Judul
Buku : Politik Identitas
Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas
Pengarang : Ubed Abdilah
Penerbit : Indonesiatera-Megelang
Tahun
Terbit : 2002
Oleh :Kamaruddin Salim
Dalam buku ini terdiri dari lima Bab, buku Politik
Identitas Etnis Tanpa Identitas ini. Abdilah fokus untuk membahas realitas
keragaman etnis, kajian politik etnis, pola politiknya sepanjang sejarah secara
umum, sampai dengan bagaimana peran etnis dalam kancah globalisme dan posmodernisme.
Dalam penelusuran, maka etnis apa yang sebenarnya di sandang oleh kata
etnisitas dan peranannya dalam politik praktis.
Untuk menjelaskan politik identitas etnis
Abdilah menjelaskan defenisi Indentitas serta defenisi etnis serta menggunaan
teori dalam menjelaskan kajian politik identitas entnis tersebut. Dalam pandangannya teori identitas sosial, keinginan
untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik
penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal
tersebut berlangsung melalui proses sosial yang dipandang sebagai cara untuk
menentukan posisi dan status identitas sosialnya.
Menurut Abdila, Identitas individu dalam
interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial.
Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu tertuju pada upaya mengungkap
identitas seseorang dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan
(2000) mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya
sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam
Taylor dan Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap
interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri
individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu
kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting
yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.
Menurut Hogg dan Abram (1988) di dalam
masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang
merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis
kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori
sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya
memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu
struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antarindividu dan
antarkelompok.
Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki
identitas sosial yang positif. Hal tersebut menurut Hogg dan Abram (1988)
rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial
(social equality). Bahkan menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994)
dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai
anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena
misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas / kelompok lain
yang dipandang lebih baik. Fenomena ini misalnya ditemukan pada anak-anak kulit
hitam di Amerika yang justru menganggap rendah kelompoknya sendiri dan lebih
senang mengidentifikasi pada kelompok kulit putih.
Abdilah menguraikan Istilah etnik, ditinjau dari sudut
pandang etimologis, berasal dari bahasa yunani“ethnos” yang berarti “penyembahan” atau
“pemuja berhala”. Dalam bahasa Inggris“ethnic” artinya kesukuan atau suku
bangsa. Di Inggris terminology ini digunakan mulai pertengahan abad XIV yang
dalam perkembangannya mengalami reduksi ke arah penyebutan karakter ras. Di Amerika Serikat, terminologi ini digunakan secara massif pada
saat perang dunia I sebagai penghalus penyebutan bangsa-bangsa inferior,
seperti bangsa Yahudi, Italia, Irish. Terminologi ini dalam kesehariannya
biasanya dikaitkan dengan isu minoritas dan hubungan kesukuan. Etnik (ethnic) dalam pengertian
lain, merujuk pada kelompok sosial yang ditentukan oleh asal usul, bahasa yang
sama, atau adat istiadat, nilai dan norma budaya, yang pada gilirannya
mengidentifikasikan adanya kenyataan kelompok minoritas dan mayoritas dalam
suatu masyarakat.
Abdilah mengutip, Horowitz (1985), membuat terminologi
etnik yang dikaitkan dengan kelahiran dan darah, walaupun tidak selalu
demikian. Keaslian individu sangat diperhitungkan, tetapi tidak menutup adanya
perkecualian. Identitas etnik relatif
sulit diubah walaupun bisa saja terjadi. Oleh karenanya, identitas etnik sering didasarkan atas kesamaan darah
(kelahiran) bagi sebagian besar anggotanya. Dalam konteks sosiologi, etnik adalah status yang ditentukan (ascribed
status). Namun demikian, beberapa variasi tetap dapat dihadirkan karena
etnik juga mengacu pada kesamaan kepercayaan. Dengan memperhitungkan adanya
disparitas antara ciri-ciri fisik dan konsepsi kelompok, maka pengertian
etnisitasmenjadi semakin elastis. Menurut Horowitz, (1985) sebuah kelompok
etnik dibedakan berdasarkan warna kulit, bahasa dan kepercayaan (religion),
yang mencakup suku, ras, nasionalitas, dan kasta.
Pandangan lain, yang awalnya diadopsi dari antropolog
Molinowski, bahwa istilah etnik dan
etnisitas menunjuk pada kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan
definitif. Kelompok etnik dapat
dibedakan menurut organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem kepercayaan),
ekonomi, tradisi (hukum) maupun pola hubungan antar kelompok etnik, termasuk
dalam pertukaran jasa dan pelayanan. (Pelly, 1998: 26). Barth (1988),
menyatakan bahwa etnisitas (kesukuan) tidak hanya didasarkan pada teritorial yang ditempati atau
sistem rekrutmen yang diberlakukan, akan tetapi pada pernyataan dan pengakuan
yang terus menerus dari setiap kelompok etnik bersangkutan.
Selanjutnya Barth mengemukakan ciri-ciri kelompok etnik dalam suatu masyarakat,
yaitu: (1) secara biologis mampu berkembang dan bertahan, (2) mempunyai
nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan, (3) membentuk
jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompok sendiri
yang diterima oleh kelompok lain. Ciri asal yang bersifat kategoris (categorical
ascription) adalah ciri khas
yang paling dasar dan secara umum menentukan seseorang itu termasuk ke dalam
kelompok etnik mana dan ini dapat
diperkirakan dari latar belakang asal usul orang tersebut.
Berdasarkan berbagai konsep di atas, dapat dikatakan
bahwa etnik atau kelompok etnik adalah :
-
Pertama, suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan
dan sejarah yang sama dan karena kesamaan itulah mereka memiliki identitas
sebagai suatu subkelompok dalam suatu masyarakat yang luas. Para anggota
kelompok etnik itu berbeda dengan
kebudayaan masyarakat kebanyakan, karena mereka memiliki karakteristik
kebudayaan tertentu dari anggota masyarakat yang lain. Kelompok etnik biasanya mempunyai bahasa sendiri,
agama sendiri, adat istiadat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain.
-
Kedua, suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang
berbeda, namun di antara para anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang
sama. Gagasan tentang kelompok etnik berbeda
dengan ras, sebab etnik lebih
menggambarkan nilai, norma, perilaku dan bahasa yang acapkali juga terlihat
pada tampilan fisik. Seringkali kelompok etnik tertentu menjadi kelompok minoritas
dari kebudayaan orang lain yang mayoritas.
-
Ketiga, etnik merupakan
suatu kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic domain,
di mana kelompok etnik itu
mempunyai peranan dan bentuk simbol yang sama, memiliki bentuk kesenian atau art yang sama yang diciptakan dalam ruang
dan waktu tertentu. Jadi, ada imajinasi yang sama yang mereka ciptakan secara
virtual, sebagai gambaran diri mereka, hubungan mereka dengan orang lain yang membentuk sistem peran, fungsi dan
relasi serta struktur dan sistem sosialnya sendiri.
Dalam kontes masyarakat Indonesia, menurut Abdilah adalah
merupakan suatu euforia perubahan melalui semangat reformasi dan pasca
runtuhnya rezim Orde Baru dengan melalui Otonomi Daerah. Euphoria itu kemudian
diikuti dengan konflik ketegangan etnis yang dipicu oleh keterpurukan dan
sepanjang ekonomi di beberapa wilayah di mulai dari Sambas, Aceh, Atambua,(
pengungsi Eks Timor-Timur), sampai dengan Papua.
Abdilah menggambarkan persoalan yang memunculkan oleh
Politik identitas akan senantiasa menjadi persoalan dan memberikan arahan
sebagai problem yang termasuk sulit pada kondisi saat ini. Hal tersebut di
akibatkan oleh paradigma politik masyarakat modern bertambah meningkat dan
beragam. Setidaknya. Menyebarnya poltik identitas atau biopolitik dalam
pandnagan Michael Foucault merupakan akibat dari runtuhnya masyarakat yang
direncanakan secara ilmiah yang merupakan suatu gerakan dengan implementasi
control demografis objektif. Inilah dasar-dasar biopolitik. Di mana, penulis
menggambarkan bahwa, politik identitas merupakan khasanah yang terjadi pada
Negara dan masyarakat yang modern (liberal dan demokratis), sebagaimana
penelitian Foucault, untuk menerapkan prinsip-prinsip terhadap tubuh individual
dalam proses poltik melalui kekuasaan Negara. Tujuannya agar orang-orang
tercerahkan mencapai populasi optimum, pertumbuhan generasi yang proposional,
dan lain-lain, dalam hal ini tolok ukurnya adalah standar Negara, tidak pernah
berdasarkan individu atau masyarakat.
Menurut Abdilah, dewasa ini etnisitas menjadi aspek yang
penting dalam hubungan politik, pada saranya term ini muncul karena menyangkut
gagasan tentang perbedaan, dikotomi kami
dan mereka dan pembedaan atas klaim
terhadap dasar asal usul, dan karakteristik budaya. Etnisitas adalah hasil dari
proses hubungan, tidak semata karena porses isolasi. Apabila tidak ada
perbedaan antara orang dalam dan orang luar, tidak ada namanya etnisitas.
Menurut Erikson, syarat kemnculan etnisitas adalah kelompok tersebut setidaknya
telah menjalin hubungan, kontak dengan etnis yang lain, dan masing-masing
menerima gagasan dan ide-ide perbedaan di antara mereka baik secara kulturan
maupun politik. Dalam bahasa lain, etnisitas muncul dalam kerangka hubungan
rasional, dalam interaksinya dengan dunia luar dan komunitas kelompoknya.
Politik identitas dalam perkembangannya etnis dalam
perkembangannya dewasa ini lebih banyak menampilkan diri dalam wacana politik
kebudayaan. Politik identitas sendiri merupakan proses lahir dari kegagalan
modernitas untuk memenuhi janjinya. Dalam situasi keterserahkan identitas dan
etnisitas-etnisitas perbedaan, poltik perbedaan tumbuh subur dalam situasi
negara atau masyarakat yang multicultural dan multietnis. Dalam kerangka ini,
hubungan interaktif antarkelompok perbedaan, terutama kelompok etnis yang
berbeda perlu menjalin suatu kerangka etis, dalam hal ini adalah sikap toleran.
Dalam buku ini, fokus Abdilah menjelaskan konsep etnis
dan paradigma politik identias etnis merupakan dua konsep yang berbeda, namun
sejalan dalam perkembangannya. Penulis menggambarkan perjuangan politik
identitas etnis adalah upaya mengeksistensi diri kebudayaan etnis dalam konteks
persaingan ini. Politik identitas etnis sebagai salah satu contoh dalam hal
ini, membawa pengaruh yang luas pada proses politik suatu Negara atau
masyarakat yang beraneka ragam etnisnya (multietnis). Politik identitas etnis
yang tidak sehat menimbulkan akibat yang fatal terhadap proses politik.
Pemerintah dan Negara yang tidak memperhatikan atau tidak mengerti dan
mengantisipasi poltik identitas etnis sering kali menanggung akibat-akibat ynag
tak terduga dan parah seperti gejala disintegrasi dan pengorbanan kemanusiaan.
Di bab terakhir, Abdilah menguraikan tentang Politik
Toleransi dan Perbedaan. Di mana, Abdilah memberikan gambaran kritis tentang
etnisitas dengan memberikan beberapa alasan, pertama. Etnis sendiri telah menjadi wacana yang melandasi suatu
model pembacaan tertentu dalam relasi sosial. Kedua, etnis kategori politik identitas yang memainkan peran
sejarah yang sangat panjang, ketiga,
ada persoalan dalam perilaku politik (identifikasi etnis mengandung kekerasan,
realitasnya dalam interaksi sosial pada masyarakat modern). Etnik dalam wacana
primitifnya identik dengan suku atau kelompok suku (tribe) yang terpisah dan terisolir, hidup di hutan atau jauh dari
orang kebanyakan dengan budayanya yang masih animistic dan menampilkan diri
sebagai apa adanya. Kemudian, etnik dalam wacana politik budaya kontemporer adalah
suatu wacana batas (frontier) kami
dan mereka, sebuah makna budaya yang intinya adalah wacana pembedaan. Seperti
peran-peran politik etnis saat ini yang merupakan pembacaan terhadap realitas
“kami” dan “mereka”. Di sini, letak relevansi politik identitas diterapkan
dalam mencari pengertian politik identitas etnik.
Lebih jauh, etnisitas dipakai untuk menggambarkan
batasan-batasan siapa yang masuk dalam suatu kelompok dan siapa yang tidak.
Sebuah kelompok etnis adalah satu hal yang berurusan dengan pemeliharaan
batasan-batasan itu, etnisitas adalah cara untuk mengstrukturasi hubungan yang
membiarkan kerasnya perbedaan. Dengan demikian, sebuah komunitas etnis selalu
merupakan artefak dari batasan-batasan yang menggambarkan aktivitas, senantiasa
berselisih dan bersaing, memberikan diferensiasi, dan mempresentasikan
perbedaan-perbedaan yang lain sebagai faktor-faktor yang memisahkan dan
berkuasa.
Dalam konteks
penelitian dalam buku ini, Abdilah menggambarkan politik identitas etnis
merupakan satu contoh artikulasi politik yang sangat beragam. Suatu kasus
politik yang sangat mungkin ditemui di setiap negara, bahkan hampir setiap
Negara mengalami problem dengan kasus politik etnis ini. Tidak sedikit negara
yang mengalami perpecahan dan kancur karena pemerintah tidak mampu mengatasi
masalah politik etnis yang terjadi. Pada perkembangannya konsep etnis mengalami
perubahan makna dan konotasi. Etnisitas atau kata etnik ternyata dapat pula
berupa hasil produk sosial. Kata etnis sendiri muncul karena adanya proses
interaksi antar individu yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar