Senin, 23 Mei 2016
MENJAJAKI KEAGUNGAN DIRI
Kamaruddin Salim
Terdiam membisu dengan tubuh terkulai lemah tanpa gerakan eksotik, yang tak biasanya hal ini mengindap diri yang sedang bergairah. Entahlah, mungkin ini perumpamaan ataupun teguran tanpa suara dari Tuhan. Bahwa saatnya sebagai manusia, aku lebih mencintai diriku sendiri. Imajinasiku terbang mengitari dunia di pagi buta yang penuh cerita baru.. Harapan terbesarku adalah dimana aku tidak bisa terkalahkan lantaran rasa sakit yang terus menerjang dari seluruh sum-sum raga hingga urat saraf otak kecilku.
Kali ini aku terngiang dengan bahasanya Descartes, Cogito, ergo sum “aku berpikir, maka aku ada” walau akhirnya menjadi Evaleo, ergo sum “saya menilai, maka saya ada” dari penularan ide yang cemerlang dari Descartes ini. Kian menusuk langsung ke pangkalan kematian pribadiku. Ke egoan pribadi tebantahkan, bahwa keberadaanku bukan atas landasan dorongan semangat yang pada akhirnya membuat aku terperangkap dalam lembah perdebatan diri yang penuh keraguan. Memang semua hal pantas diragukan, kecuali Tuhan Yang Maha Agung.
Segala sesuatu boleh dikatakan hanya tinggal puing-puing yang berserahkan. Landasan hidup menjadi kabur dan tak menampakkan lagi jalan hidup baru yang menjadi alternatif. Jiwaku tersungkur dalam sebuah pengasingan kehidupan materialisme dan pragmatisme palsu. Semua menjadi nyata bahwa aku belum mampu berpikir selayaknya Descartes.
Sudut kamar ini menawarkan sedikit kebahagiaan baru, bahwa aku masih “ada” bangkitkan jasadmu yang telah lama terkubur dalam sangkar kematian waktu yang terus menawarkan rasa sakit menahun itu, aku tidak mengeluh Tuhan, ini hanya irama biola yang kudendangkan bagi para Sufi itu.
Para penjagal kekuasaan menertawakan aku dari jarak dekat sambil mencibir bibirnya “engkau adalah sampah Negara” mereka terjingkrak-jingkrak. Kekuasaan hanyalah milik kami semata, jadi tidak perlulah engkau bertindak selayaknya engkau ada didekat kami. Usalah memohon, walau sebutir nasipun tak akan di peruntukan kepadamu. Tubuhmu berbau amis itu, saatnya dimusnahkan di tepian neraka itu.
Kisah-kisah para Nabi membangunkan aku dari episode mimpi menjelang azan subuh. Khayalan dan kisah dalam mimpimu hanya ilusi tanpa makna, Umatku. Pergilah dari tempat tidurmu dan tengoklah mereka yang terkapar di pinggiran kota mati itu. Lapindo Brantas membangkitkan heroik kemelaratan. Sebab disanalah keberadaan dirimu sesungguhnya.
“Adanya mereka, maka aku ada”. Penderitaan dan kemelaratan akibat ulah kaum rakus itu kesalahan tak dapat di ampuni. Sang Mahatma mengulurkan tangannya dari Tanah Hindustani, jangan terlalu banyak bermimpi, nanti engkau tidak dewasa dan jangan terlalu banyak menghayal nanti membuat engkau malas anakku”. Aku terus bertanya-tanya, siapa yang benar dan bijak sesungguhnya? Antara mereka, para Nabi dan aku mempunyai tubuh yang sama, tetapi aku tahu kami memiliki kasih sayang yang berbeda. Kasih sayang tanpa mengharapkan balas kasih dan harapan.
Sang waktu menjadi penguasa dari segala yang ada. Yang berkuasa teristimewa bagi mereka yang kuat. Kaum lemah menjadi kuda betina yang tetap nikmat untuk di perkosa. Waktu tidak pernah menawarkan sebuah hidup baru. Di balik jendela, matahari telah menggambarkan, hari ini telah berbeda dengan hari kemarin. Tak perlu kamu berdiam diri selamanya. terdiam dalam ruang yang kedap udara yang penuh sesak itu duhai anak cucu Adam.
Percayalah waktu hanya mampu menawarkan semangat hidup baru yang beraneka ragam. Tancapkan motivasi hidupmu sedalam samudera Hindia. Dan kokohkan prinsip hidupmu, tengoklah Puncak Himalaya yang tetap menawarkan kejayaan abadi yang pada semua manusia untuk menaklukkannya. Banyak jalan untuk meraih kesuksessan dan kebahagiaan.
Indahnya malam yang disinari bulan dan bintang yang terhampar dilangit nan kelam. Mereka selalu menjadi temanku disaat sunyi dan sepi melanda diriku. Teman yang romantis dalam berbagi rasa dan derita. Episode demi episode telah aku lalui bersama Sang bintang dan rembulan datang silih berganti sembari kokohkan sejarah umat manusia, datangnya maut hanya urusan waktu kawan.
Kesucian menjadi benang merah dari kejujuran. Suci namun ternoda tak langsung mengaburkan kata akan kejujuran. Para filsuf terngiang dalam makam padang Arafah. Kehangatan matahari mendongkel semangatku dari rasa takut. Keringat menjalar dari sekujur tubuh sembari meniup aura baru yang menyala nyala, walaupun banyak virus yang menggerogoti tubuhku.
Hidup ini serupa pameran tekhnologi. Dimana para ahli fisika memamerkan kecanggihan hasil modifikasi teori yang telah di pelajari di bangku kuliah. Aneka rupa hasil ciptaan membuat para manusia berseru, hebat dan hebat Manusia kian tak berarti sama sekali. Dominasi materi atau uang atas harga diri ibarat kekuasaan para raja yang sulit di taklukkan. Itulah yang dinamakan percaturan nasib. Kekuasaan haruslah direbut, andai kita ingin berkuasa. Plato menawarkan kata kebenaran dari jiwa bukan realitas yang tergambar secara kasat mata.
Andai kita memiliki kehendak ingin berubah, maka jangan selamanya jalan di lorong yang gelap, saaatnya keluarlah untuk menemukan terang benderang. Ujar Sutan Takdir Alisjahbana, kedepankan akal dan pikiran agar kita menjadi manusia yang bebas dari kontrol ego dan nafsu semata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar