Laman

Senin, 30 Mei 2016

Perbedaan pandangan Teori Ilmu Pengetahuan Neo Positivisme dan Interpretativisme dengan Realisme Ilmiah (scientific realism)



1.    Jelaskan Perbedaan pandangan Teori Ilmu Pengetahuan Neo Positivisme dan Interpretativisme dengan Realisme Ilmiah (scientific realism)

a. Tuntutan Pengetahuan Positivisme dan Postpositivisme
Positivisme yang kadang-kadang dirujuk sebagai ‘metode ilmiah’ didasarkan pada filsafat empirisme yang dipelopori oleh Aristoteles, Francis Bacon, John Locke, August Comte, dan Emmanuel Kant (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Aliran ini mencerminkan filsafat deterministik yang memandang suatu penyebab mungkin menentukan efek atau hasil (Creswell, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Aliran ini bertujuan untuk menguji sebuah teori atau menjelaskan sebuah pengalaman melalui observasi dan pengukuran dalam rangka meramalkan dan mengontrol kekuatan-kekuatan di sekitar manusia. Positivisme berasumsi bahwa fenomena sosial dapat diteliti dengan cara yang sama dengan fenomena alam dengan menggunakan pendekatan yang bebas nilai dan penjelasan sebab-akibat sebagaimana halnya dalam penelitian fenomena alam.
Setelah Perang Dunia II, positivisme digantikan aliran postpositivisme. Aliran ini berasumsi bahwa setiap penelitian dipengaruhi oleh hukum-hukum atau teori-teori yang menguasai dunia. Teori-teori ini perlu diverifikasi sehingga pemahaman terhadap dunia semakin lengkap. Oleh karena itu, penganut positivisme dan postpositivisme akan memulai penelitian dengan suatu teori, mengumpulkan data yang mendukung atau menolak teori tersebut, dan membuat revisi yang diperlukan. Dengan demikian, pengetahuan yang dikembangkan melalui lensa postpositivisme didasarkan pada observasi yang cermat dan pengukuran realitas yang objektif (Emzir, 2008: 9), sehingga positivisme dan postpositivisme selalu diasosiasikan dengan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif.
b. Tuntutan Pengetahuan Konstruktivisme/Interpretivisme
Konstruktivisme/interpretivisme berkembang dari filsafat fenomenologi yang digagas Edmund Husserl and pemahaman intepretatif yang disebut hermeneutiks yang dikemukakan and Wilhelm Dilthey (Mertens, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Bagi penganut konstruktivisme/interpretivisme penelitian merupakan upaya untuk memahami realitas pengalaman manusia, dan realitas itu sendiri dibentuk oleh kehidupan sosial. Penelitian berlensa konstruktivisme/interpretivisme cenderung tergantung pada pandangan partisipan tentang situasi yang diteliti. Penelitian konstruktivisme pada umumnya tidak dimulai dengan seperangkat teori (sebagaimana halnya dengan postpositivisme) namun mengembangkan sebuah teori atau sebuah pola makna secara induktif selama proses berlangsung. Metode penjaringan dan analisis yang digunakan penganut konstruktivisme biasanya berbentuk kuantitatif. Akan tetapi, data kuantitatif dapat digunakan untuk mendukung data kualitatif serta memperdalam analisis secara efektif.

c. Tuntutan Pengetahuan Advokasi/Partisipatori/Transformatif
Aliran advokasi/partisipatori/transformatif muncul pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap paradigma penelitian yang ada dan kesadaran bahwa teori-teori sosiologi dan psikologi yang mendasari paradigma-paradigma yang ada pada dasarnya dikembangkan melalui pandangan ’kulit putih’, didominasi oleh perspektif kaum pria, dan didasarkan pada penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek. Peneliti advokasi/partisipatori/transformatif merasa bahwa pendekatan konstruktivisme/ interpretivisme tidak membahas isu-isu keadilan sosial dan kaum yang terpinggirkan secara memadai (Creswell, dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Peneliti advokasi/ partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin dengan agenda-agenda politik dan politisi agar penelitian tersebut menghasilkan tindakan-tindakan yang mereformasi kehidupan partisipan, lembaga tempat individu hidup, dan kehidupan peneliti sendiri (Emzir, 2008: 16). Sehubungan dengan itu, penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial yang penting sebagai topik, seperti isu kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan, dan perampasan hak. Peneliti advokasi sering memulai dengan menjadikan salah satu dari isu ini sebagai fokus penelitian. Kemudian, dia akan berjalan bersama secara kolaboratif dengan partisipan dengan pengertian partisipan dapat membantu merancang pertanyaan, mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau menerima penghargaan untuk partisipasinya dalam penelitian. Sebagaimana halnya dalam penelitian konstruktivisme, peneliti advokasi/partisipatori/transformatif dapat mengkombinasikan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif dan kualitatif. Namun, penggunaan pendekatan gabungan (mixed methods) akan memberikan kepada peneliti transformatif sebuah struktur untuk mengembangkan potret kehidupan sosial yang lebih utuh. Penggunaan berbagai perspektif dan lensa memungkinkan diperolehnya pemahaman yang lebih beragam tentang nilai-nilai, pandangan dan keberadaan kehidupan sosial.
Realisme ilmiah ialah teori umum dari pengetahuan ilmiah. Salah satunya mengasumsikan bahwa dunia adalah lumbung pengetahuan yang masih banyak belum tergali oleh manusia. Dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan cara yang terbaik untuk mengeksplorasi pengetahuan yang masih misteri tersebut. Sains tidak hanya menghasilkan prediksi, tetapi juga menghasilkan pengetahuan tentang sifat alami benda-benda; Sains mencakup teori metafisika dan teknik dalam satu kesatuan.
Realisme ilmiah memperlihatkan konsep dan eksistensinya untuk sebuah pertentangan antara akal-sehat dengan teori-teori umum yang ada. Berbagai macam kisah baru (sekarang disebut ’argumen’) dan nilai-nilai baru kehidupan muncul, menolak pendapat tradisional dan mencoba menggantikannya dengan pendapat baru tersebut. Itu adalah pertentangan antara pendapat traditional/lama dengan pendapat mereka yang baru.
Realisme ilmiah telah mempunyai pengaruh yang sangat besar pada perkembangan sains. Realisme ilmiah tidak hanya menggambarkan apa yang sudah dihasilkan, tetapi juga menyediakan strategi, saran dan solusi dalam penelitian untuk masalah khusus. Hingga Copernicus mengklaim bahwa ilmu astronomi barunya mencerminkan susunan bola yang benar yang timbul secara dinamis. Idenya itu pun bertentangan dengan teori fisika pada saat itu, epistemologi dan doktrin agama yang dianut oleh orang-orang di zaman tersebut. Copernicus telah membuat masalah baru tetapi dia pun juga memberikan solusi penyelesaian dari masalah yang telah dia buat dan tradisi penelitian baru pun mulai berkembang. Pada abad ke-19, teori-teori atom yang berkembang pada saat itu menimbulkan masalah-masalah secara filosofis, fisika, kimia dan metafisika. Banyak kekurangan dari teori-teori tersebut dimana ilmuwan belum mempu untuk menjawabnya. Kekurangan-kekurangan itu dijadikan dasar untuk penemuan-penemuan teori lebih lanjut. Para realis mengembangkannya lebih jauh dan akhirnya bisa mendemonstrasikan batasan-batasan dari teori-teori tersebut. Kritikan einstein pada teori kuantum mulai memberikan peningkatan perkembangan teoretis dan percobaan-percobaan yang akurat dan mengklarifikasi konsep dasar dari teori pada semua kasus tersebut. Dan realisme ilmiah menghasilkan penemuan-penemuan dan menyumbang untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Hanya beberapa filsuf telah menguji interaksi keberhasilan antara realisme ilmiah dan praktek ilmiah. Alasannya bahwa ilmuwan dan filsuf tertarik pada perbedaan sifat benda-benda dan pendekatan masalahnya dalam cara yang berbeda. Seorang ilmuwan berurusan dengan kesulitan-kesulitan konkrit dalam menilai asumsi, teori, pandangan dunia, aturan prosedur dengan cara yang mana mereka mempengaruhi situasi permasalahnnya. Pendapatnya mungkin mengubah satu kasus ke kasus berikutnya dia boleh menemukan bahwa bila sebuah ide seperti realisme ilmiah bermanfaat pada beberapa peristiwa dia hanya mempersulit persoalan pada yang lainnya.
Seorang filsuf juga mau memecahkan masalah, tetapi mereka bermasalah pada berbagai macam perbedaan. Mereka tersangkut ide-ide abstrak seperti ’rasionalitas’, ’determinisme’, ’realitas’ dan sebagainya. Filsuf menguji ide-ide tersebut dengan tenaga yang besar dan, adakalanya, dalam semangat yang kritis, tetapi dia juga percaya bahwa keadaan yang sangat umum dari penyelidikannya akan memberikan kepada dia kebenaran untuk menjatuhkan hasil yang sudah dicapai pada seluruh subjek tanpa mempertimbangkan masalah-masalah khusus, metode-metode, dan asumsi-asumsinya. Secara sederhana dia menganggap bahwa pembicaraan umum dari ide-ide umum menutupi seluruh penerapan-penerapan khusus.
Bila asumsi ini mungkin menjadi benar untuk tradisi abstrak yang mana dikembangkan dari prinsip dan oleh karena itu dapat diharapkan untuk disetujui dengan mereka, tidak benar untuk tradisi sejarah dimana kasus tertentu, termasuk penggunaan hukum-hukum dan teori-teori, diperlakukan sesuai dengan keadaan tertentu yang mana mereka terjadi dan dimana prinsip dimodifikasi, atau disediakan dengan pengecualian supaya setuju dengan keperluan keadaan tersebut. Penelitian yang sudah dilakukan sudah membuat kita menyadari praktek ilmiah, praktek ilmu pengetahuan alam yang tetap, adalah menganyam jaring tradisi sejarah dengan ketat (dalam matematika ini adalah pertama ditunjukkan oleh ahli intuisi, Kuhn sudah mempopulerkan hasil tersebut untuk ilmu pengetahuan alam ketika Wittgenstein telah mengembangkan latar belakang filsafat). Ini berarti bahwa pernyataan umum tentang sains, termasuk pernyataan logika, tidak bisa tanpa keributan lebih lanjut diambil untuk setuju dengan praktik ilmiah (mencoba menerapkannya pada praktek ini dan pada waktu yang sama untuk memberikan catatan kebenaran berdasarkan sejarah darinya yang sudah memimpin kemunduran rasionalisme). Kita harus menyelidiki bagaimana ilmuwan sebenarnya berpikir tentang realitas dan apa ide realisme yang mereka kerjakan. Kita harus mempelajari bermacam-macam versi realisme ilmiah.









2. Jelaskan Persamaan dan Perbedaan pandangan Teori Ilmu Pengetahuan Realimes Kritis  (critical realism) dengan Realisme Ilmiah (scientific realism)

Realisme kritis didasarkan atas pemikiran Immanuel Kant, seorang pesintesis yan besar. Ia mensitesiskan pandangan-pandangan yan berbeda, antara empirisme dan rasionalisme, antara skepitisme dan paham kepastian, antara eudaeomanisme dengan puritanisme. Ia bukan melakukan eklektisisme yang dangkal. Melainkan, suatu sintesis asli yang menolak kekurangan-kekurangan dari kedua belah pihak yang disintesiskannya. Dan ia membangun filsafat yang kuat.
Hasil pemikiran Kant  merupakan titik temu antara idealism dan realism, antara empirisme yang dikembangkan Locke, yang bermuara pada empirisme David Hume, dengan rasionalisme dari Descartes. Dilihat dari idealism, ia seorang realism kritis. Oleh karena itu, banyak orang yang mempelajari filsafat dan sejarah filsafat, menanamkan ia sebagai krisisme. Kritisme Kant dimulai dengan penyelidikan kemampuan dan batas-batas rasio, berbeda dengan filosof-filosof sebelumnya yang secara dogmatis apriori mempercayai kemmpuan rasio secara bulat.
Menurut Kant, semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semuanya dari pengalaman. Objek luar dikenal melalui indera, namun pikiran atau rasio, atau pengertian, mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman tersebut. Pikiran tanpa isi adalah kosong, dan tanggapan tanpa konsepsi adalah buta. Demikian kata Kant. :Thoughts without content are empty, percepts without concepts are blind” (Henderson, 1959 : 218).
Selanjutnya, menurut Kant, pengalaman tidak hanya sekedar warna, suara, bau yang diterima alat indera, melainkan hal-hal tersebutdiatur dan disusun menjadi suatu bentuk yang terorganisasi oleh pikiran kita. Pengalaman merupakan suatu interpretasi tentang benda-benda yang kita terima melalui alat indera kita. Dan di dalam interpretasi tersebut kita mempergunakan suatu struktur untuk mengorganisasi benda-benda.
Lebih lanjut Kant mengemukakan, bahwa manusia telah dilengkapi dengan seperangkat kemauan, sehingga kita dapat member betuk terhadap data mentah yang kita amati. Dengan demikian, kita mungkin memiliki pengetahuan apriori, yang tidak perlu untuk mengalami sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang fundamental, dan pengetahuan yang aposteriori, pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman. Manusia tidak bisa mengetahui realitas yang sebenarnya, melainkan suatu realitas di luar pengalaman, dan merupakan objek pengetahuan. Kant mengaui, bahwa manusia tidak hanya memiliki kemampuan alamiah, melainkan juga memiliki kemampuan agama dan moral.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar