Laman

Rabu, 18 Mei 2016

Birokrasi dan Politik Di Indonesia

Judul Buku                : Birokrasi dan Politik Di Indonesia
Editor                           : Miftah Thoha
Penerbit                        : Rajawali Press-Jakarta
Tahun Terbit               : 2012
Oleh                            :Kamaruddin Salim    


Dalam Buku Birokrasi dan Politik Di Indonesai. Yang di tulis Oleh Mifta Thoha, yang terdiri dari V Bab. Di mana, Thoha menggambarkan bahwa Birokrasi di Indonesia belum berubah hingga saat ini. Bahkan, jika kita enturkanbirokrasi pemerintah Indonesia saat ini dengan model birokrasi ideal menurut Weber (birokrasi Weberian) yang kenamaan pada awal abad-19, Artinya, birokrasi kita hari ini sama dengan birokrasi yang ada pada masa Weber hidup yakni awal abad-19. dan fakta yang terjadi pada birokrasi pemerintah Indonesia hariini antara lain sebagai berikut:
1.      Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau kepentinganindividual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasukkeluarganya
2.      Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansiya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya  Fakta: begitu banyak pejabat birokrasi, baik yang menduduki jabatankarier atau jabatan politik, lebih mengutamakan kepentingan pribadidan keluarganya daripada kepentingan suara rakyat yang berdaulatyang telah mengangkat mereka menuju jabatan yang diharapkan.Mulai dari hal sederhana seperti pemanfaatan mobil dinas yangharusnya dipergunakan untuk hal-hal yang berkenaan denganpekerjaan, melainkan juga diikut sertakan dalam acara mudik si pejabat sejatinya tidak hanya didominasi oleh pejabat-pejabat birokrasi yangmeniti karier di dalamnya, tapi juga ada bagian-bagian lain yangditempati oleh pejabat-pejabat politik.
Dalam buku ini, disinggung pula mengenai pengangkatan jabatankarier. Max Weber mengatakan sistem merit dalam setiap pejabat ituwajib, terutama untuk jabatan karier birokrasi pemerintahan. Namun,dalam bukunnya, Thoha memberikan gambaran mengenai gejalapengangkatan pejabat karier birkorasi pemerintah yang semakin nekattidak mengindahkan lagi system merit, yang mana tidak sesuai denganharapan idealnya birokrasi sekaligus sesuai dengan realita hari ini.Sebagai contoh, seorang Dirjen yang masih muda usia berulangkalidiancam akan dicopot, sementara dia merupakan Dirjen karier yangdiangkat karena kemampuan dan keahlian di bidangnya. SeorangSekjen suatu departemen yang tidak mempunyai catatan karier dibidangnya diangkat menjadi sekjen. Banyak pula Sekjen, Irjen, Dirjen,Kepala LPND dan sejenisnya yang diangkat karena ada kedekatanaspirasi politik dari yang mengangkat. Bahkan konon ada yang harusmenyediakan sejumlah uang upeti.
Dalam hal ini, Thoha menyebutkan bahwa di republik ini ada lembagayang dibentuk untuk mengurusi administrasi Negara, kemudian adakementerian yang mengurusi penertiban apratur administrasi Negara.Beragam carut marut system administrasi di Negara ini, membuat kitabertanya, apakah fungsi kedua lembaga iini berjalan? Atau sengajatidak difungsikan? Bagaimana dengan peran wakil rakyat di DPR yangtidak pernah bertanya tentang hal ini? Menurut, Thoha  kalau memang kita mau menghancurkan system administrasni Negara, makasebaiknya kedua instansi itu dibubarkan, dan jadikan Negara ini tanpa sistem. Thoha menilai, selama ini, kita selalu mengenal bahwa sistem merit itu diterapkan dikalangan birokrat saja. Siapa yang berkompetensi dan mapankeahlian, maka siap diangkat untuk menduduki sebuah jabatan yangsesuai dengan keahlian. Cara seperti ini biasanya dipergunakan untukmemilih orang-orang yang akan menduduki jabatan karier, sepertidirjen, Sekjen, Deputi, Kepala Biro, dan sebagainya.
Thoha memberikan pertanyaan yang dapat menggugah rasapenasaran pembaca, Dapatkah cara semacam itu dipergunakan untuk  jabatan-jabatan politik, seperti anggota DPR/D, ketua, dan wakil-wakil Ketua DPR/D, Menteri, Gubernur, Bupati, dan lain sebagainya? Maka, selanjutnya Thoha memberikan contoh system merit yangdigunakan di Amerika Serikat, dengan tidak menghilangkan prosesdemokrasi dewasanya, untuk mencari seorang ketua House ofRepresentative (DPR). Thoha mengatakan, seorang ketua DPR-nya Amerika Serikat, tidak bisa diangkat atau dipilih menjadi ketua jika jamterbang karier memimpinnya belum sama sekali. Seseorang yang bisaterpilih menjadi ketua House of Representative, harus pernahmemimpin komisi, memimpin fraksi, pernah memangku jabatanpimpinan dalam state legislature (DPRD) atau jabatan politik di Negarabagian, atau pernah menjadi wakil ketua DPR. Begitu hal nya denganseorang menteri. Menurut Thoha, menteri di Amerika Serikat akandiangkat jika mempunyai catatan karier yang jelas, seperti misalnya didalam DPR sebagai lembaga politik perwakilan rakyat, atau catatanperkembangan karier kompetensinya.
Menurutnya, perkembangan system merit di AS dipengaruhi secaramendalam oleh aspirasi demokrasi dan mobilitas sosial darimasyarakatnya, terutama dipengaruhi oleh pemikiran mengenaipersamaan kesempatan (the idea of equality ). Memang system merituntuk jabatan politik di AS sempat mengalami perubahan menjadi spoilsystem di era Andrew Jackson, presiden ke-7 Amerika Serikat. Namun, karena tuntutan luar biasa masyarakat untuk melakukan reformasiadministrasi hingga puncaknya dengan terbunuhnya presiden JamesGarfield tahun 1881, maka merit system kembali diwujudkan melaluiUndang-Undang yang dikenal dengan Pendleton Federal Service Act Tahun 1883. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Jika dikaitkan dengan birokrasipolitik Indonesia, Thoha menjelaskan, system merit untuk kalanganmenteri juga pernah diterapkan di Soekarno-Hatta.
Seseorang akan yang diangkat menjadi Menteri Thoha jika ia professional di bidangnya,berilmu, juga berpartai politik. Berilmu disini artinya mempunyai kedalamanpengetahuan dan keahlian mengenai bidang pekerjaan yang bakaldilaksanakan dalam kementrian yang dipimpinnya Namun, ada pula orang yang ahli akan tetapi tidak masuk ke partaipolitik bisa diminta untuk menjadi menteri, sebut saja Ir. H. Djuanda,Sultan Hamengkubuwono IX, Prof. Dr. Baher Djohan, dan Prof. Mr.Moh. Yamin.Namun dalam konteks kekinian, system merit untuk mengisi jabatanpolitik sudah tidak diindahkan lagi. Dalam hal ini. Thoha menyarankanada baiknya keinginan Hatta dalam membangun pemerintahan sipildemokratis bisa dipergunakan untuk menentukan criteriapengangkatan seorang menteri di dalam kabinet presidensial. Seorangmenteri merupakan jabatan politik dan dipilih oleh presiden denganpresetujuan wakil rakyat di DPR dari kekuatan politik atau partai politikyang ada di dewan. Dasar pemilihannya adalah kompetensi, keahlian,berakhlak mulia, dan berilmu pengetahuan luas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar