Laman

Senin, 30 Mei 2016

DEMONSTRASI SEBAGAI ANTITESA GERAKAN SOSIAL



DEMONSTRASI SEBAGAI ANTITESA GERAKAN SOSIAL
OLEH: KAMARUDDIN SALIM

A. DEMONSTRASI DALAM PERSPEKTIF KRITIS

Berbicara tentang Demonstrasi, secara defenisi adalah Peragaan atau pengungkapan sikap ketidak setujuan terhadap sesuatu yang dianggap salah serta bertentangan dengan kepentingan yang telah di sepakati bersama. Demonstrasi menjadi fenomena menarik di Indonesia, di mana dalam kehidupan sosio-politik dan sosio-budaya masyarakat Indonesia, demonstrasi menjadi pilihan untuk memprotes kebijakan pemerintah yang dianggap keliru ataupun menyimpang. Secara ilmiah demonstrasi masuk dalam kajian ilmu sosiologi.  Banyak pakar yang menyimak peran khas gerakan sosial adalah sebagai salah satu cara penata ulang masyarakat modern, sebagai pencipta perubahan sosial; sebagai aktor sejarah. Sebagai kelompok perubahan kehidupan politik atau pembawa proyek sejarah, ada pula yang menyatakan: “Gerakan Massa dan konflik yang ditimbulkan adalah Kelompok perubahan sosial”[1]. Kajian perubahan sosial merupakan inti dari ilmu sosiologi. Hampir semua kajian ilmu sosiologi tentunya berkaitan dengan perubahan sosial.
Sejarah telah membuktikan bahwa proses perjuangan merebut kemerdekaan dari tangan kaum Kolonialisme dan Imperialisme Eropa dan Asia Timur Raya (Jepang) yan dilakukan oleh The Faunding Fathers (Soekarno-Hatta Dkk) telah menyisahkan banyak pengalaman dan pelajaran kepada generasi setelah mereka. Perjuanagan yang tidak mengenal menyerah serta mengorbankan darah, keringat dan air mata, harta benda serta keluarga mereka. Prinsip perjuangan yang mereka lakukan adalah demi terealisasinya keadilan dan kemerdekaan dapat di wujudkan dalam kehidupan masyaraka Indonesia. Di dalam UUD 1945 pun menghimbau dan mewajibkan pada setiap warga negara untuk tetap mepertahankan kemerdekaan, rasa berkeadilan dan kebenaran. Maka substansi dari perjuangan lewat jalan demonstrasi adalah salah satu bentuk proses demokrasi yang perlu dilakukan di negara Indonesia yang masih merubah perilaku politik dan ekonomi ini.
Pergerakan perjuangan bangsa Indonesia dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat telah melewati berbagai momen, pasca kemerdekaan gerakan rakyat daerah telah muncul dengan ketidakpuasan akan pembangunan yang terpusat (Sentralisasi Jawa) baik dari Indonesia Timur ataupun Indonesia bagian Barat, kemudian di-ikuti oleh gerakan besar-besaran AMPERA (Amanat Penderiatan Rakyat), dua hal ini masih berlatarbelakang pembangunan ekonomi. Pada tahun 1998 Reformasi yang telah menjatuhkan orde baru juga dilatarbelakangi oleh kompleksitas permasalahan bangsa salah satunya perekonomian Indonesia. Berjalannya sepuluh tahun reformasi memerlukan evaluasi yang tidak sedikit, peran ini mesti dijalankan oleh mahasiswa sebagai control sosial dan ethic movement.
Instabilitas sosial, ekonomi, dan politik menimpa bangsa Indonesia kian menggelisahkan kehidupan masayrakat (civil society) dari Sabang sampai Merauke. Mereka yang merasa tidak aman, tentram dan damai mulai meninggalkan Jakarta dan mengungsi ke daerah yang jauh dari kerawanan sosia, ibarat rombongan trek-vogels yang meninggalkan Afrika kembali ke Benua Eropa demi keselamatan. Instabilitas ini mempersulit para pakar untuk memprediksi hari esok Bangsa mengalama krisis berkepanjangan ini.
Rupanya instabilitas ini memunculkan proses adu kekuatan di kalangan elit politik yang merasa lebih berhak menyelamatkan bangsa yang berenduduk 200-aqn juta jiwa ini. Yang incar umumnya tahta atau kekuasaan dan palu penentu keputusan di arena pengadilan. Kadang metode untuk meluncurkan ke kursi kekuasaan betentangan dengan perikemanusiaan. Tanah air semakmur dan se kaya Indonesia ini menjadi objek rebutan sejumlah tokoh pengendara mobil reformasi. Presikat Negara ini menjadi Negara miskin hanya mempermudah memperoleh dana pinjaman kekal luar negeri dan pinjaman itu sering dijadikan lahan subur perwujudan vested interest pemegang roda pemerintah. Tak heran pendulum politik akhir-akhir ini berusaha merebut hati rakyat banyak menjelang PEMILU (Pemilihan Umum), masing-masing PARPOL (partai politik) berusaha untuk tidak melukai hati rakyat[2][2].
Reformasi diingatkan dengan krisis moneter yang dihadapi rakyat Indonesia, kurs rupiah terhadap dolar mencapai  Rp. 20.000. yang pada awalnya posisi kurs rupiah konstan Rp. 2.500/U$. Inflasi yang tinggi menyebabkan kehancuran perekonomian rakyat Indonesia. Faktor utama yang menyebabkan ini adalah kebijakan moneter yang tidak tepat (misspolicy), masa orde baru kebijakan exchange rate (pertukaran mata uang) menggunakan system fixed exchange rate (pertukaran mata uang tetap). Dimana pada system ini Negara harus memiliki cadangan yang banyak untuk mendorong mata uang rupiah, permasalahannya devisa Negara sangat sedikit Karena neraca keuangan Negara yang deficit sehingga utang luar negeri sebagai solusi yang digunakan untuk menambah devisa Negara. Akibat utang yang terus-menerus dan stabilitas ekonomi yang semu, akhirnya porak-poranda setelah menghadapi gelombang perekonomian global, dimana bunga utang Indonesia membengkak sedangkan kreditur (IMF) menangguk keuntungan yang sangat besar. Aspek lain yang menjadi indikasi kebobrokan perekonomian Indonesia, yakni sisi lembaga keuangan. Bank Indonesia sebagai penentu kebijakan moneter tidak memiliki independensi penuh, kebijakan yang dikeluarkan masih dipengaruhi oleh suara-suara dari “istana”. Sehingga fungsi stabilitas moneter tidak berfungsi secara optimal, dan artinya ini adalah bom waktu yang akhirnya meledak pada  bulan juni 1997 ketika bursa efek Jakarta mulai goncang.
Proses demonstrasi yang makin marak ini tergambar mulai dari Rezim Orde Lama, dimana Mahasiswa dan masyarakat memprotes pemerintahan Soekarno yang di nilai mendukung PKI dan mendesak Presiden membubarkan PKI. Dari aksi demonstrasi ini lebih dikenal sebagai Tritura (tiga Tuntutan Rakyat. Fase demonstrasi ini mengorbankan Mahasiswa seebagai tumbal perjuanagan. Dari demonstrasi ini pula lahirlah Angkatan 66, setelah lengsernya ORLA, lahirlah rezim yang dikenal sebagai rezin otoriter dan rezim militeristik membungkam semua aksi yang dinilai mengganggu stabilitas nasional. Namun kebijakan rezim Orde Baru tersebut tidak mempengaruhi masyarakat dan mahasiswa untuk melakukan aksi protes.
Terbukti dengan kerusuhan Malari pada tahun 1974, yang dalam hal ini memprotes kebijakan pemerintah yang selalu mendukung penanaman insvertasi asing di Negara ini. Dan selalu mencampuri urusan kebijakan kampus sehingga menimbulkan aksi protes yang marak dilakukan oleh mahasiswa. Iklim investasi ketika reformasi sangat  buruk, karena stabilitas politik dan hukum yang lemah selain itu birokrasi merupakan ajang KKN sehingga untuk mendirikan sebuah badan usaha hingga melewati 60 (enam puluh) pintu sampai izin keluar. Investasi yang lemah ini, institusi perpajakan yang dinilai korupsi, dan pengeluaran Negara yang tidak terlalu mempengaruhi kehidupan riil masyarakat menyebabkan pendapatan nasional begitu rendah, sehingga pertumbuhan ekonomi mencapai angka minus 3-4 % ketika krisis moneter mencapai puncaknya (1997-1998).


B. PASCA REFORMASI
Sepuluh tahun reformasi berjalan, perekonomian Nasional dan daerah masih belum terlepas dari proses penganggaran yang tepat atas APBN/APBD. APBN menopang khidupan Negara dalam skala nasional, sedangkan APBD diperuntukkan untuk mendorong percepatan pembangunan daerah. APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sebagai salah satu produk pemerintah pusat. Akan tetapi pelaksanaanya cenderung sarat dengan penyimpangan-penyimpangan dan tindak KKN. Hal ini mengharuskan peran masyarakat publik untuk ikut berpartisipasi dalam suatu proses perumusan kebijakan publik. Fase-fase yang dapat menjadi lahan partisipasi masyarakat antara lain mulai dari perumusan masalah, agenda anggaran, implementasi, dan evaluasi. Dengan begitu fungsi masyarakat sebagai bagian penentu kebijakan public dapat berfungsi. Berjalannya anggaran kerja yang tepat sasaran dan memperhatikan kondisi social masyarakat dapat tercapai.  Dikhawatirkan apabila fungsi masyarakat ini tidak berjalan dengan baik profesionalitas, transparansi, dan akuntablitas tidak akan muncul.
Oleh karena itu ke depannya untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam penggunaan anggaran daerah, maka masyarakat perlu diberikan ruang untuk ikut berpartisipasi dalam mengawasi pengelolaan dan penggunaan anggaran daerah tersebut (APBD). Meskipun dalam penyusunan RAPBD diawali dari level kelurahan / desa yang melibatkan masyarakat sebagai wujud partisipasi langsung. Namun tidak ada jaminan usulan penyusunan dari masyarakat akan dimasukan dalam program pembangunan. Ini timbul karena sering terjadi distorsi yang dimulai pada Rakorbang (Rapat Koordinasi Pembangunan) Tingkat II. Itu karena pada kesempatan tersebut yang bermain adalah rasionalitas dan lobi. Sehingga ruang partisipasi masyarakat yang dominan saat ini adalah melalui seminar, publikasi lewat media massa lokakarya, keorganisasian masyarakat (LSM) dan keorganisasian kemahasiswaan (Badan Eksekutif Mahasiswa) sebagai wujud partisipasi tidak langsung.
Selain partisipasi masyarakat, juga perlu dicarikan model perumusan kebijakan publik yang tepat dan baik. Salah satu model perumusan yang baik untuk kondisi otonomi daerah dan reformasi adalah akumulasi dari beberapa model kebijakan yang substansinya dapat menggarisbawahi permasalah yang mendasar. Sehingga pembangunan dapat bermanfaat bagi semua pihak dan menekan seminimal mungkin distorsi / penyimpangan. Dengan demikian kehidupan bangsa dapat menuju ke arah masyarakat madani, dan pemerintah yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance) yang benar-benar memperhatikan kepentingan rakyat dipimpinya.


C. PILKADA SUATU ANALISA
Keputusan politik pemberlakuan otonomi daerah (OTDA) yang dimulai sejak tanggal 1 Januari 2001, telah membawa implikasi yang luas dan serius. Otonomi daerah merupakan fenomena politis yang menjadikan penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik birokratis ke arah desentralistik partisipatoris.[3][3] Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang isinya bahwa, otonomi daerah diperluas dengan titik berat pada daerah Tingkat II.[4][4]  Dan telah melahirkan paradigma baru dalam pelaksanaan otonomi daerah, yang meletakkan otonomi penuh, luas dan bertanggung jawab pada daerah kabupaten dan kota. Perubahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas pelayanan masyarakat, menumbuhkan semangat demokratisasi dan pelaksanaan pembangunan daerah secara berkelanjutan, dan lebih jauh diharapkan akan menjamin tercapainya keseimbangan kewenangan dan tanggung jawab antara pusat dan daerah.
Lahirnya undang-undang Nomor 22 tahun 1999 ini, juga akan memberikan implikasi positif bagi dinamika aspirasi masyarakat setempat. Kebijakan daerah tidak lagi bersifat ”given” dan ”uniform” (selalu menerima dan seragam) dari pemerintah pusat, namun justru pemerintah daerah yang mesti mengambil inisiatif dalam merumuskan kebijakan daerah yang sesuai dengan aspirasi, potensi dan sosio-kultural masyarakat setempat. UU ini juga membuka jalan bagi terselenggaranya pemerintahan yang baik (good governance) di satu pihak dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di pihak lain. Karena dengan otonomi, pemerintahan kabupaten dan kota memiliki kewenangan yang memadai untuk mengembangkan program-program pembangunan berbasis masyarakat. 
Secara politik otonomi daerah mempunyai arti tersendiri, dimana telah menuai kebijakan yang tidak lagi sentralistik. Maka hasil dari reformasi mempunyai dampak positif, dimana proses pemilihan kepala daerah tidak lagi melalui penunjukkan langsung oleh Menrteri dan DPR.jadi proses pilkada yang dilakukan sekarang dipandang sebagai jalan politik baru yang dinamis dalam kehidupan politik masyarakat lokal.
Pilkada menjadi agenda politik yang menjadi fenomena menarik dalam kurun waktu berapa tahun terkahir ini, dalam implementasinya menimbulkan pro dan konter, money politik serta konflik berkepanjangan. Dimana acuannya kepada Undang-undang PEMILU No.32 serta Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) sebagai penyelenggara dan Komisi Pengawasan Pemilu (PANWASLU) yan mengontrol semua kegiatan PILKADA. Substansi dari semua proses itu, berjalan dengan baik, namun patut disayangkan masih terdapat kompromi politik antara penguasa (Calon Kandidat) dengan Pusat (Jakarta), contohnya: Kasus PILKADA di Provinsi MALUKU UTARA yang sampai saat ini belum urung selesia. Dan semua pihak mengaku tidak bertanggungjawab. Dan masyarakat Maluku Utara selalu menjadi korban dan terus dirundung dengan Konflik Horizontal hingga sekarang.
Dalam kajian ini perlu di pahami bahwa, Pilkada pada prinsipnya hanya memperebutkan kusri empuk kekuasaan di semata seingga hal dasar dari Pemberlakuan otonomi daerah di satu sisi menuntut pemerintah daerah kreatif mencari sumber-sumber pembiayaan, terutama daerah yang tidak memiliki sumber daya alam melimpah. Apalagi ada pemikiran bahwa otonomi daerah diartikan sebagai kesempatan meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).[5][5] Pemerintah daerah terlihat aktif mencari berbagai peluang yang bisa dijadikan sumber pemasukan kas. Dengan meningkatnya pemasukan kas daerah  yang dikelola pemerintah daerah, maka semakin banyak pula kegiatan pembangunan yang dapat dilakukan di daerah, yang berarti lebih meningkatkan tanggung jawab pengelola keuangan dan pembangunan daerah kecenderungannya terabaikan.
Dari sekian banyak contoh positif yang perlu dikemabangkan dalam Pembangunan yang dilaksanakan oleh yaitu, pemerintah daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Dengan sumber dana yang tersedia dan program-program pembangunan yang sesuai dengan perkembangan masyarakat daerah, pemerintah daerah diharapkan dapat memberdayakan potensi dan sumber daya masyarakat yang dimilikinya. Ini berarti melibatkan masyarakat dalam pembangunan di daerah. Ikut aktifnya masyarakat dalam pembangunan memberikan kesempatan untuk memajukan daerahnya.
Pada sisi lain, otonomi daerah dapat memberikan jalan bagi pemerataan pembangunan di daerah-daerah. Pembangunan tidak lagi seragam dan mengikuti apa yang menjadi kehendak pemerintah pusat. Pemerintah daerah dapat berkreasi dalam melaksanakan pembangunan dengan melibatkan masyarakatnya. Pemerataan pembangunan di daerah diharapkan dapat menekan laju urbanisasi di kota-kota besar. Dan semoga PILKADA yang dilakukan bukan hanya meenihi agenda politik para kelompok dan elit politik lokal untuk memperebutkan kekuasaan semata tetapi memperhatikan ranah kerhidupan masyarakat lokal yang masih tertinggal jauh dari penigkatan Sumber daya Manusia dan kemampuan daya saing dengan daerah yang lain di negara ini. 
           


[6][1] PiÖtr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta : Perada Media, 2004, hlm.323
[7][2] Kerikil-kerikil di jalan Reformasi.catatan-catatan dari sudut etika politik.Jakarta.Kompas.Agustus.2002.Hlm.103-104
[8][3]. Herry Subagyo, ”Pengembangan Ekonomi Rakyat Di Era Otonomi Daerah”, Artikel  Thn 1 No.XI Januari, 2003, Hlm 2.   
[9][4]  Sigit Pranawa, ”Otonomi Daerah Dan Bayang-Bayang Disintergrasi”, Jurnal Ilmu  Dan Budaya, Volume: 27, No.1, Agustus, 2006, Universitas Nasonal, Jakarta, hlm 50.
[10][5]  Bacrul Elmi, ”Studi Pembangunan Perkotaan Kota Prabumulih”, Artikel Thn 1 No.XI,



[1]PiÖtr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta : Perada Media, 2004, hlm.323
[2].Kerikil-kerikil di Jalan Reformasi. catatan-catatan dari sudut etika politik. Jakarta.Kompas. Agustus.2002. Hlm. 103-104
[3]. Herry Subagyo, ”Pengembangan Ekonomi Rakyat Di Era Otonomi Daerah”, Artikel  Thn 1 No.XI Januari, 2003, Hlm 2.   
[4]  Sigit Pranawa, ”Otonomi Daerah Dan Bayang-Bayang Disintergrasi”, Jurnal Ilmu  Dan Budaya, Volume: 27, No.1, Agustus, 2006, Universitas Nasonal, Jakarta, hlm 50.
[5]. Bacrul Elmi, ”Studi Pembangunan Perkotaan Kota Prabumulih”, Artikel Thn 1 No.XI,





Tidak ada komentar:

Posting Komentar