Laman

Rabu, 18 Mei 2016

Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas

Judul Buku                : Politik Identitas Etnis Pergulatan Tanda Tanpa Identitas
Pengarang                  : Ubed Abdilah
Penerbit                      : Indonesiatera-Megelang
Tahun Terbit             : 2002 
Oleh                            :Kamaruddin Salim    

            Dalam buku ini terdiri dari lima Bab, buku Politik Identitas Etnis Tanpa Identitas ini. Abdilah fokus untuk membahas realitas keragaman etnis, kajian politik etnis, pola politiknya sepanjang sejarah secara umum, sampai dengan bagaimana peran etnis dalam kancah globalisme dan posmodernisme. Dalam penelusuran, maka etnis apa yang sebenarnya di sandang oleh kata etnisitas dan peranannya dalam politik praktis.
Untuk menjelaskan politik identitas etnis Abdilah menjelaskan defenisi Indentitas serta defenisi etnis serta menggunaan teori dalam menjelaskan kajian politik identitas entnis tersebut. Dalam pandangannya teori identitas sosial, keinginan untuk memiliki identitas sosial yang positif dipandang sebagai motor psikologik penting dibalik tindakan-tindakan individu dalam setiap interaksi sosial. Hal tersebut berlangsung melalui proses sosial yang dipandang sebagai cara untuk menentukan posisi dan status identitas sosialnya.
Menurut Abdila, Identitas individu dalam interaksi sosial merupakan hal yang fundamental dalam setiap interaksi sosial. Pertanyaan ‘Siapakah Anda ?’, sebenarnya selalu tertuju pada upaya mengungkap identitas seseorang dan selanjutnya menentukan bentuk interaksi sosialnya. Lan (2000) mengatakan bahwa setiap individu memerlukan identitas untuk memberinya sense of belonging dan eksistensi sosial. Menurut teori identitas sosial (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) identitas individu yang tampil dalam setiap interaksi sosial disebut dengan identitas sosial, yaitu bagian dari konsep diri individu yang terbentuk karena kesadaran individu sebagai anggota suatu kelompok sosial, dimana didalamnya mencakup nilai-nilai dan emosi-emosi penting yang melekat dalam diri individu sebagai anggotanya.
Menurut Hogg dan Abram (1988) di dalam masyarakat sendiri secara hirarkis terstruktur kategori-kategori sosial yang merupakan penggolongan orang menurut negara, ras, klas sosial, pekerjaan, jenis kelamin, etnis, agama dan lain sebagainya. Di dalam masing-masing kategori sosial tersebut melekat suatu kekuatan, status dan martabat yang pada akhirnya memunculkan suatu struktur sosial yang khas dalam masyarakat, yaitu suatu struktur yang menentukan kekuatan dan status hubungan antarindividu dan antarkelompok.
Pada dasarnya setiap individu ingin memiliki identitas sosial yang positif. Hal tersebut menurut Hogg dan Abram (1988) rangka mendapatkan pengakuan (recognition) dari pihak lain dan persamaan sosial (social equality). Bahkan menurut Laker (dalam Taylor dan Moghaddam, 1994) dalam keadaan dimana individu ataupun kelompok merasa identitasnya sebagai anggota suatu kelompok kurang berharga maka akan muncul fenomena misidentification, yaitu upaya mengidentifikasi pada identitas / kelompok lain yang dipandang lebih baik. Fenomena ini misalnya ditemukan pada anak-anak kulit hitam di Amerika yang justru menganggap rendah kelompoknya sendiri dan lebih senang mengidentifikasi pada kelompok kulit putih.
Abdilah menguraikan Istilah etnik, ditinjau dari sudut pandang etimologis, berasal dari bahasa yunani“ethnos” yang berarti “penyembahan” atau “pemuja berhala”. Dalam bahasa Inggris“ethnic” artinya kesukuan atau suku bangsa. Di Inggris terminology ini digunakan mulai pertengahan abad XIV yang dalam perkembangannya mengalami reduksi ke arah penyebutan karakter ras. Di Amerika Serikat, terminologi ini digunakan secara massif pada saat perang dunia I sebagai penghalus penyebutan bangsa-bangsa inferior, seperti bangsa Yahudi, Italia, Irish. Terminologi ini dalam kesehariannya biasanya dikaitkan dengan isu minoritas dan hubungan kesukuan. Etnik (ethnic) dalam pengertian lain, merujuk pada kelompok sosial yang ditentukan oleh asal usul, bahasa yang sama, atau adat istiadat, nilai dan norma budaya, yang pada gilirannya mengidentifikasikan adanya kenyataan kelompok minoritas dan mayoritas dalam suatu masyarakat.
Abdilah mengutip, Horowitz (1985), membuat terminologi etnik yang dikaitkan dengan kelahiran dan darah, walaupun tidak selalu demikian. Keaslian individu sangat diperhitungkan, tetapi tidak menutup adanya perkecualian. Identitas etnik relatif sulit diubah walaupun bisa saja terjadi. Oleh karenanya, identitas etnik sering didasarkan atas kesamaan darah (kelahiran) bagi sebagian besar anggotanya. Dalam konteks sosiologi, etnik adalah status yang ditentukan (ascribed status). Namun demikian, beberapa variasi tetap dapat dihadirkan karena etnik juga mengacu pada kesamaan kepercayaan. Dengan memperhitungkan adanya disparitas antara ciri-ciri fisik dan konsepsi kelompok, maka pengertian etnisitasmenjadi semakin elastis. Menurut Horowitz, (1985) sebuah kelompok etnik dibedakan berdasarkan warna kulit, bahasa dan kepercayaan (religion), yang mencakup suku, ras, nasionalitas, dan kasta.
Pandangan lain, yang awalnya diadopsi dari antropolog Molinowski, bahwa istilah etnik dan etnisitas menunjuk pada kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan definitif. Kelompok etnik dapat dibedakan menurut organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem kepercayaan), ekonomi, tradisi (hukum) maupun pola hubungan antar kelompok etnik, termasuk dalam pertukaran jasa dan pelayanan. (Pelly, 1998: 26). Barth (1988), menyatakan bahwa etnisitas (kesukuan) tidak hanya didasarkan pada teritorial yang ditempati atau sistem rekrutmen yang diberlakukan, akan tetapi pada pernyataan dan pengakuan yang terus menerus dari setiap kelompok etnik bersangkutan. Selanjutnya Barth mengemukakan ciri-ciri kelompok etnik dalam suatu masyarakat, yaitu: (1) secara biologis mampu berkembang dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, (4) menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain. Ciri asal yang bersifat kategoris (categorical ascription) adalah ciri khas yang paling dasar dan secara umum menentukan seseorang itu termasuk ke dalam kelompok etnik mana dan ini dapat diperkirakan dari latar belakang asal usul orang tersebut. 
Berdasarkan berbagai konsep di atas, dapat dikatakan bahwa etnik atau kelompok etnik adalah :
-          Pertama, suatu kelompok sosial yang mempunyai tradisi kebudayaan dan sejarah yang sama dan karena kesamaan itulah mereka memiliki identitas sebagai suatu subkelompok dalam suatu masyarakat yang luas. Para anggota kelompok etnik itu berbeda dengan kebudayaan masyarakat kebanyakan, karena mereka memiliki karakteristik kebudayaan tertentu dari anggota masyarakat yang lain. Kelompok etnik biasanya mempunyai bahasa sendiri, agama sendiri, adat istiadat sendiri yang berbeda dengan kelompok lain.
-          Kedua, suatu kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda, namun di antara para anggotanya merasa memiliki semacam subkultur yang sama. Gagasan tentang kelompok etnik berbeda dengan ras, sebab etnik lebih menggambarkan nilai, norma, perilaku dan bahasa yang acapkali juga terlihat pada tampilan fisik. Seringkali kelompok etnik tertentu menjadi kelompok minoritas dari kebudayaan orang lain yang mayoritas.
-          Ketiga, etnik merupakan suatu kelompok yang memiliki domain tertentu yang disebut ethnic domain, di mana kelompok etnik itu mempunyai peranan dan bentuk simbol yang sama, memiliki bentuk kesenian atau art yang sama yang diciptakan dalam ruang dan waktu tertentu. Jadi, ada imajinasi yang sama yang mereka ciptakan secara virtual, sebagai gambaran diri mereka, hubungan mereka dengan orang lain yang membentuk sistem peran, fungsi dan relasi serta struktur dan sistem sosialnya sendiri.
            Dalam kontes masyarakat Indonesia, menurut Abdilah adalah merupakan suatu euforia perubahan melalui semangat reformasi dan pasca runtuhnya rezim Orde Baru dengan melalui Otonomi Daerah. Euphoria itu kemudian diikuti dengan konflik ketegangan etnis yang dipicu oleh keterpurukan dan sepanjang ekonomi di beberapa wilayah di mulai dari Sambas, Aceh, Atambua,( pengungsi Eks Timor-Timur), sampai dengan Papua.
            Abdilah menggambarkan persoalan yang memunculkan oleh Politik identitas akan senantiasa menjadi persoalan dan memberikan arahan sebagai problem yang termasuk sulit pada kondisi saat ini. Hal tersebut di akibatkan oleh paradigma politik masyarakat modern bertambah meningkat dan beragam. Setidaknya. Menyebarnya poltik identitas atau biopolitik dalam pandnagan Michael Foucault merupakan akibat dari runtuhnya masyarakat yang direncanakan secara ilmiah yang merupakan suatu gerakan dengan implementasi control demografis objektif. Inilah dasar-dasar biopolitik. Di mana, penulis menggambarkan bahwa, politik identitas merupakan khasanah yang terjadi pada Negara dan masyarakat yang modern (liberal dan demokratis), sebagaimana penelitian Foucault, untuk menerapkan prinsip-prinsip terhadap tubuh individual dalam proses poltik melalui kekuasaan Negara. Tujuannya agar orang-orang tercerahkan mencapai populasi optimum, pertumbuhan generasi yang proposional, dan lain-lain, dalam hal ini tolok ukurnya adalah standar Negara, tidak pernah berdasarkan individu atau masyarakat.
            Menurut Abdilah, dewasa ini etnisitas menjadi aspek yang penting dalam hubungan politik, pada saranya term ini muncul karena menyangkut gagasan tentang perbedaan, dikotomi kami dan mereka dan pembedaan atas klaim terhadap dasar asal usul, dan karakteristik budaya. Etnisitas adalah hasil dari proses hubungan, tidak semata karena porses isolasi. Apabila tidak ada perbedaan antara orang dalam dan orang luar, tidak ada namanya etnisitas. Menurut Erikson, syarat kemnculan etnisitas adalah kelompok tersebut setidaknya telah menjalin hubungan, kontak dengan etnis yang lain, dan masing-masing menerima gagasan dan ide-ide perbedaan di antara mereka baik secara kulturan maupun politik. Dalam bahasa lain, etnisitas muncul dalam kerangka hubungan rasional, dalam interaksinya dengan dunia luar dan komunitas kelompoknya.
            Politik identitas dalam perkembangannya etnis dalam perkembangannya dewasa ini lebih banyak menampilkan diri dalam wacana politik kebudayaan. Politik identitas sendiri merupakan proses lahir dari kegagalan modernitas untuk memenuhi janjinya. Dalam situasi keterserahkan identitas dan etnisitas-etnisitas perbedaan, poltik perbedaan tumbuh subur dalam situasi negara atau masyarakat yang multicultural dan multietnis. Dalam kerangka ini, hubungan interaktif antarkelompok perbedaan, terutama kelompok etnis yang berbeda perlu menjalin suatu kerangka etis, dalam hal ini adalah sikap toleran.
            Dalam buku ini, fokus Abdilah menjelaskan konsep etnis dan paradigma politik identias etnis merupakan dua konsep yang berbeda, namun sejalan dalam perkembangannya. Penulis menggambarkan perjuangan politik identitas etnis adalah upaya mengeksistensi diri kebudayaan etnis dalam konteks persaingan ini. Politik identitas etnis sebagai salah satu contoh dalam hal ini, membawa pengaruh yang luas pada proses politik suatu Negara atau masyarakat yang beraneka ragam etnisnya (multietnis). Politik identitas etnis yang tidak sehat menimbulkan akibat yang fatal terhadap proses politik. Pemerintah dan Negara yang tidak memperhatikan atau tidak mengerti dan mengantisipasi poltik identitas etnis sering kali menanggung akibat-akibat ynag tak terduga dan parah seperti gejala disintegrasi dan pengorbanan kemanusiaan.
            Di bab terakhir, Abdilah menguraikan tentang Politik Toleransi dan Perbedaan. Di mana, Abdilah memberikan gambaran kritis tentang etnisitas dengan memberikan beberapa alasan, pertama. Etnis sendiri telah menjadi wacana yang melandasi suatu model pembacaan tertentu dalam relasi sosial. Kedua, etnis kategori politik identitas yang memainkan peran sejarah yang sangat panjang, ketiga, ada persoalan dalam perilaku politik (identifikasi etnis mengandung kekerasan, realitasnya dalam interaksi sosial pada masyarakat modern). Etnik dalam wacana primitifnya identik dengan suku atau kelompok suku (tribe) yang terpisah dan terisolir, hidup di hutan atau jauh dari orang kebanyakan dengan budayanya yang masih animistic dan menampilkan diri sebagai apa adanya. Kemudian, etnik dalam wacana politik budaya kontemporer adalah suatu wacana batas (frontier) kami dan mereka, sebuah makna budaya yang intinya adalah wacana pembedaan. Seperti peran-peran politik etnis saat ini yang merupakan pembacaan terhadap realitas “kami” dan “mereka”. Di sini, letak relevansi politik identitas diterapkan dalam mencari pengertian politik identitas etnik.
            Lebih jauh, etnisitas dipakai untuk menggambarkan batasan-batasan siapa yang masuk dalam suatu kelompok dan siapa yang tidak. Sebuah kelompok etnis adalah satu hal yang berurusan dengan pemeliharaan batasan-batasan itu, etnisitas adalah cara untuk mengstrukturasi hubungan yang membiarkan kerasnya perbedaan. Dengan demikian, sebuah komunitas etnis selalu merupakan artefak dari batasan-batasan yang menggambarkan aktivitas, senantiasa berselisih dan bersaing, memberikan diferensiasi, dan mempresentasikan perbedaan-perbedaan yang lain sebagai faktor-faktor yang memisahkan dan berkuasa.

Dalam konteks penelitian dalam buku ini, Abdilah menggambarkan politik identitas etnis merupakan satu contoh artikulasi politik yang sangat beragam. Suatu kasus politik yang sangat mungkin ditemui di setiap negara, bahkan hampir setiap Negara mengalami problem dengan kasus politik etnis ini. Tidak sedikit negara yang mengalami perpecahan dan kancur karena pemerintah tidak mampu mengatasi masalah politik etnis yang terjadi. Pada perkembangannya konsep etnis mengalami perubahan makna dan konotasi. Etnisitas atau kata etnik ternyata dapat pula berupa hasil produk sosial. Kata etnis sendiri muncul karena adanya proses interaksi antar individu yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar