang dalam uraian kata satir (sindiran), santun dan juga kata penuh emosi membakar logika sehat penikmat sejarah. Sejarah berjalan terus dan tak berhenti sesaat-pun. Dan di tanah inipula, aku menyaksikan sederetan peristiwa kehidupan manusia berpesta dan juga yang menari dalam penderitaannya. Yang menari adalah kaum pengharum politik kuasanya, dan menanggung lara dan meringgis kesakitan ya, mereka yang bodoh dan kolot dalam dunia politik partai pemenang.
Pesta pora para penikmat kekuasaan kian menjadi-jadi. Arus sejarah ditujukan pada mereka, lewat media televisi dan radio, suara mereka mengangung meyerupai raja singa sedang pidato depan rakyat rimba raya. Aku raja kalian dan jangan ada yang berani melawan perintahku! Jika ada yang berani melawan perintahku, akan aku pertintahkan harimau dan gajah untuk menghukum kalian, ujar sang raja. Kami akan selalu setia padamu duhai Paduka. Seru rakyat rimba raya. Petikan kisah semacam ini tetap berlanjut dalam catatan sejarah penguasa di Negara ini. Semua bisa di kompromikan dalam urusan politik dan memenuhi gudang tengah.
Raja Singa, selalu sama dalam gaya dan pola hidupnya yang aku saksikan saat ini. Sejak Ir.Soekarno di paksa meninggalkan Istananya oleh manusia penjagal bermuka dua. Di sokong manusia asing dari beruban pula rambutnya. Kulit kasar dan rakus kekayaan tanah dan harta karun negeri ini. Belum di sokong kaum nigrat buatan raja-raja singa kecil yang belajar mencari mangsa, Soekarno kalah dalam catur politik yang banyak pionnya. Bidak catur yang berseragam, liar tanpa komando, melindungi diri dalam markas dan sejarahnya. Perta pora siap berlanjut di terang matahari menyilau masa depan.
Singa-singa kecil kehilangan induk untuk meminta petuah, namun itu tak lama dan kembali membaik kala raja singa jantan perkasa dan sembunyi di balik jubah kesantunan serta kolot ala masyarakat desa di pelosok Jawa Jogja. Genderang perang di tabukan, Repelita tampil menjadi program pengentasan kosongnya lumbung rakyat dan gudang Dolog. Memenuhi asupan gizi yang lama krisis sebagai warisan sejarah kaum merah tahun 65. Semua berlomba, di pimpin raja singa. Aku hanya membaca sejarah hebat ini saat masih berseragam merah putih. Dialah bapak pembangunan yang kami banggakan dari pelosok desa hingga kota besar. Soeharto nama raja singa itu. Sikapnya berbeda dengan Soekarno yang aku tahu, sejak turut serta kawan sejawatku di medan jalanan menyingkirkan sisa-sisa kuasanya dari tangan raja-raja kecilnya. Aku ingat kata Jalaluddin Rumi, Singa terlihat paling tampan ketika sedang mencari mangsa. Kata Rumi itu, berlaku bagi Pemimpinku saat kala itu. Dia santun, namun kejam dalam kegelapan. Dia, bersahaja namun korupsi menggunung dalam gudang keluarga. Dia pula bijaksana bersama deru tembakan aparat Negara melindas rakyat jelata yang minta hak hidup dan suaka politik.
Negara melindas rakyat, belum pupus pula dalam kehidupan nyataku saat ini. Soeharto mewarisi sikap politik kompromi tanpa moralitas dan menghargai nilai kemanusiaan. Dan warisan ini di pakai sebagai etika poltik dan komunikasi politik partai yang hendak berkuasa dan menguasai hak suara rakyat. Berat sama dipikul, ringan sama di jinjing, pepatah ini bermakna sarat dengan nilai politik kerakusan menurutku, berat hanya politik kata-kata penguasa, ringan sebatas kata-kata santun untuk memotivasi rakyat untuk tetap berbaris menuju ruang pemungutan suara lima tahun sekali. Inilah kisah Negara yang hidup dari pemilu ke pemilu. Indonesia tentu berubah tak semata lewat pemilu yang berulang-ulang dan ketatnya pertahanan Negara di bawah kuasa senjata tentara. Aku meyakini ucapan Jenderal Sudirman dan tentunya akan membuktikan pada kita, sejarah itu berulang. Percaya dan yakinlah bahwa kemerdekaan satu negara yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa, harta benda dari rakyat dan bangsanya tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia, siapa pun juga.
Aku bangga lahir di Negara besar dan kaya ini. Rasa bangga ku tak semata bersumber pada rangkuman sejarah kaum hebat, terdidik dan berwibawa pada masa lalu dan kini. Namun, aku bangga, bahwa bangsa ini selalu menjadi lilin pencerahan walau seringkali di hempaskan angin kemunafikan kaum sesama bangsa yang buruk hatinya. Seorang filsuf terkenal Siddharta Gautama   (563-483 SM), pendiri agama Buddha  pernah berkata, Ribuan lilin dapat dinyalakan dari satu lilin dan nyalanya tidak akan berkurang. Begitu pun kebahagiaan tidak akan pernah berkurang walau dibagi-bagi. Dari saduran kata bijak Gautama inilah yang memotivasi diriku untuk memacu rasa untuk tetap bangga menjadi orang Indonesia. Indonesia mempunyai sederetan anak bangsa yang selalu menjadi lilin yang mencerahkan ribuan lilin yang lain. Dan dari lilin-lilin inilah, kita akan mendapatkan inspirasi baru untuk merawat keutuhan bangsa dan negara.
Dari semangat melalui filosofi lilin Gautama, aku meyakini akan ada sejuta lilin yang akan bersedia menerangi langit, lautan, gunung dan hutan Nusantara yang luas ini. Dan itu tak terduka semata hari ini. Zaman akan tetap bergerak kedepan, dan tak akan pernah menoleh ke belakang kembali. Dan aku tidak berbicara ini zaman kita, tetapi ini zaman warisan masa lalu untuk di praktekan demi mewujudkan zaman kemudian. Aku bangga berada di sini, Indonesia. Aku bangga dengan warisan leluhur dan pendiri negara yang dengan bijaksananya meletakkan dasar peradaban yang tak sedikit jua kita balas hanya lalui kata dan harapan gamang, ya simaklah kata-kata Bung Karno berikut ini, Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-Saudara. Berjiwa besarlah, ber-imagination. Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia. Berjiwa besarlah, gali bekerja, kita adalah tanah air yang tercantik di dunia. Tak kuasa aku membaca bait perbait dari kata-kata Putra Sang Fajar tersebut. Kata-katanya menagndung makna dan arti yang luar biasa. Rakyat dianjurkan berjiwa besar, sabar dan banggalah jadi orang Indonesia, dan aku bangga ada di tana air Indonesia. Satu sikap yang luhur di tunjukkan Bung Karno hingga akhir hayatnya. Sikap dalam hidupnya tak semata politik, individualisme, pencitraan ataupun keluhan tanpa dasar dari seorang bung Karno, dan aku meyakini hal ini. Ini justru perlu menjadi mercusuar bagi pemimpin saat ini.
Sekali lagi aku menegaskan, setiap pemimpin mempunyai sejarahnya sendiri. Sejarah tak dapat di bohongi, sejarah akan selalu hidup dalam ruang sosial masyarakat Indonesia. Dan siapa yang melupakan sejarah, mereka akan di lindas oleh sejarah, dan Bung Karno benar dalam hal ini. Generasi saat ini perlu memandang Indonesia kedepan, Indonesia yang merdeka tanpa politik pencuriga dan kapitalitik. Sepatutnya semangat revolusioner itu, tak semata zaman Revolusi 45 atau zaman di Mana Sriwijaya, Andalas, Samudera Pasai, Majapahit, Demak, Kediri, Singosari, Mataram, Ternate, Tidore, Mulawarman, Bima, Goa Talo atau para Raja dan Sultan yang dengan gagah berani mempertahankan tanah air dari dominasi kaum kolonialisme dan imperialisme Barat (Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda) yang pada saat itu menancapkan kakinya di wilayah Nusantara. Kita sepatutnya bangga, bahwa proses kemerdekaan Indonesia menyishkan sederetan kisah hebat pendahulu Republik ini. Kita sepatutnya bersykur bahwa kita tidak mengalami sejarah penuh darah sebagaimana yang di alami oleh leluhur kala itu.
Kisah para penakluk samudera seperti Juan Sebastián del Cano 1515 dari Spanyol, seorang navigator pertama mengelilingi bumi menyandarkan kapalnya di pesisir pulau Tidore atau Laksamana Cheng Ho, tiba di tanah Jawa. Mengisyaratkan kepada anak cucu negeri ini bahwa, bumi Nusantara itu memang telah terkenal semenjak zaman dahulu. Oleh karena itu, kita tak semata bangga, tetapi perlu berbesar hati seperti yang di katakana Bung Karno dan Jenderal Besar Soedirman. Sejarah tak semata menjadi bagian dari masa lalu yang pada akhirnya lapuk dalam catatan buku-buku sejarah yang menumpuk di rak-rak/lemari perpustakaan dan toko buku. Tetap sejarah adalah akulturasi kehidupan yang tetap hidup dari masa ke masa.  Istri dari mendiang Chiang Kai Shek berkata, Kita hidup di masa kini, bermimpi tentang masa depan, dan belajar tentang kebenaran abadi dari masa lalu. Ini adalah salah satu ungkapan Madame Chiang Kia Shek yang luhur dan inspirasi. Betapa masa lalu (sejarah) merupakan gambaran kehidupan kedepan. Dan aku bangga dengan sejarah bangsaku. Oleh karenanya, Republik Tiongkhok hingga kini, masyarakatnya di manapun bangga akan tanah air dan budaya leluhurnya.
Sudah sepaptunya sebagai orang Indonesia, aku merasa perlu berbangga hati dan mendorong rasa cinta mendalam terhadap Negara Indonesia. Jika rasa cinta itu terpatri dalam jiwa sanubari seluruh orang Indonesia dalam keberadaan maupun perbedaan status apapun mereka, aku meyakini negeri ini akan sedikik berubah kearah perubahan yang lebih baik. Harapan seluruh rakyat Indonesia bergema dari segala penjuru setiap detiknya menyoal tentang kemajuan, kesejahteraan dan keadilan sosial merupakan satu bukti kecintaan tanah air, dan hal tersebut perlu di sambut seirama dengan bentuk aplikasi yang nyata oleh pemerintah. Disamping itu membutuhkan kesadaran politik (political will) dari seluruh pemegang kekuasaan, sehingga aspirasi dan kecintaan rakyat pada tanah airnya terapresiasi dengan baik. Dikarenakan realitas yang terjadi selama ini, aspirasi rakyat masih bertumpu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), sebagai lembaga yang mewakili dan meyuarakan aspirasi seluruh rakyat. System keterwakilan yang selama ini di dorongpun belum masksimal dalam sistem politik Indonesia. Masalah utamnaya, sistem politik yang didominasikan oleh partai politik belum menjadi ruang pembalajaran politik cinta tanah air yang baik bagi rakyat Indonesia.
Partai politik di anggap masih menjadi perusahan jasa yang belum selesai dalam proses mematangkan modal ekonomi dan status kekuasaan. Jikalau hal ini masih berlanjut, harapan rakyat akan keadilan dan kesejahteraan hanya selesai dalam ruang pemilihan umum. Oleh karena itu, sikap politik yang sehat dan terbuka akan mendorong satu bentuk reformasi politk yang mengarah pada perubahan total sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan di mana posisi rakyat jelas sebagai pemegang kekuasaan kehidupan bernegara. Tanpa rakyat, tidak terjadi pembentukan sautu Negara, dan partai politik perlui menyadari hal tersebut. Terlepas dari hal itu, aku meyakini bahwa proses reformasi yang sudah berlangsung berapa decade lalu telah membuka cakrawala berpikir masyarakat Indonesia bahwa kehidupan tak semata-mata masalah kesejahteraan dan kekuasaan, tetapi proses kehidupan manusia Indonesia seutuhnya.
Proses kehidupan manusia Indonesia seutuhnya merupakan konsep klasik yang pernah di tawarkan Sutan Takdir Ali Sjahbana, dalam kebudayaan nasional. Di mana, STA, menamakan satu konsep yang BUMANTARA, yang meliputi masyarakat serumpun Melayu, Indonesia, Malaysia, Philipina, Brunai Darusalam dan Thailand. Namun, kosep kecintaan terhadap tanah air dan budaya yang di gagas STA masih di anggap sebagai ambiguitas (suatu kondisi ke-dwimakna-an, menampilkan karakteristik yang penuh dengan teka-teki atau samar-samar yang muncul dalam dunia seni, sastra dan arsitektur), tetapi faktanya sekarang terjadi. Krisis identitas kebangsaan Indonesia mulai tumbuh subur di segala penjuru nusantara, termasuk kampus sebagai garda terdepan perubahan bangsa. Kekhuatiran STA terbukti, bahwa pada suatu ketika orang pribumi akan mejadi paria (pengemis) di bangsanya sendiri. Senada dengan Takdir, perdana Menteri pertama India Jawaharlal Nehru (1889– 1964) berkata, Budaya akan memperluas pikiran dan semangat kita. Ungkapan Nehru sangat mengetarkan jiwaku, di mana budaya dan bahasa yang menjadi cirri identias kebangsaan kita yang pada kenyataannya memprihatinkan. Jika hal ini benar terjadi, maka hilanglah peradaban ke indonesiaan kita.
Aku hendak mengajak kita menorah ke masa Sekolah Dasar (SD) di mana, anak-anak Indoensia di didik dengan pelajaran cinta tanah air, misalnya dengan pelajaran PSPB (pendidikan sejarah perkuangan bangsa) dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP), namun alangkah ironisnya, di saat reformasi semuanya hilang di telan bumi. Pertanyaannya, apa yang terjadi saat ini. Apa makna reformasi sesungguhnya? Dan di manakah letak empirisme ilmiah akan implementasi semangat rasa cinta tanah air itu di ajarkan? Aku meminjam kata-katanya Anton Chekhov seorang penulis kenamaan Rusia,  Pengetahuan tak punya makna jika Anda tidak mempraktikkannya. Pertanyaannya, Pengetahuan yang di soroti Chekhov seperti apa jika kita kaitkandengan persoalan ini. Aku meyakini, bahwa apabila benar terjadi bahwa secara empiris di lembaga pendidikan di Indonesia tidak ada lagi transfer pengetahuan terkait dengan cinta tanah air, maka ungkapan Anton Chekhov tersebut meneror kita dalam ruang kegelapan. Apa yang kita praktekan untuk kemajuan Indonesia?
Praktik empirisme untuk memajukan Indonesia, bukan menjadi perkara mudah. Sebab, dasar pembanguna suatu bangsa adalah cita-cita luhurnya, jika cita-cita luhur tidak dirumuskan, untuk apa negara ini ada dan bangga akan keberadaannya. Amanat UUD 1945 dan Pancasila yang setaip waktu di perdebatkan dan di modifikasi maknanya. Ada pula gagasan baru sang ketua MPR mendorong 4 pilar semangat kebangsaan,  yaitu; Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika. Yang mana, 4 pilar tersebut berangkat dari realitas khiudapn berbangsa dan bernegara yang kian hari sangat memprihatinkan. Namun, 4 pilar yang di suguhkan di hadapan publik mengisyaratkan kita pada pola kampanye pencitraan setiap orang yang hendak berkuasa di masa Orde Reformasi. Apakah kehdiupan rakyat dapat di jawab dengan konsep 4 pilar, aku meyakini, faktanya akan terbantahkan.
Di mana, reralitas kehidupan berbangsa saat ini, di dominasi oleh percarutan politik kepentingan sesaat dari manusia atau kelompok masyarakat Indonesia yang memahami praktek politik busuk. Di samping itu, wabah korupsi dan ekspolitasi sumber daya alam yang di pelopori oleh perusahan asing (Multi Nastional Corporetion), IMF dan World Bank. Liberalisasi ekonomi, politik dan pendidikanpun ikut menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara. Andai, hal ini tetap berlanjut, maka. Ancaman terbesar bagi negara ini adalah Bubarnya Indonesia dalam waktu singkat. Di samping itu, konflik sosial serta konflik etnisitas yang semuanya bermuara pada masalah hak lokalitas, hak hidup dan hak politik. Dan kuasa pemerintah pusat yang di nilai dominan merupakan salah satu ancaman terberat untuk Indonesia.
Jawaban atas segala persoalan kebangsaan terus di reduksi dan di ramu dalam berbagai bidang, akan tetapi kesadaran sosio-politk kenegaraan masih bersidaf sentralisasi. Belum pula persoalan pembagian jatah anggaran pusat-daerah yang dalam fakta empirisnya menyerupai belanja modal/beli modal ke pusat. Ini merupakan praktik kapitalisasi modal negara dan liberalisasi ekonomi yang tetap di pertahankan pihak asing di Indonesia. Eksistensi kebangsaan kita larut dalam hedonisme penguasa yang kecenderungan tetap menjagan wibawa partai dan networkingnya dengan pihak asing. Seandainya, kesadaran akan pentingnya cinta tanah air. Aku memandang bahwa, Indonesia dapat berubah tanpa meminta sokongan/ meminjam dana dari IMF atau World Bank. Ini Indonesia negeri tercinta, bukan negeri para kolonialime baru ala asing. Namun aku tetap bangga inilah Indonesia ku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar