Laman

Rabu, 18 Mei 2016

Perang Kota Kecil. Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia

Judul Buku                  : Perang Kota Kecil. Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia
Penulis                                      : Gerry Van Klinken
Penerbit                        : Yayasan Obor Indonesia-Jakarta
Tahun Terbit               : 2007
Oleh                            :Kamaruddin Salim    

Buku yang ditulis oleh Gerry Van Klinken ini menggunakan teknik-teknik analisis yang cukup inovatif dari teori contentious politics (politik perseteruan, pengembangan dari teori gerakan sosial) dalam mengeksplanasikan enam episode kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia pada rentang tahun 1997 sampai 2002. Secara keseluruhan, keenam episode kekerasan tersebut terjadi di: : Kalimantan Barat, Maluku (Ambon), Sulawesi Tengah (Poso), Maluku Utara dan Kalimantan Tengah. Keenam episode tersebut, dalam artian tertentu, merupakan “politik lokal dengan cara lain”. Pada tiap-tiap episode, orang-orang yang mementukan jalannya konflik dengan peran utama mereka menggalang mobilisasi dan koalisi yang semuanya termotivasi secara politis.
Klinken menguraikan bahwa pada saat yang hampir bersamaan, akhir tahun 1998 dan awal 1999, pertempuran komunal terjadi di berbagai daerah secara bersamaan, seperti yang terjadi di Kabupaten Sambas, Poso, Ambon dan Maluku Utara melibatkan berbagai medan, antara Muslim dan Kristen dengan Muslim yang lainnya. Secara keseluruhan episode kekerasan di lima tempat tersebut memberi gambaran pola kekerasan yang cukup jelas. Tetapi ketajaman konflik kali ini melebihi konflik yang pernah terjadi bertahun-tahun sebelumnya dengan orang Madura dan orang Muslim Ambon bahwa pemberontakan 1950 juga melibatkan sentimen agama. Sementara sentimen identitas-identitas yang terlibat sebagaian besar terlepas dari klaim-klaim tentang bangsa, dan dengan demikian berbeda dari pengalaman di Ambon pada tahun 1950. Dan tiap-tiap konflik bersifat komunal- antara kelompok-kelompok dalam masyarakat mengikuti garis-garis asal-usul etnis atau agama, tidak secara eksplisit tentang kelas, dan tidak menentang negara.
Lebih lanjut, Van Klinken membagi kekerasan yang terjadi di Indonesia menjadi empat tipe besar, yaitu: Pertama. Kekerasan Pemisahan Diri. Yang paling terkenal adalah kekerasan yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999. Kedua adalah Kekerasan Komunal Skala Besar, yaitu kekerasan yang terjadi antar agama atau antar etnis. Ketiga adalah Kekerasan Sosial. Kekerasan ini tidak begitu menonjol, tetapi menuntut korban yang cukup besar. Keempat adalah Huru Hara Komunal Lokal, yaitu insiden kekerasan yang terjadi dalam skala kota kecil atau kota besar dan berlangsung selama beberapa hari. Misalnya saja huru-hara yang terjadi di Jakarta tahun 1998. Kekerasan teroris yang baru-baru ini banyak menyedot perhatian bisa dianggap sebagai tipe kelima. Dibandingkan dengan tipe-tipe kekerasan yang lain, walaupun kekerasan ini menuntut korban tewas yang lebih kecil, namun dampak goncangan dari korban yang tewas tentu tidak sebanding dengan angkanya.
Sedangkan buku ini sendiri memfokuskan diri terhadap kekerasan tipe nomor dua, yaitu kekerasan komunal skala besar. Sebab kekerasan komunal skala besar ini dianggap sebagai hal baru di Indonesia dan oleh karenanya buku ini mencoba menjelaskannya secara lebih jauh. Tetapi bukanlah satu-satunya kekerasan kolektif yang terjadi dengan bentuk-bentuk menonjol pada waktu itu. Salah satu persoalan penting dalam buku mendatang adalah melihat bagaimana semua kesulitan itu berkaitan dengan dengan satu sama lain.
Van Klinken mulai bercerita dari kekerasan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat pada bulan Januari dan Februari 1997. Penduduk asli Dayak mulai menyerang para pendatang Madura di kota kecil Sanggau Ledo yang menyebar ke kota lain di kabupaten itu sehingga membuat puluhan ribu orang lari untuk menyelamatkan nyawa mereka. Dan dua tahun setelah peristiwa Sambas, pecah pertempuran antara orang-orang Muslim dan Kristen di Ambon. Pada saat yang hampir bersamaan, yaitu akhir tahun 1998 dan awal tahun 1999, kekerasan komunal juga meledak di dua tempat lain. Di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, kekerasan kembali terjadi, walaupun terjadi di tempat yang berbeda, namun sekali lagi mengakibatkan penggusuran terhadap orang-orang Madura. Dan di Poso, sebuah kota kecil Kalimantan Tengah, kekerasan terjadi antara orang Islam dan Kristen. Setahun kemudian, pada akhir tahun 1999, ketegangan yang memuncak meledak di Maluku Utara yang melibatkan beberapa pihak. Antara Muslim dengan Kristen dan Muslim dengan Muslim. Kemudian lagi-lagi penduduk asli Dayak menyerang para pendatang Madura di kota Sampit, Kalimantan Tengah pada Februari 2001.
Jadi di Kalimantan telah terjadi tiga kali kekerasan komunal dan masing-masing adalah bentuk kekerasan sepihak dan bukan merupakan perng sipilantara dua pihak yang mempunyai kekuatan yang seimbang. Tiap kali kekerasan terjadi, kelompok etnik yang dominanlah (Dayak atau Melayu) yang melakukan pengusiran terhadap etmik minoritas yang sangat dibenci, yaitu Madura. Kekerasan hanya berlangsung selama beberapa minggu dan berakhir dengan kemenangan di pihak mayoritas.
Namun hal ini berbeda dengan yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan Poso di mana konflik telah menyerupai perang sipil. Berbeda dengan di Kalimantan, semua episode disini menyangkut pertempuran antara kelompok-kelompok agama yang kira-kira seimbang. Orang-orang Muslim dan Kristen saling bertempur di tiga wilayah itu, meskipun di Maluku Utara pertempuran Muslim-Kristen juga dibarengi pertempuran etnis Kao-Makian dan pertempuran antar sesama Muslim. Ketiga konflik tersebut berlangsung selama beberapa tahun secara terus menerus dan gelombang demi gelombang.
Menurut Klinken, beberapa dari perubahan-perubahan itu membawa benih-benih kehancuran Orde Baru. Bukan hanya frustasi yang dirasakan oleh kaum marjinal, tetapi juga harapan-harapan yang semakin meningkat dari kaum berlimpah yang cepat atau lambat telah menentang kontrol Orde Baru. Unsur-unsur liberal dalam kelas menengah yang semakin besar, yang didorong oleh pandangan Tembok Berlin dan Tiannanmen 1989, pada waktunya akan mulai mengajukan tuntutan-tuntutan pada pemerintah otoriter mereka sebagaimana telah dilakukan oleh sesama mereka di Manila, Bangkok, dan Seoul. Sikap seartif ang semakin besar dari kelas menengah mulai menarik perhatian peneliti sejak pertengahan 1980-an. Militansi kaum buruh kian meningkat. Kedua kelompok ini memainkan peranan terkemuka dalam kemunculan gelombang tuntutan-tuntutan politis sekitar tahun 1998.  
Meskipun perbedaan ini nyata, di tingkat yang lebih dalam lagi, kekerasan etnik dan kekerasan keagamaan yang terjadi di wilayah yang lebih timur pada dasarnya bisa diperbandingkan. Di tiap-tiap kasus, orang biasa sama-sama merasa digerakkan oleh ketakutan politis dan kemudian melakukan satu aksi, sementara kaum elite lokal membuat perhitungan sendiri berdasar peluang politis.
Berapa banyak yang mati? Kekerasan kolektif non-pemisahan diperkirakan oleh United Nations Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR) telah melenyapkan lebih dari 10.000 nyawa di Indonesia pada periode 1990-2003 (Varshney, Panggabean dan Tadjoedin 2004). Secara keseluruhan (dan dengan mempertahankan perkiraan-perkiraan konservatif UNSFIR) sebuah perkiraan kasar untuk korban tewas akibat kekerasan yang terkait dengan transisi Indonesia 1998 hampir mencapai 19.000 orang dan lebih dari separuhnya tewas akibat konflik komunal dan sebagian besar sisanya akibat kekerasan pemisahan diri.
Dengan hanya menuliskan kekerasan non pemisahan diri dan mengesampingkan kekerasan sosial, UNSFIR menarik beberapa kesimpulan: Pertama, Baik jumlah kejadian maupun jumlah korban tewas meningkat tajam pada tahun 1996 dan mencapai puncaknya pada tahun 1999-2000 dan setelah itu menurun dengan cepat. Kedua, hampir 90% dari korban tewas tersebut akibat kekerasan komunal. Dengan demikian kekerasan komunal memakan koerban tewas terbesar dari semua kekerasan kolektif yang ada. Ketiga, keenam provinsi dengan kekerasan terbesar adalah Maluku Utara (25% dari korban tewas), Maluku (sekitar Ambon18,3%), Kalimantan Barat (13,6%), Jakarta (11,8%), Kalimantan Tengah (11,5%) dan Sulawesi Tengah (6%). Kecuali Jakarta, tempat-tempat ini adalah lokasi kekerasan komunal skala besar.
Episode-episode kekerasan komunal dalam sejarah Indonesia mempunyai ideologi-ideologi politik bangsa atau kelas yang berbaur dengan identitas-identitas etnis atau religius. Yang membedakan kekerasan pasca Orde Baru adalah bahwa masalah-masalah kelas dan bangsa Indonesia praktis tidak ada dan pertarungan dilakukan hampir sepenuhnya berdasarkan identitas-identitas komunal. Inilah yang mengguncang publik Indonesia yang sebelumnya percaya betul bahwa menjadi orang Indonesia tidak banyak berkaitan dengan etnisitas atau agama. Kekerasan tersebut kini merupakan masa lalu. Perlu diingat bahwa semua itu merupakan kekerasan transisional, bukan sebuah perang yang permanen.
Klinken menguraikan, identitas dari jenis kekerasan terdapat di jantung kekerasan komunal yang telah terjadi berulang kali di Kalimantan Barat. Di Indonesia masalah agama dan tindakan kelektif selalu saling terkait. Kebanyakan orang berkumpul di Mesjid dan gereja-gereja tiap minggu bahkan tiap hari; berbagai organisasi maupun partai politik nasonal mempunyai anggota sangat banyak dan bersejarah panjang. Ada pula aneka koran-koran keagamaan dan banyak jaringan sekolah cukup besar. Dengan demikian, Dengan demikian, tidak mengherankan  kalau identitas keagamaan terbagun dengan kuat. Namun, lain lagi soalnya dengan identitas etnisitas di Kalimantan, sebab identitas etnis kurang begitu dilembagakan. Dibandingkan dnegan organisasi keagamaan, organisasi-organisasi etnis lebih sedikit dan sering cepat bubar, tidak ada partai politik etnis, dan sekolah etnis juga tidak ada. Lalu bagaimana etnis dapat tumbuh menonjol.

Secara keseluruhan, buku ini mampu menampilkan secara jelas gambaran mengenai kekerasan komunal serta demokratisasi di beberapa wilayah Indonesia. Didukung dengan pendeskripsian objek yang cukup akurat serta data yang valid dan bahasa penyampaian yang komunikatif membuat buku ini berkualitas dan patut untuk dibaca. Pemberian solusi dan pemecahan praksis juga merupakan salah satu nilai plus daeri buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar