Judul Buku : Birokrasi dan Politik Di Indonesia
Editor : Miftah Thoha
Penerbit : Rajawali Press-Jakarta
Tahun
Terbit : 2012
Oleh :Kamaruddin Salim
Dalam Buku Birokrasi dan
Politik Di Indonesai. Yang di tulis Oleh Mifta Thoha, yang terdiri dari V Bab.
Di mana, Thoha menggambarkan bahwa Birokrasi di Indonesia belum berubah hingga
saat ini. Bahkan, jika kita enturkanbirokrasi pemerintah Indonesia saat ini
dengan model birokrasi ideal menurut Weber (birokrasi Weberian) yang kenamaan
pada awal abad-19, Artinya, birokrasi kita hari ini sama dengan birokrasi yang
ada pada masa Weber hidup yakni awal abad-19. dan fakta yang terjadi pada
birokrasi pemerintah Indonesia hariini antara lain sebagai berikut:
1.
Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi dibatasi
oleh jabatannya manakala ia menjalankan tugas-tugas atau
kepentinganindividual dalam jabatannya. Pejabat tidak bebas
menggunakan jabatannya untuk keperluan dan kepentingan pribadinya termasukkeluarganya
2.
Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan
menjalankan jabatannya dan resources instansiya untuk kepentingan pribadi
dan keluarganya Fakta: begitu banyak pejabat birokrasi, baik yang
menduduki jabatankarier atau jabatan politik, lebih mengutamakan kepentingan
pribadidan keluarganya daripada kepentingan suara rakyat yang berdaulatyang
telah mengangkat mereka menuju jabatan yang diharapkan.Mulai dari hal sederhana
seperti pemanfaatan mobil dinas yangharusnya dipergunakan untuk hal-hal yang
berkenaan denganpekerjaan, melainkan juga diikut sertakan dalam acara mudik si pejabat
sejatinya tidak hanya didominasi oleh pejabat-pejabat birokrasi yangmeniti
karier di dalamnya, tapi juga ada bagian-bagian lain yangditempati oleh
pejabat-pejabat politik.
Dalam buku ini,
disinggung pula mengenai pengangkatan jabatankarier. Max Weber mengatakan
sistem merit dalam setiap pejabat ituwajib, terutama untuk jabatan karier
birokrasi pemerintahan. Namun,dalam bukunnya, Thoha memberikan gambaran
mengenai gejalapengangkatan pejabat karier birkorasi pemerintah yang semakin
nekattidak mengindahkan lagi system merit, yang mana tidak sesuai denganharapan
idealnya birokrasi sekaligus sesuai dengan realita hari ini.Sebagai contoh,
seorang Dirjen yang masih muda usia berulangkalidiancam akan dicopot, sementara
dia merupakan Dirjen karier yangdiangkat karena kemampuan dan keahlian di
bidangnya. SeorangSekjen suatu departemen yang tidak mempunyai catatan karier
dibidangnya diangkat menjadi sekjen. Banyak pula Sekjen, Irjen, Dirjen,Kepala
LPND dan sejenisnya yang diangkat karena ada kedekatanaspirasi politik dari
yang mengangkat. Bahkan konon ada yang harusmenyediakan sejumlah uang upeti.
Dalam hal ini, Thoha
menyebutkan bahwa di republik ini ada lembagayang dibentuk untuk mengurusi
administrasi Negara, kemudian adakementerian yang mengurusi penertiban apratur
administrasi Negara.Beragam carut marut system administrasi di Negara ini,
membuat kitabertanya, apakah fungsi kedua lembaga iini berjalan? Atau
sengajatidak difungsikan? Bagaimana dengan peran wakil rakyat di DPR yangtidak
pernah bertanya tentang hal ini? Menurut, Thoha
kalau memang kita mau menghancurkan system administrasni Negara,
makasebaiknya kedua instansi itu dibubarkan, dan jadikan Negara ini tanpa sistem.
Thoha menilai, selama ini, kita selalu mengenal bahwa sistem merit itu
diterapkan dikalangan birokrat saja. Siapa yang berkompetensi dan
mapankeahlian, maka siap diangkat untuk menduduki sebuah jabatan yangsesuai
dengan keahlian. Cara seperti ini biasanya dipergunakan untukmemilih
orang-orang yang akan menduduki jabatan karier, sepertidirjen, Sekjen, Deputi,
Kepala Biro, dan sebagainya.
Thoha memberikan
pertanyaan yang dapat menggugah rasapenasaran pembaca, Dapatkah cara semacam
itu dipergunakan untuk jabatan-jabatan politik, seperti anggota DPR/D, ketua, dan wakil-wakil
Ketua DPR/D, Menteri, Gubernur, Bupati, dan lain sebagainya? Maka,
selanjutnya Thoha memberikan contoh system merit yangdigunakan di Amerika
Serikat, dengan tidak menghilangkan prosesdemokrasi dewasanya, untuk mencari
seorang ketua House ofRepresentative (DPR). Thoha mengatakan, seorang ketua
DPR-nya Amerika Serikat, tidak bisa diangkat atau
dipilih menjadi ketua jika jamterbang karier memimpinnya belum sama
sekali. Seseorang yang bisaterpilih menjadi ketua House of Representative, harus
pernahmemimpin komisi, memimpin fraksi, pernah memangku jabatanpimpinan dalam state
legislature (DPRD) atau jabatan politik di Negarabagian, atau pernah menjadi
wakil ketua DPR. Begitu hal nya denganseorang menteri. Menurut Thoha, menteri
di Amerika Serikat akandiangkat jika mempunyai catatan karier yang jelas,
seperti misalnya didalam DPR sebagai lembaga politik perwakilan rakyat, atau
catatanperkembangan karier kompetensinya.
Menurutnya, perkembangan
system merit di AS dipengaruhi secaramendalam oleh aspirasi demokrasi dan
mobilitas sosial darimasyarakatnya, terutama dipengaruhi oleh pemikiran
mengenaipersamaan kesempatan (the idea of equality ). Memang system
merituntuk jabatan politik di AS sempat mengalami perubahan menjadi
spoilsystem di era Andrew Jackson, presiden ke-7 Amerika Serikat. Namun, karena
tuntutan luar biasa masyarakat untuk melakukan reformasiadministrasi hingga
puncaknya dengan terbunuhnya presiden JamesGarfield tahun 1881, maka merit
system kembali diwujudkan melaluiUndang-Undang yang dikenal dengan Pendleton
Federal Service Act Tahun 1883. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Jika
dikaitkan dengan birokrasipolitik Indonesia, Thoha menjelaskan, system merit
untuk kalanganmenteri juga pernah diterapkan di Soekarno-Hatta.
Seseorang akan yang
diangkat menjadi Menteri Thoha jika ia professional di bidangnya,berilmu, juga berpartai politik. Berilmu disini artinya mempunyai kedalamanpengetahuan
dan keahlian mengenai bidang pekerjaan yang bakaldilaksanakan dalam kementrian
yang dipimpinnya Namun, ada pula orang yang ahli akan tetapi tidak masuk ke
partaipolitik bisa diminta untuk menjadi menteri, sebut saja Ir. H.
Djuanda,Sultan Hamengkubuwono IX, Prof. Dr. Baher Djohan, dan Prof. Mr.Moh.
Yamin.Namun dalam konteks kekinian, system merit untuk mengisi jabatanpolitik
sudah tidak diindahkan lagi. Dalam hal ini. Thoha menyarankanada baiknya
keinginan Hatta dalam membangun pemerintahan sipildemokratis bisa dipergunakan
untuk menentukan criteriapengangkatan seorang menteri di dalam kabinet
presidensial. Seorangmenteri merupakan jabatan politik dan dipilih oleh
presiden denganpresetujuan wakil rakyat di DPR dari kekuatan politik atau
partai politikyang ada di dewan. Dasar pemilihannya adalah kompetensi,
keahlian,berakhlak mulia, dan berilmu pengetahuan luas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar