Judul Buku : Perang Kota Kecil. Kekerasan Komunal dan Demokratisasi
di Indonesia
Penulis : Gerry Van Klinken
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia-Jakarta
Tahun
Terbit : 2007
Oleh :Kamaruddin Salim
Buku yang
ditulis oleh Gerry Van Klinken ini menggunakan teknik-teknik analisis yang
cukup inovatif dari teori contentious politics (politik perseteruan,
pengembangan dari teori gerakan sosial) dalam mengeksplanasikan enam episode
kekerasan komunal yang terjadi di Indonesia pada rentang tahun 1997 sampai
2002. Secara keseluruhan, keenam episode kekerasan tersebut terjadi di: : Kalimantan
Barat, Maluku (Ambon), Sulawesi Tengah (Poso), Maluku Utara dan Kalimantan
Tengah. Keenam episode tersebut, dalam artian tertentu, merupakan “politik
lokal dengan cara lain”. Pada tiap-tiap episode, orang-orang yang mementukan
jalannya konflik dengan peran utama mereka menggalang mobilisasi dan koalisi
yang semuanya termotivasi secara politis.
Klinken menguraikan bahwa pada saat
yang hampir bersamaan, akhir tahun 1998 dan awal 1999, pertempuran komunal
terjadi di berbagai daerah secara bersamaan, seperti yang terjadi di Kabupaten
Sambas, Poso, Ambon dan Maluku Utara melibatkan berbagai medan, antara Muslim
dan Kristen dengan Muslim yang lainnya. Secara keseluruhan episode kekerasan di
lima tempat tersebut memberi gambaran pola kekerasan yang cukup jelas. Tetapi
ketajaman konflik kali ini melebihi konflik yang pernah terjadi bertahun-tahun
sebelumnya dengan orang Madura dan orang Muslim Ambon bahwa pemberontakan 1950
juga melibatkan sentimen agama. Sementara sentimen identitas-identitas yang
terlibat sebagaian besar terlepas dari klaim-klaim tentang bangsa, dan dengan
demikian berbeda dari pengalaman di Ambon pada tahun 1950. Dan tiap-tiap
konflik bersifat komunal- antara kelompok-kelompok dalam masyarakat mengikuti
garis-garis asal-usul etnis atau agama, tidak secara eksplisit tentang kelas,
dan tidak menentang negara.
Lebih lanjut,
Van Klinken membagi kekerasan yang terjadi di Indonesia menjadi empat tipe
besar, yaitu: Pertama. Kekerasan Pemisahan Diri. Yang paling terkenal adalah
kekerasan yang terjadi di Timor Timur pasca jajak pendapat 1999. Kedua adalah
Kekerasan Komunal Skala Besar, yaitu kekerasan yang terjadi antar agama atau
antar etnis. Ketiga adalah Kekerasan Sosial. Kekerasan ini tidak begitu
menonjol, tetapi menuntut korban yang cukup besar. Keempat adalah Huru Hara
Komunal Lokal, yaitu insiden kekerasan yang terjadi dalam skala kota kecil atau
kota besar dan berlangsung selama beberapa hari. Misalnya saja huru-hara yang
terjadi di Jakarta tahun 1998. Kekerasan teroris yang baru-baru ini banyak
menyedot perhatian bisa dianggap sebagai tipe kelima. Dibandingkan dengan
tipe-tipe kekerasan yang lain, walaupun kekerasan ini menuntut korban tewas
yang lebih kecil, namun dampak goncangan dari korban yang tewas tentu tidak
sebanding dengan angkanya.
Sedangkan buku
ini sendiri memfokuskan diri terhadap kekerasan tipe nomor dua, yaitu kekerasan
komunal skala besar. Sebab kekerasan komunal skala besar ini dianggap sebagai
hal baru di Indonesia dan oleh karenanya buku ini mencoba menjelaskannya secara
lebih jauh. Tetapi
bukanlah satu-satunya kekerasan kolektif yang terjadi dengan bentuk-bentuk
menonjol pada waktu itu. Salah satu persoalan penting dalam buku mendatang
adalah melihat bagaimana semua kesulitan itu berkaitan dengan dengan satu sama
lain.
Van Klinken
mulai bercerita dari kekerasan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat pada bulan
Januari dan Februari 1997. Penduduk asli Dayak mulai menyerang para pendatang
Madura di kota kecil Sanggau Ledo yang menyebar ke kota lain di kabupaten itu
sehingga membuat puluhan ribu orang lari untuk menyelamatkan nyawa mereka. Dan
dua tahun setelah peristiwa Sambas, pecah pertempuran antara orang-orang Muslim
dan Kristen di Ambon. Pada saat yang hampir bersamaan, yaitu akhir tahun 1998
dan awal tahun 1999, kekerasan komunal juga meledak di dua tempat lain. Di
Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, kekerasan kembali terjadi, walaupun terjadi
di tempat yang berbeda, namun sekali lagi mengakibatkan penggusuran terhadap
orang-orang Madura. Dan di Poso, sebuah kota kecil Kalimantan Tengah, kekerasan
terjadi antara orang Islam dan Kristen. Setahun kemudian, pada akhir tahun
1999, ketegangan yang memuncak meledak di Maluku Utara yang melibatkan beberapa
pihak. Antara Muslim dengan Kristen dan Muslim dengan Muslim. Kemudian lagi-lagi
penduduk asli Dayak menyerang para pendatang Madura di kota Sampit, Kalimantan
Tengah pada Februari 2001.
Jadi di
Kalimantan telah terjadi tiga kali kekerasan komunal dan masing-masing adalah
bentuk kekerasan sepihak dan bukan merupakan perng sipilantara dua pihak yang
mempunyai kekuatan yang seimbang. Tiap kali kekerasan terjadi, kelompok etnik
yang dominanlah (Dayak atau Melayu) yang melakukan pengusiran terhadap etmik
minoritas yang sangat dibenci, yaitu Madura. Kekerasan hanya berlangsung selama
beberapa minggu dan berakhir dengan kemenangan di pihak mayoritas.
Namun hal ini
berbeda dengan yang terjadi di Ambon, Maluku Utara dan Poso di mana konflik
telah menyerupai perang sipil. Berbeda dengan di Kalimantan, semua episode
disini menyangkut pertempuran antara kelompok-kelompok agama yang kira-kira
seimbang. Orang-orang Muslim dan Kristen saling bertempur di tiga wilayah itu,
meskipun di Maluku Utara pertempuran Muslim-Kristen juga dibarengi pertempuran
etnis Kao-Makian dan pertempuran antar sesama Muslim. Ketiga konflik
tersebut berlangsung selama beberapa tahun secara terus menerus dan gelombang
demi gelombang.
Menurut Klinken, beberapa dari
perubahan-perubahan itu membawa benih-benih kehancuran Orde Baru. Bukan hanya
frustasi yang dirasakan oleh kaum marjinal, tetapi juga harapan-harapan yang
semakin meningkat dari kaum berlimpah yang cepat atau lambat telah menentang
kontrol Orde Baru. Unsur-unsur liberal dalam kelas menengah yang semakin besar,
yang didorong oleh pandangan Tembok Berlin dan Tiannanmen 1989, pada waktunya
akan mulai mengajukan tuntutan-tuntutan pada pemerintah otoriter mereka
sebagaimana telah dilakukan oleh sesama mereka di Manila, Bangkok, dan Seoul.
Sikap seartif ang semakin besar dari kelas menengah mulai menarik perhatian
peneliti sejak pertengahan 1980-an. Militansi kaum buruh kian meningkat. Kedua
kelompok ini memainkan peranan terkemuka dalam kemunculan gelombang tuntutan-tuntutan
politis sekitar tahun 1998.
Meskipun
perbedaan ini nyata, di tingkat yang lebih dalam lagi, kekerasan etnik dan
kekerasan keagamaan yang terjadi di wilayah yang lebih timur pada dasarnya bisa
diperbandingkan. Di tiap-tiap kasus, orang biasa sama-sama merasa digerakkan
oleh ketakutan politis dan kemudian melakukan satu aksi, sementara kaum elite
lokal membuat perhitungan sendiri berdasar peluang politis.
Berapa banyak
yang mati? Kekerasan kolektif non-pemisahan diperkirakan oleh United Nations
Support Facility for Indonesian Recovery (UNSFIR) telah melenyapkan lebih dari
10.000 nyawa di Indonesia pada periode 1990-2003 (Varshney, Panggabean dan
Tadjoedin 2004). Secara keseluruhan (dan dengan mempertahankan
perkiraan-perkiraan konservatif UNSFIR) sebuah perkiraan kasar untuk korban
tewas akibat kekerasan yang terkait dengan transisi Indonesia 1998 hampir
mencapai 19.000 orang dan lebih dari separuhnya tewas akibat konflik komunal
dan sebagian besar sisanya akibat kekerasan pemisahan diri.
Dengan hanya
menuliskan kekerasan non pemisahan diri dan mengesampingkan kekerasan sosial,
UNSFIR menarik beberapa kesimpulan: Pertama, Baik jumlah kejadian maupun jumlah
korban tewas meningkat tajam pada tahun 1996 dan mencapai puncaknya pada tahun
1999-2000 dan setelah itu menurun dengan cepat. Kedua, hampir 90% dari korban
tewas tersebut akibat kekerasan komunal. Dengan demikian kekerasan komunal
memakan koerban tewas terbesar dari semua kekerasan kolektif yang ada. Ketiga,
keenam provinsi dengan kekerasan terbesar adalah Maluku Utara (25% dari korban
tewas), Maluku (sekitar Ambon18,3%), Kalimantan Barat (13,6%), Jakarta (11,8%),
Kalimantan Tengah (11,5%) dan Sulawesi Tengah (6%). Kecuali Jakarta,
tempat-tempat ini adalah lokasi kekerasan komunal skala besar.
Episode-episode
kekerasan komunal dalam sejarah Indonesia mempunyai ideologi-ideologi politik
bangsa atau kelas yang berbaur dengan identitas-identitas etnis atau religius.
Yang membedakan kekerasan pasca Orde Baru adalah bahwa masalah-masalah kelas
dan bangsa Indonesia praktis tidak ada dan pertarungan dilakukan hampir
sepenuhnya berdasarkan identitas-identitas komunal. Inilah yang mengguncang
publik Indonesia yang sebelumnya percaya betul bahwa menjadi orang Indonesia
tidak banyak berkaitan dengan etnisitas atau agama. Kekerasan tersebut kini
merupakan masa lalu. Perlu diingat bahwa semua itu merupakan kekerasan
transisional, bukan sebuah perang yang permanen.
Klinken menguraikan, identitas dari
jenis kekerasan terdapat di jantung kekerasan komunal yang telah terjadi
berulang kali di Kalimantan Barat. Di Indonesia masalah agama dan tindakan
kelektif selalu saling terkait. Kebanyakan orang berkumpul di Mesjid dan
gereja-gereja tiap minggu bahkan tiap hari; berbagai organisasi maupun partai
politik nasonal mempunyai anggota sangat banyak dan bersejarah panjang. Ada
pula aneka koran-koran keagamaan dan banyak jaringan sekolah cukup besar.
Dengan demikian, Dengan demikian, tidak mengherankan kalau identitas keagamaan terbagun dengan
kuat. Namun, lain lagi soalnya dengan identitas etnisitas di Kalimantan, sebab
identitas etnis kurang begitu dilembagakan. Dibandingkan dnegan organisasi
keagamaan, organisasi-organisasi etnis lebih sedikit dan sering cepat bubar,
tidak ada partai politik etnis, dan sekolah etnis juga tidak ada. Lalu
bagaimana etnis dapat tumbuh menonjol.
Secara
keseluruhan, buku ini mampu menampilkan secara jelas gambaran mengenai
kekerasan komunal serta demokratisasi di beberapa wilayah Indonesia. Didukung
dengan pendeskripsian objek yang cukup akurat serta data yang valid dan bahasa
penyampaian yang komunikatif membuat buku ini berkualitas dan patut untuk
dibaca. Pemberian solusi dan pemecahan praksis juga merupakan salah satu nilai
plus daeri buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar