CRITIKAL
REVIEW II
KOENTJARANINGRAT:
KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN
(REVIEW TENTANG
TRADISIONAL, MASA KINI, RESMI DAN TAK RESMI)
Dalam
memahami pemikiran Koentjaraningrat tentang kekuasaan dan kepemimpinan dalam
berbagai pandangan elit. Secara umum fokus kajiannya hanya akan membahas
bagaimana elit politik, baik tradisional (kuno) maupun elit modern (masa kini)
dalam melihat kekuasan dan kepemimpinan dalam sebuah negara, baik negara kecil
maupun negara besar (modern) sebagai sebuah arena yang layak untuk diperebutkan
oleh setiap individu dalam sebuah negara.
Dalam
pendekatan sebuah masyarakat yang relatif kecil, di mana kesatuan-kesatuan
sosialnya juga kecil, yang hanya terdiri dari sepuluh hingga lima belas orang
saja. Pandangan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat bahwa mereka tidak
memerlukan seorang pimpinan untuk menguasai dan mengatur mereka secara formal.
Kekuasaan dan kepemimpinan bagi mereka hanya dibutuhkan pada moment-moment
tertentu saja, seperti pada saat ada pekerjaan atau aktivitas bersama, yang
memerlukan seorang kordinator untuk aktivitas tersebut, di luar adanya
kegiaatan itu maka mereka tidak memerlukan adanya kekuasaan yang didominasi
oleh beberapa orang yang akan mengatur dan mengontrol mereka. Dan ini terjadi
kebanykan di dalam masyarakat tradisional yang tinggal di pedalaman dalam suatu
daerah.
Lanjutnya,
untuk menjadi seorang tokoh yang dapat ditunjuk sebagai seorang pemimpin pada
saat ada pekerjaan atau aktivitas bersama dalam masyarakat yang kecil ini,
hanya dibutuhkan kemampuan atau ketrampilan untuk menyelesaikan pekerjaan atau
aktivitas itu. Ini artinya dalam menyelesaikan masalah-masalah atau mengerjakan
aktivitas tertentu lainnya, dapat muncul tokoh yang berbeda untuk menjadi
pemimpin dalam mengerjakan aktivitas tersebut. Dan ini menjunjukkan bahwa dalam
masyarakat yang masih relatif kecil dapat memunculkan tokoh-tokoh yang
berbeda-beda dalam pekerjaan yang berbeda-beda pula. Hal ini tidak terlepas
karena tidak adanya pemimpin formal yang berkuasa dalam seluruh lini kehidupan.
Contoh kecil adalah dalam musim berburu misalnya, maka akan muncul seorang
tokoh yang paling trampil dan pandai dalam melakukan pekerjaan itu dalam
kesatuan-kesatuan sosial yang kecil ini, dan mereka menuntuk untuk
menjadikannya sebagai seorang pemimpin pada pekerjaan bersama tersebut. Akan
tetapi dalam aktivitas lain seperti dalam upacara-upacara sesembahan, akan
dibutuhkan seorang tokoh yang ahli dalam bidang ini untuk mengatur dan memimpin
acara tersebut.
Oleh
karena itu, Koentjaraningrat menyatakan bahwa dalam masyarakat yang
kesatuan-kesatuan sosialnya sudah lebih besar dan kompleks, maka mereka pun
juga membutuhkan adanya seorang pemimpin formal yang tidak hanya ada atau
muncul pada saat-saat tertentu saja ketika ada sebuah aktivitas bersama, tetapi
mereka membutuhkan seorang pemimpin yang hadir dan dapat memberikan arahan dan
pengaturan dalam seluruh lini kehidupan. Dan ini biasanya menurut
Koentjaraningrat terjadi pada komunitas-komunitas yang hidup di daerah
pegunungan di Irian Jaya, Papua Nugini dan Malanesia pada umumnya.
Kesatuan-kesatuan yang sudah relatif besar ini dalam pandangan Koentjaraningrat
disebut sebagai “masyarakat sedang”. Ini menunjukkan bahwa dalam “masyarakat
sedang” diperlukan satu bentuk kepemimpinan yang mantap dan tetap, dan untuk
memantapkan kepemimpinan itu diperlukan kekuasaan di samping kewibawaan.
Namun demikian, Koentjaraningrat mengemukakan
bahwa dalam “masyarakat sedang” ini untuk menjadi pemimpin dan mempertahankan
kekuasaanya tidak hanya diperlukan kewibawaan dan kepandaian atau ketrapilan
dalam bidang tertentu saja sebagaimana dalam masyarakat komunitas sosialnya
yang masih kecil, akan tetapi kekuasaan bagi mereka harus dipertahankan melalui
berbagai kemampuan dan sifat yang di miliki. Adapun kemampuan-kemampuan itu
biasanya adalah kepandaian berkebun, kefasihan berpidato, keterampilan dan
keberanian dalam berperang. Suatu kemampuan lain yang sering kali disebut
adalah kekayaan harta, yang memang memungkinkan para tokoh pemimpin itu untuk
banyak memberi kepada orang lain, dengan memikat mereka dengan berbagai
pemberian harta benda.
Koentjaraningrat
melihat bahwa sistem kekuasaan dalam negara kuno (tradisional) yang ada di
dunia baik di Indonesia, Polenesia, Afrika, dan di Asia lainnya memiliki
kesamaan konseptual dalam melihat kekuasaan dan kepemimpinan. Dalam negara
kuno, di mana kesatuan-kesatuan sosial berupa negara, dengan penduduk yang tidak
lagi hanya terdiri dari beberapa ratus orang sebagaimana dalam “masyarakat
sedang” melainkan beribu-ribu bahkan berpuluh ribu orang, dan dapat memberikan
suatu rasa identitas kepada mereka. Dalam negara kuno yang seperti ini wewenang
seorang pemimpin tidak lagi hanya dibutuhkan kewibawaan (legitimacy)
saja, yang bersumber pada keahliannya, keterampilannya, dan kepandaiannya dalam
lapangan-lapangan tertentu. Akan tetapi, kebanyakan elit penguasa negara kuno
untuk mempertahankan dan menjaga loyalitas rakyatnya, menjadi sangat penting
untuk menggunakan konsep-konsep religi dan cara-cara keagamaan untuk memaksakan
keseragaman orientasi pada masyrakat yang ada dalam negara tersebut, yang
awalnya memiliki aneka warna kebutuhan, kehendak dan keyakinan.
Hal
di atas ini lah, yang menjadikan dalam negara-negara kuno maupun kerajaan,
termasuk di Indonesia, seorang raja untuk mempertahankan kekuasaannya dan
menjaga loyalitas rakyatnya, mereka seringkali memberikan doktrin kepada
rakyatnya bahwa seorang individu yang menjadi raja memiliki garis keturunan
pada dewa-dewa, sehingga wewenang yang berdasarkan keturunan tadi tidak hanya
wewenang yang kuat, tapi juga wewenang yang keramat. Selain itu, seorang raja
dalam negara-negara kuno seringkali memperkuat sifat-sifat keramatnya dengan
jalan mengembangkan keyakinan bahwa ia memiliki cahaya keramat atau wahyu dari
dewa atau Tuhan, yang pada akhirnya masih lagi ditambah dengan keyakinan bahwa
sang raja itu memiliki kekuatan yang sakti. Hal-hal demikian dapat kita lihat
dalam cerita-cerita raja-raja Jawa.
Dengan mungutip Marx Weber,
Koentjaraningrat menyebut sifat-sifat keramat yang dimiliki oleh elit penguasa
dalam negara kuno tersebut dengan “karisma”, suatu komponen yang sangat penting
dalam kekuasaan tradisional. Dan dalam negara-negara modern pun, karisma ini
juga masih sering dianggap penting bagi seorang pemimpin.
Untuk
Indonesia dan mungkin bagi seluruh elit yang ingin menjadi dan mempertahankan
kekuasaannya, Koentjaraningrat mengatakan bahwa meskipun kekuasaan pemimpin tradisional
memiliki karisma sebagai komponen yang penting, sehingga menjadi unsur pokok
yang menjaga kontinuitas kepemimimpinannya, akan tetapi seorang pemimpin tidak
dapat mengabaikan komponen lain yakni apa yang disebut sebagai kekuasaan dalam
arti khusus, yaitu: kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik, dan untuk
mengorganisir orang banyak untuk mengadakan sanksi. Selain itu seorang pemimpin
haruslah memiliki sifat yang adil, baik hati dan bijaksana. Ketiga sifat ini
pada dasarnya juga diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin baik tradisional
maupun masa kini.
Menurut
Koentjaraningrat bagi seorang elit politik yang menginginkan kelanggengan
kekuasaan yang dipegangnya, mengharuskan dirinya untuk lebih mendapatkan
dukungan dari rakyatnya melalui prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan
dalam undang-undang, sehingga menjadi unsur wewenang yang terpenting dalam
memimpin masyarakat dalam sekala besar.
Koentjaraningrat
menghendaki kalau seorang pemimpin juga memiliki sifat-sifat sepiritual yang
dapat mengisi dan membentuk komponen karisma. Gagasan ini bagi saya menunjukkan
bahwa Koentjaraningrat masih dipengaruhi gaya berpikir budaya orang Jawa yang
melihat hal-hal mistis atau sepiritual adalah merupakan komponen yang penting
yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Secara
sederhana dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa komponen penting dalam
kekuasaan yang harus diperhatikan oleh seorang elit politik yang ingin menjadi
seorang pemimpin. Pertama adalah kewibawaan, yang
melingkupi popularitas, memiliki kapasitas rasional untuk memecahkan masalah
sosial ekonomi politik, kecendikiawanan atau intelektual, dan memiliki
sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan dari sebagian besar
warga masyarakat. Kedua, adalah wewenang, dimana seorang
pemimpin memiliki legitimasi melalui prosedur-prosedur adat atau hukum yang
berlaku dalam masyarakat dan negara. Ketiga,adalah memiliki
kepemimpinan dan ciri-ciri rohaniah yang disegani. Terakhir adalah kekuasaan
dalam arti khusus, dimana seorang pemimpin mampu mengerahkan kekuatan fisik dan
mengorganisasi orang banyak atas dasar sanksi.
Koentjaraningrat
sebagian besar berada pada masyarakat yang ada pada kelas bawah, terutama di
pedesaan. Di daerah-daerah Indonesia menurutnya hampir seluruhnya sistem
kepemimpinan yang ada di desa-desa masih sangat tradisional. Nampak adanya
pergeseran yang relatif banyak dalam memandang kekuasaan dengan kaca mata masa
kini atau modern baru terjadi di tingkat kelas-kelas menengah atas yang ada di
perkotaan.
Koentjaraningrat
juga terjadi dalam sektor-sektor kehidupan sosial yang lain, seperti sektor
kehidupan perekonomiad, keagamaan dan lain-lain. Akan tetapi sebenarnya sistem
kepemimpinan tradisional ini banyak terjadi dalam sistem pimpinan informal.
Adapun
perbedaan sistem pimpinan atau elit formal dengan nonformal adalah bahwa yang
pertama memiliki keempat komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, wewenang,
karisma dan kekuasaan fisik, sedangkan yang informal hanya memiliki tiga
komponen, yaitu kewibawaan, karisma, dan kekuasaan fisik.
Selanjutnya,
Koentjaraningrat melihat bahwa terdapat sebuah sifat dari masyarakat Indonesia
yang secara umum dihinggapi nilai budaya yang tertuju vertikal ke atas. Di mana
orang pada umumnya mencontoh dan mengorientasikan diri mereka pada tokoh-tokoh
atau elit-elit atas, sehingga menjadikan mereka mengikuti tradisi atau
pola-pola kepemimpinan dari pendahulu-pendahulunya sebagai tokoh atau elit
besar pada saat itu, dalam melihat dan memahami konsep-konsep kepemimpinan. Ini
lah yang menurutnya perlu dirubah menuju sistem kepemimpinan masa kini atau
modern.
Untuk
melihat bagaimana perbedaan atau pembaharuan penelitian yang dilakukan oleh
Koentjaraningrat terhadap gagasan Anderson tentang konsep kekuasaan Jawa, di
sini saya akan membahas secara singkat gagasan-gagasan Anderson tentang konsep
kekusaan Jawa itu.
Benecdict
Anderson melihat bahwa dalam kebudayaan Jawa, masyarakatnya melihat kekuasaan
itu sebagai kekuatan energi yang sakti dan keramat, yang secara konkrit ada
dalam lingkungan alam manusia, tetapi di luar diri orang yang mempergunakannya.
Oleh karena itu penggunaannya secara otomatis dan tidak memiliki implikasi
moral dan tidak memiliki persyaratan kualitas bagi orang yang mempergunakannya.
Atau secara singkat dapat disimpulkan bahwa orang Jawa memandang kekuasaan
sebagai sesuatu yang konkret, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, dan sebagai
kekuasaan tidak memiliki implikasi-implikasi moral yang inheren. Konsep
kekuasaan seperti ini menurut Anderson sangat kontras dengan konsep kekuasaan
menurut orang Eroba dan Barat. Dimana dalam masyarakat barat kekuasaan di
pandang sebagai suatu abstraksi yang ditarik dari pola-pola interaksi sosial
yang terlihat, kekuasaan dianggap berasal dari sumber-sumber yang heterogen,
kekuasaan secara inheren tidak membatasi diri, dan dipandang dari segi moral
memiliki arti ganda.
Dari
pandangan Anderson tentang kekuasaan dalam pandangan masyarakat Jawa di atas,
menunjukkan kalau seorang elit atau pemimpin yang ingin menjaga kekuasaannya
atas masyarakat, sudah cukup bagi seorang pemimpin itu hanya menguasai sumber
energi mistik itu saja (misalnya sebuah pusaka keris yang sakti yang didapat
dari peninggalan raja-raja sebelumnya) dengan mengabaikan komponen-komponen
lainnya, maka ia memiliki satu hal yang identik dengan kekuasaan itu sendiri,
dan akhirnya dapat menguasai masyaraktnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar