Judul Buku : Mencari
Indonesia Demografi-Politik Pasca-Soeharto
Penulis : Riwanto Tirtosudarmo
Penerbit : LIPI Press bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia
Tahun
Terbit : 2007
Oleh :Kamaruddin Salim
Dalam buku
Mencari Indonesia Demografi-Politik Pasca Soeharto, yang ditulis oleh Riwanto
Tirtosudarmo terdiri dari Bab I : Mencari Indonesia: Dimensi sosial-budaya dan
politik migrasi Bab II : Rekayasa demografi dan integrasi nasional Bab III:
Demografi dan konflik: Gagalnya proyek pembangunan bangsa? Bab IV : Kalimantan
Barat sebagai daerah perbatasan Bab V : Nunukan-Kalimantan Timur sebagai
wilayah transit Bab VI : Etnopolitik pemekaran wilayah: Riau dan Sulawesi
Tengah Bab VII: Masyarakat adat, LSM dan perebutan SDA di Kalimantan Tengah Bab
VIII Kelas menengah dan kontrol sosial di Sulawesi Utara Bab IX : Dimensi
politik migrasi Internasional:Indonesia dan negara tetangganya Bab X : Buruh
migran perempuan dan perebutan ruang publik Bab XI : Dari human capital ke
human development Bab XII: Perkembangan ilmu-ilmu sosial: Sebuah catatan
perjalanan.
Menurut Riwanto, buku
Mencari Indonesia merupakan inspirasi dari kata-kata seorang pengungsi
korban kerusuhan missal di Dili, Timor-Timur jajak pendapat tahun 1999.
Kegalauan perasaan pengungsi bernama Lilik Lukiati, dan terungkap dalam
keluhannya” Mencari Indonesia: Dimensi Sosial-Budaya dan Politik Migrasi,
menguraikan tentang Mencari Indonesia, dalam pengertian para pengungsi dari
Manufahi ini bukan hanya sebuah tempat baru dan aman, tetapi sebuah tempa di
mana mereka sekaligus bisa mendapatkan kepastian masa depan.
Dalam wacana
yang berkembang, terutama di kalangan pengambil keputusan, ungkapan
“sosial-budaya” memiliki konotasi tertentu yang kurang lebih mengandung
pengertian terkait berbagai hal yang berkaitan dengan tradisi, adat kebiasaan,
kesenian, bahkan hal-hal yang bersifat magis dan mitologis. Secara negatif
aspek-aspek sosial-budaya seringkali diakitkan dengan sesuatu yang bersifat
“terkebelakang”. Karena itu, oleh kalangan aspek sosial budaya dianggap
menghambat pembangunan atau modernisasi. Dengan demikian, menurut anggapan ini,
banyak hal-hal yang berhubungan dengan aspek sosial-budaya yang harus
dihilangkan atau ditinggalkan jika kita ingin melakukan pembangunan atau
modernisasi.
Sementara
itu, dalam masa Orde Baru, berkembang pengertian yang khas tentang politik.
Politik dalam masa Orde Baru adalah sebuah kegiatan yang cenderung ditabukan
dan yang bersifat formal dan terkontrol. Kegiatan politik di masa Orde Baru
tidak diperbilehkan keluar dari pakem yang telah digariskan dari atas. Kegiatan
politik disalurkan melalui partai politik yang jumlahnya telah ditentukan dan
asasnya telah ditetapkan. Kegiatan politik yang keluar dari hal-hal yang
dianggap membahyakan negara dan harus mendapatkan sanksi setimpal. Dalam
situasi yang demikian, poitik dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki
aspek-aspek yang sangat terbatas dan terkendali. Menurut Clifford Geertz,
sosial-budaya dan politik adalah ibarat dua sisi mata uang yang sama. Untuk mengerti
politik anda harus kebudayaan masyarakat, begitu pula, untuk mengerti
kebudayaan sebuah masyarakat anda harus mengerti politik. Geertz berpendapat
bahwa aspek sosial-budaya dan politik dari suatu masyrakat merupakan sebuah
anyaman sosial (social fabric) yang
saling lilit, yang kadang kala hanya dapat kita mengerti setelah kita cukup
lama mengenal masyrakat bersangkutan sehingga bisa melakukan interpretasi
terhadap makna yang berbeda di balik tingkah laku yang terlihat dari luar.
Riwanto
menguraikan pendekatan yang menekankan eratnya pertautan antara kebudayaan dan
politik menunjukkan muskilnya nggapan bahwa kebudayaan sebuah bangsa adalah
sesuatu yang bersifat homogeny sehingga bisadiperlakukan secara seragam.
Desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah adalah langkah yang paling tepat
untuk menjamin keberagaman kebudayaan yang menjadi dasar bagi berkembangnya
inisiatif dan kreativotas politik penduduk di daerah tanpa merugikan arti,
apalagi mempertentangkan dengan makna ke-Indonesiaan sebagai sebuah
negara-bangsa (nation-state) yang
modern.
Demografi
dan Rekayasa Sosial, dalam kontek pembangunan daerah, mobolisasi penduduk
mempunyai peranan yang sangat penting karena melalui mobilisasi penduduklah
mekanisme ekonomi yang merupakan interaksi antara penawaran (supplay) dan permintaan (demand)
berlangsung. Dalam kerangka pemikiran ekonomi nasional, perpindahan
penduduk antardaerah adalah sesuatu yang wajar dan mempunyai arti yang positif
karena hal tersebut sebagai sebuah upaya antarwilayah. Penduduk dalam kerangka
berpikir oni lebih tepat di sebut sumber daya manusia atau tenaga kerja
diasumsikan mampu melakukan pilihan yang bersifat rasional.
Mobilisasi
penduduk, terjadi secara alamiah sebagai respon yang wajar terhadap kesempatan
kerja yang tersedia ditempat lain atau secara terprogram melalui kebijakan
trasnmigrasi. Pada cara pertama, yaitu perpindahan secara spontan, jelas
sedikit sekali pengaruh langsung dari pemerintah. Namun, secara tidak langsung
perbaikan infrastruktur seperti pembuatan jalan penambahan sarana prasarana dan
alat trasportasi sangatlah berpengaruh terhadap meningkatnya kemudahan bagi
penduduk untuk melakukan perpindahan.
Menurut Riwanti,
Kelemahan utama dari model pembangunan yang sentralistik yang kita alami selama
ini adalah tidak adanya pratisipasi yang genuine
dari masyarakat. Program pembangunan yang dilaksanakan tanpa kita ketahui
apakah masyarakat membutuhkan program itu. Masyrakat seperti bayi yang selalu
disusui oleh ibunya. Kecenderungan yang kemudian muncul dari masyrakat adalah
menguatnya sikap apatis dan berkembangnya sindroma ketergantungan yang parah.
Kelemahan lain menyangkat berkembangnya arogansi birokrasi dalam hubungan
dengan masyarakat ialah masyarakat dipandang tidka mungkin berkembang tanpa
adanya uluran tangan pemerintah.
Ekpresi Budaya
dan Politik identitas, Riwanto kemudian menguraikan bahwa dalam lima tahun
terakhir konflik sosial diwarnai dimensi kesukuan atau etnisitas,
yang diberbagai tempat bahkan telah meletus sebagai konflik terbuka yang penuh
kekerasan, memperlihatkan kebutuhan yang sangat mendesak, tertama bagi para
pengambil keputusan, untuk memperoleh informasi yang jernih tentang akar
permasalahan dan proses yang melatarbelakangi konflik sosial tersebut.
Konflik terbuka
di Kalimantan barat, antara satu pihak orang dayak dan Melayu dan pihak lain
orang Madura memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi tidak sekedar bersifat
sturktural, tetapi telah terjalin dan berkembang menjadi konflik karena
perbedaan identitas yang bersifat kultural. Dalam konflik semacam ini, migrant
dan pendduuk lokal tidak lagi sekedar perebutan sumber daya ekonomi yang
semakin terbatas, tetapi lebih dari itu mereka menginginkan diakuinya supremasi
sebagai sebuah kelompok yang memiliki identitas yang berbeda dari kelompok lain
(the other).
Identitas etnis,
yang di dalamnya terkandung ciri-ciri yang berbeda dari etnis lain, seperti
wilayah, bahasa, agama, sejarah asal-usul, dan sebagainya, menjadi pengaruh dan
pemberi legitimasi untuk mengekspresikan kepentingan ekonomi dan politik yang
menajdi aspirasinya. Merebaknya politik identitas, sebagaiman terlihat dengan
jelas di berbagai tempat di Indonesia, merupakan tantangan bagi kita semua
untuk memikitkan format politik yang baru, yang mampu mengakomodasi
tuntutan-tuntutan masyarakat, yang dilandasi oleh menguatnya kesadaran etnis
dewasa ini.
Riwanto
menjelaskan bahwa, dalam iklim politik yang memans sekarang ini, maslaah
pembangunan daerah dengan jelas tidak lagi dapat dipisahkan dari perdebatan
sekitar otonomi politik daerah dan tututan untuk merumuskan kembali format
negara dan bangsa yang ada. Munculnya berbagai organsiasi yang berdasarkan
etnis, yang menuntut pengakuan hak atas adat asli mereka, tampaknya berkaitan
dengan tuntutan akan otonomi dan kemandirian yang lebih besar dari
daerah-daerah. Oleh karena itu, rencana pembangunan daerah di masa mendatang
hendaknya menggunakan pendekatan yang lebih komperhensif, yang di dalamnya ada
keterkaitan atara pencapaian antara pencapaain kesejahteraan ekonomi dan
pemenuhan aspirasi politik dan hak asiasi penduduk lokal.
Etnsitas dan
Politik Mograsi, menurut Riwanto, merupakan pembahasan mengenai suku di
Indonesia pascakolonial berkembang bersamaan dengan meningkatnya dominasi
negara atas masyarakat. Meski semboyan Bhineka Tunggal Ika masih tetap
berkumandang, dalam praktik sebenarnya menekankan keberagaman budaya dan sama
sekali tidak menghiraukan pluralitas. Setelah kemerdekaan, persoalan-persoalan
suku dihapus dari sensus penduduk karena kekhawatiran bahwa penggunaan
keanekaragaman suku dapat melahirkan “sukuisme” dan menghambat langkah maju
integrasi nasional. Biro Pusat Statistik secara terus menerus mendapat tekanan
dari pejabat tinggi dalam pemerintahan untuk menyingkirkan pertanyaan mengenai
suku bangsa.
Dalam situasi
sekarang, saat konflik komunal dan gerakan separatis menduduki tempat teratas
dalam agenda keamanan nasional negara, merekayasa gerakan penduduk menurut suku
dan tanda-tanda identitas kolektif yang lain dapat kembali menjadi pilihan
kebijakan jangka pendek bagi para pembuat kebijakan nasionalis dalam rangka
merespon ancaman teroris global. Tanda-tanda kebijakan semacam itu akan
dihidupkan kembali sudah tampak di cakrawala, misalnya rencana menteri negara
untuk percepatan Pembangunan di Indonesia Timur untuk memungkinkan kembali
penduduk di daerah perbatasan meningkatkan keamanan nasional.
Keberagaman (pluralism) dan heterogenitas etnis yang
terdapat dalam masyarakat Indoensia sungguh-sungguh berada diluar imajinasi
militer dan ekonom-teknokrat yang sangat berkuasa pada zaman Orde Baru. Proses
rekonstruksi wacan identitas pada masa Orde baru mencapai puncaknya ketika
berhasil dikemas dalam konsep “SARA” (Suku, Agama-Ras dan Antar Golongan).
Konsep SARA yang kemudian menjadi acuan utama kebijakan negara pada dasarnya
mengendalikan sebuah masyarakat yang tanpa konflik dan penuh harmoni. Implikasi
dari konsep ini adalah bahwa keberagaman merupakan sumber konflik yang harus
dihindari. Heterogenitas etnis yang melekat pada masyrakat Indonesia dengan demikian harus dilebur
melalui berbagai program dan kebijakan dan program sehingga pada akhirnya
muncul apa yang disebut sebagai kebudayaan dan kepribadian nasional yang merupakan
“jati diri” bangsa Indoensia. Heterogenitas etnis pada tingkat pemahaman seperti
ini adalah sumber dari konflik etnis.
Demografi-Politik
Identitas, Riwanto menguraikan bahwa dalam kajian politik di Indoensia,
etnisitas (kesukuanbangsaan) merupakan aspek yang dianggap penting dan
mendapatkan tempat yang cukup besar meskipun mengalami pasang surut seirama
dengan naik turunnya pertahtian ilmuwan politik terhadap isu etnisitas pada
tingkat global. Keanekaragaman etnis
yang dimiliki Indoensia sudah sejak awal disadari oleh kalangan ilmuwan sosial
dan ilmu politik khususnya berpengaruh terhadap tingkah laku politik di
Indoensia.
Persoalannya,
meskipun Indoensia tumbuh sebagai bangsa dengan meminggirkan semangat
kebangsaan yangs angat kuat untuk meninggalkan identitas etnik dari setiap
kelompok masyarakat, hal itu tidak berarti etnisitas hilang begitu sajad ari
kehidupan politik Indonesia. Menurut Riwanto, identitas kolektif seperti
etnistas, bahasa daerah dan agama yang dimiliki seseorang bisa saja berubah
atau bergeser karena adanya perkawinan campuran yang membuat keturunan mereka
yang kawin campur menjadi identitas campuran yang mengikis identitas yang
dimiliki oleh ayah dan ibu mereka. Persolaannya, proporsi penduduk yang
melakukan kawin campur masih merupakan minoritas disbanding jumlah penduduk
yang umumnya masik kawin dnegan sesama etnik atau agamanya. Perkawinan antar
etnik juga sangat erat dengan tinggiatau rendanya tingkat mobilitas penduduk
atau migrasi dari kelompok etnis tertentu. Semakin tinggi tingkat migrasi
sebuah kelompok etnis diduga tingkat perkawinan campur yang dilakukan oleh
orang-orang dari etnis tersebut akan semakin tinggi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar