Laman

Senin, 23 Mei 2016

KOENTJARANINGRAT: KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN (REVIEW TENTANG TRADISIONAL, MASA KINI, RESMI DAN TAK RESMI)


CRITIKAL REVIEW II
KOENTJARANINGRAT: KEPEMIMPINAN DAN KEKUASAAN

(REVIEW TENTANG TRADISIONAL, MASA KINI, RESMI DAN TAK RESMI) 

Dalam memahami pemikiran Koentjaraningrat tentang kekuasaan dan kepemimpinan dalam berbagai pandangan elit. Secara umum fokus kajiannya hanya akan membahas bagaimana elit politik, baik tradisional (kuno) maupun elit modern (masa kini) dalam melihat kekuasan dan kepemimpinan dalam sebuah negara, baik negara kecil maupun negara besar (modern) sebagai sebuah arena yang layak untuk diperebutkan oleh setiap individu dalam sebuah negara.
Dalam pendekatan sebuah masyarakat yang relatif kecil, di mana kesatuan-kesatuan sosialnya juga kecil, yang hanya terdiri dari sepuluh hingga lima belas orang saja. Pandangan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat bahwa mereka tidak memerlukan seorang pimpinan untuk menguasai dan mengatur mereka secara formal. Kekuasaan dan kepemimpinan bagi mereka hanya dibutuhkan pada moment-moment tertentu saja, seperti pada saat ada pekerjaan atau aktivitas bersama, yang memerlukan seorang kordinator untuk aktivitas tersebut, di luar adanya kegiaatan itu maka mereka tidak memerlukan adanya kekuasaan yang didominasi oleh beberapa orang yang akan mengatur dan mengontrol mereka. Dan ini terjadi kebanykan di dalam masyarakat tradisional yang tinggal di pedalaman dalam suatu daerah.
Lanjutnya, untuk menjadi seorang tokoh yang dapat ditunjuk sebagai seorang pemimpin pada saat ada pekerjaan atau aktivitas bersama dalam masyarakat yang kecil ini, hanya dibutuhkan kemampuan atau ketrampilan untuk menyelesaikan pekerjaan atau aktivitas itu. Ini artinya dalam menyelesaikan masalah-masalah atau mengerjakan aktivitas tertentu lainnya, dapat muncul tokoh yang berbeda untuk menjadi pemimpin dalam mengerjakan aktivitas tersebut. Dan ini menjunjukkan bahwa dalam masyarakat yang masih relatif kecil dapat memunculkan tokoh-tokoh yang berbeda-beda dalam pekerjaan yang berbeda-beda pula. Hal ini tidak terlepas karena tidak adanya pemimpin formal yang berkuasa dalam seluruh lini kehidupan. Contoh kecil adalah dalam musim berburu misalnya, maka akan muncul seorang tokoh yang paling trampil dan pandai dalam melakukan pekerjaan itu dalam kesatuan-kesatuan sosial yang kecil ini, dan mereka menuntuk untuk menjadikannya sebagai seorang pemimpin pada pekerjaan bersama tersebut. Akan tetapi dalam aktivitas lain seperti dalam upacara-upacara sesembahan, akan dibutuhkan seorang tokoh yang ahli dalam bidang ini untuk mengatur dan memimpin acara tersebut.
Oleh karena itu, Koentjaraningrat menyatakan bahwa dalam masyarakat yang kesatuan-kesatuan sosialnya sudah lebih besar dan kompleks, maka mereka pun juga membutuhkan adanya seorang pemimpin formal yang tidak hanya ada atau muncul pada saat-saat tertentu saja ketika ada sebuah aktivitas bersama, tetapi mereka membutuhkan seorang pemimpin yang hadir dan dapat memberikan arahan dan pengaturan dalam seluruh lini kehidupan. Dan ini biasanya menurut Koentjaraningrat terjadi pada komunitas-komunitas yang hidup di daerah pegunungan  di Irian Jaya, Papua Nugini dan Malanesia pada umumnya. Kesatuan-kesatuan yang sudah relatif besar ini dalam pandangan Koentjaraningrat disebut sebagai “masyarakat sedang”. Ini menunjukkan bahwa dalam “masyarakat sedang” diperlukan satu bentuk kepemimpinan yang mantap dan tetap, dan untuk memantapkan kepemimpinan itu diperlukan kekuasaan di samping kewibawaan.
Namun demikian, Koentjaraningrat mengemukakan bahwa dalam “masyarakat sedang” ini untuk menjadi pemimpin dan mempertahankan kekuasaanya tidak hanya diperlukan kewibawaan dan kepandaian atau ketrapilan dalam bidang tertentu saja sebagaimana dalam masyarakat komunitas sosialnya yang masih kecil, akan tetapi kekuasaan bagi mereka harus dipertahankan melalui berbagai kemampuan dan sifat yang di miliki. Adapun kemampuan-kemampuan itu biasanya adalah kepandaian berkebun, kefasihan berpidato, keterampilan dan keberanian dalam berperang. Suatu kemampuan lain yang sering kali disebut adalah kekayaan harta, yang memang memungkinkan para tokoh pemimpin itu untuk banyak memberi kepada orang lain, dengan memikat mereka dengan berbagai pemberian harta benda.
Koentjaraningrat melihat bahwa sistem kekuasaan dalam negara kuno (tradisional) yang ada di dunia baik di Indonesia, Polenesia, Afrika, dan di Asia lainnya memiliki kesamaan konseptual dalam melihat kekuasaan dan kepemimpinan. Dalam negara kuno, di mana kesatuan-kesatuan sosial berupa negara, dengan penduduk yang tidak lagi hanya terdiri dari beberapa ratus orang sebagaimana dalam “masyarakat sedang” melainkan beribu-ribu bahkan berpuluh ribu orang, dan dapat memberikan suatu rasa identitas kepada mereka. Dalam negara kuno yang seperti ini wewenang seorang pemimpin tidak lagi hanya dibutuhkan kewibawaan (legitimacy) saja, yang bersumber pada keahliannya, keterampilannya, dan kepandaiannya dalam lapangan-lapangan tertentu. Akan tetapi, kebanyakan elit penguasa negara kuno untuk mempertahankan dan menjaga loyalitas rakyatnya, menjadi sangat penting untuk menggunakan konsep-konsep religi dan cara-cara keagamaan untuk memaksakan keseragaman orientasi pada masyrakat yang ada dalam negara tersebut, yang awalnya memiliki aneka warna kebutuhan, kehendak dan keyakinan.
Hal di atas ini lah, yang menjadikan dalam negara-negara kuno maupun kerajaan, termasuk di Indonesia, seorang raja untuk mempertahankan kekuasaannya dan menjaga loyalitas rakyatnya, mereka seringkali memberikan doktrin kepada rakyatnya bahwa seorang individu yang menjadi raja memiliki garis keturunan pada dewa-dewa, sehingga wewenang yang berdasarkan keturunan tadi tidak hanya wewenang yang kuat, tapi juga wewenang yang keramat. Selain itu, seorang raja dalam negara-negara kuno seringkali memperkuat sifat-sifat keramatnya dengan jalan mengembangkan keyakinan bahwa ia memiliki cahaya keramat atau wahyu dari dewa atau Tuhan, yang pada akhirnya masih lagi ditambah dengan keyakinan bahwa sang raja itu memiliki kekuatan yang sakti. Hal-hal demikian dapat kita lihat dalam cerita-cerita raja-raja Jawa.
Dengan mungutip Marx Weber, Koentjaraningrat menyebut sifat-sifat keramat yang dimiliki oleh elit penguasa dalam negara kuno tersebut dengan “karisma”, suatu komponen yang sangat penting dalam kekuasaan tradisional. Dan dalam negara-negara modern pun, karisma ini juga masih sering dianggap penting bagi seorang pemimpin.
Untuk Indonesia dan mungkin bagi seluruh elit yang ingin menjadi dan mempertahankan kekuasaannya, Koentjaraningrat mengatakan bahwa meskipun kekuasaan pemimpin tradisional memiliki karisma sebagai komponen yang penting, sehingga menjadi unsur pokok yang menjaga kontinuitas kepemimimpinannya, akan tetapi seorang pemimpin tidak dapat mengabaikan komponen lain yakni apa yang disebut sebagai kekuasaan dalam arti khusus, yaitu: kemampuan untuk mengerahkan kekuatan fisik, dan untuk mengorganisir orang banyak untuk mengadakan sanksi. Selain itu seorang pemimpin haruslah memiliki sifat yang adil, baik hati dan bijaksana. Ketiga sifat ini pada dasarnya juga diperlukan untuk menjadi seorang pemimpin baik tradisional maupun masa kini.
Menurut Koentjaraningrat bagi seorang elit politik yang menginginkan kelanggengan kekuasaan yang dipegangnya, mengharuskan dirinya untuk lebih mendapatkan dukungan dari rakyatnya melalui prosedur-prosedur hukum yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sehingga menjadi unsur wewenang yang terpenting dalam memimpin masyarakat dalam sekala besar.
Koentjaraningrat menghendaki kalau seorang pemimpin juga memiliki sifat-sifat sepiritual yang dapat mengisi dan membentuk komponen karisma. Gagasan ini bagi saya menunjukkan bahwa Koentjaraningrat masih dipengaruhi gaya berpikir budaya orang Jawa yang melihat hal-hal mistis atau sepiritual adalah merupakan komponen yang penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa komponen penting dalam kekuasaan yang harus diperhatikan oleh seorang elit politik yang ingin menjadi seorang pemimpin.  Pertama adalah kewibawaan, yang melingkupi popularitas, memiliki kapasitas rasional untuk memecahkan masalah sosial ekonomi politik, kecendikiawanan atau intelektual, dan memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan cita-cita dan keyakinan dari sebagian besar warga masyarakat. Kedua, adalah wewenang, dimana seorang pemimpin memiliki legitimasi melalui prosedur-prosedur adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat dan negara. Ketiga,adalah memiliki kepemimpinan dan ciri-ciri rohaniah yang disegani. Terakhir adalah kekuasaan dalam arti khusus, dimana seorang pemimpin mampu mengerahkan kekuatan fisik dan mengorganisasi orang banyak atas dasar sanksi.
Koentjaraningrat sebagian besar berada pada masyarakat yang ada pada kelas bawah, terutama di pedesaan. Di daerah-daerah Indonesia menurutnya hampir seluruhnya sistem kepemimpinan yang ada di desa-desa masih sangat tradisional. Nampak adanya pergeseran yang relatif banyak dalam memandang kekuasaan dengan kaca mata masa kini atau modern baru terjadi di tingkat kelas-kelas menengah atas yang ada di perkotaan.
Koentjaraningrat juga terjadi dalam sektor-sektor kehidupan sosial yang lain, seperti sektor kehidupan perekonomiad, keagamaan dan lain-lain. Akan tetapi sebenarnya sistem kepemimpinan tradisional ini banyak terjadi dalam sistem pimpinan informal.
Adapun perbedaan sistem pimpinan atau elit formal dengan nonformal adalah bahwa yang pertama memiliki keempat komponen kekuasaan, yaitu kewibawaan, wewenang, karisma dan kekuasaan fisik, sedangkan yang informal hanya memiliki tiga komponen, yaitu kewibawaan, karisma, dan kekuasaan fisik.
Selanjutnya, Koentjaraningrat melihat bahwa terdapat sebuah sifat dari masyarakat Indonesia yang secara umum dihinggapi nilai budaya yang tertuju vertikal ke atas. Di mana orang pada umumnya mencontoh dan mengorientasikan diri mereka pada tokoh-tokoh atau elit-elit atas, sehingga menjadikan mereka mengikuti tradisi atau pola-pola kepemimpinan dari pendahulu-pendahulunya sebagai tokoh atau elit besar pada saat itu, dalam melihat dan memahami konsep-konsep kepemimpinan. Ini lah yang menurutnya perlu dirubah menuju sistem kepemimpinan masa kini atau modern.
Untuk melihat bagaimana perbedaan atau pembaharuan penelitian yang dilakukan oleh Koentjaraningrat terhadap gagasan Anderson tentang konsep kekuasaan Jawa, di sini saya akan membahas secara singkat gagasan-gagasan Anderson tentang konsep kekusaan Jawa itu.
Benecdict Anderson melihat bahwa dalam kebudayaan Jawa, masyarakatnya melihat kekuasaan itu sebagai kekuatan energi yang sakti dan keramat, yang secara konkrit ada dalam lingkungan alam manusia, tetapi di luar diri orang yang mempergunakannya. Oleh karena itu penggunaannya secara otomatis dan tidak memiliki implikasi moral dan tidak memiliki persyaratan kualitas bagi orang yang mempergunakannya. Atau secara singkat dapat disimpulkan bahwa orang Jawa memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang konkret, homogen, tetap jumlah keseluruhannya, dan sebagai kekuasaan tidak memiliki implikasi-implikasi moral yang inheren. Konsep kekuasaan seperti ini menurut Anderson sangat kontras dengan konsep kekuasaan menurut orang Eroba dan Barat. Dimana dalam masyarakat barat kekuasaan di pandang sebagai suatu abstraksi yang ditarik dari pola-pola interaksi sosial yang terlihat, kekuasaan dianggap berasal dari sumber-sumber yang heterogen, kekuasaan secara inheren tidak membatasi diri, dan dipandang dari segi moral memiliki arti ganda.
Dari pandangan Anderson tentang kekuasaan dalam pandangan masyarakat Jawa di atas, menunjukkan kalau seorang elit atau pemimpin yang ingin menjaga kekuasaannya atas masyarakat, sudah cukup bagi seorang pemimpin itu hanya menguasai sumber energi mistik itu saja (misalnya sebuah pusaka keris yang sakti yang didapat dari peninggalan raja-raja sebelumnya) dengan mengabaikan komponen-komponen lainnya, maka ia memiliki satu hal yang identik dengan kekuasaan itu sendiri, dan akhirnya dapat menguasai masyaraktnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar