OTONOMI
DAERAH DAN KEBANGKITAN POLITIK IDENTITAS
DI
PROVINSI MALUKU UTARA
Oleh :Kamaruddin Salim
A.
LATARA
BELAKANG
Pasca rezim Orde Baru di bawah kendali Presiden Soeharto lengser dan
digantikan dengan Orde Reformasi, tuntutan pemekaran wilayah sebagai jawaban
atas ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah terutama daerah-daerah
yang jauh dari akses kekuasaan dan kebijakan menjadi marak. Dalam kurun waktu
10 tahun reformasi, telah terbentuk 16 provinsi baru menjadi 34 Provinsi dari
sebelumnya 17 Provinsi pada masa Orde Baru. Perubahan sistim pemerintahan
tersebut tentunya membawa implikasi terhadap konfigurasi politik di tingkatan
lokal. Distribusi kekuasaan ke tingkat lokal menjadikan kekuatan-kekuatan
primordial menjelma menjadi sebuah kekuatan politik dan menjadi penentu arah
kepentingan politik komunitas tertentu, baik berupa komunitas politik maupun
kelompok kepentingan lainnya. Kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat
lokal yang masih dipengaruhi oleh sistim primordial etnisitas menjadikan
politik identitas menjelma sebagai daya tawar dalam arena perpolitikan.
Lebih dari satu dekade, desentralisasi melalui otonomi
daerah berlangsung di negeri ini. Disamping dampak positif telah diberikan (seperti: kebebasan pers, kebebasan
berpendapat, dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreatvitas pemerintah daerah
dalam melakukan tata kelola pemerintahan, dan akses terhadap sumber-sumber
ekonomi), desentralisasi pula memberikan dampak yang negatif, seperti
lenggengnya politik uang (money poltics) dalam
praktik pemilihan kepala daerah (pilkada), tumbuh suburnya praktik shadow state da seking, ” meratanya” praktik KKN dan kanalisasi politik identitas
(etnik). Tentang dampak negatif tersebut, berbagai studi mempertegas bahwa
kebijakan desentralisasi dengan pilihan demokrasi liberatif telah menjadi pintu
masuk politik identitas. Yang menempatkan dominasi etnisitas tertentu terhadap
etnis lainnya di berbagai arena[1].
Pada penghujung tahun 90-an, peristiwa pahit menimpa
negeri ini di arena sosial. Etnik Madura menjadi korban kekerasan komunal dan
secara paksa harus meninggalkan Sambas-Kalimantan Barat. Pada waktu yang bersamaan
etnik BBM (Bugis, Buton dan Makassar) dengan berat hati dan keterpaksaan harus
meninggalkan Ambon yang dilanda perang etnoreligius. Di arena politik,
identitas entnik di(re)produksi sebagai isu putra daerah yang kebanyakan
dilakukan oleh elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politiknya.
Tentang hal ini Eindhoven dengan tegas menyatakan momentum reformasi telah
mengahantarkan elit lokal mengonsolidasikan kekuatan identitas [etnik] untuk
menolak kepala deerah yang berasal dari non-etniknya. Tukan Demikian halnya
fenomena pembentukan kabupaten baru, yaitu para elit etnik berupaya memisahkan
atau melepaskan diri dari kabupaten induknya dengan alasan distingsi sejarah
kebudayaan, agama dan etnisnya.
Hal yang tidak kalah rumitnya terjadi di arena ekonomi
politik lokal. Studi Tim LIPI mengindikasikan bahwa kepentingan pembangunan
yang paling berbahaya pascareformasi adalah ketimpangan antarkelompok
masyarakat dalam provinsi. Studi ini menemukan bahwa fenomena disitegrasi yang
merebak lebih berkaitan dengan ketimpangan antarkelompok dalam provinsi
ketimbang ketimpangan yang terjadi antardaerah, antara Jawa dan Luar Jawa, atau
antar provinsi. Menyikapi hal tersebut, Damanhuri mengingatkan kemunculan
kelompok gerakan kedaerahan ini di era otonomi daerah ditegakan secara sosial,
ekonomi, dan budaya, serta adanya kepastian dan rasa keadilan hukum serta
pemerintahan. Atas peringatan Damanhuri tersebut perlu ada pemahaman serta
menjawab melalui upaya untuk memotret lebih dekat kondisi objektif [heterogenitas]
identitas etnik ketika berlangsungnya kebijakan desentralisasi. Sejauh ini
kebijakan desentralisasi telah memberikan peluang tampilnya politik identitas
etnik yang terus di(re)produksi aktor
atau elit lokal, sehingga mengakibatkan terjadinya oportunity loss. Oportunity
loss dimaksudkan sebagai dampak dari tindakan elit atau aktor yang secara
sadar dikonstruksi untuk membuka kesempatan mendominasinya etnik tertentu dan sebaliknya, terdominasinya etnis lain[2].
Otonomi daerah merupakan
perbincangan hangat setelah jatuhnya rezim militer Orde Baru yang represif.
Transformasi politik reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberikan dua
kenyataan yang berhimpitan sekaligus berbeda satu sama lainnya. Pertama,
reformasi berhasil membangkitkan harapan akan kehidupan yang lebih demokratis,
tapi menghadirkan situasi anarkis di sisi yang lain. Tuntutan yang kuat akan
demokrasi muncul sebagai akibat atas hilangnya civil liberties dan political
right pada ’dua demokrasi’ sebelumya (demokrasi terpimpin dan demokrasi
pancasila), sedangkan situasi anarkis hadir sebagai manifestasi agresif dari
rasa putus asa dan ketidakberdayaan masyarakat sebagai individu ketika
berhadapan dengan ’struktur’ yang arogan, represif, dan diskriminatif. Kedua,
pertentangan elit dan pertikaian etnis (yang diselimuti nuansa keagamaan)
sampai permasalahan konsolidasi demokrasi menjadi ketegangan yang muncul dalam
arena kehidupan keseharian warga, terutama saat pemerintah mengeluarkan
Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian di
revisi menjadi UU Nomor 32/2004). Melalui kebijakan tersebut, ketegangan mulai
muncul dalam berbagai aspek sosiopolitik daerah. Masyarakat daerah melalui
kebijakan ini mendapatkan kekuatan dan legitimasi untuk membangkitkan kembali
‘rasa’ keputeradaerahan mereka.
Kebebasan yang
diinginkan untuk individu dan daerah merupakan persyaratan demi kemajuan.
Kemajuan individu diharapkan menghasilkan kemajuan tidak semata untuk individu
bersangkutan, tetapi bagi masyarakat secara keseluruhan. Individu-individu yang
berkembang akan dapat membawa kemajuan bagi individu-individu yang hanya
berarti masyarakat sebagai sebuah kesatuan. Hal yang sama pula berlaku untuk
daerah-daerah yang memiliki otonomi. Kemajuan daerah demi bangsa secara
keseluruhan. Jadi dasar pemikirannya dalah kemajuan-kemajuan haruslah dimulai
dari berkembanngnya kemandirian individu (dalam demokrasi) dan daerah (dalam
otonomi daerah)[3].
Kaitan antara otonomi daerah dan pilkada langsung dapat
dilihat dari tujuan desentralisasi dan otonomi daerah. Menurut Smit, tujuan
dari desentralisasi atau otonomi daerah adalah. (1). Pendidikan politik, (2).
Latihan kepemimpinan, (3). Memelihara stabilitas, (4). Mencegah konsentrasi
kekuasaan di tingkat pusat, (5). Memperkuat akuntabilitas; dan (6). Meningkatkan
kepekaan elit terhadapa kebutuhan masyarakat. Berdasarkan tujuan dari
desentralisasi tersebut, maka pilkada langsung pada gilirannya akan memberikan
pendidikan politik kepada rakyat di daerah untuk memilih pemimpinnya sendiri
tanpa adanya intervensi dari siapapun, termasuk pemerintah pusat. Melalui
pilkada langsung pula akan memberikan latihan kepemimpinan bagi elit-elit lokal
dalam mengembangkan kecakapannya dalam merumuskan dan membuat kebijakan,
mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat, komunikasi politik dengan
masyarakat, serta melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat.
Dari pengalaman-pengalaman ini pada gilirannya nanti diharapkan mampu
melahirkan politisi-politisi atau pemimpin-pemimpin yang handal yang dapat
bersaing di tingkat nasional[4].
Dengan pilkada langsung akan dapat mencegah konsentrasi
kekuasan karena kekuasaan tidak lagi di pusat tetapi di daerah-daerah.
Distribusi kekuasaan, kesetaraan politik dan partisipasi politik akan
mengurangi kemungkinan konsetrasi kekuasaan. Pilkada lansgung pula dalam rangka
meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala
daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah selama ini cenderung menciptakan
ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD. Dampaknya, kepala daerah lebih
bertanggungjawab kepada DPRD daripada ke masyarakat. Dampak lebih lanjut adalah
terjadinya kolusi dan money politics,
khususnya pada setiap proses pemilihan kepala daerah, antara calon dengan
anggota DPRD[5].
Perubahan konfigurasi sistem politik dan pemerintahan di
Indonesia ditandai dengan pergeseran sistem pemerintahan dari mekanisme
sentralistik ke sistem yang lebih terdesentralisasi. Salah satu manifestasinya
adalah disambut meriahnya implementasi otonomi daerah di tiap-tiap lokal dengan
pemekaran daerah. Wacana politik lokal
Indonesia tentunya memiliki kompleksitas yang luar biasa. Betapa tidak,
kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi sebuah
kekuatan politik yang mampu mempengaruhi aktifitas politik di daerah yang di
satu sisi menjadi penentu kemenangan atas kepentingan politik dari komunitas
tertentu, baik berupa komunitas politik maupun kelompok kepentingan lainnya[6].
Kesatuan budaya selama ini diagung-agungkan dan dijaga
dengan sangat sentralistis oleh negara. Namun, begitu negara tidak kuat lagi
melakukan kontrolnya, etnisitas muncul sebagai identitas diri yang melekat
dengan sebuah wilayah. Secara politik, etnisitas menjadi persoalan serius di
Indonesia tatkala sentralisasi ambruk, menjadi desentralisasi yang melahirkan
batas-batas administrasi politik baru. Kemudian muncul kembali keinginan untuk
mempunyai kedaulatan di daerahnya atau house
culture. Tidak heran kalau kemudian sering kali muncul rengekan yang
mempertanyakan siapa yang menjadi tuan rumah di suatu wilayah. Atau, sering
kali muncul pernyataan bahwa kamilah yang seharusnya menjadi tuan rumah di
daerah ini.[7]
Daerah sebagai
panggung politik telah menjadi arena pertunjukan ”drama” politik bagi
masyarakat lokal, terutama dari para elitnya. Pada era sekarang ini, peristiwa
Pemilukada tak kurang menariknya dengan Pemilu Nasional. Bahkan dalam hal-hal
tertentu, peristiwa Pemilukada Nampak lebih sensitive dan menarik untuk dikaji
dari Pemilu Nasional. Ketika ditetapkan pemilihan langsung di berbagai daerah,
hampir setiap pesta demokrasi di daerah selalu diwarnai konflik, ketegangan dan
berbagai dinamika politik yang lebih keras dan tajam. Kebijakan desentralisasi
kekuasaan yang kini telah berlangsung kemudian berjalan semakin menarik ketika
bersentuhan dengan budaya-budaya lokal di berbagai daerah Indonesia yang
jenisnya plural. Langgam dan budaya di daerah tidak semata menjadi ornamen,
melainkan justru menjadi penentu karakter demi berlangsungnya dramatika politik
lokal, termasuk praktik demokrasi di daerah. Sebab, berbagai corak ketegangan,
persaingan, konflik dan jenis dinamika dari praktik demokrasi di daerah itu
tentunya dipengaruhi oleh kultur dan tradisi setempat[8].
Potensi besar yang dimiliki kekuatan etnisitas di tingkat
lokal tentunya dipengaruhi oleh
kepentingan politik nasional, di mana untuk meloloskan kepentingannya, isu etnisitas
dipandang mempunyai peluang untuk itu. Proses penggarapan dukungan massa
menjadi target utama propaganda elit sehingga isu etnisitas tersebut terus
direproduksi dan dimainkan secara masif. Salah satu persoalan yang muncul sebagai implikasi dari
menguatnya isu etnisitas adalah karena adanya perasaan sentimen etnis tertentu
atas berkuasanya etnis lain disuatu wilayah, sehingga mereka merasa
terpinggirkan dalam wilayah ekonomi maupun politik. Keterbatasan akses tersebut
mendorong masyarakat untuk melakukan upaya pengkonsolidasian identitas, yang
kemudian memilih etnis sebagai kendaraan untuk mempertahankan eksistensinya. Daerah yang kerap
melakukan proliferasi adalah Papua, Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku (Maluku
Utara), Kalimantan Tengah dan Sulawesi. Semua daerah ini merupakan daerah yang
sangat plural dilihat dari aspek etnis (suku) dan agama, selain itu memiliki
potensi sumber daya alam yang besar serta bermanfaat untuk menopang kehidupan
daerah. Di samping itu, daerah lainnya seperti Papua, Maluku (Maluku Utara),
Sulawesi dan Kalimantan Tengah, yang dapat dimasukan ke dalam wilayah Indonesia
Bagian Timur (IBT) memiliki ciri tingkat kesukuan yang tinggi. Menurut Tamrin
Amal Tomagola , Indonesia memiliki lebih kurang 656 suku dan 547 suku di
antaranya tinggal di IBT. Jika komposisi ini dikaitkan dengan kuantitas
pemekaran di IBT, ada kesan pemekaran di IBT disebabkan oleh kemajemukan ini[9].
B.
ANALISIS
Menjadi sesuatu yang menarik untuk
dilihat, karena kemunculan isu etnis terjadi dalam ritme masif semata pada hajatan-hajatan yang bernuansa
politis. Setelah masa tersebut dilewati, isu etnis pun mereda dengan
sendirinya. Proses Politik
Identitas dalam pilkada Maluku Utara menjadi gambaran kongkrit atas dinamika politik
etnisitas tersebut. Pada Prosesi pemilihan gubernur Maluku Utara tahun 2014 dan Pilkada MALUT pada tahun 2014 mendorong semangat identitas dalam bentuk etnis menguat ke
permukaan dengan maraknya isu pemekaran Kepulauan Obi berpisah dari Kabupaten Halmahera Selatan serta Issue
Penetapan Ibukota Provinsi Maluku Utara Sofifi dinaikan stautsnya menjadi
Kotamadya lepas dari Kota Tidore Kepulauan. Beberapa rentang tahun
di saat prosesi konsesi kepemimpinan usai, isu Ibukota Provinsi serta isu pemekaran menjadi mereda
pula. Namun saat ini dikarenakan oleh akan diadakannya Pilkada MALUT pada 2014 isu etnis pun menjadi menguat kembali.
Provinsi Maluku
Utara yang terdiri Pulau
Tidore yang dihuni etnis Tidore, Pulau
Ternate, yang dihuni etnis Ternate, Pulau Bacan yang dihuni Etnis Bacan, Pulau Makean yang dihuni
Etnis Makean, Pulau Moti yang dihuni Etnis Moti, pulau Sanan yang dihuni oleh etnis Sanana serta satu pulau besar yaitu pulau Halamahera
yang di huni oleh beragam etnis selain 4 etnis besar seperti Tidore,
Ternate, Makean dan Sanana. Disamping itu etnis besar tersebut, ada pula etnis
lain yang mendiami pulau Halmahera yaitu, etnis Jaololo, Tobelo, Sangir, Buli,
Patani, Kayoa, Maba, Sawai, Weda, Tobaru, Gane, Loloda, Kadai, Galela, Kayoa,
Ange, Siboyo, Kao, Makean, dan Sahu. Banyaknya sub etnis tersebut merupakan
suatu potensi yang kuat dan tangguh dalam mengangani pembangunan di Provinsi
Maluku Utara.
Provinsi Maluku Utara, merupakan daerah yang multietnik terdiri dari 28
sub etnis dengan 29 bahasa lokal. Mayoritas penduduknya di dominasi beragama
Islam yang yang mana terdapat 4 kerajaan Islam yang hingga saat ini masih
berjalan pemerintahannya. Corak kehidupan sosial-budaya masyarakat Maluku Utara
secara umum bercirikan perkawinan antar budaya lokal Maluku Utara dan budaya
Islam yang kuat berdasarkan nilai adat dan aturan yang diletakan oleh ke empat
kerajaan Islam di masa lalu.[10]
Gambaran adat yang berkembang dan menyatu dengan nilai dasar kehidupan
masyarakat mencerminkan tingginya penghargaan mereka pada alam sekitar yang
telah memberikan sumber daya alam yang potensial bagi kehidupan masyarakat,
Ternate dan Maluku Utara secara umum. Beberapa gambaran adat yang tertulis di
atas merupakan bagian dari adat kedato,
adat istana yang wajib dilaksanakan sebagai adat masyarakat. Bahkan dalam
melaksanakan adat joko kaha (injak
gunung), masyarkaat wajib mengikuti tata cara serta mempergunakan adat dan
sesajian yang sama dengan yang dilaksanakan di Istana[11].
Provinsi Maluku
Utara terbentuk dengan Undang-undang No. 46 tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999
dan diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1999, Provinsi ini merupakan hasil
pemerkaran dari Wilayah Provinsi Maluku. Ibukota Provinsi Maluku Utara yang defenitif adalah
di Sofifi Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera
Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten
Halmahera Tengah dan kabupaten Kepulauan Sula, Kota Ternate dan Kota Tidore
Kepulauan[12].
Secara administrasi terbagi menjadi 6 wilayah Kabupaten dan 2 wilayah
Kota, yaitu Kabupaten sejak wilayah Provinsi MALUT dibentuk dan terpisah dari Provinsi
Maluku. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor
menguatnya isu politik
etnis di Provinsi Maluku Utara. Selain faktor-faktor
normatif tentang Pemekaran
seperti akses informasi
dan administrasi dan ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota yang ada di Provinsi MALUT, penulis melihat faktor
politik etnis yang di boncengi oleh perebutan dan pembagian kekuasaan merupakan
faktor terbesar dari meluasnya isu politisasi identitas etnis pada setiap momentum politik seperti Pilkada
maupun Pilwako (Pemilihan Walikota). Indikatornya adalah pertarungan identitas etnis dalam momentum
politik tentunya berpijak pada latar belakang etnis atau latar belakang
daerahnya. Hal
tersebut tentunya dapat dipelajari dari sejak terbentuknya Provinsi Maluku
utara sejak 1999 silam serta resistensi konflik dalam setiap Pilkada Gubernur
Maluku Utara terus menerus terjadi. Resistensi konflik yang difokuskan pada
sentiment antar etnis tentunya bermuara pada pertarungan kursi kekuasaan di
pemerintahan, dan etnis yang dapat dikatakan dominan dalam pertarungan tersebut
adalah etnis Makean, Tidore, Ternate dan Sanana serta Togale (Tobelo dan Galelal),
yang mengalami perkembangan kesiapan Sumber Daya Manusia yang ikut andil dalam
dinamika politik di Maluku Utara. Hal ini terbukti dengan terpilihnya KH. Abdul
Gani Kasubah, dianggap sebagai repseentasi mewakili Togale dan Tidore.
Untuk melihatnya lebih jelas dan
komprehensif mengenai dinamika politik etnisitas dalam perebutan kekuasaan
tersebut, penulis kemudian merasa penting untuk meneliti lebih dalam tentang
masalah tersebut dengan mengangkat judul “Politik Identitas (Analisa Tentang
Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Pemilukada Gubernur Maluku Utara. Thesis yang coba dikemukakan dalam
tulisan ini adalah: terdapat korelasi positif antara menguatnya Politik etnis
dalam Struktur Pemerintahan Provinsi Maluku Utara dengan perebutan kekekuasaan serta posisi status sosial dalam
masyarakat.
Disamping itu cara
pandang distortif ini dapat menjadi mindset
para politisi dan birokrat warisan Orde Baru yang mengharamkan entitas politik
otonom yang bersifat lokal dan partai politik lokal. Padahal pemilihan kepala
daerah secara lamgsung sangat jelas merupakan pemilu lokal yang diikuti oleh
partai-partai lokal meskipun partai-partai tersebut merupakan partai-partai
yang terpusat di tingkat nasional[13]. Menurut Henk Shulte Nordholt dan Gerry Van Klinken dalam tema identitas-identitas yang tengah dibangun,
menguraikan bahwa di akhir tulisan ini mengamati diskusi-diskusi mengenai
idntitas-identitas regional yang dibangun dengan batu bata yang dibuat dari
etnisitas, agama, adat istiadat dan adukan semen diambil dari kebudayaan
seminar kelas menengah di seluruh Nusantara sedang mengahdapi
perubahan-perubahan politis dan ekonomi yangs angat cepat, para intelektual
daerah berusaha mengkonspetualkan siapa diri mereka, dan bagaimana mereka
berhubungan dengan Indonesia masa kini. Meski desentralisasi belum menghasilkan
munculnya identitas lokal yang kuat, di beberapa wilayah dengan preseden
ketegangan etnis dan agama, ada kemungkinan para elite dominan lokal akan
memainkan politik identitas demi kepentingan sendiri. Mereka bisa menggunakan
instrumen-instrumen demokrasi untuk membakar sentimen massa dalam kerangka
penguatan politik identitas. Beberapa kemelut di sekitar pemilihan kepala
daerah selama ini membuktikan gejala seperti itu mulai muncul sebagai pola
perebutan pengaruh dan perang legitimasi, untuk meraih jabatan kekuasaan lokal[14].bahan
yang terjadi. Elit-elit baru (elit politik dan elit pemerintahan) yang ada di
Maluku Utara saat ini, sebahagian dari mereka sebenanya masih merupakan
elit-elit tradisional (kesultanan, tokoh agam, dan tokoh masyarakat) Maluku
Utara yang menjelma dan menyesuaikan diri sebagai elit baru.
Menurut Kristianus,
politik Identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan politik berdasarkan
identitas etnis maupun agama. Perjuangan politik identitas pada dasarnya ialah
perjuangan kelompok atau orang-orang pinggiran (periferi), baik secara politik,
sosial, maupun budaya dan ekonomi. Kristianus mengutip Lukmantoro, politik
identitas ialah tindakan politik untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan
anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik berdasarkan pada ras, etnisitas, jender, atau agama[15].
Memahami apa yang
diutarakan oleh Kristianus, merupakan satu pandangan bahwa perebutan kekuasaan
di daerah tentunya menjadi motivasi terbesar dari kalangan elit politik di
daerah dengan menggunakan berbagaimacam cara untuk mencapai hasrat untuk
berkuasa. Setidaknya dalam kasus Pilkada Maluku Utara, dapat dipahami sebagai
satu perseteruan politik identitas yang terus terjadi pasca bergulirnya
reformasi. Dan tidak semata elit parpol yang mendorong akan adanya politisasi
etnis dalam menghegemoni partisapsi politik maupun proses pemilihan Gubernur.
Tetapi Lembaga Penyelnggara Pemilu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dinilai mengintervensi
proses Pilkada Gubernur. Hal ini dinilai oleh KPU Pusat sebagai ketidakmampuan
KPUD dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik, menurut pasal
122 ayat (3) UU No.22 tahun 2007 tentang penyelenggaran pemilu[16].
Oleh karena itu, Politik
identitas berbeda dengan nasionalisme, dalam ruang lingkup bangsa (nation), kehadiran politik identitas
menciptakan tekanan-tekanan dari kaum reduksionis (reductionist), sehingga dapat memperlemah identifikasi individu
sebagai anggota dari suatu bangsa, sebagai contoh, seseorang merasa dirinya
sebagai anggota kelompok minat yang sama terlebih dahulu, dan berikutnya baru
memperhatikan kebutuhan negara dan masyarakat yang lebih luas. Sebagaimana
makna yang terkandung dalam politik, maka politik identitas esensinya adalah
upaya untuk mencapai kekuasaan tertentu dalam kehidupan dan panggung politik,
di mana pengakuan dan keberadaan wakil-wakil dari kelompok etnis merupakan
bagian penting dari perjuangan politik yang dilakukan demi kepentingan kelompok
enisnya.[17]
Dalam strudi otonomi daerah, etnosntrisme atau paham yang
berpusat kepada kelompok masyarakat setempat dalam pengelolaan pemerintahan
lokal, sebetulnya merupakan fenomena normal. Byrne mengungkapkan pemerintahan
lokal menjadi efisien, karena pejabatnya berasal dari masyarakat setempat,
sehingga memiliki local knowledge dan
komitmen terhadap local area dan local people.
Hal ini sejalan dengan Miles’s law of
Politics and Administration yang
menegaskan “where you sit where you
stand”. Bringham. Pemerintah lokal juga menjadi lebih dipercaya oleh
masyarakat setempat, karena mereka lebih dekat, lebih bertanggungjawab, dan
lebih mampu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat setempat (Osborne dan
Geabler). [18].
Dalam hubungan ini,
Brown mengatakan bahwa identitas kelompok menjujung konstruksi sosial untuk
mempromosikan keterwakilan kepentingan kelompoknya. Perilaku sosial politik
menjadi terkait dengan identitas kelompoknya untuk pada suatu momen tertentu
dibangkitkan demi kepentingan kelakulompok. Sedangkan menurut Suparlan,
identitas atau jati diri itu muncul dan ada dalam interaksi. Seseorang
mempunyai jati diri tertentu karena diakui keberadaannya oleh orang lain dalam
suatu hubungan yang berlaku. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka tampak bahwa
seseorang atau sekelompok orang membutuhkan jati diri untuk digunakan dalam
setiap interaksi. Pelaku mengambil sesuatu posisi. Selanjutnya berdasarkan atas
posisi tersebutsi pelaku menjalankan perannya sesuai dengan corak atau struktur
interaksi yang berlangsung. Di dalam kenyataan sehari-hari, setiap orang yang
memiliki lebih dari satu jati diri. Artinya, semakin banyak peranan yang
dijalankan dalam kehidupan sosial seseorang, maka yang bersangkutan akan
semakin banyak pula jati diri yang dimilikinya.[19]
Bila dipahami bahwa cara
pandang distortif ini dapat menjadi mindset
para politisi dan birokrat warisan Orde Baru yang mengharamkan entitas politik
otonom yang bersifat lokal dan partai politik lokal. Padahal pemilihan kepala
daerah secara lamgsung sangat jelas merupakan pemilu lokal yang diikuti oleh
partai-partai lokal meskipun partai-partai tersebut merupakan partai-partai
yang terpusat di tingkat nasional[20]. Menurut Henk Shulte Nordholt dan Gerry Van Klinken dalam tema identitas-identitas yang tengah dibangun,
menguraikan bahwa di akhir tulisan ini mengamati diskusi-diskusi mengenai
idntitas-identitas regional yang dibangun dengan batu bata yang dibuat dari
etnisitas, agama, adat istiadat dan adukan semen diambil dari kebudayaan
seminar kelas menengah di seluruh Nusantara sedang mengahdapi
perubahan-perubahan politis dan ekonomi yangs angat cepat, para intelektual
daerah berusaha mengkonspetualkan siapa diri mereka, dan bagaimana mereka
berhubungan dengan Indonesia masa kini. Meski desentralisasi belum menghasilkan
munculnya identitas lokal yang kuat, di beberapa wilayah dengan preseden
ketegangan etnis dan agama, ada kemungkinan para elite dominan lokal akan
memainkan politik identitas demi kepentingan sendiri. Mereka bisa menggunakan
instrumen-instrumen demokrasi untuk membakar sentimen massa dalam kerangka
penguatan politik identitas. Beberapa kemelut di sekitar pemilihan kepala
daerah selama ini membuktikan gejala seperti itu mulai muncul sebagai pola
perebutan pengaruh dan perang legitimasi, untuk meraih jabatan kekuasaan lokal[21].bahan
yang terjadi. Elit-elit baru (elit politik dan elit pemerintahan) yang ada di
Maluku Utara saat ini, sebahagian dari mereka sebenanya masih merupakan
elit-elit tradisional (kesultanan, tokoh agam, dan tokoh masyarakat) Maluku
Utara yang menjelma dan menyesuaikan diri sebagai elit baru.
Disamping itu, ada faktor perubahan lingkungan yang terjadi
di Maluku Utara, dari zaman kesultanan, lalu kemudian memasuki zaman
kemerdekaan dengan sistem pemerintahan yang demikratis dan status Maluku Utara
yang berubah menjadi Kabupaten, yang kemudian pada 1999 menjadi Provinsi Maluku
Utara, memaksa elit-elit lokal untuk menyesuaikan diri dengan perubahan
elit-elit lokal Maluku Utara pula terjadi pada tingkatan arena untuk mencapai
posisi eksekutif di Maluku Utara. Dari zaman kesultanan di mana posisi seorang
pemimpin masyarakat dan pemerintahan adalah sultan, yang diperoleh dengan cara
garis keturunan dan proses demokrasi (seperti di Kesultanan Tidore). Kemudian
berubah ketika memasuki zaman kemerdekaan, di mana dilembaga kesultanaan tetap
dipertahankan tetapi bukan sebagai penyelenggara pemerintahan. Pemerintahaan di
Maluku Utara kemudian dijalankan oleh seorang kepala daerah (bupati, gubernur)
yang dipilih secara demokratis dan masyarakat berhak menclonkan dirinya.
Perubahan zaman dan tentunya arena konstetasi inilah yang juga diikuti oleh
elit-elit lokal yang ada di Maluku Utara untuk menunjukkan eksistensi mereka
ditengah-tengah masyarakat. Namun, pada kenyataannya tidak semua elit lokal
dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, banyak terdapat juga
elit lokal yang harus tergerus karena tidak dapat untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan zaman dan arena konstestasi yang berlangsung di Maluku Utara[22].
C.
KESIMPULAN
Bergulirnya reformasi
dan semangat otonomi daerah di indonesia, memberi perubahan yang besar dinamika
politik dan sosial-budaya di seluruh penjuru tanha air. Reformasi menjadi inti
klimaks dari kefakuman demokrasi yang sama sekali tidak diberi praktiknya oleh
Orde baru sehingga proses perkembangannya sulit dibedung. Di samping itu,
kebijakan pemerintahan yang selama ini dalam praktik sentralisasi sehingga
reformasi memberi ruang terbuka dalam proses desentralisasi. Ini menjadi awal
baru bagi daerah dan seluruh rakyat indonesia.
Namun, dalam
perkembangannya menimbulkan berbagai persoalan yang terus terjadi. Mulai dari
persoalan bertambahnya kesenjangan ekonomi dan politik di daerah induk pasca
pemekaran dan memunculkan sentimen etnisitas (etnosntrisme) di dalam masyarakat
di berbagai daerah. Salah satu contoh yang kongktrit terjadi di Provinsi Maluku
Utara. Maluku Utara sebagai Provinsi, yang memiliki beragam etnis dan budayanya
mendapat tantangan yang berat dalam perkembangannya. Di mana, maraknya sentimen
etnis dan politik etnisitas dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat. Hal
ini, tentunya berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan pembangunan di
Maluku Utara sendiri. Salah satu persoalan yang hingga saat ini masih terjadi
atau dapat ditemui dalam berbagai aspek dalam masyarakat dan bahkan dalam
struktur birokrasi pemerintahan dari Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Buah dari otonomi
daerah di Maluku Utara, menurut penulis, adalah lahirnya semangat politik
identitas etnis yang sulit dibendung serta sentimen marga yang mewabah sampai
dalam birokrasi pemerintahan. Di lahin pihak, praktik Kolusi, dan Nepotisme
semacam ini telah dianggap biasa dalam masyarakat dan birokrasi. Harpan baik
melalui semangat desentralisasi in9 memberi ruang baru serta perubahan baru dalam
kehidupan masyarakat, ternyata tidak dipahami secara utuh dan menyeluruh
berdasarkan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, kebangkitan politik
etnisitas etnis di Maluku Utara, akan mendorong semangat kedaeraahaan (orang
kita) tentunya akan berpengaruh terhadap proses demokrasi dan keadilan dalam
masyrakat. Karena aspek kebebasan dan kompetisi secara sehat dalam mengakses
berbagai macam ruang dan pekerjaan di Maluku Utara akan terkooptasi dalam term
“orang kita” dan sentimen keaderahan serta marga yang mengabaikan aspek
kualitas dan kompetensi diri yang cerdas dan berintegritas. Bila hal ini terus
terjadi maka, konflik di dalam masyarakat yang memiliki keberagaman etnis dan
marga tersebut dapat terjadi kapanpun.
[1] . Sofyan Sjaf. Politik Etnik. Dinamika Politik Lokal di
Kendari. (Jakarta: Yayasan Obob Indonesia. 2014). Hlm. 1
[2] . Ibid. Hlm. 2-3
[3]. Maswadi Rauf, Pemerintahan dan Konflik Horizontal. Dalam
Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. (Jakarta: AIPI
bekerjasama dengan Patnership dor Governance Reform in Indonesia (PGRI). 2002).
Hlm. 147
[4] . Lili Romli. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di
Tingkat Lokal. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007). Hlm. 330
[5] . Ibid. Hlm. 331
[6].Ninuk Kleden-Probonegoro. Ekspresi Karya (Seni) dan Politik
Multikultural. Sebuah Pengantar. http://www.jai.or.id/jurnal/2004/75/02ktp_nnk75.pdf. Di
akses tanggal 20 Oktober 2014.
[7].http://www.kompas.com/kompas-cetak/0410/30/Politikhukum/1355443.htm. Diakses tanggal 20
Oktober 2014.
[8] . H. Abdul Halim. Politik Lokal, Pola Aktor dan Alur
Dramatikal. Perspektif Teori Powercube, Modal dan Panggung. (Yogyakarta:
LP2B. 2014). Hlm. 159-160
[9].Leo Agustino dan Mohammad Agus Yussof. Proliferasi dan Etno-Nasionalisme daripada
Pemberdayaan dalam Pemekaran Daerah di Indonesia Bisnis
& Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Sept—Des 2008, hlm.
196-201 Volume 15, Nomor 3. Hlm. 198
[10] . www.dephut.go.id/22/10/2014
[11] . M. Tahir Sapsuha, Pendidikan Pasca Konflik. Pendidikan
Multikultural berbasis Konseling Budaya Masyarakat Maluku Utara. (Yogyakarta:
LKIS. 2013). Hlm. 89
[12] . Matri Karno. Wordpress.com. Sumber-sumber Konflik di Maluku Utara.
1999-2004.
[13] . Syamsudin Haris. Pilkada langsung dan Dilema Penguatan Demokrasi
di Indonesia Pasca-Sooeharto.Dalam Jurnal Ilmu Politik. Pilkada Langsung
dan Masa Depan OTDA. (Jakarta: AIPI.2006). Hlm. 57
[14]. Henk
Shulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Editor: Politik Lokal di Indonesia.(Jakarta: Kerjasama KITLV dan Yayasan Obor
Indonesia.2014). Hlm. 39
[15] . Sri Astuti Buchari. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas,
hlm. 18
[16]. Riri Nazriyah. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah. Studi
Kasus Pemilihan Gubernur di Maluku Utara. Dalam Jurnal Hukum. No. 2. Vol.
15 April 2008). Hlm. 282
[17]. Ibid. hlm. 21-22
[18]
Djohermansyah Djohan, Merajut Otonomi Daerah, Pada Era Reformasi
(Kasus Indonesia. (Jakarta: IKPTK. 2014). Hlm. 95-96.
[19] . Ibid. hlm. 22-23
[20] . Syamsudin Haris. Pilkada langsung dan Dilema Penguatan
Demokrasi di Indonesia Pasca-Sooeharto.Dalam Jurnal Ilmu Politik. Pilkada
Langsung dan Masa Depan OTDA. (Jakarta: AIPI.2006). Hlm. 57
[21]. Henk
Shulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Editor: Politik Lokal di Indonesia.(Jakarta: Kerjasama KITLV dan Yayasan
Obor Indonesia.2014). Hlm. 39
[22] . Rusdi J.Abbas, Demokrasi di Aras lokal. Praktik Politik
Elit Lokal di Maluku Utara. (Yogyakarta: Cerahmedia. 2013). Hlm. 158
Tidak ada komentar:
Posting Komentar