DI TANAH NEGERI, AKU ADA
Oleh: Kamaruddin Salim
malaikat kita di biarkan berlari bebas di hutan, di laut, dan di bukit
berbatu
biarlah dia belajar mengenal dunia nya
biarlah dia menyapa kita, ayah, ibu aku sayang padamu
ya inilah malaikat kecil kita wujud kasih Tuhan Yang Agung
biarlah dia belajar mengenal dunia nya
biarlah dia menyapa kita, ayah, ibu aku sayang padamu
ya inilah malaikat kecil kita wujud kasih Tuhan Yang Agung
By.Epos
Dunia dalam kehidupan menyisahkan hamaparan sejuta
kata dan kiasan sejarah yang sama sekali tidak sepi untuk diperbincangkan
manusia, ya termasuk aku hari ini. Sejarah kehidupan menyatu dengan proses
menciptakan budaya selalu menjadi langkah yang sejajar dengan dunia yang tetap
melaju dalam kepastiannya. Ada isyarat yang tercatat dalam berbagai referensi
buku di tulis oleh ribuan manusia mendunia. Setiap manusia mempunyai sejarahnya
sendiri, dan setiap manusia rela mati demi menjaga kearifan budaya lokalnya.
Ya, inilah masalah harkat dan martabat identitas hidupnya.
Aku dilahirkan di tanah negeri Nusantara yang luas dan
meliputi hamparan samudera, teluk tanjung serta hutan dan gugus pulau yang elok
dipandang mata. Dan di Nusantara pula Aku Ada”. Keberadaanku di Nusantara
inilah mewujudkan rasaku bangga yang tak terkira. Sikap dan kata jujur, serta kebanggan
akan Indonesiaku di motivasi dari Mahatma Gandhi. Di mana, Gandhi berkata Berperilaku jujur memang sulit. Namun, bukan berarti
tidak mungkin dilakukan. Maka, aku perlu membuktikan bahwa apa yang dikatakan
Gandhi mempunyai ruhnya sendiri. Sepatutnya kita bangga akan negeri Nusantara yang cantik rupawan ini yang menjadi
daya tarik masyarakat dunia sejak zaman kolonialeme hingga zaman industrialisasi
sekarang ini. Indonesia nama negeriku yang dikenal dalam rumusan sejarah
tersirat dalam kisah para pemikir.
Sejarah Indonesiaku, diramu dalam berbagai sajak,
syair dan lantunan bermakna. Kadang dalam uraian kata satir (sindiran), santun
dan juga kata penuh emosi membakar logika sehat penikmat sejarah. Sejarah
berjalan terus dan tak berhenti sesaat-pun. Dan di tanah inipula, aku
menyaksikan sederetan peristiwa kehidupan manusia berpesta dan juga yang menari
dalam penderitaannya. Yang menari adalah kaum pengharum politik kuasanya, dan
menanggung lara dan meringgis kesakitan ya, mereka yang bodoh dan kolot dalam
dunia politik partai pemenang.
Pesta pora para penikmat kekuasaan kian menjadi-jadi.
Arus sejarah ditujukan pada mereka, lewat media televisi dan radio, suara
mereka mengangung meyerupai raja singa sedang pidato depan rakyat rimba raya. Aku raja kalian dan jangan ada yang berani
melawan perintahku! Jika ada yang berani melawan perintahku, akan aku
pertintahkan harimau dan gajah untuk menghukum kalian, ujar sang raja. Kami
akan selalu setia padamu duhai Paduka. Seru rakyat rimba raya. Petikan
kisah semacam ini tetap berlanjut dalam catatan sejarah penguasa di Negara ini.
Semua bisa di kompromikan dalam urusan politik dan memenuhi gudang tengah.
Raja Singa, selalu sama dalam gaya dan pola hidupnya
yang aku saksikan saat ini. Sejak Ir.Soekarno di paksa meninggalkan Istananya
oleh manusia penjagal bermuka dua. Di sokong manusia asing dari beruban pula
rambutnya. Kulit kasar dan rakus kekayaan tanah dan harta karun negeri ini.
Belum di sokong kaum nigrat buatan raja-raja singa kecil yang belajar mencari
mangsa, Soekarno kalah dalam catur politik yang banyak pionnya. Bidak catur yang
berseragam, liar tanpa komando, melindungi diri dalam markas dan sejarahnya.
Perta pora siap berlanjut di terang matahari menyilau masa depan.
Singa-singa kecil kehilangan induk untuk meminta
petuah, namun itu tak lama dan kembali membaik kala raja singa jantan perkasa
dan sembunyi di balik jubah kesantunan serta kolot ala masyarakat desa di
pelosok Jawa Jogja. Genderang perang di tabukan, Repelita tampil menjadi
program pengentasan kosongnya lumbung rakyat dan gudang Dolog. Memenuhi asupan
gizi yang lama krisis sebagai warisan sejarah kaum merah tahun 65. Semua berlomba,
di pimpin raja singa. Aku hanya membaca sejarah hebat ini saat masih berseragam
merah putih. Dialah bapak pembangunan yang kami banggakan dari pelosok desa
hingga kota besar. Soeharto nama raja singa itu. Sikapnya berbeda dengan
Soekarno yang aku tahu, sejak turut serta kawan sejawatku di medan jalanan
menyingkirkan sisa-sisa kuasanya dari tangan raja-raja kecilnya. Aku ingat kata
Jalaluddin
Rumi, Singa terlihat paling tampan ketika
sedang mencari mangsa. Kata
Rumi itu, berlaku bagi Pemimpinku saat kala itu. Dia santun, namun kejam dalam
kegelapan. Dia, bersahaja namun korupsi menggunung dalam gudang keluarga. Dia
pula bijaksana bersama deru tembakan aparat Negara melindas rakyat jelata yang
minta hak hidup dan suaka politik.
Negara melindas rakyat, belum pupus pula dalam
kehidupan nyataku saat ini. Soeharto mewarisi sikap politik kompromi tanpa
moralitas dan menghargai nilai kemanusiaan. Dan warisan ini di pakai sebagai
etika poltik dan komunikasi politik partai yang hendak berkuasa dan menguasai
hak suara rakyat. Berat sama dipikul,
ringan sama di jinjing, pepatah ini bermakna sarat dengan nilai politik
kerakusan menurutku, berat hanya politik kata-kata penguasa, ringan sebatas
kata-kata santun untuk memotivasi rakyat untuk tetap berbaris menuju ruang
pemungutan suara lima tahun sekali. Inilah kisah Negara yang hidup dari pemilu
ke pemilu. Indonesia tentu berubah tak semata lewat pemilu yang berulang-ulang
dan ketatnya pertahanan Negara di bawah kuasa senjata tentara. Aku meyakini
ucapan Jenderal Sudirman dan tentunya akan
membuktikan pada kita, sejarah itu berulang. Percaya dan yakinlah bahwa kemerdekaan satu negara
yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa, harta benda dari rakyat
dan bangsanya tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia, siapa pun juga.
Aku bangga lahir di Negara
besar dan kaya ini. Rasa bangga ku tak semata bersumber pada rangkuman sejarah
kaum hebat, terdidik dan berwibawa pada masa lalu dan kini. Namun, aku bangga,
bahwa bangsa ini selalu menjadi lilin pencerahan walau seringkali di hempaskan
angin kemunafikan kaum sesama bangsa yang buruk hatinya. Seorang filsuf
terkenal Siddharta Gautama (563-483 SM), pendiri agama Buddha pernah berkata, Ribuan lilin dapat dinyalakan dari satu lilin dan
nyalanya tidak akan berkurang. Begitu pun kebahagiaan tidak akan pernah
berkurang walau dibagi-bagi. Dari saduran kata bijak Gautama inilah yang
memotivasi diriku untuk memacu rasa untuk tetap bangga menjadi orang Indonesia.
Indonesia mempunyai sederetan anak bangsa yang selalu menjadi lilin yang
mencerahkan ribuan lilin yang lain. Dan dari lilin-lilin inilah, kita akan
mendapatkan inspirasi baru untuk merawat keutuhan bangsa dan negara.
Dari semangat melalui filosofi
lilin Gautama, aku meyakini akan ada sejuta lilin yang akan bersedia menerangi
langit, lautan, gunung dan hutan Nusantara yang luas ini. Dan itu tak terduka
semata hari ini. Zaman akan tetap bergerak kedepan, dan tak akan pernah menoleh
ke belakang kembali. Dan aku tidak berbicara ini zaman kita, tetapi ini zaman
warisan masa lalu untuk di praktekan demi mewujudkan zaman kemudian. Aku bangga
berada di sini, Indonesia. Aku bangga dengan warisan leluhur dan pendiri negara
yang dengan bijaksananya meletakkan dasar peradaban yang tak sedikit jua kita
balas hanya lalui kata dan harapan gamang, ya simaklah kata-kata Bung Karno
berikut ini, Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-Saudara.
Berjiwa besarlah, ber-imagination. Gali! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah
satu tanah air yang paling cantik di dunia. Berjiwa besarlah, gali
bekerja, kita adalah tanah air yang tercantik di dunia. Tak kuasa aku membaca
bait perbait dari kata-kata Putra Sang Fajar tersebut. Kata-katanya menagndung
makna dan arti yang luar biasa. Rakyat dianjurkan berjiwa besar, sabar dan
banggalah jadi orang Indonesia, dan aku bangga ada di tana air Indonesia. Satu
sikap yang luhur di tunjukkan Bung Karno hingga akhir hayatnya. Sikap dalam
hidupnya tak semata politik, individualisme, pencitraan ataupun keluhan tanpa
dasar dari seorang bung Karno, dan aku meyakini hal ini. Ini justru perlu
menjadi mercusuar bagi pemimpin saat ini.
Sekali lagi aku menegaskan,
setiap pemimpin mempunyai sejarahnya sendiri. Sejarah tak dapat di bohongi,
sejarah akan selalu hidup dalam ruang sosial masyarakat Indonesia. Dan siapa
yang melupakan sejarah, mereka akan di lindas oleh sejarah, dan Bung Karno
benar dalam hal ini. Generasi saat ini perlu memandang Indonesia kedepan,
Indonesia yang merdeka tanpa politik pencuriga dan kapitalitik. Sepatutnya
semangat revolusioner itu, tak semata zaman Revolusi 45 atau zaman di Mana
Sriwijaya, Andalas, Samudera Pasai, Majapahit, Demak, Kediri, Singosari,
Mataram, Ternate, Tidore, Mulawarman, Bima, Goa Talo atau para Raja dan Sultan
yang dengan gagah berani mempertahankan tanah air dari dominasi kaum
kolonialisme dan imperialisme Barat (Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda)
yang pada saat itu menancapkan kakinya di wilayah Nusantara. Kita sepatutnya
bangga, bahwa proses kemerdekaan Indonesia menyishkan sederetan kisah hebat
pendahulu Republik ini. Kita sepatutnya bersykur bahwa kita tidak mengalami
sejarah penuh darah sebagaimana yang di alami oleh leluhur kala itu.
Kisah para penakluk samudera
seperti Juan
Sebastián del Cano 1515 dari Spanyol, seorang
navigator pertama mengelilingi bumi menyandarkan kapalnya di pesisir pulau
Tidore atau Laksamana Cheng Ho, tiba di tanah Jawa. Mengisyaratkan kepada anak
cucu negeri ini bahwa, bumi Nusantara itu memang telah terkenal semenjak zaman
dahulu. Oleh karena itu, kita tak semata bangga, tetapi perlu berbesar hati
seperti yang di katakana Bung Karno dan Jenderal Besar Soedirman. Sejarah tak
semata menjadi bagian dari masa lalu yang pada akhirnya lapuk dalam catatan
buku-buku sejarah yang menumpuk di rak-rak/lemari perpustakaan dan toko buku.
Tetap sejarah adalah akulturasi kehidupan yang tetap hidup dari masa ke masa. Istri dari mendiang Chiang Kai Shek berkata, Kita hidup di masa kini, bermimpi tentang masa
depan, dan belajar tentang kebenaran abadi dari masa lalu. Ini adalah salah satu ungkapan
Madame Chiang Kia Shek yang luhur dan inspirasi. Betapa masa lalu (sejarah)
merupakan gambaran kehidupan kedepan. Dan aku bangga dengan sejarah bangsaku.
Oleh karenanya, Republik Tiongkhok hingga kini, masyarakatnya di manapun bangga
akan tanah air dan budaya leluhurnya.
Sudah sepaptunya sebagai orang Indonesia, aku merasa
perlu berbangga hati dan mendorong rasa cinta mendalam terhadap Negara Indonesia.
Jika rasa cinta itu terpatri dalam jiwa sanubari seluruh orang Indonesia dalam
keberadaan maupun perbedaan status apapun mereka, aku meyakini negeri ini akan
sedikik berubah kearah perubahan yang lebih baik. Harapan seluruh rakyat
Indonesia bergema dari segala penjuru setiap detiknya menyoal tentang kemajuan,
kesejahteraan dan keadilan sosial merupakan satu bukti kecintaan tanah air, dan
hal tersebut perlu di sambut seirama dengan bentuk aplikasi yang nyata oleh
pemerintah. Disamping itu membutuhkan kesadaran politik (political will) dari seluruh pemegang kekuasaan, sehingga aspirasi
dan kecintaan rakyat pada tanah airnya terapresiasi dengan baik. Dikarenakan
realitas yang terjadi selama ini, aspirasi rakyat masih bertumpu di Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) dan DPD (Dewan Perwakilan Daerah), sebagai lembaga yang
mewakili dan meyuarakan aspirasi seluruh rakyat. System keterwakilan yang
selama ini di dorongpun belum masksimal dalam sistem politik Indonesia. Masalah
utamnaya, sistem politik yang didominasikan oleh partai politik belum menjadi
ruang pembalajaran politik cinta tanah air yang baik bagi rakyat Indonesia.
Partai politik di anggap masih menjadi perusahan jasa
yang belum selesai dalam proses mematangkan modal ekonomi dan status kekuasaan.
Jikalau hal ini masih berlanjut, harapan rakyat akan keadilan dan kesejahteraan
hanya selesai dalam ruang pemilihan umum. Oleh karena itu, sikap politik yang
sehat dan terbuka akan mendorong satu bentuk reformasi politk yang mengarah
pada perubahan total sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan di mana
posisi rakyat jelas sebagai pemegang kekuasaan kehidupan bernegara. Tanpa
rakyat, tidak terjadi pembentukan sautu Negara, dan partai politik perlui menyadari
hal tersebut. Terlepas dari hal itu, aku meyakini bahwa proses reformasi yang
sudah berlangsung berapa decade lalu telah membuka cakrawala berpikir
masyarakat Indonesia bahwa kehidupan tak semata-mata masalah kesejahteraan dan
kekuasaan, tetapi proses kehidupan manusia Indonesia seutuhnya.
Proses
kehidupan manusia Indonesia seutuhnya merupakan konsep klasik yang pernah di
tawarkan Sutan Takdir Ali Sjahbana, dalam kebudayaan nasional. Di mana, STA,
menamakan satu konsep yang BUMANTARA, yang meliputi masyarakat serumpun Melayu,
Indonesia, Malaysia, Philipina, Brunai Darusalam dan Thailand. Namun, kosep
kecintaan terhadap tanah air dan budaya yang di gagas STA masih di anggap
sebagai ambiguitas (suatu kondisi ke-dwimakna-an, menampilkan
karakteristik yang penuh dengan teka-teki atau samar-samar yang muncul dalam
dunia seni, sastra dan arsitektur), tetapi faktanya sekarang terjadi. Krisis
identitas kebangsaan Indonesia mulai tumbuh subur di segala penjuru nusantara,
termasuk kampus sebagai garda terdepan perubahan bangsa. Kekhuatiran STA
terbukti, bahwa pada suatu ketika orang pribumi akan mejadi paria (pengemis) di bangsanya sendiri. Senada
dengan Takdir, perdana Menteri pertama India Jawaharlal Nehru (1889– 1964) berkata, Budaya akan memperluas
pikiran dan semangat kita. Ungkapan Nehru sangat mengetarkan jiwaku, di
mana budaya dan bahasa yang menjadi cirri identias kebangsaan kita yang pada
kenyataannya memprihatinkan. Jika hal ini benar terjadi, maka hilanglah
peradaban ke indonesiaan kita.
Aku hendak mengajak kita
menorah ke masa Sekolah Dasar (SD) di mana, anak-anak Indoensia di didik dengan
pelajaran cinta tanah air, misalnya dengan pelajaran PSPB (pendidikan sejarah
perkuangan bangsa) dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP), namun alangkah
ironisnya, di saat reformasi semuanya hilang di telan bumi. Pertanyaannya, apa
yang terjadi saat ini. Apa makna reformasi sesungguhnya? Dan di manakah letak
empirisme ilmiah akan implementasi semangat rasa cinta tanah air itu di
ajarkan? Aku meminjam kata-katanya Anton Chekhov seorang penulis kenamaan Rusia, Pengetahuan tak punya makna jika
Anda tidak mempraktikkannya. Pertanyaannya, Pengetahuan yang di soroti Chekhov
seperti apa jika kita kaitkandengan persoalan ini. Aku meyakini, bahwa apabila
benar terjadi bahwa secara empiris di lembaga pendidikan di Indonesia tidak ada
lagi transfer pengetahuan terkait dengan cinta tanah air, maka ungkapan Anton
Chekhov tersebut meneror kita dalam ruang kegelapan. Apa yang kita praktekan
untuk kemajuan Indonesia?
Praktik empirisme untuk
memajukan Indonesia, bukan menjadi perkara mudah. Sebab, dasar pembanguna suatu
bangsa adalah cita-cita luhurnya, jika cita-cita luhur tidak dirumuskan, untuk
apa negara ini ada dan bangga akan keberadaannya. Amanat UUD 1945 dan Pancasila
yang setaip waktu di perdebatkan dan di modifikasi maknanya. Ada pula gagasan
baru sang ketua MPR mendorong 4 pilar semangat kebangsaan, yaitu; Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka
Tunggal Ika. Yang mana, 4 pilar tersebut berangkat dari realitas khiudapn
berbangsa dan bernegara yang kian hari sangat memprihatinkan. Namun, 4 pilar
yang di suguhkan di hadapan publik mengisyaratkan kita pada pola kampanye
pencitraan setiap orang yang hendak berkuasa di masa Orde Reformasi. Apakah
kehdiupan rakyat dapat di jawab dengan konsep 4 pilar, aku meyakini, faktanya
akan terbantahkan.
Di mana, reralitas kehidupan
berbangsa saat ini, di dominasi oleh percarutan politik kepentingan sesaat dari
manusia atau kelompok masyarakat Indonesia yang memahami praktek politik busuk.
Di samping itu, wabah korupsi dan ekspolitasi sumber daya alam yang di pelopori
oleh perusahan asing (Multi Nastional Corporetion), IMF dan World Bank.
Liberalisasi ekonomi, politik dan pendidikanpun ikut menggerogoti kehidupan
berbangsa dan bernegara. Andai, hal ini tetap berlanjut, maka. Ancaman terbesar
bagi negara ini adalah Bubarnya Indonesia dalam waktu singkat. Di samping itu,
konflik sosial serta konflik etnisitas yang semuanya bermuara pada masalah hak
lokalitas, hak hidup dan hak politik. Dan kuasa pemerintah pusat yang di nilai
dominan merupakan salah satu ancaman terberat untuk Indonesia.
Jawaban atas segala persoalan
kebangsaan terus di reduksi dan di ramu dalam berbagai bidang, akan tetapi
kesadaran sosio-politk kenegaraan masih bersidaf sentralisasi. Belum pula
persoalan pembagian jatah anggaran pusat-daerah yang dalam fakta empirisnya
menyerupai belanja modal/beli modal ke pusat. Ini merupakan praktik
kapitalisasi modal negara dan liberalisasi ekonomi yang tetap di pertahankan
pihak asing di Indonesia. Eksistensi kebangsaan kita larut dalam hedonisme
penguasa yang kecenderungan tetap menjagan wibawa partai dan networkingnya
dengan pihak asing. Seandainya, kesadaran akan pentingnya cinta tanah air. Aku
memandang bahwa, Indonesia dapat berubah tanpa meminta sokongan/ meminjam dana
dari IMF atau World Bank. Ini Indonesia negeri tercinta, bukan negeri para
kolonialime baru ala asing. Namun aku tetap bangga inilah Indonesia ku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar