Judul Buku : POLITIK
LOKAL DI INDONESIA
Editor : Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
Penerjemah : Bernard Hiday
Editor : Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken
Penerjemah : Bernard Hiday
Pengantar : Anies Baswedan
Penerbit : YOI dan KITLV-Jakarta
Tahun Terbit : 2014
Oleh :Kamaruddin Salim
Buku Politik
Lokal Di Indoneisa merupakan buku kumpulan tulisan dari berbagai ilmuwan yang
berasal dari Tanah Air dampai ilmuwan luar negeri. Sebagaimana dibagian prakata
diuraikan bahwa buku ini adlaah hasil dari proyek penelitian dua tahun, yang
disasarkan pada Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean
Studies (KTLV) dan diberi judul renegotiating
boundaries;local politics in post-Suharto Indonesia. Proyek penelitian ini
mempersatukan sekelompok peneliti internasional yang kesemuanya berjumlah 22
orang, terutama dari Indonesia dan belanda, tetapi juga dari Amerika Serikat,
Australia, Jerman, Kanada, dan Portugal.
Henk Schulte
Nordholt dan Gerry Van Klinken dalam pendahuluan buku ini menguraikan. setelah
krisis moneter dan politik 1997 dan 1998, yang diikuti dengan peridode yang
diberi label “Reformasi”, banyak pengamat mengatakan Indonesia memasuki suatu
fase transisi pemerintahan otoriter menuju suatu sistem pemerintahan yang lebih
demokratis ketika masyarakat sipil memainkan peranannya yang lebih menonjol.
Terkebih lagi, transisi itu diiringi dengan proses desentralisasi, yang
membuahkan otonomi kedaerahan dan demokrasi, selain membuat tata pemerintahan
menjadi lebih transparan.
Meskipun istilah
“transisi” itu bis ajuga digunakan untuk mengisyratkan pergeseran dari sistem
otoriter ke sistem otoriter yang lain, hal itu tidak mencakup
komplesitas-komplesitas proses-proses historis yang tengah membentuk Indoensia
kontemporer, atau menyodorkan kesempatan untuk melacak changing continuitas dalam politik Indonesia. Mengingat bahwa suatu
‘Indonesia Baru’ masih di luar jangkauan, dan bahwa periode yang ada sekarang
ini ditandai dengan sejumlah besar stagnasi, rupanya untuk sementara ini adalah
lebih bijaksana untuk menggunakan istilah yang lebih netral, yaitu “Indonesia
Pasca Soeharto”.
Menurut Henk
konomi, Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken, buku ini bermaksud menyalami
pendekatan-pendekatan baru terhadap politik di Indonesia Pasca Soeharto. Untuk
memahami dinamika politik ini, Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken
mengusulkan untuk meneliti peranan para elit daerah, khususnya di bidang
politik birokratis, ekonomis dan identitas. Pertama, mereka berdua akan mengarahkan
fokus pada peranan elit birokratis daerah dalam peningkatan secara
besar-besaran dalam jumlah kabupaten, dari 300 pada tahun 1999 menjadi 440 pada
tahun 2004. Proses dengan cepat tersebut ‘pemekaran’ sebagaimana akan mereka
berdua tunjukkan ‘involusi adminsitrasi’ ini didorong oleh
kepentingan-kepentingan para elit dan politis tertentu. Kedua, Mereka berdua
berkonsentrasi pada kebijakan-kebijakan ekonomis dari kelompok-kelompok
kepentingan politis dan birokratis tertentu. Mereka berdua kemudian memperkenalkan
konsep ‘negara bayangan atau shadow state
yang digunakan di India dan negara Afrika untuk menunjukkan hubungan-hubungan
vital antara pengaturan-pengaturan formal dan penagturan-pengaturan informal
yang mewarnai ekonomi daerah. Ketiga, mereka berdua mengarahkan fokus pada
aspek-aspek politik identitas daerah sebagaiman mereka memanifetasikan dalam
etnisitas, agama, atau daerah.
Kaitan dengan
negara bayangan atau shadow state
diulas secara teoritis oleh Syarif Hidayat, shadow
state Bisini dan politik di Banten. Syarif mencatat ada empat karakteristik
dan informal market dan shadow state. Pertama, terga
Sistem pemajakan informal yang serupa serta distirbusi
pendapatan bottom up dahulu, bahkan
sampai sekarang, jug amewarnai birokrasi Indoensia. Para birokrat yang digaji
rndah menopang gaji mereka dengan sumber-sumber pendapatan informal dengan
menjual izin-izin dan menarik pajak-pajak pribadi. Tidak institusi Negara yang
independen semakin memperkuat reproduksi hirarki-hirarki patrimonial ini. Orde
baru juga menjadi bagian dari struktur kapitalis yang lebih luas. Sifat patron- client dari jaringan-jaringan
patrimonial itu membantu mengaburkan dan mengingkari masalah-masalah kelas.
Tetapi, Indonesia Orde baru tentu saja
memproduksi perbedaan-perbedaan yang cukup tajam.
Dari sudut pandang terkait dengan undang-undang tahun 1999, menurut
Heenk dan klinken merupakan proses untuk menghidupkan kembali proses
desentralisasi yang dulu pernah berhenti akhir tahun 1950-an. Tetapi mereka
melangkah lebih jauh. Karena Otonomi baru itu diletakkan di tingkat kabupaten
dan kotamadya, kekuasaan provinsi dilucuti, sementara proses fragmentasi
politik dirangsang. Menurut Henk dan Klinken proses ini Sepintas lalu, peranan
pemerintah pusat tinggal seperti Negara penjaga malam. Inilah merupakan
gambaran terkait proses demokrasi yang bakal mengubah peta politik lokal,
setelah selama lebih dari tiga dasawarsa masyarakat terbiasa dengan drop-dropan
pejabat daerah yang dikendalikan dari pusat. Lantas, bagaimana kita
merefleksikan kembali tumbangnya Orde Baru dan proses reformasi ini secara
empiris dan teoretis? Bagaimana membaca bangkitnya politik lokal di tengah
penerapan instrumen Pilkada itu? Apakah praktek desentralisasi kekuasaan itu
otomatis akan menumbuhkan demokratisasi lokal? Atau hanya akan mengembangkan
gejala desentralisasi oligarki? Apakah daerahisme akan lebih menonjol? Atau
apakah sektarianisme dan separatisme berbasis politik etnisitas dan agama bakal
menjadi praksis politik yang menguat di pelbagai daerah.
Berbagai tulisan dalam buku ini menghadirkan dinamika
politik lokal secara spesifik dan tajam. Dalam Pendahulaun yang diuraikan oleh
Henk dan Klinken termasuk dalam sub tema Masyarakt
Lokal dan dinamika etnisitas, merupakan bagian pertama buku ini menyangkut
berbagai politik pemekaran setelah 1998. Terlihat dari banyak para penulis mengeksplorasi
perubahan pemerintahan provinsi kearah politik etnis. Di mulai dinamika di
Aceh, Riau, Sumatra Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Sulawesi
Selatan, sampai dengan di Papua dikupas secara mendetail dan menarik. Para
penulisnya memiliki pemahaman yang sangat baik tentang subjek yang menjadi
kajiannya, dan hal ini membuat kejadian- kejadian di tiap wilayah itu diberi
konteks yang benar dan dianalisis dengan alat analisis yang tepat pula. Setiap
tulisan dalam buku ini tentunya memberikan potret mikro Indonesia dan membawa
pembaca untuk melihat bentuk mozaik Indonesia dengan indikasi-indikasi, bahwa
di berbagai daerah yang diteliti masih percaya pada potensi politik pluralis
yang cukup besar sebagai basis pengembangan masyarakat sipil. Tetapi para
peneliti juga melihat besarnya kemungkinan berlanjutnya kekuasaan negara yang
berwatak otoritarian, juga berbagai operasi politik kalangan elite dominan yang
memainkan isu-isu pertentangan agama dan etnis dalam berbagai konflik sosial di
seluruh wilayah di Indonesia. Dua kecenderungan tersebut, menurut editor dalam
pendahuluan buku ini, masih berlangsung di dalam proses politik lokal. Seperti
di bab terakhir tulisan Andi Faisal mengenai Wajo, Sulawesi Selatan menunjukkan
bahwa perubahan sosial adalah lebih lamban daripada yang seringkali dipikirkan.
Elit-elit yang sudah mapan dengan penuh semangat mempertahankan hak-hak
istimewa dna dengan mudah menyesuaikan dengan keadaan baru.
Henk dan Klinken dalam tema identitas-identitas yang tengah dibangun, menguraikan bahwa di
akhir tulisan inimengamati diskusi-diskusi mengenai idntitas-identitas regional
yang dibangun dengan batu bata yang dibuat dari etnisitas, agama, adat istiadat
dan adukan semen diambil dari kebudayaan seminar kelas menengah di seluruh Nusantara
sedang mengahdapi perubahan-perubahan politis dan ekonomi yangs angat cepat,
para intelektual daerah berusaha mengkonspetualkan siapa diri mereka, dan
bagaimana mereka berhubungan dengan Indonesia masa kini. Meski desentralisasi
belum menghasilkan munculnya identitas lokal yang kuat, di beberapa wilayah
dengan preseden ketegangan etnis dan agama, ada kemungkinan para elite dominan
lokal akan memainkan politik identitas demi kepentingan sendiri. Mereka bisa
menggunakan instrumen-instrumen demokrasi untuk membakar sentimen massa dalam
kerangka penguatan politik identitas. Beberapa kemelut di sekitar pemilihan
kepala daerah selama ini membuktikan gejala seperti itu mulai muncul sebagai
pola perebutan pengaruh dan perang legitimasi, untuk meraih jabatan kekuasaan
lokal.
Hal ini terlihat dari gambaran yang diuraikan oleh, Jaap
Timmer, misalnya, dalam penelitiannya Desentralisasi Salah Kaprah dan Politik
Elit di Papua juga menunjukkan bahwa politik lokal tampaknya memang segera akan
berkembang menjadi lokus bagi perluasan praktek oligarkis. Desentralisasi
kekuasaan yang dimanfaatkan oleh aliansi-aliansi kepentingan elite politik dan
ekonomi di tingkat lokal tak lain hanya menjadi wahana bagi desentralisasi
oligarki.
Begitu kelamkah potret desentralisasi demokrasi di era
pasca- Soeharto? Kalau kita membaca hasil penelitian dalam buku ini secara
keseluruhan dan mendalam, jawabannya tentu saja: ya. Buku ini memang enak
dibaca kalau kita tertarik dengan pendekatan-pendekatan teoretis untuk memahami
dinamika politik lokal di era pasca- Soeharto. Ada sebuah pesan implisit
tentang betapa parsialnya kajian politik Indonesia bila hanya memfokuskan pada
dinamika politik nasional saja. Lebih jauh lagi, ada berbagai persoalan politik
nasional yang dapat dirunut awalnya dari daerah dan begitu pula sebaliknya.
Selain itu, buku ini juga menggambarkan harapan-harapan dan
kecemasan-kecemasan dalam masyarakat Indonesia di pengujung abad ke-21,
khususnya di daerahdaerah yang terabaikan kebijakan Orde Baru, seperti rusaknya
gagasan tentang bangsa, legitimasi negara dipertanyakan, sifat dan masa depan
identitas-identitas daerah digugat, dan batas-batas antara ‘negara’, ‘bangsa’,
‘daerah’ telah menjadi wilayah-wilayah konflik. Namun di tengah pergunjingan
mengenai batas-batas itu, buku ini menyimpulkan bahwa orang-orang Indonesia
juga menunjukkan kepercayaan diri yang mengagumkan bahwa masa depan bisa dibuat
baru, sebuah ketahanan yang mencengangkan dalam menghadapi ketidakpastian dan
kemiskinan, beserta tingkat kesantunan yang tinggi dalam menghadapi perbedaan-
perbedaan.
Sebenarnya, ada banyak hal yang dapat diceritakan tentang
dinamika politik lokal di berbagai tempat di Indonesia. Namun, yang masih
terasa kurang dalam buku ini adalah gambaran perbandingannya dengan daerah lain
di Asia Tenggara. Tema inilah yang harus terus digali mengingat ada kemungkinan
menawarkan kemajemukan data empiris dan karena itu akan memperkaya penafsiran
teoretis. Demikian pula halnya dengan perspektif perbandingan di mana politik
lokal di Indonesia bisa dibandingkan dengan Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Misalnya, studi politik lokal tingkat provinsi dan tambon (setingkat
kabupaten/kota) di Thailand telah maju pesat. Begitu juga studi di Filipina
untuk tingkat provinsi dan barrio (desa). Barangkali dan semoga kekurangan ini
akan diisi oleh para peneliti dan akademisi lain, baik yang berasal dari luar
maupun dalam negeri. Hadirnya buku ini jelas membuat pemahaman kita akan
politik lokal Indonesia makin mendalam dan bernuansa. Editor dan terutama para
penelitinya harus dihargai atas upayanya melebarkan horizon penelitian
berspektrum luas. Karenanya, buku ini sayang diabaikan, terutama bagi mereka
yang memerlukan bahan rujukan atau karya pembanding tema politik lokal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar