Judul
Buku : Kebangkitan Etnis
Menuju Politik Identitas
Pengarang : Sri Astuti Buchari
Penerbit : Yayasan Obor
Indonesia-Jakarta
Tahun
Terbit : 2014
Oleh :Kamaruddin Salim
Dalam buku ini,
Astuti, menggambarkan bahwa Politik identitas di Indonesia telah lama menjadi
tema perbincangan yang menarik di kalangan para ahli ilmu-ilmu sosial. Hal ini
dapat dilihat dari tulisan Clifford Reertz, tentang ”primordial sentiment”, studi tentang politik etnisitas akan terus
mendapat perhatian, terutama yang berkaitan dengan identitas keetnisan, gender,
masyarakat pribumi (indigenous community),
dan masyarakat lokal (local
communities). Dalam studi politik Indonesia modern, identifikasi etnis
dalam riset politik diprakarsai oleh ilmuwan Amerika George Kehin dengan
disertasinya tentang nasionalisme dan revolusi di Indonesia. Studi-studi
politik identitas kemudian dilanjutkan oleh para ilmuwan-ilmuwan Indonesia
sendiri.
Astuti
menggambarkan perkembangan politik identitas yang tumbuh dan berkembang secara
meluas di Daerah Kalimantan Barat khususnya yang dilakukan oleh Etnis Dayak
untuk menunjukkan eksistensi mereka yang selama ini termarjinakan dan
dikucilkan. Proses diskriminasi dan marjinalisasi terhadap hak politik dan
kebebasan etnis dayak, Astusti mengambarkan bahwa proses ini mulai terjadi
sejak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda, zaman para sultan melayu masih
berkuasa dan di mana para etnis Dayak dijadikan sebagai pekerja atau pelayan
para sultan hingga zaman Orde Baru. Namun proses diskriminasi ini berubah
ketika bergulirnya reformasi dan lahirnya Otonomi Daerah.
Menurut Astuti,
politik identitas secara teoritis merupakan sesuatu yang bersifat hidup atau
ada dalam setiap etnis, di mana keberadaannya bersifat laten dan potensial dan
sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan.
Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik
yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan mengalami proses
internalisasi secara terus-menerus di dalam kebudayaan masyarakat dalam suatu
jalinan interaksi sosial.
Secara umum
Astuti menambahkan bahwa politik identitas merupakan sesuatu yang bersifat
hidup atau ada dalam setiap etnis, di mana keberadaannya bersifat laten dan
potensial, dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik
yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi
partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat,
mengalami proses internalisasi secara terus menerus di dalam kebudayaan
masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial. Menurut Castells, politik
identitas merupakan pastisipasi individual pada kehidupan sosial yang lebih
ditentukan oleh budaya dan psikologis seseorang. Identitas merupakan proses
konstruksi dasar dari budaya dan psikokultural dari seorang individu yang
memberikan arti dan tujuan hidup dari individu tersebut, karena terbenruknya
identitas adalah dari proses dialog internal dan interkasi sosial
Politik
identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai
suatu tujuan tertentu, di mana kemunculannya lebih banyak disebabkan oleh
adanya faktor-faktor tertentu yang dipandang oleh suatu etnis sebagai adanya
suatu tekanan berupa ketidakadilan politik yanf dirasakan oleh mereka.
Berdasarkan perasaan senasib tersebut, mereka bangkit menunjukkan identitas
atau jati diri etnisnya dalam suatu perjuangan politik untuk merebut kekuasaan
dengan memanipulasi kesamaan identitas atau karakteristik keetnisan tertentu
yang tumbuh di dalam kehidupan sosial budayanya.
Sedangkan
menurut Kristianus yang dikutip oleh Astuti, menggambarkan bahwa politik
Identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan politik berdasarkan identitas
etnis maupun agama. Perjuangan politik identitas pada dasarnya ialah perjuangan
kelompok atau orang-orang pinggiran (periferi), baik secara politik, sosial,
maupun budaya dan ekonomi. Kristianus mengutip Lukmantoro, politik identitas
ialah tindakan politik untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan
anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik berdasarkan pada ras, etnisitas, jender, atau agama
Atuti
menguraikan. Politik Identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu
etnis untuk mencapai suatu tujuan tertentu, di mana kemunculannya lebih banyak
disebabkan oleh faktor-faktor yang dipandang oleh suatu etnis sebagai adanya
suatu tekanan berupa ketidakadilan politik yang dirasakan oleh mereka.
Berdasarkan perasaan senasib tersebut, maka mereka bangkit menunjukkan
identitas atau jati diri etnisnya dalam suatu perjuangan politik untuk merebut
kekuasaan dengan memanipulasi kesamaan identitas atau karakteristik keetnisan
tertentu yang tumbuh di dalam kehiduhpan sosial budayanya.
Dalam hal ini,
Astuti menggambarkan bahwa proses marjinalisasi dan diskriminasi etnis Dayak
selama empat puluh tiga tahun telah menyebabkan ikatan emosional etnis Dayak semakin
erat dan kuat sehingga memunculkan politik identitas etnis dayak. Hal ini
menunjukkan bahwa lembaga politik resmi atau tidak resmi tidak selamnya mampu
menjadi aerna perpolitikan yang handal untuk dapat memenangkan kandidat di
dalam sebuah kompetisi politik seperti Pilkada. Namun dalam kesimpulan Astuti
terkait dengan proses politik identitas yang terjadi dan dilakukan tersebut
sehingga masyarakat atau Etnis Dayak mencapai kemenangannya atas etnis Melayu
yang selama 43 tahun menguasai pemerintahan Kalimantan Barat, tidak secara
gamblang atau secara mendalam di teliti oleh Astuti. Sehingga penulis berasumsi
bahwa peranan politik identitas etnis di Kalimantan Barat tersebut tanpa
menggunakan campur tangan yang terbilang dominan dari Elit dari Pemerintah
Pusat maupun Elit Politik dari Partai-partai politik yang berkdeudukan di
Pusat. Oleh karena itu, peranan partai politik dan elit pusat dapat menentukan
keberhasilan etnis Dayak dalam memenangkan Pilkada Gubernur seperti yang
gambarkan oleh Astuti.
Hal ini dapat
dipahami bahwa distribusi kekuasaan dari tingkat pusat ke tingkat
lokal/daerah menjadikan kekuatan-kekuatan primordial menjelma menjadi sebuah
kekuatan politik dan menjadi penentu aras kepentingan politik komunitas
tertentu, baik berupa komunitas politik maupun kelompok kepentingan lainnya.
Kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat lokal yang masih dipengaruhi
oleh sistim primordial etnisitas menjadikan politik identitas menjelma sebagai
daya tawar dalam arena perpolitikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar