Laman

Rabu, 18 Mei 2016

OTONOMI DAERAH DAN KEBANGKITAN POLITIK IDENTITAS
DI PROVINSI MALUKU UTARA
Oleh                            :Kamaruddin Salim    

A.                LATARA BELAKANG
Pasca rezim Orde Baru di bawah  kendali Presiden Soeharto lengser dan digantikan dengan Orde Reformasi, tuntutan pemekaran wilayah sebagai jawaban atas ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah terutama daerah-daerah yang jauh dari akses kekuasaan dan kebijakan menjadi marak. Dalam kurun waktu 10 tahun reformasi, telah terbentuk 16 provinsi baru menjadi 34 Provinsi dari sebelumnya 17 Provinsi pada masa Orde Baru. Perubahan sistim pemerintahan tersebut tentunya membawa implikasi terhadap konfigurasi politik di tingkatan lokal. Distribusi kekuasaan ke tingkat lokal menjadikan kekuatan-kekuatan primordial menjelma menjadi sebuah kekuatan politik dan menjadi penentu arah kepentingan politik komunitas tertentu, baik berupa komunitas politik maupun kelompok kepentingan lainnya. Kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat lokal yang masih dipengaruhi oleh sistim primordial etnisitas menjadikan politik identitas menjelma sebagai daya tawar dalam arena perpolitikan.
Lebih dari satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di negeri ini. Disamping dampak positif telah diberikan  (seperti: kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreatvitas pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pemerintahan, dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi), desentralisasi pula memberikan dampak yang negatif, seperti lenggengnya politik uang (money poltics) dalam praktik pemilihan kepala daerah (pilkada), tumbuh suburnya praktik shadow state da seking, ” meratanya” praktik KKN dan kanalisasi politik identitas (etnik). Tentang dampak negatif tersebut, berbagai studi mempertegas bahwa kebijakan desentralisasi dengan pilihan demokrasi liberatif telah menjadi pintu masuk politik identitas. Yang menempatkan dominasi etnisitas tertentu terhadap etnis lainnya di berbagai arena[1].
Pada penghujung tahun 90-an, peristiwa pahit menimpa negeri ini di arena sosial. Etnik Madura menjadi korban kekerasan komunal dan secara paksa harus meninggalkan Sambas-Kalimantan Barat. Pada waktu yang bersamaan etnik BBM (Bugis, Buton dan Makassar) dengan berat hati dan keterpaksaan harus meninggalkan Ambon yang dilanda perang etnoreligius. Di arena politik, identitas entnik di(re)produksi sebagai isu putra daerah yang kebanyakan dilakukan oleh elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan politiknya. Tentang hal ini Eindhoven dengan tegas menyatakan momentum reformasi telah mengahantarkan elit lokal mengonsolidasikan kekuatan identitas [etnik] untuk menolak kepala deerah yang berasal dari non-etniknya. Tukan Demikian halnya fenomena pembentukan kabupaten baru, yaitu para elit etnik berupaya memisahkan atau melepaskan diri dari kabupaten induknya dengan alasan distingsi sejarah kebudayaan, agama dan etnisnya.
Hal yang tidak kalah rumitnya terjadi di arena ekonomi politik lokal. Studi Tim LIPI mengindikasikan bahwa kepentingan pembangunan yang paling berbahaya pascareformasi adalah ketimpangan antarkelompok masyarakat dalam provinsi. Studi ini menemukan bahwa fenomena disitegrasi yang merebak lebih berkaitan dengan ketimpangan antarkelompok dalam provinsi ketimbang ketimpangan yang terjadi antardaerah, antara Jawa dan Luar Jawa, atau antar provinsi. Menyikapi hal tersebut, Damanhuri mengingatkan kemunculan kelompok gerakan kedaerahan ini di era otonomi daerah ditegakan secara sosial, ekonomi, dan budaya, serta adanya kepastian dan rasa keadilan hukum serta pemerintahan. Atas peringatan Damanhuri tersebut perlu ada pemahaman serta menjawab melalui upaya untuk memotret lebih dekat kondisi objektif [heterogenitas] identitas etnik ketika berlangsungnya kebijakan desentralisasi. Sejauh ini kebijakan desentralisasi telah memberikan peluang tampilnya politik identitas etnik yang terus di(re)produksi  aktor atau elit lokal, sehingga mengakibatkan terjadinya oportunity loss. Oportunity loss dimaksudkan sebagai dampak dari tindakan elit atau aktor yang secara sadar dikonstruksi untuk membuka kesempatan mendominasinya etnik tertentu  dan sebaliknya, terdominasinya etnis lain[2].
Otonomi daerah merupakan perbincangan hangat setelah jatuhnya rezim militer Orde Baru yang represif. Transformasi politik reformasi yang terjadi pada tahun 1998 memberikan dua kenyataan yang berhimpitan sekaligus berbeda satu sama lainnya. Pertama, reformasi berhasil membangkitkan harapan akan kehidupan yang lebih demokratis, tapi menghadirkan situasi anarkis di sisi yang lain. Tuntutan yang kuat akan demokrasi muncul sebagai akibat atas hilangnya civil liberties dan political right pada ’dua demokrasi’ sebelumya (demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila), sedangkan situasi anarkis hadir sebagai manifestasi agresif dari rasa putus asa dan ketidakberdayaan masyarakat sebagai individu ketika berhadapan dengan ’struktur’ yang arogan, represif, dan diskriminatif. Kedua, pertentangan elit dan pertikaian etnis (yang diselimuti nuansa keagamaan) sampai permasalahan konsolidasi demokrasi menjadi ketegangan yang muncul dalam arena kehidupan keseharian warga, terutama saat pemerintah mengeluarkan Undangundang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (kemudian di revisi menjadi UU Nomor 32/2004). Melalui kebijakan tersebut, ketegangan mulai muncul dalam berbagai aspek sosiopolitik daerah. Masyarakat daerah melalui kebijakan ini mendapatkan kekuatan dan legitimasi untuk membangkitkan kembali ‘rasa’ keputeradaerahan mereka.
Kebebasan yang diinginkan untuk individu dan daerah merupakan persyaratan demi kemajuan. Kemajuan individu diharapkan menghasilkan kemajuan tidak semata untuk individu bersangkutan, tetapi bagi masyarakat secara keseluruhan. Individu-individu yang berkembang akan dapat membawa kemajuan bagi individu-individu yang hanya berarti masyarakat sebagai sebuah kesatuan. Hal yang sama pula berlaku untuk daerah-daerah yang memiliki otonomi. Kemajuan daerah demi bangsa secara keseluruhan. Jadi dasar pemikirannya dalah kemajuan-kemajuan haruslah dimulai dari berkembanngnya kemandirian individu (dalam demokrasi) dan daerah (dalam otonomi daerah)[3].
Kaitan antara otonomi daerah dan pilkada langsung dapat dilihat dari tujuan desentralisasi dan otonomi daerah. Menurut Smit, tujuan dari desentralisasi atau otonomi daerah adalah. (1). Pendidikan politik, (2). Latihan kepemimpinan, (3). Memelihara stabilitas, (4). Mencegah konsentrasi kekuasaan di tingkat pusat, (5). Memperkuat akuntabilitas; dan (6). Meningkatkan kepekaan elit terhadapa kebutuhan masyarakat. Berdasarkan tujuan dari desentralisasi tersebut, maka pilkada langsung pada gilirannya akan memberikan pendidikan politik kepada rakyat di daerah untuk memilih pemimpinnya sendiri tanpa adanya intervensi dari siapapun, termasuk pemerintah pusat. Melalui pilkada langsung pula akan memberikan latihan kepemimpinan bagi elit-elit lokal dalam mengembangkan kecakapannya dalam merumuskan dan membuat kebijakan, mengatasi persoalan-persoalan di masyarakat, komunikasi politik dengan masyarakat, serta melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat. Dari pengalaman-pengalaman ini pada gilirannya nanti diharapkan mampu melahirkan politisi-politisi atau pemimpin-pemimpin yang handal yang dapat bersaing di tingkat nasional[4].
Dengan pilkada langsung akan dapat mencegah konsentrasi kekuasan karena kekuasaan tidak lagi di pusat tetapi di daerah-daerah. Distribusi kekuasaan, kesetaraan politik dan partisipasi politik akan mengurangi kemungkinan konsetrasi kekuasaan. Pilkada lansgung pula dalam rangka meningkatkan kualitas akuntabilitas para elit politik lokal, termasuk kepala daerah. Mekanisme pemilihan kepala daerah selama ini cenderung menciptakan ketergantungan kepala daerah terhadap DPRD. Dampaknya, kepala daerah lebih bertanggungjawab kepada DPRD daripada ke masyarakat. Dampak lebih lanjut adalah terjadinya kolusi dan money politics, khususnya pada setiap proses pemilihan kepala daerah, antara calon dengan anggota DPRD[5].  
Perubahan konfigurasi sistem politik dan pemerintahan di Indonesia ditandai dengan pergeseran sistem pemerintahan dari mekanisme sentralistik ke sistem yang lebih terdesentralisasi. Salah satu manifestasinya adalah disambut meriahnya implementasi otonomi daerah di tiap-tiap lokal dengan pemekaran daerah. Wacana politik lokal Indonesia tentunya memiliki kompleksitas yang luar biasa. Betapa tidak, kekuatan-kekuatan primordial di tingkat lokal telah menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang mampu mempengaruhi aktifitas politik di daerah yang di satu sisi menjadi penentu kemenangan atas kepentingan politik dari komunitas tertentu, baik berupa komunitas politik maupun kelompok kepentingan lainnya[6].
Kesatuan budaya selama ini diagung-agungkan dan dijaga dengan sangat sentralistis oleh negara. Namun, begitu negara tidak kuat lagi melakukan kontrolnya, etnisitas muncul sebagai identitas diri yang melekat dengan sebuah wilayah. Secara politik, etnisitas menjadi persoalan serius di Indonesia tatkala sentralisasi ambruk, menjadi desentralisasi yang melahirkan batas-batas administrasi politik baru. Kemudian muncul kembali keinginan untuk mempunyai kedaulatan di daerahnya atau house culture. Tidak heran kalau kemudian sering kali muncul rengekan yang mempertanyakan siapa yang menjadi tuan rumah di suatu wilayah. Atau, sering kali muncul pernyataan bahwa kamilah yang seharusnya menjadi tuan rumah di daerah ini.[7]
Daerah sebagai panggung politik telah menjadi arena pertunjukan ”drama” politik bagi masyarakat lokal, terutama dari para elitnya. Pada era sekarang ini, peristiwa Pemilukada tak kurang menariknya dengan Pemilu Nasional. Bahkan dalam hal-hal tertentu, peristiwa Pemilukada Nampak lebih sensitive dan menarik untuk dikaji dari Pemilu Nasional. Ketika ditetapkan pemilihan langsung di berbagai daerah, hampir setiap pesta demokrasi di daerah selalu diwarnai konflik, ketegangan dan berbagai dinamika politik yang lebih keras dan tajam. Kebijakan desentralisasi kekuasaan yang kini telah berlangsung kemudian berjalan semakin menarik ketika bersentuhan dengan budaya-budaya lokal di berbagai daerah Indonesia yang jenisnya plural. Langgam dan budaya di daerah tidak semata menjadi ornamen, melainkan justru menjadi penentu karakter demi berlangsungnya dramatika politik lokal, termasuk praktik demokrasi di daerah. Sebab, berbagai corak ketegangan, persaingan, konflik dan jenis dinamika dari praktik demokrasi di daerah itu tentunya dipengaruhi oleh kultur dan tradisi setempat[8]
Potensi besar yang dimiliki kekuatan etnisitas di tingkat lokal tentunya dipengaruhi oleh kepentingan politik nasional, di mana untuk meloloskan kepentingannya, isu etnisitas dipandang mempunyai peluang untuk itu. Proses penggarapan dukungan massa menjadi target utama propaganda elit sehingga isu etnisitas tersebut terus direproduksi dan dimainkan secara masif. Salah satu persoalan yang muncul sebagai implikasi dari menguatnya isu etnisitas adalah karena adanya perasaan sentimen etnis tertentu atas berkuasanya etnis lain disuatu wilayah, sehingga mereka merasa terpinggirkan dalam wilayah ekonomi maupun politik. Keterbatasan akses tersebut mendorong masyarakat untuk melakukan upaya pengkonsolidasian identitas, yang kemudian memilih etnis sebagai kendaraan untuk mempertahankan eksistensinya. Daerah yang kerap melakukan proliferasi adalah Papua, Nanggroe Aceh Darussalam, Maluku (Maluku Utara), Kalimantan Tengah dan Sulawesi. Semua daerah ini merupakan daerah yang sangat plural dilihat dari aspek etnis (suku) dan agama, selain itu memiliki potensi sumber daya alam yang besar serta bermanfaat untuk menopang kehidupan daerah. Di samping itu, daerah lainnya seperti Papua, Maluku (Maluku Utara), Sulawesi dan Kalimantan Tengah, yang dapat dimasukan ke dalam wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT) memiliki ciri tingkat kesukuan yang tinggi. Menurut Tamrin Amal Tomagola , Indonesia memiliki lebih kurang 656 suku dan 547 suku di antaranya tinggal di IBT. Jika komposisi ini dikaitkan dengan kuantitas pemekaran di IBT, ada kesan pemekaran di IBT disebabkan oleh kemajemukan ini[9].

B.                 ANALISIS
Menjadi sesuatu yang menarik untuk dilihat, karena kemunculan isu etnis terjadi dalam ritme masif semata pada hajatan-hajatan yang bernuansa politis. Setelah masa tersebut dilewati, isu etnis pun mereda dengan sendirinya. Proses Politik Identitas dalam pilkada Maluku Utara menjadi gambaran kongkrit atas dinamika politik etnisitas tersebut. Pada Prosesi pemilihan gubernur Maluku Utara tahun 2014 dan Pilkada MALUT pada tahun 2014 mendorong semangat identitas dalam bentuk etnis menguat ke permukaan dengan maraknya isu pemekaran Kepulauan Obi berpisah dari Kabupaten Halmahera Selatan serta Issue Penetapan Ibukota Provinsi Maluku Utara Sofifi dinaikan stautsnya menjadi Kotamadya lepas dari Kota Tidore Kepulauan. Beberapa rentang tahun di saat prosesi konsesi kepemimpinan usai, isu Ibukota Provinsi serta isu pemekaran menjadi mereda pula. Namun saat ini dikarenakan oleh akan diadakannya Pilkada MALUT pada 2014 isu etnis pun menjadi menguat kembali.
Provinsi Maluku Utara yang terdiri Pulau Tidore yang dihuni  etnis Tidore, Pulau Ternate, yang dihuni etnis Ternate, Pulau Bacan yang dihuni Etnis Bacan, Pulau Makean yang dihuni Etnis Makean, Pulau Moti yang dihuni Etnis Moti, pulau Sanan yang dihuni oleh etnis Sanana serta satu pulau besar yaitu pulau Halamahera  yang di huni oleh beragam etnis selain 4 etnis besar seperti Tidore, Ternate, Makean dan Sanana. Disamping itu etnis besar tersebut, ada pula etnis lain yang mendiami pulau Halmahera yaitu, etnis Jaololo, Tobelo, Sangir, Buli, Patani, Kayoa, Maba, Sawai, Weda, Tobaru, Gane, Loloda, Kadai, Galela, Kayoa, Ange, Siboyo, Kao, Makean, dan Sahu. Banyaknya sub etnis tersebut merupakan suatu potensi yang kuat dan tangguh dalam mengangani pembangunan di Provinsi Maluku Utara.
Provinsi Maluku Utara, merupakan daerah yang multietnik terdiri dari 28 sub etnis dengan 29 bahasa lokal. Mayoritas penduduknya di dominasi beragama Islam yang yang mana terdapat 4 kerajaan Islam yang hingga saat ini masih berjalan pemerintahannya. Corak kehidupan sosial-budaya masyarakat Maluku Utara secara umum bercirikan perkawinan antar budaya lokal Maluku Utara dan budaya Islam yang kuat berdasarkan nilai adat dan aturan yang diletakan oleh ke empat kerajaan Islam di masa lalu.[10] Gambaran adat yang berkembang dan menyatu dengan nilai dasar kehidupan masyarakat mencerminkan tingginya penghargaan mereka pada alam sekitar yang telah memberikan sumber daya alam yang potensial bagi kehidupan masyarakat, Ternate dan Maluku Utara secara umum. Beberapa gambaran adat yang tertulis di atas merupakan bagian dari adat kedato, adat istana yang wajib dilaksanakan sebagai adat masyarakat. Bahkan dalam melaksanakan adat joko kaha (injak gunung), masyarkaat wajib mengikuti tata cara serta mempergunakan adat dan sesajian yang sama dengan yang dilaksanakan di Istana[11]
Provinsi Maluku Utara terbentuk dengan Undang-undang No. 46 tahun 1999 tanggal 4 Oktober 1999 dan diresmikan pada tanggal 12 Oktober 1999, Provinsi ini merupakan hasil pemerkaran dari Wilayah Provinsi Maluku. Ibukota Provinsi Maluku Utara yang defenitif adalah di Sofifi Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera Timur, Kabupaten Halmahera Selatan, Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Tengah dan kabupaten Kepulauan Sula, Kota Ternate dan Kota Tidore Kepulauan[12].
Secara administrasi terbagi menjadi 6 wilayah Kabupaten dan 2 wilayah Kota, yaitu Kabupaten sejak wilayah Provinsi MALUT dibentuk dan terpisah dari Provinsi Maluku. Hal tersebutlah yang menjadi salah satu faktor menguatnya isu politik etnis di Provinsi Maluku Utara. Selain faktor-faktor normatif tentang Pemekaran seperti akses informasi dan administrasi dan ketimpangan pembangunan antar kabupaten/kota yang ada di Provinsi MALUT, penulis melihat faktor politik etnis yang di boncengi oleh perebutan dan pembagian kekuasaan merupakan faktor terbesar dari meluasnya isu politisasi identitas etnis pada setiap momentum politik seperti Pilkada maupun Pilwako (Pemilihan Walikota). Indikatornya adalah pertarungan identitas etnis dalam momentum politik tentunya berpijak pada latar belakang etnis atau latar belakang daerahnya. Hal tersebut tentunya dapat dipelajari dari sejak terbentuknya Provinsi Maluku utara sejak 1999 silam serta resistensi konflik dalam setiap Pilkada Gubernur Maluku Utara terus menerus terjadi. Resistensi konflik yang difokuskan pada sentiment antar etnis tentunya bermuara pada pertarungan kursi kekuasaan di pemerintahan, dan etnis yang dapat dikatakan dominan dalam pertarungan tersebut adalah etnis Makean, Tidore, Ternate dan Sanana serta Togale (Tobelo dan Galelal), yang mengalami perkembangan kesiapan Sumber Daya Manusia yang ikut andil dalam dinamika politik di Maluku Utara. Hal ini terbukti dengan terpilihnya KH. Abdul Gani Kasubah, dianggap sebagai repseentasi mewakili Togale dan Tidore.
Untuk melihatnya lebih jelas dan komprehensif mengenai dinamika politik etnisitas dalam perebutan kekuasaan tersebut, penulis kemudian merasa penting untuk meneliti lebih dalam tentang masalah tersebut dengan mengangkat judul “Politik Identitas (Analisa Tentang Kekuatan Politik Etnisitas Dalam Pemilukada Gubernur Maluku Utara. Thesis yang coba dikemukakan dalam tulisan ini adalah: terdapat korelasi positif antara menguatnya Politik etnis dalam  Struktur Pemerintahan Provinsi Maluku Utara dengan perebutan kekekuasaan serta posisi status sosial dalam masyarakat.
Disamping itu cara pandang distortif ini dapat menjadi mindset para politisi dan birokrat warisan Orde Baru yang mengharamkan entitas politik otonom yang bersifat lokal dan partai politik lokal. Padahal pemilihan kepala daerah secara lamgsung sangat jelas merupakan pemilu lokal yang diikuti oleh partai-partai lokal meskipun partai-partai tersebut merupakan partai-partai yang terpusat di tingkat nasional[13].  Menurut Henk Shulte Nordholt dan Gerry Van Klinken dalam tema identitas-identitas yang tengah dibangun, menguraikan bahwa di akhir tulisan ini mengamati diskusi-diskusi mengenai idntitas-identitas regional yang dibangun dengan batu bata yang dibuat dari etnisitas, agama, adat istiadat dan adukan semen diambil dari kebudayaan seminar kelas menengah di seluruh Nusantara sedang mengahdapi perubahan-perubahan politis dan ekonomi yangs angat cepat, para intelektual daerah berusaha mengkonspetualkan siapa diri mereka, dan bagaimana mereka berhubungan dengan Indonesia masa kini. Meski desentralisasi belum menghasilkan munculnya identitas lokal yang kuat, di beberapa wilayah dengan preseden ketegangan etnis dan agama, ada kemungkinan para elite dominan lokal akan memainkan politik identitas demi kepentingan sendiri. Mereka bisa menggunakan instrumen-instrumen demokrasi untuk membakar sentimen massa dalam kerangka penguatan politik identitas. Beberapa kemelut di sekitar pemilihan kepala daerah selama ini membuktikan gejala seperti itu mulai muncul sebagai pola perebutan pengaruh dan perang legitimasi, untuk meraih jabatan kekuasaan lokal[14].bahan yang terjadi. Elit-elit baru (elit politik dan elit pemerintahan) yang ada di Maluku Utara saat ini, sebahagian dari mereka sebenanya masih merupakan elit-elit tradisional (kesultanan, tokoh agam, dan tokoh masyarakat) Maluku Utara yang menjelma dan menyesuaikan diri sebagai elit baru.
Menurut Kristianus, politik Identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan politik berdasarkan identitas etnis maupun agama. Perjuangan politik identitas pada dasarnya ialah perjuangan kelompok atau orang-orang pinggiran (periferi), baik secara politik, sosial, maupun budaya dan ekonomi. Kristianus mengutip Lukmantoro, politik identitas ialah tindakan politik untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berdasarkan pada ras, etnisitas, jender, atau agama[15].
Memahami apa yang diutarakan oleh Kristianus, merupakan satu pandangan bahwa perebutan kekuasaan di daerah tentunya menjadi motivasi terbesar dari kalangan elit politik di daerah dengan menggunakan berbagaimacam cara untuk mencapai hasrat untuk berkuasa. Setidaknya dalam kasus Pilkada Maluku Utara, dapat dipahami sebagai satu perseteruan politik identitas yang terus terjadi pasca bergulirnya reformasi. Dan tidak semata elit parpol yang mendorong akan adanya politisasi etnis dalam menghegemoni partisapsi politik maupun proses pemilihan Gubernur. Tetapi Lembaga Penyelnggara Pemilu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dinilai mengintervensi proses Pilkada Gubernur. Hal ini dinilai oleh KPU Pusat sebagai ketidakmampuan KPUD dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik, menurut pasal 122 ayat (3) UU No.22 tahun 2007 tentang penyelenggaran pemilu[16].
Oleh karena itu, Politik identitas berbeda dengan nasionalisme, dalam ruang lingkup bangsa (nation), kehadiran politik identitas menciptakan tekanan-tekanan dari kaum reduksionis (reductionist), sehingga dapat memperlemah identifikasi individu sebagai anggota dari suatu bangsa, sebagai contoh, seseorang merasa dirinya sebagai anggota kelompok minat yang sama terlebih dahulu, dan berikutnya baru memperhatikan kebutuhan negara dan masyarakat yang lebih luas. Sebagaimana makna yang terkandung dalam politik, maka politik identitas esensinya adalah upaya untuk mencapai kekuasaan tertentu dalam kehidupan dan panggung politik, di mana pengakuan dan keberadaan wakil-wakil dari kelompok etnis merupakan bagian penting dari perjuangan politik yang dilakukan demi kepentingan kelompok enisnya.[17]
Dalam strudi otonomi daerah, etnosntrisme atau paham yang berpusat kepada kelompok masyarakat setempat dalam pengelolaan pemerintahan lokal, sebetulnya merupakan fenomena normal. Byrne mengungkapkan pemerintahan lokal menjadi efisien, karena pejabatnya berasal dari masyarakat setempat, sehingga memiliki local knowledge dan komitmen terhadap  local area dan local people. Hal ini sejalan dengan Miles’s law of Politics and Administration  yang menegaskan “where you sit where you stand”. Bringham. Pemerintah lokal juga menjadi lebih dipercaya oleh masyarakat setempat, karena mereka lebih dekat, lebih bertanggungjawab, dan lebih mampu memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat setempat (Osborne dan Geabler). [18].
Dalam hubungan ini, Brown mengatakan bahwa identitas kelompok menjujung konstruksi sosial untuk mempromosikan keterwakilan kepentingan kelompoknya. Perilaku sosial politik menjadi terkait dengan identitas kelompoknya untuk pada suatu momen tertentu dibangkitkan demi kepentingan kelakulompok. Sedangkan menurut Suparlan, identitas atau jati diri itu muncul  dan ada dalam interaksi. Seseorang mempunyai jati diri tertentu karena diakui keberadaannya oleh orang lain dalam suatu hubungan yang berlaku. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka tampak bahwa seseorang atau sekelompok orang membutuhkan jati diri untuk digunakan dalam setiap interaksi. Pelaku mengambil sesuatu posisi. Selanjutnya berdasarkan atas posisi tersebutsi pelaku menjalankan perannya sesuai dengan corak atau struktur interaksi yang berlangsung. Di dalam kenyataan sehari-hari, setiap orang yang memiliki lebih dari satu jati diri. Artinya, semakin banyak peranan yang dijalankan dalam kehidupan sosial seseorang, maka yang bersangkutan akan semakin banyak pula jati diri yang dimilikinya.[19]
Bila dipahami bahwa cara pandang distortif ini dapat menjadi mindset para politisi dan birokrat warisan Orde Baru yang mengharamkan entitas politik otonom yang bersifat lokal dan partai politik lokal. Padahal pemilihan kepala daerah secara lamgsung sangat jelas merupakan pemilu lokal yang diikuti oleh partai-partai lokal meskipun partai-partai tersebut merupakan partai-partai yang terpusat di tingkat nasional[20].  Menurut Henk Shulte Nordholt dan Gerry Van Klinken dalam tema identitas-identitas yang tengah dibangun, menguraikan bahwa di akhir tulisan ini mengamati diskusi-diskusi mengenai idntitas-identitas regional yang dibangun dengan batu bata yang dibuat dari etnisitas, agama, adat istiadat dan adukan semen diambil dari kebudayaan seminar kelas menengah di seluruh Nusantara sedang mengahdapi perubahan-perubahan politis dan ekonomi yangs angat cepat, para intelektual daerah berusaha mengkonspetualkan siapa diri mereka, dan bagaimana mereka berhubungan dengan Indonesia masa kini. Meski desentralisasi belum menghasilkan munculnya identitas lokal yang kuat, di beberapa wilayah dengan preseden ketegangan etnis dan agama, ada kemungkinan para elite dominan lokal akan memainkan politik identitas demi kepentingan sendiri. Mereka bisa menggunakan instrumen-instrumen demokrasi untuk membakar sentimen massa dalam kerangka penguatan politik identitas. Beberapa kemelut di sekitar pemilihan kepala daerah selama ini membuktikan gejala seperti itu mulai muncul sebagai pola perebutan pengaruh dan perang legitimasi, untuk meraih jabatan kekuasaan lokal[21].bahan yang terjadi. Elit-elit baru (elit politik dan elit pemerintahan) yang ada di Maluku Utara saat ini, sebahagian dari mereka sebenanya masih merupakan elit-elit tradisional (kesultanan, tokoh agam, dan tokoh masyarakat) Maluku Utara yang menjelma dan menyesuaikan diri sebagai elit baru.
Disamping itu, ada faktor perubahan lingkungan yang terjadi di Maluku Utara, dari zaman kesultanan, lalu kemudian memasuki zaman kemerdekaan dengan sistem pemerintahan yang demikratis dan status Maluku Utara yang berubah menjadi Kabupaten, yang kemudian pada 1999 menjadi Provinsi Maluku Utara, memaksa elit-elit lokal untuk menyesuaikan diri dengan perubahan elit-elit lokal Maluku Utara pula terjadi pada tingkatan arena untuk mencapai posisi eksekutif di Maluku Utara. Dari zaman kesultanan di mana posisi seorang pemimpin masyarakat dan pemerintahan adalah sultan, yang diperoleh dengan cara garis keturunan dan proses demokrasi (seperti di Kesultanan Tidore). Kemudian berubah ketika memasuki zaman kemerdekaan, di mana dilembaga kesultanaan tetap dipertahankan tetapi bukan sebagai penyelenggara pemerintahan. Pemerintahaan di Maluku Utara kemudian dijalankan oleh seorang kepala daerah (bupati, gubernur) yang dipilih secara demokratis dan masyarakat berhak menclonkan dirinya. Perubahan zaman dan tentunya arena konstetasi inilah yang juga diikuti oleh elit-elit lokal yang ada di Maluku Utara untuk menunjukkan eksistensi mereka ditengah-tengah masyarakat. Namun, pada kenyataannya tidak semua elit lokal dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi, banyak terdapat juga elit lokal yang harus tergerus karena tidak dapat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman dan arena konstestasi yang berlangsung di Maluku Utara[22].

C.                KESIMPULAN
Bergulirnya reformasi dan semangat otonomi daerah di indonesia, memberi perubahan yang besar dinamika politik dan sosial-budaya di seluruh penjuru tanha air. Reformasi menjadi inti klimaks dari kefakuman demokrasi yang sama sekali tidak diberi praktiknya oleh Orde baru sehingga proses perkembangannya sulit dibedung. Di samping itu, kebijakan pemerintahan yang selama ini dalam praktik sentralisasi sehingga reformasi memberi ruang terbuka dalam proses desentralisasi. Ini menjadi awal baru bagi daerah dan seluruh rakyat indonesia.
Namun, dalam perkembangannya menimbulkan berbagai persoalan yang terus terjadi. Mulai dari persoalan bertambahnya kesenjangan ekonomi dan politik di daerah induk pasca pemekaran dan memunculkan sentimen etnisitas (etnosntrisme) di dalam masyarakat di berbagai daerah. Salah satu contoh yang kongktrit terjadi di Provinsi Maluku Utara. Maluku Utara sebagai Provinsi, yang memiliki beragam etnis dan budayanya mendapat tantangan yang berat dalam perkembangannya. Di mana, maraknya sentimen etnis dan politik etnisitas dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat. Hal ini, tentunya berpengaruh terhadap perkembangan dan kemajuan pembangunan di Maluku Utara sendiri. Salah satu persoalan yang hingga saat ini masih terjadi atau dapat ditemui dalam berbagai aspek dalam masyarakat dan bahkan dalam struktur birokrasi pemerintahan dari Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Buah dari otonomi daerah di Maluku Utara, menurut penulis, adalah lahirnya semangat politik identitas etnis yang sulit dibendung serta sentimen marga yang mewabah sampai dalam birokrasi pemerintahan. Di lahin pihak, praktik Kolusi, dan Nepotisme semacam ini telah dianggap biasa dalam masyarakat dan birokrasi. Harpan baik melalui semangat desentralisasi in9 memberi ruang baru serta perubahan baru dalam kehidupan masyarakat, ternyata tidak dipahami secara utuh dan menyeluruh berdasarkan ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, kebangkitan politik etnisitas etnis di Maluku Utara, akan mendorong semangat kedaeraahaan (orang kita) tentunya akan berpengaruh terhadap proses demokrasi dan keadilan dalam masyrakat. Karena aspek kebebasan dan kompetisi secara sehat dalam mengakses berbagai macam ruang dan pekerjaan di Maluku Utara akan terkooptasi dalam term “orang kita” dan sentimen keaderahan serta marga yang mengabaikan aspek kualitas dan kompetensi diri yang cerdas dan berintegritas. Bila hal ini terus terjadi maka, konflik di dalam masyarakat yang memiliki keberagaman etnis dan marga tersebut dapat terjadi kapanpun.



[1] . Sofyan Sjaf. Politik Etnik. Dinamika Politik Lokal di Kendari. (Jakarta: Yayasan Obob Indonesia. 2014). Hlm. 1
[2] . Ibid. Hlm. 2-3
[3]. Maswadi Rauf, Pemerintahan dan Konflik Horizontal. Dalam Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. (Jakarta: AIPI bekerjasama dengan Patnership dor Governance Reform in Indonesia (PGRI). 2002). Hlm. 147
[4] . Lili Romli. Potret Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007). Hlm. 330
[5] . Ibid. Hlm. 331
[6].Ninuk Kleden-Probonegoro. Ekspresi Karya (Seni) dan Politik Multikultural. Sebuah Pengantar. http://www.jai.or.id/jurnal/2004/75/02ktp_nnk75.pdf. Di akses tanggal 20 Oktober 2014.
[8] . H. Abdul Halim. Politik Lokal, Pola Aktor dan Alur Dramatikal. Perspektif Teori Powercube, Modal dan Panggung. (Yogyakarta: LP2B. 2014). Hlm. 159-160
[9].Leo Agustino dan Mohammad Agus Yussof. Proliferasi dan Etno-Nasionalisme daripada Pemberdayaan dalam Pemekaran Daerah di Indonesia Bisnis & Birokrasi, Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi, Sept—Des 2008, hlm. 196-201 Volume 15, Nomor 3. Hlm. 198
[10] . www.dephut.go.id/22/10/2014
[11] . M. Tahir Sapsuha, Pendidikan Pasca Konflik. Pendidikan Multikultural berbasis Konseling Budaya Masyarakat Maluku Utara. (Yogyakarta: LKIS. 2013). Hlm. 89
[12] . Matri Karno. Wordpress.com. Sumber-sumber Konflik di Maluku Utara. 1999-2004.
[13] . Syamsudin Haris. Pilkada langsung dan Dilema Penguatan Demokrasi di Indonesia Pasca-Sooeharto.Dalam Jurnal Ilmu Politik. Pilkada Langsung dan Masa Depan OTDA. (Jakarta: AIPI.2006). Hlm. 57
[14]. Henk Shulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Editor: Politik Lokal di Indonesia.(Jakarta: Kerjasama KITLV dan Yayasan Obor Indonesia.2014). Hlm. 39
[15] . Sri Astuti Buchari. Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas, hlm. 18
[16]. Riri Nazriyah. Sengketa Pemilihan Kepala Daerah. Studi Kasus Pemilihan Gubernur di Maluku Utara. Dalam Jurnal Hukum. No. 2. Vol. 15 April 2008). Hlm. 282  
[17]. Ibid. hlm. 21-22
[18] Djohermansyah Djohan, Merajut Otonomi Daerah, Pada Era Reformasi (Kasus Indonesia. (Jakarta: IKPTK. 2014). Hlm. 95-96.
[19] . Ibid. hlm. 22-23
[20] . Syamsudin Haris. Pilkada langsung dan Dilema Penguatan Demokrasi di Indonesia Pasca-Sooeharto.Dalam Jurnal Ilmu Politik. Pilkada Langsung dan Masa Depan OTDA. (Jakarta: AIPI.2006). Hlm. 57
[21]. Henk Shulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, Editor: Politik Lokal di Indonesia.(Jakarta: Kerjasama KITLV dan Yayasan Obor Indonesia.2014). Hlm. 39
[22] . Rusdi J.Abbas, Demokrasi di Aras lokal. Praktik Politik Elit Lokal di Maluku Utara. (Yogyakarta: Cerahmedia. 2013). Hlm. 158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar