POLITIK
IDENTITAS ETNIS DI MALUKU UTARA
Kamaruddin Salim
Politik
identitas etnis menjadi fokus utama dalam konteks PILKADA langsung, sehingga
dalam praktiknya melibatkan peran aktor informal dan struktur partai serta
birokrasi. Proses politik identitas melahirkan semangat etnisitas kian menguat
dalam Pemilihan Gubernur Maluku Utara 2013. Pertama, politik identitas etnis
memberi ruang besar akan bangkitnya semangat para aktor untuk menguatkan dan
membangkitkan posisi elit dan para penguasa lokal di Maluku Utara. Kedua, peran
aktor dan struktur menjadi tantangan tersendiri bagi partai politik yang ada di
daerah. Ketiga. Politik identitas
etnis yang berkembang di Maluku Utara, yang dilandasi semangat pragmatisme
etnisitas sesunguhnya mendorong etnis menjadi kekuatan politik yang lembut dengan
lahirnya budaya politik yang harmonis demi terciptanya iklim berdemokrasi yang
baik di Provinsi Maluku Utara
Pendahuluan
Pasca Orde Baru, kajian politik indentitas di Indonesia
mendapat perhatian yang khusus. Pada masa ini, nuansa kajian politik identitas
di Indonesia, lebih terkait pada masalah etnisitas, agama, ideologi, dan
kepentingan-kepentingan lokal yang pada umumnya diwakili oleh para elit dengan
artikulasinya masing-masing. Gerakan pemekaran daerah, bahkan dapat dipandang
sebagai salah satu wujud dari politik identitas. Isu-isu tentang keadilan dan
pembangunan daerah menjadi sentral dalam wacana politik mereka, akan tetapi,
sejatinya, semuanya banyak dipengaruhi oleh ambisi masalah yang tidak secara
mudah untuk dijelaskan (Maarif,
2012).
Di arena politik, identitas etnis dihembuskan sebagai isu putra daerah yang
kebanyakan dilakukan oleh elit lokal untuk merebut dan melanggengkan kekuasaan
politiknya. Tentang hal ini, Eindhoven dengan tegas menyatakan bahwa momentum
reformasi telah menghantarkan elit lokal mengonsolidasikan kekuatan identitas
(etnis) untuk menolak kepala daerah yang berasal dari non-etnisnya. Hal ini
tampak dengan jelas dalam fenomena pembentukan kabupaten baru, di sini, para
elit etnis berupaya memisahkan atau melepaskan diri dari kabupaten induknya
dengan alasan distingsi sejarah kebudayaan, agama dan etnisnya, (Sjaf, 2014).
Kebangkitan politik identitas di Indonesia tentunya tidak semata-mata
bertumpu pada perubahan politik nasional yang pada awalnya bersifat
sentralistik dengan kendali rezim Orde Baru dan mendorong lahirnya otonomi
daerah serta berkembangnya politik identitas di seluruh Indonesia. Sri Astuti Buchari menggambarkan,otonomi
dan demokrasi merupakan isu sentral yang mewarnai dunia politik Indonesia. Gema
perubahan yang melekat dalam politik otonomi daerah merembes ke berbagai
penjuru tanah air, di antaranya ke Provinsi Kalimantan Barat. (Buchari, 2014).
Potensi
besar yang dimiliki kekuatan etnisitas di tingkat lokal tentunya
dipengaruhi oleh kepentingan politik nasional, sehingga, untuk
meloloskan kepentingannya, maka, isu etnisitas dipandang lebih mempunyai
peluang. Untuk itu, proses penggarapan dukungan massa menjadi
target utama propaganda elit, sehingga isu etnisitas dapat terus direproduksi
dan dimainkan dengan secara masif. Salah satu persoalan yang muncul sebagai
implikasi dari menguatnya isu etnisitas adalah adanya perasaan sentimen etnis
tertentu atas berkuasanya etnis lain di suatu wilayah. Akibatnya, masyarakat merasa terpinggirkan dalam wilayah ekonomi
ataupun politik - keterbatasan akses tersebut mendorong
masyarakat untuk melakukan upaya pengkonsolidasian identitas dengan memilih
etnis sebagai kendaraan untuk mempertahankan eksistensinya, hal ini yang terjadi di Provinsi Maluku Utara.
Pada
hakikatnya, faktor politik etnis yang diboncengi oleh
perebutan dan pembagian kekuasaan merupakan faktor terbesar meluasnya isu politisasi identitas etnis pada setiap momentum politik, baik pada
PILKADA maupun PILWAKO (Pemilihan Walikota). Indikatornya, pertarungan
identitas etnis dalam momentum politik selalu
berpijak pada latar belakang etnis atau latar
belakang daerahnya. Tentunya, hal tersebut dapat dipelajari sejak terbentuknya
Provinsi Maluku Utara pada 1999, serta resistensi konflik dalam tiap pemilihan Gubernur Maluku Utara. Resistensi konflik terfokus pada
sentimen antar etnis yang tentunya bermuara pada perebutan kursi kekuasaan di
pemerintahan. Sebagaimana di ketahui, etnis yang dikatakan dominan dalam pertarungan tersebut adalah etnis
Makean, Tidore, Ternate, Sanana serta Togale (Tobelo dan Galela), yang memiliki kesiapan
sumber daya manusia yang cukup
dan selalu tampil dalam kontestasi politik di Maluku Utara.
Sejak
masa empat Kesultanan Islam berdiri sebagai pusat pemerintahan negara dan
bangsa menggantikan pemerintahan di bawah Momole dan Kolano, tentunya
memberikan gambaran bahwa politik identitas etnis berjalan beriringan. Di mana,
sistem pemerintahan yang demokratis berbasis tradisi (adat) hingga kini tetap
dipraktikan dalam proses pemilihan dan pengangkatan Sultan baru. Dapat
dipastikan bahwa proses berdemokrasi di Moloku Kie Raha (Maluku Utara) menjadi
pilar kesatuan dan pengakuan akan seluruh identitas 28 etnis dan 29
bahasa daerah di antaranya etnis
Tidore, etnis Ternate, Etnis Bacan, Etnis Makean, Etnis Moti, etnis
Sanana, etnis
Jailolo, Tobelo, Sangir, Buli, Patani, Kayoa, Maba, Sawai, Weda, Tobaru, Gane,
Loloda, Kadai, Galela, Kayoa, Ange, Siboyo, Kao, Makean, dan Sahu. Sehingga demokrasi berbasis tradisi pahami bahwa, dengan
banyaknya sub etnis merupakan potensi
besar dalam kontestasi
politik etnis di Maluku Utara.
Oleh karena
itu, menarik untuk dikaji secara politik
kemunculan isu etnis terjadi dalam ritme masif pada pelbagai hajatan
yang bernuansa politis. Proses politik identitas etnis dalam Pilgub Maluku Utara
menjadi gambaran konkret atas dinamika politik etnisitas yang terus
dikonstruksi untuk mencapai kekuasaan politik yang diinginkan oleh para aktor
politik dalam setiap momentum politik di Maluku Utara.
Pada
prosesi pemilihan Gubernur Maluku Utara
periode ketiga pada 2013 dan PILKADA MALUT pada
2013 mendorong semangat identitas dalam bentuk etnis
menguat ke permukaan dengan maraknya isu pemekaran daerah, Kelurahan dan desa serta isu
politisasi etnisitas dalam struktur birokrasi Pemerintahan Daerah Provinsi
Maluku Utara. Namun, beberapa
tahun kemudian, saat prosesi konsesi kepemimpinan usai, isu pemekaran
dan politisasi birokrasi pun mereda. Akan tetapi, paska Pilgub, isu etnis tetap berkembang dan hangat di masyarakat. Hal
ini terbukti dengan terpilihnya KH. Abdul Gani Kasubah dan M.Natsir Thaib, pada Pilgub 2013 dianggap sebagai representasi dari etnis Togale dan Tidore.
Untuk
mengkaji dinamika politik identitas etnis dalam perebutan kekuasaan politik di
Maluku Utara tersebut, penulis
menggunakan metode deskriptif analitis (Singaribuan,
1986), dan penulis menggunakan landasan teori
politik identitas Castells, teori strukturasi Anthony Giddens serta teori
budaya politik Almond and Verba, untuk menjadi dasar dalam menganalisis data yang
diperoleh di lapangan tentang politik identitas, peran aktor/struktur dan keterkaitannya
dengan proses budaya politik dalam
Pilgub Maluku Utara 2013.
Relasi
Antaretnis dan Kekuatan Politik Identitas Etnis
Politik identitas merupakan
suatu ideologi yang
ada dalam setiap etnis;
keberadaannya bersifat laten dan potensial dan sewaktu-waktu dapat muncul ke
permukaan sebagai suatu kekuatan
politik yang dominan. Secara empiris, politik identitas merupakan aktualisasi
partisipasi politik yang terkonstruksi dari akar budaya masyarakat setempat,
dan mengalami proses internalisasi secara terus-menerus di dalam kebudayaan
masyarakatnya dalam suatu jalinan interaksi sosial, (Buchari, 2014). Menurut Castells (dalam Buchari, 2014),
politik identitas merupakan partisipasi individual pada kehidupan sosial yang
lebih ditentukan oleh budaya dan psikologis seseorang. Identitas merupakan
proses konstruksi dasar dari budaya dan psikokultural dari seorang individu
yang memberikan arti dan tujuan hidup dari individu tersebut, karena, terbentuknya identitas adalah dari
proses dialog internal dan interaksi sosial.
Selaras dengan yang tersebut di atas, Castells (dalam
Munandar, 2013) menambahkan bahwa dalam dunia dengan pusaran arus kekayaan,
kekuasaan dan imajinasi berskala global, pencarian identitas, baik kolektif
maupun individual menjadi sumber yang
paling
dasar dari pemaknaan the fundamental source of meaning.
Pencarian identitas dan makna ini bukan merupakan sesuatu yang sama
sekali baru, sebab identitas khususnya berbasis agama dan etnis telah menjadi
akar makna hidup manusia sejak peradaban hadir di muka bumi. Namun, dewasa ini, dalam sebuah periode sejarah yang
ditandai oleh destrukturisasi organisasi dan delegitimasi institusi, telah melenyapkan gerakan-gerakan sosial
yang berdampak besar dan
ekspresi kultural yang bersifat sementara. Dengan kata lain, meski bukan satu-satunya, namun identitas
menjadi sumber makna yang utama.
Orang semakin mengatur, menata makna hidup mereka bukan seputar apa yang mereka
lakukan, akan tetapi, lebih berbasis pada apa yang
mereka percayai. Sementara itu, jejaring global dari pertukaran instrumental (global network of instrumental exchanges)
secara selektif memati-hidupkan individu, kelompok, wilayah dan bahkan negara,
seturut relevansi mereka di dalam memenuhi tujuan-tujuan yang diproses dalam
logika jaringan itu.
Selanjutnya, menurut Castells (dalam Munandar, 2013),
konstruksi identitas menggunakan bangunan material dari sejarah, geografi,
biologi, produksi dan reproduksi institusi, memori kolektif dan fantasi
pribadi, aparat kekuasaan, dan ajaran agama. Kemudian, permasalahannya adalah
bagaimana seseorang atau kelompok orang mengonstruksikan pembangunan identitas,
lalu siapa
yang berperan untuk menentukan arah pembangunan identitas tersebut dan apa
kegunaannya? Dalam hubungan ini Castells (dalam Munandar, 2013) menyebutkan:
a. Identitas
legitimasi (legitimizing identity);
identitas yang diperkenalkan oleh sebuah institusi yang mendominasi suatu
masyarakat untuk merasionalisasikan dan melanjutkan dominasinya terhadap
aktor-aktor sosial, seperti misalnya suatu institusi negara yang mencoba
meningkatkan identitas kebangsaan anggota masyarakat. Institusi tersebut memang
telah mendapatkan legitimasi untuk melakukan hal-hal tersebut.
b.
Identitas resisten (resistance identity); sebuah proses
pembentukan identitas oleh aktor-aktor sosial yang dalam kondisi tertekan karena
adanya dominasi dan stereotipe dari pihak-pihak lain sehingga membentuk
resistensi dan pemunculan identitas yang berbeda dari pihak yang mendominasi dengan tujuan untuk
keberlangsungan hidup kelompok atau golongannya. Hal ini disebutkan sebagai
sebuah terminologi ketika Calhoun mengidentifikasi munculnya politik identitas.
c. Identitas
proyek (project identity); suatu
identitas ketika aktor-aktor sosial membentuk suatu identitas baru yang dapat
menentukan porsi-porsi baru sekaligus mentransformasikan struktur masyarakat tersebut
secara keseluruhan. Misalnya, ketika sekelompok aktivis feminisme berusaha
membentuk identitas baru perempuan, mengasosiasikan ulang posisi perempuan
dalam masyarakat, dan akhirnya merubah struktur masyarakat secara keseluruhan
dalam memandang peranan perempuan.
Dalam
masyarakat yang multietnik, dinamika politik senantiasa memiliki “tegangan” yang
lebih tinggi disbanding
dengan daerah
yang relatif homogen. Hal tersebut dapat dilihat pada kontestasi politik di
tingkat lokal pada beberapa PILKADA provinsi, kabupaten dan kota yang selalu
menyita perhatian pemerintah, pengamat politik maupun pimpinan partai politik
karena persaingan yang melibatkan simbol-simbol etnisitas baik agama, suku,
daerah asal, putra daerah atau pendatang.
Untuk memahami uraian Castells tentang politik identitas yang menitiberatkan pada identitas resisten, identitas legitimasi, dan identitas proyek, maka, dapat digambarkan bahwa perhelatan
politik identitas etnis di Maluku Utara paska reformasi sudah berang tentu melahirkan
berbagai persoalan baru yang
sengat membekas
di benak seluruh masyarakat Maluku
Utara. Pada 2013 proses mobilisasi etnis dalam
konstestasi politik secara terang-terangan dilakukan oleh para elit politik dan
birokrasi, sehingga dapat
dikatakan sebagai satu matarantai yang tak terpisahkan
dalam dinamika politik etnis
atau ego etnisitas cederung membudaya dan mengakar
dalam pelbagai segi
kehidupan sosial-budaya masyarakat Maluku Utara.
Dalam perkembangannya, apa yang terjadi di Maluku Utara sejak
periode 1999-2009 lahirnya elit-elit baru (aktor politik dan aktor dalam
struktur birokrasi) yang ada di Maluku Utara saat ini, sejatinya sebahagian dari mereka adalah elit-elit tradisional (kesultanan,
tokoh agama, dan tokoh masyarakat) yang menjelma dan menyesuaikan diri sebagai
aktor politik baru dan terorganisasi dengan baik.
Reproduksi
Identitas dan Konstruksi Politik
Uraian pada bagian ini lebih
dipusatkan pada kekuatan struktur sosial yang terlembaga secara formal, seperti
partai politik, organisasi paguyuban dan kebijakan di kalangan kesultanan tanpa
mengabaikan kekuatan lain, seperti
hubungan kekuasaan antaretnis, adat-istiadat, dan otonomi daerah yang memberi
pengaruh bagi tatanan sosial-politik di Maluku Utara. Perspektif struktur ini dikaitkan
dengan elemen budaya dan proses yang terstrukrur dalam pertarungan memperebutkan kekuatan dan
dominasi yang dilakukan lewat
nilai-nilai budaya, yakni etnis dan adat-sitiadat.
Sejatinya, konsep inti teori strukturasi
terletak pada gagasan tentang struktur, sistem dan dualitas struktur. Secara
harfiah, struktur mengandung arti sebagai
hal-hal yang menstrukturkan (aturan dan sumber daya) sehingga memungkinkan adanya praktik sosial yang dapat dipahami
kemiripannya di ruang dan waktu yang memberi mereka bentuk sistemis. Walau
tidak terdapat dalam ruang dan wkatum, namun, fenomena sosial juga dapat distrukturalkan. Meminjam Giddens, struktur
hanya ada di dalam dan melalui aktivitas agen manusia. Konsep strukturasi, yang
dipremiskan sebagai gagasan bahwa “terbentuknya aktor dan struktur bukan merupakan dua fenomena
yang terlepas satu sama lain, dualisme, namun merepresentasikan dualitas unsur
struktural sistem sosial adalah media dan hasil dari praktik yang mereka
organisasi secara rekursif”, atau momen produksi tindakan juga merupakan salah
satu reproduksi dalam koteks keputusan kehidupan sehari-hari, (Giddens, 2010).
Inti dari teori strukturasi Giddens yang
fokus pada praktik sosial adalah teori hubungan antara aktor dengan struktur. Menurut
Bernstein “tujuan fundamental dari teori strukturasi adalah untuk menjelaskan
hubungan dialektika dan saling pengaruh antara agen dan struktur. Setidaknya
ada dua tema sentral yang menjadi poros pemikiran Giddens, yaitu: hubungan
antar struktur (sturkture) dan pelaku
(agency). Serta sentralitas ruang (space) dan waktu (time.) (Giddens, 2010). Dengan kata lain, agensi (aktor) dan struktur tidak dapat dipahami secara terpisah,
melainkan sebagai dua sisi koin yang
sama. Dalam bahasa Giddens (2010), mereka adalah dualitas, semua tindakan
sosial melibatkan struktur, dan semua struktur melibatkan tindakan sosial.
Agensi (aktor) dan struktur terjalin erat dalam aktivitas atau praktik yang
terus-menerus dijalankan oleh manusia.
Dalam memahami teori strukturasi yang ditawarkan oleh Giddens untuk menjelaskan hubungan dialektika dan saling mempengaruhi antara
aktor dan
struktur. Oleh
sebab itu, dalam upaya untuk menelusuri korelasi antara
aktor dan struktur dalam politik identitas etnis di Malaku Utara --- sudah barang tentu melewati
suatu proses yang panjang sejak
Provinsi Maluku Utara ditetapkan menjadi Daerah
Otonomi Baru (DOB) yang dimekarkan dari Provinsi Maluku sebagaimana yang
tertera dalam UU 46/1999, 4 Oktober 1999. Tidak ada yang bisa menepis betapa undang-undang
ini juga mempertimbangkan beberapa kelompok elit yang ada Maluku Utara. Akan
tetapi, dalam proses pemekaran tersebut, sudah sejak awal terjadi tarik-menarik antara para aktor politik; di antaranya
kelompok adat yang diwakili oleh kesultanan dan para aktor politik yang duduk di birokrasi
dan partai politiknya. Secara aklamasi, provinsi baru tersebut dinamakan Maluku Utara. Bukan nama yang
terdengar terlalu tradisional, Maluku Kie Raha, sebagaimana yang dikehendaki
sultan. Namun, untuk sementara, sebagaimana keinginan sultan, maka, ibu kota tetap
dipertahankan di Ternate. Dengan catatan, suatu saat, sebagaimana yang diinginkan oleh
lawan-lawannya akan dipindahkan ke sebuah desa bernama Sofifi di Kota Tidore
Kepulauan. Sejatinya, demokrasi menjadi bagian yang teramat
penting dari semua itu, Bahkan,
undang-undang dengan secara khusus menyatakan bahwa DPR harus dipilih
dari pemilu yang dilakukan di Maluku Utara --- dan pada akhirnya, DPR inilah yang akan mengangkat Gubernur, (Klinken, 2010). Oleh
karena itu, dengan adanya PILKADA langsung, maka, relasi dan tindakan proses
politik serta perubahan polarisasi
kepentingan politik dengan secara bersamaan pun bermunculan. Para aktor yang terlibat dalam kontestasi tersebut pun berubah, semua kelompok adat, salah satunya pihak kesultanan yang selama ini tampil
sebagai aktor yang paling dominan, sontak kehilangan peranannya dan digantikan oleh aktor informal, kelompok etnis, mahasiswa dan
LSM. Seiring dengan itu, peran struktur formal pun
mengalami perubahan signifikan dengan
melemahnya peranan struktur partai sebagai mesin politik serta birokrasi yang
melegetimasi kekuatan politik sentralistik dalam momentum PILKADA.
Meminjam Giddens yang menyatakan bahwa
hubungan antara pelaku (aktor) dan struktur adalah merupakan relasi dualitas yang
sering terjadi dalam praktik sosial dapat berupa kebiasaan. Dengan kata lain, dualitas yang terjadi dalam
fakta bahwa suatu “struktur mirip pedoman” yang menjadi prinsip praktik-praktik
di berbagai tempat dan waktu tersebut adalah merupakan hasil pengulangan dari
pelbagai tindakan. Schemata yang mirip ‘aturan’ itu juga menjadi sarana
‘medium’ bagi keberlangsungan sosial. Giddens menyebut skemata itu struktur, (Giddens, 2010). Oleh sebab itu, dapat dipahami bahwa proses reproduksi etnisitas
kemudian menjadi modal politik yang besar dalam proses PILKADA langsung di Maluku Utara, tentunya telah menjadi
kebiasaan sebagaimana yang dipraktikan oleh para aktor. Sehingga sulit dihindari bila
komodifikasian etnis sebagai modal politik dianggap lumrah dan menjadi budaya
politik oleh para aktor informal, aktor birokrasi dan partai politik di Maluku
Utara.
Budaya Politik dan
Pertarungan Para Aktor
Kebudayaan
sendiri diartikan sebagai segala hal yang berkaitan dengan akal atau pikiran
manusia, sehingga dapat menunjuk pada pola pikir, perilaku serta karya fisik
sekelompok manusia. Menurut Sutan Takdir Alisjahbana, perkataan kultur berasal
dari kata Latin culture (kata
kerjanya colo, colere) dan artinya
memelihara atau mengerjakan, mengelola. Selama berabad-abad, dalam berbagai
bahasa, arti aslinya masih dapat dirunut. Pemakaian perkataan kultur sekarang
menunjukkan kehidupan masyarakat dalam penjelmaan aneka ragam (Alisjahbana, 1986).
Perkembangan kebudayaan dalam masyarakat
tentunya menjadi kajian penting bagi para ilmuwan sosial dan politik. Kaitan
dengan perkembangan kebudayaan tersebut, Gabriel A Almond dan Verba (1984)
berpendapat walau gerakan menuju teknologi dan rasionalitas organisasi telah
tampil dengan keseragaman di seluruh dunia, namun, yang menjadi masalah tentang
substansi kebudayaan dunia yang sedang berkembang ini adalah politisnya. Akan
tetapi, petunjuk ke arah perubahan politis masih cukup kabur. Salah satu aspek
dari kebudayaan politik dunia yang baru dan dapat dilihat adalah ia akan
menjadi kebudayaan politik dalam partisipasi. Oleh sebab itu, jika ada revolusi
politik yang melanda seluruh dunia, maka, hal itu dapat disebut sebagai
eksplosi partisipasi. Boleh dikata, di semua negara-negara baru, kepercayaan
bahwa manusia biasa secara politik adalah relevan karena ia harus termasuk
sebagai partisipan dalam sistem politik yang disebarluaskan. Kelompok manusia
dalam jumlah besar yang berada di luar arena politik menuntut jalan masuk ke
dalam sistem politik --- dan jarang terjadi ada kaum elit yang tidak memiliki
komitmen terhadap tujuan ini.
Menurut Almond dan Verba (1984), untuk
memahami kebudayaan politik harus lebih dari konsep khususnya karena
memungkinkan untuk memanfaatkan kerangka kerja konseptual dan pendekatan
antropoligi, sosiologi dan psikologi. Dengan kata lain, pemikiran akan
diperkaya dengan menggunakan berbagai kategori antropoligi dan psikologi
seperti sosialisasi, konflik, kebudayaan dan akukturasi. Selain itu, juga
diperlukan kemampuan untuk memahami kelahiran dan transformasi sistem politik yang
berkembang, ketika memanfaatkan teori dan spekulasi yang berkaitan dengan
fenomena umum dari struktur dan proses sosial.
Lebih lanjut, Almond dan Verba (1984)
mengatakan; kebudayaan politik suatu bangsa adalah merupakan distribusi
pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik di antara masyarakat bangsa
tersebut. Berkaitan dengan apa yang dipaparkan oleh Almond dan Verba, maka,
dapat dipahami bahwa terjadinya politik identitas etnis dalam praktik politik
di Maluku Utara menunjukkan bahwa pertarungan antar para aktor politik dan elit
dalam struktur untuk melegitimasi isu etnis dengan mendorong pola-pola
orientasi khusus untuk mencapai tujuan politiknya. Akibatnya, persinggungan
antar kelompok etnis dalam pertarungan politik
ketika proses PILKADA langsung bergulir, sontak mencuat ke permuakaan dengan
secara terbuka. Konstruksi semangat etnistas dalam politik di Maluku Utara
mencapai klimaksnya tatkala PILKADA langsung menjadi pertarungan kepentingan
secara terbuka bagi para aktor ataupun masyarakat yang berkompetisi dalam arena
politik dengan secara demokratis. Keadaan itu membuka ruang konflik yang sulit untuk
dihindari, dan terjadi terus menerus dalam setiap momentum politik. Almond dan
Verba (1984) dalam merumuskan klasifikasi tipe-tipe orientasi politik yang
mengacu pada aspek-aspek dan objek yang dibakukan serta hubungan antar keduanya,
termasuk:
a.
Orientasi kognitif;
pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk
pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warga negara.
b. Orientasi
dafektif; perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran- peran para
aktor (politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, dan
yudikatif).
c.
Orientasi
evaluatif; keputusan dan pendapat tentang objek-ojek politik yang secara
tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria informasi dan perasaan;
misalnya nampak saat pemilu.
Kemudian Almond dan
Verba (1984) menjabarkan bahwa dalam menggolongkan objek orientasi politik
dimulai dengan pembahasan sistem politik secara umum. Keduanya bahkan memberikan perhatian penting pada sistem
sebagai suatu keseluruhan dan termasuk perasaan tertentu, seperti patriotisme dan alienasi,
kognisi dan evaluasi suatu bangsa seperti besar atau kecil, kuat atau lemah
serta pengertian dan evaluasi terhadap pemerintah, seperti demokrasi, konstitusional
atau sosialistis. Pada bagian lain,
Almond dan
Verba membedakan orientasi-orientasi terhadap pribadi sebagai aktor politik,
isi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang serta isi dan
kualitas kemampuan diri setiap visi sistem politik. Untuk membahas masalah-masalah
sistem politik, secara tegas
Almond
dan Verba membedakan menjadi
tiga
golongan objek sebagai berikut; pertama,
peranan atau struktur khusus;
seperti badan legislatif, eksekutif dan birokrasi. Kedua, pemegang jabatan; seperti pemimpin monarki, legislator dan
administrator. Ketiga, kebijaksanaan,
keputusan, atau penguatan keputusan, struktur, pemegang jabatan dan struktur
secara timbal balik yang dapat
diklasifikasi;
apakah mereka termasuk dalam proses atau input
politik atau dalam proses administratif atau output.
Selanjutnya, untuk memahami tiga orientasi politik yang
diuraikan oleh Almond dan Verba di atas dalam kaitannya dengan perkembangan
orientasi politik yang terjadi di Maluku Utara semenjak zaman kesultanan, maka, dapat dipahami bahwa
pengaruh sultan
dan lembaga kesultanan hingga akhir 1950-an masih tergolong kuat. Kemudian, baru
pada1960, Maluku Utara dipimpin oleh Bupati Jahir Anong yang berlatar belakang
Militer. Sejak saat itu,
peran kesultanan di Maluku
Utara
semakin memudar karena terpisah
dengan lembaga pemerintahan. Jika
dilihat secara struktur kelembagaan, sejatinya, sampai saat ini, empat
kesultanan yang ada di Maluku
Utara masih
hidup dan berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip lokal yang dianut. Namun, bila
melihat peran serta dan kontribusinya bagi kehidupan masyarakat, selain hanya sebagai lembaga adat
dan budaya, lembaga kesultanan tidak lebih dari kebanggaan masa lalu belaka.
Dari empat lembaga
kesultanan yang ada, boleh dibilang hanya Kesultanan Ternate yang muncul
sebagai sebuah kekuatan untuk mengenalkan budaya Maluku Utara di tingkat nasional. Saat ini, peran kesultanan lebih bersifat individu,
dalam arti sosok sultan muncul dan menjelma sebagai elit baru Maluku Utara. Para sultan sadar, lembaga yang mereka
pimpin tidak lagi superioritas seperti
dulu,
sehingga,
mereka
pun muncul
dengan kekuatan basis massa yang dipunyai untuk memperebutkan jabatan-jabatan
politik yang ada di Maluku
Utara (Abbas, 2013),
Selanjutnya, Almond dan Verba, membagi kebudayaan
politik ke dalam tiga tipe;
yakni kebudayaan politik parokial, kebudayaan politik subjek dan kebudayaan politik partisipan. Dengan merujuk pada tiga
kebudayaan politik yang diuraikan oleh Almond dan Verba, bila dikaitkan dengan
perkembangan budaya politik yang terjadi di Maluku Utara sejak memasuki era
Orde Baru sampai era reformasi ---
atau dari
Pemilu 1971 sampai dengan Pemilu 1999 dan Pemilu 2004 --- sejatinya, terdapat pergesekan
yang signifikan dalam peta perpolitikan serta pemerintahan di Maluku Utara.
Pada awalnya perananan lembaga kesultanan dan sultannya begitu dominan dalam
struktur politik dan pemerintahan di Maluku Utara, akan tetapi, dalam era in, peran kesultanan tidak lagi mempunyai
porsi yang besar. Pergeseran konfigurasi elit lokal telah memunculkan elit baru di Maluku Utara dan terbagi dalam dua
kelompok besar, yakni
elit politik dan elit birokrasi, (Abbas, 2013).
Memudarnya peran kesultanan sebagai basis kekuatan
kultural dan politik di Maluku Utara, sudah barang tentu menjadi satu
keniscayaan bahwa akan terjadi ketidakkeseimbangan kebudayaan politik partisipan
kesultanan yang merupakan suatu bentuk kultur dengan anggota-anggota masyarakat
yang cenderung
diorientasikan secara eksplisit terhadap sistem sebagai keseluruhan dan
terhadap struktur dan proses politik serta administratif di Maluku Utara sebagaimana
yang dimaksudkan Almond dan Verba. Kenyataan itu, secara langsung mendorong dinamika budaya
politik baru tanpa campur tangan pihak kesultanan dan dalam konteks PILKADA
langsung, proses
politik berbasis etnisitas lebih dominan terjadi di Maluku Utara.
Dominasi
Aktor-Struktur dan Kontestasi Aktor Kelompok etnis di Maluku Utara
Berbicara mengenai
praktik dominasi aktor,
struktur
dan pertarungan etnis terkait dengan Pemilihan Gubernur Maluku Utara, sejatinya, dominasi para aktor tersebut cenderung terlibat
aktif dalam setiap kontestasi politik baik yang berasal dari partai politik,
birokrasi, maupun struktur
informal --- seperti
dari organisasi paguyuban, tokoh masyarakat, dan tokoh (aktivis) mahasiswa.
Sementara, jika dilihat dari sejarah perjalanan praktik
politik identitas etnis yang berkembang saat ini, lebih cenderung melibatkan aktor dan
struktur, serta menyeret penguatan ego atas budaya dari masing-masing etnis
yang ada di Maluku Utara. Dengan mengedepankan parade kekuatan yang secara
alamiah terus terpelihara kepentingannya, maka, Giddens (2009) berpandangan bahwa
kepentingan kelompok yang dominan erat berkaitan dengan pelestarian status quo. Dengan demikian,
bentuk-bentuk makna yang menaturalisasikan kondisi yang telah ada dengan
menghambat pengakuan atas sifat masyarakat manusia yang dapat diubah dan
berciri historis berperan untuk melanggengkan kepentingan semacam itu.
Sepanjang sejarah, kenyataan
tersebut dipahami dan dapat mengacu
pada kondisi-kondisi ketika relasi sosial tampak memiliki sifat
undang-undang alami yang tetap dan tak dapat diganggu gugat, maka, kenyataan identitas tersebut
dapat dipandang
sebagai bentuk utama keberlangsungan proses naturalisasi masa kini.
Dengan kata lain, sejatinya, penonjolan kekuatan
identitas etnis dan relasi yang dilakukan para aktor tersebut pada hakikatnya
merupakan pijakan dari kondisi objektif etnisitas yang merasa berpeluang untuk
menonjolkan eksistensinya dan tidak melanggar konstitusi, serta cita-cita
demokrasi langsung. Dalam hal ini, kondisi dan kedudukan kelompok (identitas)
etnis yang terlibat dalam PILKADA langsung tersebut dapat mendorong lahirnya civil society yang kuat di daerah. Dalam
konteks Maluku Utara, peran aktor melalui organisasi paguyuban yang berbasis
etnis sangat berpengaruh dan dominan dalam kontestasi politik.
Selain itu,
keterlibatan aktor birokrat sebagai peran kelompok lapangan tengah yang
mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi masyarakat pemilih dan jejaringnya jauh
lebih efektif daripada partai politik. Pemetaan lebih
lanjut atas dominasi aktor informal dan sturktur formal dalam kontestasi atas
etnis dalam PILGUB Maluku Utara, dapat
dilihat
sampai sejauh
mana usaha para aktor dalam membangun isu etnis dalam upaya untuk memetakan masyarakat
pemilih berdasarkan garis keturunan dari para kontestan yang tampil sebagai
kandidat Gubernur Maluku Utara. Tidak
ada yang bisa menepis, betapa konfigurasi etnis dapat terlihat
dengan hadirnya para calon Gubernur ataupun calon Wakil Gubernur. Terkait
dengan peran kekuatan lapangan tengah yang dalam hal ini para aktor etnis yang
mewakili kelompok masing-masing kandidat, mereka terus berupaya untuk melembagakan kekuatan politiknya. Walau secara
struktur politik tidak dipandang serupa lembaga partai, namun, kekuatan ini mampu memetakan
kekuatan politik para kandidat dengan
secara
politik yang berbasis etnis.
PILGUB 2013, sejatinya, merupakan suatu
kontestasi politik yang setidaknya menguatkan salah satu etnis yang selama
beberapa dekade belum tampil sebagai petarung utama dalam PILGUB --- terutama, pada putaran pertama
proses pemilihan Gubernur Maluku Utara. Etnis yang baru tampil sebagai kandidat
yang bersaing dengan etnis yang telah lama menjadi langganan PILGUB, adalah
etnis Tobelo-Galela yang diwakili oleh KH.Abdul Gani Kasuba, Sahrin Hamid dan
Hein Namotemo. Sementara, etnis
yang setiap PILGUB selalu tampil sebagai kandidat adalah etnis Tidore yang diwakili oleh Syamsir Andili,
Muhammad Natsir Thaib, Malik Ibrahim dan Hasan Doa, sedang etnis Makean-Kayoa, diwakili oleh Muhadjir Albar dan
Ismail Arifin. Selanjutnya, dangkan
etnis Tionghoa
diwakili oleh Namto Hui Roba dan Beny Laos, sedang etnis Sanana dan Buton diwakili oleh Ahmad Hidayat Mus yang merepresentasikan etnis yang
berkaitan dengan dominasi politik di Maluku Utara (Deni, 2014).
Jika kita mau merunut sejenak ke belakang, proses
dominasi aktor-struktur dalam PILGUB Maluku Utara, sesuai dengan sejarah
Pemilukada yang berlangsung di Kabupaten/Kota maupun tingkat Provinsi
senantiasa diwarnai dengan konflik, salahsatunya adalah konflik yang bernuansa etnis. Pada saat itu, para aktor dan struktur
yang merasa mempunyai kekuatan politik etnis akan tampil bahkan berani melegitimasikan dirinya sebagai kekuatan
penyeimbang dalam proses demokrasi di Maluku Utara. Akibatnya, legitimasinya ketika berhadapan dengan para
aktor etnis maupun para kandidat yang menggunakan ego etnis sebagai modal
politiknya. Akan tetapi, sejauh
ini, dominasi
aktor-struktur yang menggunakan politik etnis hanya mencuat ketika proses PILGUB.
Relasi Para Aktor Partai Politik di PILGUB 2013
Relasi aktor partai
politik dalam PILGUB Maluku Utara 2013 merupakan suatu kewajaran, karena, Pemilukada adalah hajatan partai
politik dalam rangka mengusung kandidat atau calon pejabat publik di
pemerintahan daerah. Sebagaimana dipahami, pejabat
publik yang diusung adalah merupakan
perpanjang
tangan dari masyarakat politik;
baik partai politik, DPRD ataupun kelompok kepentingan, oleh karena itu, penguatan pada arena
kepartaian pun menjadi
sangat urgen.
Stigmatisasi
partai politik sebagai aktor yang hanya merebut, membagi dan mempertahankan
kekuasaan menjadi benar bila dari masing-masing aktor
partai politik di Maluku Utara termotivasi hanya semata-mata untuk memperebutkan kursi jabatan
politik, seperti jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur. Akan tetapi, proses
politik yang lahir melalui partai politik seakan bias dalam kepemimpinan para
pejabat publik yang telah menang bertarung, akan tetapi, tidak mampu melaksanakan program
yang diusung partai dan mengedepankan
kepentingan masyarakat (Deni, 2014).
Penggambaran atas
realitas politik di Maluku Utara dengan perilaku para aktor partai dan kandidat yang diusung untuk tampil
dalam kontestasi PILGUB Maluku Utara, tentunya,
menggambarkan kondisi suatu daerah yang demokratis yang ditandai dengan adanya dan berfungsinya partai politik di daerah tersebut. Apalagi, partai politik adalah sebuah lembaga yang
merupakan tempat berkumpulnya orang-orang yang secita-cita, seideologi yang bekerja, berinteraksi untuk
pencapain tujuan tertentu
--- dengan kata lain, partai politk adalah merupakan sebuah lembaga yang mempunyai fungsi
penyaringan pendapat,
pembulatan,
melalui suatu perbincangan untuk dapat memenangkan pemilihan umum dan PEMILUKADA.
Dengan asumsi lain
bahwa demokrasi tidak dapat tumbuh tanpa partai politik, akan tetapi, kita juga harus mengakui betapa demokrasi tidak
sempurna tanpa partai politik. Eratnya hubungan antara partai politik dengan
demokrasi terletak pada hakikat dan latar belakang berdirinya partai politik
yang tumbuhkembang seiring dengan
semangat kebebasan dan keberpihakan pada naluri kerakyatan. Sehingga dapat dikatakan, partai
politik adalah
organisasi yang mempunyai kegiatan yang berkesinambungan. Artinya hidupnya tidak bergantung pada masa jabatan
atau masa hidup para pemimpinnya. Kondisi semacam ini, berbeda dengan realitas politik
Maluku Utara,
secara
umum masyarakat beranggapan bahwa semua hal yang dilakukan
tentu mempunyai tendensi etnis dan langsung direspon dengan ragam asumsi
politis.
Secara teoritis, sejatinya dapat dipahami bahwa partai politik adalah sekelompok
orang yang berusaha mengejar kedudukan dalam pemerintah yang secara bersama-sama terkait oleh
identitas atau pun label
yang dimilikinya. Partai politik merupakan sebuah wadah untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat serta menegakkan amanat dan dilakukan
melalui suatu proses politik; yakni PILGUB. Secara umum dapat dipahami bahwa fungsi partai
politik sebagai wadah untuk memperjuangkan ideologi dan cita-cita secara
kelembagaan. Dalam hal ini, politik yang sama yakni memaksimalkan terpenuhinya
kepentingan kekuasaan baik dalam lingkungan yang terbatas maupun dalam wilayah
yang luas. Di sini, partai politik berfungsi sebagai suatu lembaga
yang dapat memperjuangkan dan mendistribusikan kekuasaan. Salah satu fungsi inilah yang paling menonjol dilakukan
oleh para pimpinan parpol. Akan tetapi, berpijak pada realias tentang kondisi
partai di Maluku Utara,
sejatinya, partai belum menjalankan fungsinya dengan secara
baik dan maksimal.
Peran aktor politik
dalam PILKADA atau PILGUB Maluku Utara berada dalam arena partai politik, namun
demikian,
sekaqli ini, partai politik tidak bertarung
sendiri-sendiri.
Melainkan
melalui mekanisme koalisi.
Dengan
demikian persaingan partai yang terjadi adalah merupakan cerminan adanya persaingan
peran partai yang mewarnai
PILGUB di Provinsi Maluku Utara periode 2013 – 2019. Selaras dengan itu, aktor-aktor
partai yang ikut serta dalam PILGUB periode 2013 di antaranya Partai Golongan
Karya (Golkar), partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, PKPB dan
Partai Damai Sejahtera (PDS) yang mengusung kandidat Ahmad Hidayat Mus dan
Hasan Doa,
sedang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai
Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Republikan, PPRN, dan PKPI mengusungan kandidat
Abdul Gani Kasuba dan Naser Thaib,
sementara,
Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat
mengusung Muhajir Albar dan Sahrin Hamid, dan Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Partai Barnas, dan PPN mengusung kandidat Namto Hui Roba dan
Ismail Arifin, dan
Heim N dan Malik Ibrahim mencoba melalui jalur independen (www.kpu, go.id).
Dalam konteks peran
partai dan kandidat yang diusung melalui koalisi, ternyata para elit partai masih menggunakan kekuatan aktor etnik
dalam memproduksi gagasan etnisitas sebagai politik yang bercirikan demokrasi.
Persoalan utamanya tatkala menguatkanya politik etnis yang dimodifikasi oleh
aktor politik kemudian menjadi isu
dalam PILGUB, sudah barang
tentu, modivikasi
tidak mutlak terpusat di satu etnis atau di suatu wilayah tertentu. Hal ini mengingat para aktor partai
memahami akan pemahaman politik etnis masyarakat Maluku Utara yang bermuara pada kesadaran kelompoknya
dan kesadaran menghormati elit politik yang berasal dari lingkaran etnisnya. Oleh sebab itu, partai politik di
daerah, dapat memposisikan
narasi sentimen etnis yang
cenderung
berlebihan,
namun, masih memungkinkan dalam merepresentasikan politik
identitas etnis dalam proses PEMILUKADA.
Dinamika
Budaya Politik dalam Pemilihan Gubernur Maluku Utara 2013
Dinamika budaya politik
dalam PILGUB Maluku Utara, dengan menyoroti proses budaya politik yang
dilakukan para aktor informal dan aktor dalam struktur, ternyata, , kelompok
etnis
dijadikan sebagai kekuatan utama untuk melegitimasi kekuasaan mereka. Sehingga, dengan secara langsung terus mendorong tampilnya dominasi etnis
dalam setiap kontestasi politik. Persinggungan antara aktor informal dan
struktur partai serta birokrat dalam PILGUB Maluku Utara telah melahirkan suatu budaya politik yang sudah barang tentu berimplikasi pada
kehidupan sosial pragmatis masyarakat ketika menghadapi momentum politik.
Dinamika budaya politik
di Maluku Utara sejak berlangsungnya PILKADA langsung, menyisakan catatan demokrasi
yang suram. Proses
demokrasi yang seharusnya berjalan dengan baik, sontak
memudar
karena tidak disiapkan secara matang,
sehingga, masyarakat senantiasa terjebak
dalam konflik sosial-politik.
Inilah yang terlihat pada
konflik 1999-2009 lalu. Betapa masyarakat di Maluku Utara dengan mudah
kehilangan nilai kemanusiaan dan kekeluargaan. Sejarah konflik sosial pada
1999-2000 yang lalu, tentunya menyisakan catatan politik yang buruk. Saat itu, persinggungan antar para aktor diberbagai kelompok
etnis mengemuka. Hal ini terlihat ketika tampilnya Abdul Gafur dan Thaib
Armayin sebagai Kandidat Gubernur Maluku Utara perdiode
2004-2007 dan 2009.
Dalam konstestasi ini, Abdul Gafur yang dianggap merepresentasikan etnis Tidore
dan Patani kalah dari kandidat Thaib Armayin yang merepresentasikan etnis
Makean dan Ternate.
Sejatinya, budaya politik Maluku
Utara dalam proses PILGUB yang berujung pada konflik antar etnis, senantiasa direproduksi oleh elit
dan struktur guna melanggengkan kepentingan politik mereka. Dalam hal ini, Almond dan Verba
melakukan analisa perbandingan terkait dengan kebudayaan politik dari lima
demokrasi kontemporer. Almond dan Verba (1990) menekankan masalah kebudayaan
politik sebuah negara ketimbang karakter nasional atau modal personalitas pada
sosialisasi politik, bukan mengembangkan seseorang dalam artian umum. Sesungguhnya, dengan memahami apa yang
dipaparkan oleh Almond dan Verba dalam praktik budaya politik yang berkembang
di Maluku Utara,
adalah merupakan
suatu penggambaran akan buruknya praktik demokrasi dan sosialisasi politik yang
dilakukan oleh
pada aktor politik, terutama mereka yang berasal dari partai politik dan
birokrasi pemerintahan di Maluku Utara. Hal ini tercermin ketika proses PILGUB
berlangsung,
yang menonjol adalah semangat kelompok etnis dan kelompok partai tanpa
mengindahkan semangat kedaerahaan yang bersifat umum. Secara alamiah dapat dikatakan, yang menjadi semangat dalam
PILGUB adalah semangat individu
dan kelompok etnis. Oleh sebab
itu, terasa lumrah bila perjalanan demokrasi di Maluku Utara
mandeg dan sarat dengan konflik antar aktor politik.
Simpulan
Politik identitas etnis
dalam Pemilihan Gubernur Maluku Utara 2013 merupakan realitas politik yang
secara sadar dikonstruksi oleh para aktor informal dan struktur partai politik,
serta struktur birokrasi pemerintahan untuk mengeksitensikan semangat etnis dalam meraih
dukungan politik dari masyarakat ataupun kelompok etnisnya. Proses reproduksi
politik identitas etnis yang berlaku dalam PILKADA Maluku Utara pun tampil menjadi kekuatan politik
yang dominan. Selaras dengan itu,
peran para aktor informal di luar struktur partai politik dan struktur
birokrasi pun bergerak
seakan menjadi mesin politik alternatif dalam menunjang eksistensi dan keberanian
tampil sebagai penyokong para kandidat yang bertarung dalam PILKADA langsung.
Oleh sebab itu, konstruksi politik indentitas etnis yang
dibangun dengan menampilkan etnis sebagai modal utama politik dalam PILKADA
Maluku Utara tersebut pada intinya memungkinkan para aktor untuk mengkonstruksi etnisitas sebagai upaya
menggeser kekuatan elit yang peran politiknya
selama ini diperhitungkan dalam PILGUB Maluku Utara. Dengan kata lain, hadirnya kekuatan etnis
sebagai kekuatan politik secara perlahan-lahan menggeser kekuatan elit kesultanan
dan birokrat yang selama ini dominan. Oleh karena itu, bisa dikatakan kekuatan
politik etnis sebagai sebuah kekuatan politik yang lembut karena tiap kelompok
etnis di Maluku Utara mempunyai peranan dan terlibat secara langsung dalam
kontestasi serta memberi dinamika berdemokrasi yang terbuka bagi masyarakat.
Di samping itu,
tampilnya organisasi mahasiswa dan masyarakat dalam PILGUB Maluku Utara menjadi
gambaran konkret
akan lemahnya partai politik dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga
politik yang berkewajiban melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat.
Oleh karena itu, partai politik dinilai gagal, sehingga, dukungan masyarakat pun minim.
Lemahnya partai politik di kalangan masyarakat tersebut dengan sendirinya
melegitimasi peran para aktor informal untuk tampil secara terbuka dalam mengkonsolidasikan politik dalam menyokong sentimen etnisitas di
Maluku Utara yang kental dan telah membudaya dalam masyarakat demi menjaga
keseimbangan praktik politik dan kekuasaannya.
Kepustakaan
Alisjahbana,
Sutan Takdir. 1986. Antropologi Baru. Jakarta: Dian Rakyat.
Abbas,
Rusdi J. 2013. Demokrasi di Aras lokal.
Praktik Politik Elit Lokal di Maluku Utara. Yogyakarta: Cerahmedia.
Almond,
Gabriel A dan Sidney Verba. 1984. Budaya
Politik, Tingkah Laku Politik dan
Demokrasi di Lima Negara. Penerjemaah: Sahat Simamora. Jakarta: Bumi
Aksara.
Buchari,
Sri Astuti. 2014. Kebangkitan Etnis
Menuju Politik Identitas. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Deni,
Aji. 2014. Politik Elit Lokal.
Pemilu,Konflik dan Multikuturalisme. Yogyakarta: Naufan Pustaka Bekerjasama
dengan SM.
Giddens,
Anthony. 2010. Teori Strukturasi
Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
________. 2009. Problematika
dalam Teori Sosial, Aksi, Struktur, dan Kontradiksi dalam Analisa
Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Maarif,
Ahmad Syafii. 2012. Politik Identitas dan
Masa Depan Pluralisme Kita. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.
Munandar,
Aris. 2013. Nasionalisme dan Identitas
Komunitas Perbatasan Studi Kasus Pada Komunitas Desa Sebunga-Sajingan Besar
Kabupaten Sambas Kalimantan Barat. Depok: FISIP Sosiologi Universitas
Indonesia.
Sjaf.
Sofyan. 2014. Politik Etnik. Dinamika
Politik Lokal di Kendari. Jakarta: Yayasan Obob Indonesia.
Singaribuan,
Masri. 1986. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar