Laman

Rabu, 18 Mei 2016

Mencari Indonesia Demografi-Politik Pasca-Soeharto

Judul Buku                 : Mencari Indonesia Demografi-Politik Pasca-Soeharto
Penulis                          : Riwanto Tirtosudarmo
Penerbit                        : LIPI Press bekerjasama dengan Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit               : 2007
Oleh                            :Kamaruddin Salim    

Dalam buku Mencari Indonesia Demografi-Politik Pasca Soeharto, yang ditulis oleh Riwanto Tirtosudarmo terdiri dari Bab I : Mencari Indonesia: Dimensi sosial-budaya dan politik migrasi Bab II : Rekayasa demografi dan integrasi nasional Bab III: Demografi dan konflik: Gagalnya proyek pembangunan bangsa? Bab IV : Kalimantan Barat sebagai daerah perbatasan Bab V : Nunukan-Kalimantan Timur sebagai wilayah transit Bab VI : Etnopolitik pemekaran wilayah: Riau dan Sulawesi Tengah Bab VII: Masyarakat adat, LSM dan perebutan SDA di Kalimantan Tengah Bab VIII Kelas menengah dan kontrol sosial di Sulawesi Utara Bab IX : Dimensi politik migrasi Internasional:Indonesia dan negara tetangganya Bab X : Buruh migran perempuan dan perebutan ruang publik Bab XI : Dari human capital ke human development Bab XII: Perkembangan ilmu-ilmu sosial: Sebuah catatan perjalanan.
Menurut  Riwanto, buku  Mencari Indonesia merupakan inspirasi dari kata-kata seorang pengungsi korban kerusuhan missal di Dili, Timor-Timur jajak pendapat tahun 1999. Kegalauan perasaan pengungsi bernama Lilik Lukiati, dan terungkap dalam keluhannya” Mencari Indonesia: Dimensi Sosial-Budaya dan Politik Migrasi, menguraikan tentang Mencari Indonesia, dalam pengertian para pengungsi dari Manufahi ini bukan hanya sebuah tempat baru dan aman, tetapi sebuah tempa di mana mereka sekaligus bisa mendapatkan kepastian masa depan.
Dalam wacana yang berkembang, terutama di kalangan pengambil keputusan, ungkapan “sosial-budaya” memiliki konotasi tertentu yang kurang lebih mengandung pengertian terkait berbagai hal yang berkaitan dengan tradisi, adat kebiasaan, kesenian, bahkan hal-hal yang bersifat magis dan mitologis. Secara negatif aspek-aspek sosial-budaya seringkali diakitkan dengan sesuatu yang bersifat “terkebelakang”. Karena itu, oleh kalangan aspek sosial budaya dianggap menghambat pembangunan atau modernisasi. Dengan demikian, menurut anggapan ini, banyak hal-hal yang berhubungan dengan aspek sosial-budaya yang harus dihilangkan atau ditinggalkan jika kita ingin melakukan pembangunan atau modernisasi.
            Sementara itu, dalam masa Orde Baru, berkembang pengertian yang khas tentang politik. Politik dalam masa Orde Baru adalah sebuah kegiatan yang cenderung ditabukan dan yang bersifat formal dan terkontrol. Kegiatan politik di masa Orde Baru tidak diperbilehkan keluar dari pakem yang telah digariskan dari atas. Kegiatan politik disalurkan melalui partai politik yang jumlahnya telah ditentukan dan asasnya telah ditetapkan. Kegiatan politik yang keluar dari hal-hal yang dianggap membahyakan negara dan harus mendapatkan sanksi setimpal. Dalam situasi yang demikian, poitik dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki aspek-aspek yang sangat terbatas dan terkendali. Menurut Clifford Geertz, sosial-budaya dan politik adalah ibarat dua sisi mata uang yang sama. Untuk mengerti politik anda harus kebudayaan masyarakat, begitu pula, untuk mengerti kebudayaan sebuah masyarakat anda harus mengerti politik. Geertz berpendapat bahwa aspek sosial-budaya dan politik dari suatu masyrakat merupakan sebuah anyaman sosial (social fabric) yang saling lilit, yang kadang kala hanya dapat kita mengerti setelah kita cukup lama mengenal masyrakat bersangkutan sehingga bisa melakukan interpretasi terhadap makna yang berbeda di balik tingkah laku yang terlihat dari luar.
            Riwanto menguraikan pendekatan yang menekankan eratnya pertautan antara kebudayaan dan politik menunjukkan muskilnya nggapan bahwa kebudayaan sebuah bangsa adalah sesuatu yang bersifat homogeny sehingga bisadiperlakukan secara seragam. Desentralisasi kekuasaan dan otonomi daerah adalah langkah yang paling tepat untuk menjamin keberagaman kebudayaan yang menjadi dasar bagi berkembangnya inisiatif dan kreativotas politik penduduk di daerah tanpa merugikan arti, apalagi mempertentangkan dengan makna ke-Indonesiaan sebagai sebuah negara-bangsa (nation-state) yang modern.    
            Demografi dan Rekayasa Sosial, dalam kontek pembangunan daerah, mobolisasi penduduk mempunyai peranan yang sangat penting karena melalui mobilisasi penduduklah mekanisme ekonomi yang merupakan interaksi antara penawaran (supplay) dan permintaan (demand)  berlangsung. Dalam kerangka pemikiran ekonomi nasional, perpindahan penduduk antardaerah adalah sesuatu yang wajar dan mempunyai arti yang positif karena hal tersebut sebagai sebuah upaya antarwilayah. Penduduk dalam kerangka berpikir oni lebih tepat di sebut sumber daya manusia atau tenaga kerja diasumsikan mampu melakukan pilihan yang bersifat rasional.
Mobilisasi penduduk, terjadi secara alamiah sebagai respon yang wajar terhadap kesempatan kerja yang tersedia ditempat lain atau secara terprogram melalui kebijakan trasnmigrasi. Pada cara pertama, yaitu perpindahan secara spontan, jelas sedikit sekali pengaruh langsung dari pemerintah. Namun, secara tidak langsung perbaikan infrastruktur seperti pembuatan jalan penambahan sarana prasarana dan alat trasportasi sangatlah berpengaruh terhadap meningkatnya kemudahan bagi penduduk untuk melakukan perpindahan.
Menurut Riwanti, Kelemahan utama dari model pembangunan yang sentralistik yang kita alami selama ini adalah tidak adanya pratisipasi yang genuine dari masyarakat. Program pembangunan yang dilaksanakan tanpa kita ketahui apakah masyarakat membutuhkan program itu. Masyrakat seperti bayi yang selalu disusui oleh ibunya. Kecenderungan yang kemudian muncul dari masyrakat adalah menguatnya sikap apatis dan berkembangnya sindroma ketergantungan yang parah. Kelemahan lain menyangkat berkembangnya arogansi birokrasi dalam hubungan dengan masyarakat ialah masyarakat dipandang tidka mungkin berkembang tanpa adanya uluran tangan pemerintah.
Ekpresi Budaya dan Politik identitas, Riwanto kemudian menguraikan bahwa dalam lima tahun terakhir  konflik sosial  diwarnai dimensi kesukuan atau etnisitas, yang diberbagai tempat bahkan telah meletus sebagai konflik terbuka yang penuh kekerasan, memperlihatkan kebutuhan yang sangat mendesak, tertama bagi para pengambil keputusan, untuk memperoleh informasi yang jernih tentang akar permasalahan dan proses yang melatarbelakangi konflik sosial tersebut.
Konflik terbuka di Kalimantan barat, antara satu pihak orang dayak dan Melayu dan pihak lain orang Madura memperlihatkan bahwa konflik yang terjadi tidak sekedar bersifat sturktural, tetapi telah terjalin dan berkembang menjadi konflik karena perbedaan identitas yang bersifat kultural. Dalam konflik semacam ini, migrant dan pendduuk lokal tidak lagi sekedar perebutan sumber daya ekonomi yang semakin terbatas, tetapi lebih dari itu mereka menginginkan diakuinya supremasi sebagai sebuah kelompok yang memiliki identitas yang berbeda dari kelompok lain (the other).
Identitas etnis, yang di dalamnya terkandung ciri-ciri yang berbeda dari etnis lain, seperti wilayah, bahasa, agama, sejarah asal-usul, dan sebagainya, menjadi pengaruh dan pemberi legitimasi untuk mengekspresikan kepentingan ekonomi dan politik yang menajdi aspirasinya. Merebaknya politik identitas, sebagaiman terlihat dengan jelas di berbagai tempat di Indonesia, merupakan tantangan bagi kita semua untuk memikitkan format politik yang baru, yang mampu mengakomodasi tuntutan-tuntutan masyarakat, yang dilandasi oleh menguatnya kesadaran etnis dewasa ini.
Riwanto menjelaskan bahwa, dalam iklim politik yang memans sekarang ini, maslaah pembangunan daerah dengan jelas tidak lagi dapat dipisahkan dari perdebatan sekitar otonomi politik daerah dan tututan untuk merumuskan kembali format negara dan bangsa yang ada. Munculnya berbagai organsiasi yang berdasarkan etnis, yang menuntut pengakuan hak atas adat asli mereka, tampaknya berkaitan dengan tuntutan akan otonomi dan kemandirian yang lebih besar dari daerah-daerah. Oleh karena itu, rencana pembangunan daerah di masa mendatang hendaknya menggunakan pendekatan yang lebih komperhensif, yang di dalamnya ada keterkaitan atara pencapaian antara pencapaain kesejahteraan ekonomi dan pemenuhan aspirasi politik dan hak asiasi penduduk lokal.
Etnsitas dan Politik Mograsi, menurut Riwanto, merupakan pembahasan mengenai suku di Indonesia pascakolonial berkembang bersamaan dengan meningkatnya dominasi negara atas masyarakat. Meski semboyan Bhineka Tunggal Ika masih tetap berkumandang, dalam praktik sebenarnya menekankan keberagaman budaya dan sama sekali tidak menghiraukan pluralitas. Setelah kemerdekaan, persoalan-persoalan suku dihapus dari sensus penduduk karena kekhawatiran bahwa penggunaan keanekaragaman suku dapat melahirkan “sukuisme” dan menghambat langkah maju integrasi nasional. Biro Pusat Statistik secara terus menerus mendapat tekanan dari pejabat tinggi dalam pemerintahan untuk menyingkirkan pertanyaan mengenai suku bangsa.
Dalam situasi sekarang, saat konflik komunal dan gerakan separatis menduduki tempat teratas dalam agenda keamanan nasional negara, merekayasa gerakan penduduk menurut suku dan tanda-tanda identitas kolektif yang lain dapat kembali menjadi pilihan kebijakan jangka pendek bagi para pembuat kebijakan nasionalis dalam rangka merespon ancaman teroris global. Tanda-tanda kebijakan semacam itu akan dihidupkan kembali sudah tampak di cakrawala, misalnya rencana menteri negara untuk percepatan Pembangunan di Indonesia Timur untuk memungkinkan kembali penduduk di daerah perbatasan meningkatkan keamanan nasional.
Keberagaman (pluralism) dan heterogenitas etnis yang terdapat dalam masyarakat Indoensia sungguh-sungguh berada diluar imajinasi militer dan ekonom-teknokrat yang sangat berkuasa pada zaman Orde Baru. Proses rekonstruksi wacan identitas pada masa Orde baru mencapai puncaknya ketika berhasil dikemas dalam konsep “SARA” (Suku, Agama-Ras dan Antar Golongan). Konsep SARA yang kemudian menjadi acuan utama kebijakan negara pada dasarnya mengendalikan sebuah masyarakat yang tanpa konflik dan penuh harmoni. Implikasi dari konsep ini adalah bahwa keberagaman merupakan sumber konflik yang harus dihindari. Heterogenitas etnis yang melekat pada masyrakat  Indonesia dengan demikian harus dilebur melalui berbagai program dan kebijakan dan program sehingga pada akhirnya muncul apa yang disebut sebagai kebudayaan dan kepribadian nasional yang merupakan “jati diri” bangsa Indoensia. Heterogenitas etnis pada tingkat pemahaman seperti ini adalah sumber dari konflik etnis.
Demografi-Politik Identitas, Riwanto menguraikan bahwa dalam kajian politik di Indoensia, etnisitas (kesukuanbangsaan) merupakan aspek yang dianggap penting dan mendapatkan tempat yang cukup besar meskipun mengalami pasang surut seirama dengan naik turunnya pertahtian ilmuwan politik terhadap isu etnisitas pada tingkat global.  Keanekaragaman etnis yang dimiliki Indoensia sudah sejak awal disadari oleh kalangan ilmuwan sosial dan ilmu politik khususnya berpengaruh terhadap tingkah laku politik di Indoensia.

Persoalannya, meskipun Indoensia tumbuh sebagai bangsa dengan meminggirkan semangat kebangsaan yangs angat kuat untuk meninggalkan identitas etnik dari setiap kelompok masyarakat, hal itu tidak berarti etnisitas hilang begitu sajad ari kehidupan politik Indonesia. Menurut Riwanto, identitas kolektif seperti etnistas, bahasa daerah dan agama yang dimiliki seseorang bisa saja berubah atau bergeser karena adanya perkawinan campuran yang membuat keturunan mereka yang kawin campur menjadi identitas campuran yang mengikis identitas yang dimiliki oleh ayah dan ibu mereka. Persolaannya, proporsi penduduk yang melakukan kawin campur masih merupakan minoritas disbanding jumlah penduduk yang umumnya masik kawin dnegan sesama etnik atau agamanya. Perkawinan antar etnik juga sangat erat dengan tinggiatau rendanya tingkat mobilitas penduduk atau migrasi dari kelompok etnis tertentu. Semakin tinggi tingkat migrasi sebuah kelompok etnis diduga tingkat perkawinan campur yang dilakukan oleh orang-orang dari etnis tersebut akan semakin tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar