Laman

Rabu, 18 Mei 2016

POLITIK LOKAL DI INDONESIA

Judul Buku                : POLITIK LOKAL DI INDONESIA
Editor                         : Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
Penerjemah                : Bernard Hiday
Pengantar                  : Anies Baswedan
Penerbit                      : YOI dan KITLV-Jakarta
Tahun Terbit             : 2014
Oleh                            :Kamaruddin Salim    

Buku Politik Lokal Di Indoneisa merupakan buku kumpulan tulisan dari berbagai ilmuwan yang berasal dari Tanah Air dampai ilmuwan luar negeri. Sebagaimana dibagian prakata diuraikan bahwa buku ini adlaah hasil dari proyek penelitian dua tahun, yang disasarkan pada Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KTLV) dan diberi judul renegotiating boundaries;local politics in post-Suharto Indonesia. Proyek penelitian ini mempersatukan sekelompok peneliti internasional yang kesemuanya berjumlah 22 orang, terutama dari Indonesia dan belanda, tetapi juga dari Amerika Serikat, Australia, Jerman, Kanada, dan Portugal.
Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken dalam pendahuluan buku ini menguraikan. setelah krisis moneter dan politik 1997 dan 1998, yang diikuti dengan peridode yang diberi label “Reformasi”, banyak pengamat mengatakan Indonesia memasuki suatu fase transisi pemerintahan otoriter menuju suatu sistem pemerintahan yang lebih demokratis ketika masyarakat sipil memainkan peranannya yang lebih menonjol. Terkebih lagi, transisi itu diiringi dengan proses desentralisasi, yang membuahkan otonomi kedaerahan dan demokrasi, selain membuat tata pemerintahan menjadi lebih transparan.
Meskipun istilah “transisi” itu bis ajuga digunakan untuk mengisyratkan pergeseran dari sistem otoriter ke sistem otoriter yang lain, hal itu tidak mencakup komplesitas-komplesitas proses-proses historis yang tengah membentuk Indoensia kontemporer, atau menyodorkan kesempatan untuk melacak changing continuitas dalam politik Indonesia. Mengingat bahwa suatu ‘Indonesia Baru’ masih di luar jangkauan, dan bahwa periode yang ada sekarang ini ditandai dengan sejumlah besar stagnasi, rupanya untuk sementara ini adalah lebih bijaksana untuk menggunakan istilah yang lebih netral, yaitu “Indonesia Pasca Soeharto”.
Menurut Henk konomi, Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, buku ini bermaksud menyalami pendekatan-pendekatan baru terhadap politik di Indonesia Pasca Soeharto. Untuk memahami dinamika politik ini, Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken mengusulkan untuk meneliti peranan para elit daerah, khususnya di bidang politik birokratis, ekonomis dan identitas. Pertama, mereka berdua akan mengarahkan fokus pada peranan elit birokratis daerah dalam peningkatan secara besar-besaran dalam jumlah kabupaten, dari 300 pada tahun 1999 menjadi 440 pada tahun 2004. Proses dengan cepat tersebut ‘pemekaran’ sebagaimana akan mereka berdua tunjukkan ‘involusi adminsitrasi’ ini didorong oleh kepentingan-kepentingan para elit dan politis tertentu. Kedua, Mereka berdua berkonsentrasi pada kebijakan-kebijakan ekonomis dari kelompok-kelompok kepentingan politis dan birokratis tertentu. Mereka berdua kemudian memperkenalkan konsep ‘negara bayangan atau shadow state yang digunakan di India dan negara Afrika untuk menunjukkan hubungan-hubungan vital antara pengaturan-pengaturan formal dan penagturan-pengaturan informal yang mewarnai ekonomi daerah. Ketiga, mereka berdua mengarahkan fokus pada aspek-aspek politik identitas daerah sebagaiman mereka memanifetasikan dalam etnisitas, agama, atau daerah.
Kaitan dengan negara bayangan atau shadow state diulas secara teoritis oleh Syarif Hidayat, shadow state Bisini dan politik di Banten. Syarif mencatat ada empat karakteristik dan informal market dan shadow state. Pertama, terga
Sistem pemajakan informal yang serupa serta distirbusi pendapatan bottom up dahulu, bahkan sampai sekarang, jug amewarnai birokrasi Indoensia. Para birokrat yang digaji rndah menopang gaji mereka dengan sumber-sumber pendapatan informal dengan menjual izin-izin dan menarik pajak-pajak pribadi. Tidak institusi Negara yang independen semakin memperkuat reproduksi hirarki-hirarki patrimonial ini. Orde baru juga menjadi bagian dari struktur kapitalis yang lebih luas. Sifat patron- client dari jaringan-jaringan patrimonial itu membantu mengaburkan dan mengingkari masalah-masalah kelas. Tetapi, Indonesia  Orde baru tentu saja memproduksi perbedaan-perbedaan yang cukup tajam.
Dari sudut pandang terkait dengan undang-undang tahun 1999, menurut Heenk dan klinken merupakan proses untuk menghidupkan kembali proses desentralisasi yang dulu pernah berhenti akhir tahun 1950-an. Tetapi mereka melangkah lebih jauh. Karena Otonomi baru itu diletakkan di tingkat kabupaten dan kotamadya, kekuasaan provinsi dilucuti, sementara proses fragmentasi politik dirangsang. Menurut Henk dan Klinken proses ini Sepintas lalu, peranan pemerintah pusat tinggal seperti Negara penjaga malam. Inilah merupakan gambaran terkait proses demokrasi yang bakal mengubah peta politik lokal, setelah selama lebih dari tiga dasawarsa masyarakat terbiasa dengan drop-dropan pejabat daerah yang dikendalikan dari pusat. Lantas, bagaimana kita merefleksikan kembali tumbangnya Orde Baru dan proses reformasi ini secara empiris dan teoretis? Bagaimana membaca bangkitnya politik lokal di tengah penerapan instrumen Pilkada itu? Apakah praktek desentralisasi kekuasaan itu otomatis akan menumbuhkan demokratisasi lokal? Atau hanya akan mengembangkan gejala desentralisasi oligarki? Apakah daerahisme akan lebih menonjol? Atau apakah sektarianisme dan separatisme berbasis politik etnisitas dan agama bakal menjadi praksis politik yang menguat di pelbagai daerah.
Berbagai tulisan dalam buku ini menghadirkan dinamika politik lokal secara spesifik dan tajam. Dalam Pendahulaun yang diuraikan oleh Henk dan Klinken termasuk dalam sub tema Masyarakt Lokal dan dinamika etnisitas, merupakan bagian pertama buku ini menyangkut berbagai politik pemekaran setelah 1998. Terlihat dari banyak para penulis mengeksplorasi perubahan pemerintahan provinsi kearah politik etnis. Di mulai dinamika di Aceh, Riau, Sumatra Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, sampai dengan di Papua dikupas secara mendetail dan menarik. Para penulisnya memiliki pemahaman yang sangat baik tentang subjek yang menjadi kajiannya, dan hal ini membuat kejadian- kejadian di tiap wilayah itu diberi konteks yang benar dan dianalisis dengan alat analisis yang tepat pula. Setiap tulisan dalam buku ini tentunya memberikan potret mikro Indonesia dan membawa pembaca untuk melihat bentuk mozaik Indonesia dengan indikasi-indikasi, bahwa di berbagai daerah yang diteliti masih percaya pada potensi politik pluralis yang cukup besar sebagai basis pengembangan masyarakat sipil. Tetapi para peneliti juga melihat besarnya kemungkinan berlanjutnya kekuasaan negara yang berwatak otoritarian, juga berbagai operasi politik kalangan elite dominan yang memainkan isu-isu pertentangan agama dan etnis dalam berbagai konflik sosial di seluruh wilayah di Indonesia. Dua kecenderungan tersebut, menurut editor dalam pendahuluan buku ini, masih berlangsung di dalam proses politik lokal. Seperti di bab terakhir tulisan Andi Faisal mengenai Wajo, Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa perubahan sosial adalah lebih lamban daripada yang seringkali dipikirkan. Elit-elit yang sudah mapan dengan penuh semangat mempertahankan hak-hak istimewa dna dengan mudah menyesuaikan dengan keadaan baru.
Henk dan Klinken dalam tema identitas-identitas yang tengah dibangun, menguraikan bahwa di akhir tulisan inimengamati diskusi-diskusi mengenai idntitas-identitas regional yang dibangun dengan batu bata yang dibuat dari etnisitas, agama, adat istiadat dan adukan semen diambil dari kebudayaan seminar kelas menengah di seluruh Nusantara sedang mengahdapi perubahan-perubahan politis dan ekonomi yangs angat cepat, para intelektual daerah berusaha mengkonspetualkan siapa diri mereka, dan bagaimana mereka berhubungan dengan Indonesia masa kini. Meski desentralisasi belum menghasilkan munculnya identitas lokal yang kuat, di beberapa wilayah dengan preseden ketegangan etnis dan agama, ada kemungkinan para elite dominan lokal akan memainkan politik identitas demi kepentingan sendiri. Mereka bisa menggunakan instrumen-instrumen demokrasi untuk membakar sentimen massa dalam kerangka penguatan politik identitas. Beberapa kemelut di sekitar pemilihan kepala daerah selama ini membuktikan gejala seperti itu mulai muncul sebagai pola perebutan pengaruh dan perang legitimasi, untuk meraih jabatan kekuasaan lokal.
Hal ini terlihat dari gambaran yang diuraikan oleh, Jaap Timmer, misalnya, dalam penelitiannya Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik Elit di Papua juga menunjukkan bahwa politik lokal tampaknya memang segera akan berkembang menjadi lokus bagi perluasan praktek oligarkis. Desentralisasi kekuasaan yang dimanfaatkan oleh aliansi-aliansi kepentingan elite politik dan ekonomi di tingkat lokal tak lain hanya menjadi wahana bagi desentralisasi oligarki.
Begitu kelamkah potret desentralisasi demokrasi di era pasca- Soeharto? Kalau kita membaca hasil penelitian dalam buku ini secara keseluruhan dan mendalam, jawabannya tentu saja: ya. Buku ini memang enak dibaca kalau kita tertarik dengan pendekatan-pendekatan teoretis untuk memahami dinamika politik lokal di era pasca- Soeharto. Ada sebuah pesan implisit tentang betapa parsialnya kajian politik Indonesia bila hanya memfokuskan pada dinamika politik nasional saja. Lebih jauh lagi, ada berbagai persoalan politik nasional yang dapat dirunut awalnya dari daerah dan begitu pula sebaliknya.
Selain itu, buku ini juga menggambarkan harapan-harapan dan kecemasan-kecemasan dalam masyarakat Indonesia di pengujung abad ke-21, khususnya di daerahdaerah yang terabaikan kebijakan Orde Baru, seperti rusaknya gagasan tentang bangsa, legitimasi negara dipertanyakan, sifat dan masa depan identitas-identitas daerah digugat, dan batas-batas antara ‘negara’, ‘bangsa’, ‘daerah’ telah menjadi wilayah-wilayah konflik. Namun di tengah pergunjingan mengenai batas-batas itu, buku ini menyimpulkan bahwa orang-orang Indonesia juga menunjukkan kepercayaan diri yang mengagumkan bahwa masa depan bisa dibuat baru, sebuah ketahanan yang mencengangkan dalam menghadapi ketidakpastian dan kemiskinan, beserta tingkat kesantunan yang tinggi dalam menghadapi perbedaan- perbedaan.

Sebenarnya, ada banyak hal yang dapat diceritakan tentang dinamika politik lokal di berbagai tempat di Indonesia. Namun, yang masih terasa kurang dalam buku ini adalah gambaran perbandingannya dengan daerah lain di Asia Tenggara. Tema inilah yang harus terus digali mengingat ada kemungkinan menawarkan kemajemukan data empiris dan karena itu akan memperkaya penafsiran teoretis. Demikian pula halnya dengan perspektif perbandingan di mana politik lokal di Indonesia bisa dibandingkan dengan Thailand, Filipina, dan Malaysia. Misalnya, studi politik lokal tingkat provinsi dan tambon (setingkat kabupaten/kota) di Thailand telah maju pesat. Begitu juga studi di Filipina untuk tingkat provinsi dan barrio (desa). Barangkali dan semoga kekurangan ini akan diisi oleh para peneliti dan akademisi lain, baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Hadirnya buku ini jelas membuat pemahaman kita akan politik lokal Indonesia makin mendalam dan bernuansa. Editor dan terutama para penelitinya harus dihargai atas upayanya melebarkan horizon penelitian berspektrum luas. Karenanya, buku ini sayang diabaikan, terutama bagi mereka yang memerlukan bahan rujukan atau karya pembanding tema politik lokal. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar