Laman

Rabu, 18 Mei 2016

Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas

Judul Buku                : Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas
Pengarang                  : Sri Astuti Buchari
Penerbit                      : Yayasan Obor Indonesia-Jakarta
Tahun Terbit             : 2014
Oleh                            :Kamaruddin Salim    
           
Dalam buku ini, Astuti, menggambarkan bahwa Politik identitas di Indonesia telah lama menjadi tema perbincangan yang menarik di kalangan para ahli ilmu-ilmu sosial. Hal ini dapat dilihat dari tulisan Clifford Reertz, tentang ”primordial sentiment”, studi tentang politik etnisitas akan terus mendapat perhatian, terutama yang berkaitan dengan identitas keetnisan, gender, masyarakat pribumi (indigenous community), dan masyarakat lokal (local communities). Dalam studi politik Indonesia modern, identifikasi etnis dalam riset politik diprakarsai oleh ilmuwan Amerika George Kehin dengan disertasinya tentang nasionalisme dan revolusi di Indonesia. Studi-studi politik identitas kemudian dilanjutkan oleh para ilmuwan-ilmuwan Indonesia sendiri.
Astuti menggambarkan perkembangan politik identitas yang tumbuh dan berkembang secara meluas di Daerah Kalimantan Barat khususnya yang dilakukan oleh Etnis Dayak untuk menunjukkan eksistensi mereka yang selama ini termarjinakan dan dikucilkan. Proses diskriminasi dan marjinalisasi terhadap hak politik dan kebebasan etnis dayak, Astusti mengambarkan bahwa proses ini mulai terjadi sejak zaman Pemerintahan Kolonial Belanda, zaman para sultan melayu masih berkuasa dan di mana para etnis Dayak dijadikan sebagai pekerja atau pelayan para sultan hingga zaman Orde Baru. Namun proses diskriminasi ini berubah ketika bergulirnya reformasi dan lahirnya Otonomi Daerah.
Menurut Astuti, politik identitas secara teoritis merupakan sesuatu yang bersifat hidup atau ada dalam setiap etnis, di mana keberadaannya bersifat laten dan potensial dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus di dalam kebudayaan masyarakat dalam suatu jalinan interaksi sosial.
Secara umum Astuti menambahkan bahwa politik identitas merupakan sesuatu yang bersifat hidup atau ada dalam setiap etnis, di mana keberadaannya bersifat laten dan potensial, dan sewaktu-waktu dapat muncul ke permukaan sebagai kekuatan politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat, mengalami proses internalisasi secara terus menerus di dalam kebudayaan masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial. Menurut Castells, politik identitas merupakan pastisipasi individual pada kehidupan sosial yang lebih ditentukan oleh budaya dan psikologis seseorang. Identitas merupakan proses konstruksi dasar dari budaya dan psikokultural dari seorang individu yang memberikan arti dan tujuan hidup dari individu tersebut, karena terbenruknya identitas adalah dari proses dialog internal dan interkasi sosial
Politik identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai suatu tujuan tertentu, di mana kemunculannya lebih banyak disebabkan oleh adanya faktor-faktor tertentu yang dipandang oleh suatu etnis sebagai adanya suatu tekanan berupa ketidakadilan politik yanf dirasakan oleh mereka. Berdasarkan perasaan senasib tersebut, mereka bangkit menunjukkan identitas atau jati diri etnisnya dalam suatu perjuangan politik untuk merebut kekuasaan dengan memanipulasi kesamaan identitas atau karakteristik keetnisan tertentu yang tumbuh di dalam kehidupan sosial budayanya.
Sedangkan menurut Kristianus yang dikutip oleh Astuti, menggambarkan bahwa politik Identitas berkaitan dengan perebutan kekuasaan politik berdasarkan identitas etnis maupun agama. Perjuangan politik identitas pada dasarnya ialah perjuangan kelompok atau orang-orang pinggiran (periferi), baik secara politik, sosial, maupun budaya dan ekonomi. Kristianus mengutip Lukmantoro, politik identitas ialah tindakan politik untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan anggota-anggota suatu kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berdasarkan pada ras, etnisitas, jender, atau agama
Atuti menguraikan. Politik Identitas merupakan suatu alat perjuangan politik suatu etnis untuk mencapai suatu tujuan tertentu, di mana kemunculannya lebih banyak disebabkan oleh faktor-faktor yang dipandang oleh suatu etnis sebagai adanya suatu tekanan berupa ketidakadilan politik yang dirasakan oleh mereka. Berdasarkan perasaan senasib tersebut, maka mereka bangkit menunjukkan identitas atau jati diri etnisnya dalam suatu perjuangan politik untuk merebut kekuasaan dengan memanipulasi kesamaan identitas atau karakteristik keetnisan tertentu yang tumbuh di dalam kehiduhpan sosial budayanya.
Dalam hal ini, Astuti menggambarkan bahwa proses marjinalisasi dan diskriminasi etnis Dayak selama empat puluh tiga tahun telah menyebabkan ikatan emosional etnis Dayak semakin erat dan kuat sehingga memunculkan politik identitas etnis dayak. Hal ini menunjukkan bahwa lembaga politik resmi atau tidak resmi tidak selamnya mampu menjadi aerna perpolitikan yang handal untuk dapat memenangkan kandidat di dalam sebuah kompetisi politik seperti Pilkada. Namun dalam kesimpulan Astuti terkait dengan proses politik identitas yang terjadi dan dilakukan tersebut sehingga masyarakat atau Etnis Dayak mencapai kemenangannya atas etnis Melayu yang selama 43 tahun menguasai pemerintahan Kalimantan Barat, tidak secara gamblang atau secara mendalam di teliti oleh Astuti. Sehingga penulis berasumsi bahwa peranan politik identitas etnis di Kalimantan Barat tersebut tanpa menggunakan campur tangan yang terbilang dominan dari Elit dari Pemerintah Pusat maupun Elit Politik dari Partai-partai politik yang berkdeudukan di Pusat. Oleh karena itu, peranan partai politik dan elit pusat dapat menentukan keberhasilan etnis Dayak dalam memenangkan Pilkada Gubernur seperti yang gambarkan oleh Astuti.

Hal ini dapat dipahami bahwa distribusi kekuasaan dari tingkat pusat ke tingkat lokal/daerah menjadikan kekuatan-kekuatan primordial menjelma menjadi sebuah kekuatan politik dan menjadi penentu aras kepentingan politik komunitas tertentu, baik berupa komunitas politik maupun kelompok kepentingan lainnya. Kondisi sosiologis dan antropologis masyarakat lokal yang masih dipengaruhi oleh sistim primordial etnisitas menjadikan politik identitas menjelma sebagai daya tawar dalam arena perpolitikan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar