1.
Jelaskan Perbedaan pandangan
Teori Ilmu Pengetahuan Neo Positivisme dan Interpretativisme dengan Realisme
Ilmiah (scientific realism)
a.
Tuntutan Pengetahuan Positivisme dan Postpositivisme
Positivisme yang kadang-kadang dirujuk sebagai ‘metode
ilmiah’ didasarkan pada filsafat empirisme yang dipelopori oleh Aristoteles,
Francis Bacon, John Locke, August Comte, dan Emmanuel Kant (Mertens, dalam
Mackenzie & Knipe, 2006). Aliran ini mencerminkan filsafat deterministik
yang memandang suatu penyebab mungkin menentukan efek atau hasil (Creswell,
dalam Mackenzie & Knipe, 2006). Aliran ini bertujuan untuk menguji sebuah
teori atau menjelaskan sebuah pengalaman melalui observasi dan pengukuran dalam
rangka meramalkan dan mengontrol kekuatan-kekuatan di sekitar manusia.
Positivisme berasumsi bahwa fenomena sosial dapat diteliti dengan cara yang
sama dengan fenomena alam dengan menggunakan pendekatan yang bebas nilai dan
penjelasan sebab-akibat sebagaimana halnya dalam penelitian fenomena alam.
Setelah Perang Dunia II, positivisme digantikan aliran
postpositivisme. Aliran ini berasumsi bahwa setiap penelitian dipengaruhi oleh
hukum-hukum atau teori-teori yang menguasai dunia. Teori-teori ini perlu
diverifikasi sehingga pemahaman terhadap dunia semakin lengkap. Oleh karena
itu, penganut positivisme dan postpositivisme akan memulai penelitian dengan
suatu teori, mengumpulkan data yang mendukung atau menolak teori tersebut, dan
membuat revisi yang diperlukan. Dengan demikian, pengetahuan yang dikembangkan
melalui lensa postpositivisme didasarkan pada observasi yang cermat dan
pengukuran realitas yang objektif (Emzir, 2008: 9), sehingga positivisme dan
postpositivisme selalu diasosiasikan dengan metode penjaringan dan analisis
data kuantitatif.
b.
Tuntutan Pengetahuan Konstruktivisme/Interpretivisme
Konstruktivisme/interpretivisme berkembang dari
filsafat fenomenologi yang digagas Edmund Husserl and pemahaman intepretatif
yang disebut hermeneutiks yang dikemukakan and Wilhelm Dilthey (Mertens, dalam
Mackenzie & Knipe, 2006). Bagi penganut konstruktivisme/interpretivisme
penelitian merupakan upaya untuk memahami realitas pengalaman manusia, dan
realitas itu sendiri dibentuk oleh kehidupan sosial. Penelitian berlensa
konstruktivisme/interpretivisme cenderung tergantung pada pandangan partisipan
tentang situasi yang diteliti. Penelitian konstruktivisme pada umumnya tidak
dimulai dengan seperangkat teori (sebagaimana halnya dengan postpositivisme)
namun mengembangkan sebuah teori atau sebuah pola makna secara induktif selama
proses berlangsung. Metode penjaringan dan analisis yang digunakan penganut
konstruktivisme biasanya berbentuk kuantitatif. Akan tetapi, data kuantitatif
dapat digunakan untuk mendukung data kualitatif serta memperdalam analisis
secara efektif.
c.
Tuntutan Pengetahuan Advokasi/Partisipatori/Transformatif
Aliran advokasi/partisipatori/transformatif muncul
pada tahun 1980-an dan 1990-an sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap
paradigma penelitian yang ada dan kesadaran bahwa teori-teori sosiologi dan
psikologi yang mendasari paradigma-paradigma yang ada pada dasarnya
dikembangkan melalui pandangan ’kulit putih’, didominasi oleh perspektif kaum
pria, dan didasarkan pada penelitian yang menggunakan pria sebagai subyek.
Peneliti advokasi/partisipatori/transformatif merasa bahwa pendekatan
konstruktivisme/ interpretivisme tidak membahas isu-isu keadilan sosial dan
kaum yang terpinggirkan secara memadai (Creswell, dalam Mackenzie & Knipe,
2006). Peneliti advokasi/ partisipatori percaya bahwa penelitian perlu dijalin
dengan agenda-agenda politik dan politisi agar penelitian tersebut menghasilkan
tindakan-tindakan yang mereformasi kehidupan partisipan, lembaga tempat
individu hidup, dan kehidupan peneliti sendiri (Emzir, 2008: 16). Sehubungan
dengan itu, penelitian harus mengangkat masalah-masalah sosial yang penting
sebagai topik, seperti isu kekuasaan, ketidaksetraan, penganiayaan, penindasan,
dan perampasan hak. Peneliti advokasi sering memulai dengan menjadikan salah
satu dari isu ini sebagai fokus penelitian. Kemudian, dia akan berjalan bersama
secara kolaboratif dengan partisipan dengan pengertian partisipan dapat
membantu merancang pertanyaan, mengumpulkan data, menganilisis informasi, atau
menerima penghargaan untuk partisipasinya dalam penelitian. Sebagaimana halnya
dalam penelitian konstruktivisme, peneliti advokasi/partisipatori/transformatif
dapat mengkombinasikan metode penjaringan dan analisis data kuantitatif dan
kualitatif. Namun, penggunaan pendekatan gabungan (mixed methods) akan
memberikan kepada peneliti transformatif sebuah struktur untuk mengembangkan
potret kehidupan sosial yang lebih utuh. Penggunaan berbagai perspektif dan
lensa memungkinkan diperolehnya pemahaman yang lebih beragam tentang
nilai-nilai, pandangan dan keberadaan kehidupan sosial.
Realisme ilmiah
ialah teori umum dari pengetahuan ilmiah. Salah satunya mengasumsikan bahwa
dunia adalah lumbung pengetahuan yang masih banyak belum tergali oleh manusia.
Dan ilmu pengetahuan (sains) merupakan cara yang terbaik untuk mengeksplorasi
pengetahuan yang masih misteri tersebut. Sains tidak hanya menghasilkan
prediksi, tetapi juga menghasilkan pengetahuan tentang sifat alami benda-benda;
Sains mencakup teori metafisika dan teknik dalam satu kesatuan.
Realisme ilmiah
memperlihatkan konsep dan eksistensinya untuk sebuah pertentangan antara
akal-sehat dengan teori-teori umum yang ada. Berbagai macam kisah baru
(sekarang disebut ’argumen’) dan nilai-nilai baru kehidupan muncul, menolak
pendapat tradisional dan mencoba menggantikannya dengan pendapat baru tersebut.
Itu adalah pertentangan antara pendapat traditional/lama dengan pendapat mereka
yang baru.
Realisme ilmiah
telah mempunyai pengaruh yang sangat besar pada perkembangan sains. Realisme
ilmiah tidak hanya menggambarkan apa yang sudah dihasilkan, tetapi juga
menyediakan strategi, saran dan solusi dalam penelitian untuk masalah khusus.
Hingga Copernicus mengklaim bahwa
ilmu astronomi barunya mencerminkan susunan bola yang benar yang timbul secara
dinamis. Idenya itu pun bertentangan dengan teori fisika pada saat itu,
epistemologi dan doktrin agama yang dianut oleh orang-orang di zaman tersebut.
Copernicus telah membuat masalah baru tetapi dia pun juga memberikan solusi
penyelesaian dari masalah yang telah dia buat dan tradisi penelitian baru pun mulai
berkembang. Pada abad ke-19, teori-teori atom yang berkembang pada saat itu
menimbulkan masalah-masalah secara filosofis, fisika, kimia dan metafisika.
Banyak kekurangan dari teori-teori tersebut dimana ilmuwan belum mempu untuk
menjawabnya. Kekurangan-kekurangan itu dijadikan dasar untuk penemuan-penemuan
teori lebih lanjut. Para realis mengembangkannya lebih jauh dan akhirnya bisa
mendemonstrasikan batasan-batasan dari teori-teori tersebut. Kritikan einstein
pada teori kuantum mulai memberikan peningkatan perkembangan teoretis dan
percobaan-percobaan yang akurat dan mengklarifikasi konsep dasar dari teori
pada semua kasus tersebut. Dan realisme ilmiah menghasilkan penemuan-penemuan
dan menyumbang untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
Hanya beberapa
filsuf telah menguji interaksi keberhasilan antara realisme ilmiah dan praktek
ilmiah. Alasannya bahwa ilmuwan dan filsuf tertarik pada perbedaan sifat
benda-benda dan pendekatan masalahnya dalam cara yang berbeda. Seorang ilmuwan
berurusan dengan kesulitan-kesulitan konkrit dalam menilai asumsi, teori,
pandangan dunia, aturan prosedur dengan cara yang mana mereka mempengaruhi
situasi permasalahnnya. Pendapatnya mungkin mengubah satu kasus ke kasus
berikutnya dia boleh menemukan bahwa bila sebuah ide seperti realisme ilmiah
bermanfaat pada beberapa peristiwa dia hanya mempersulit persoalan pada yang
lainnya.
Seorang filsuf
juga mau memecahkan masalah, tetapi mereka bermasalah pada berbagai macam
perbedaan. Mereka tersangkut ide-ide abstrak seperti ’rasionalitas’,
’determinisme’, ’realitas’ dan sebagainya. Filsuf menguji ide-ide tersebut
dengan tenaga yang besar dan, adakalanya, dalam semangat yang kritis, tetapi
dia juga percaya bahwa keadaan yang sangat umum dari penyelidikannya akan
memberikan kepada dia kebenaran untuk menjatuhkan hasil yang sudah dicapai pada
seluruh subjek tanpa mempertimbangkan masalah-masalah khusus, metode-metode,
dan asumsi-asumsinya. Secara sederhana dia menganggap bahwa pembicaraan umum
dari ide-ide umum menutupi seluruh penerapan-penerapan khusus.
Bila asumsi ini mungkin menjadi benar untuk tradisi abstrak yang mana dikembangkan dari prinsip dan oleh karena
itu dapat diharapkan untuk disetujui dengan mereka, tidak benar untuk tradisi sejarah dimana kasus tertentu,
termasuk penggunaan hukum-hukum dan teori-teori, diperlakukan sesuai dengan
keadaan tertentu yang mana mereka terjadi dan dimana prinsip dimodifikasi, atau
disediakan dengan pengecualian supaya setuju dengan keperluan keadaan tersebut.
Penelitian yang sudah dilakukan sudah membuat kita menyadari praktek ilmiah,
praktek ilmu pengetahuan alam yang tetap, adalah menganyam jaring tradisi
sejarah dengan ketat (dalam matematika ini adalah pertama ditunjukkan oleh ahli
intuisi, Kuhn sudah mempopulerkan hasil tersebut untuk ilmu pengetahuan alam
ketika Wittgenstein telah mengembangkan latar belakang filsafat). Ini berarti
bahwa pernyataan umum tentang sains, termasuk pernyataan logika, tidak bisa
tanpa keributan lebih lanjut diambil untuk setuju dengan praktik ilmiah
(mencoba menerapkannya pada praktek ini dan pada waktu yang sama untuk
memberikan catatan kebenaran berdasarkan sejarah darinya yang sudah memimpin
kemunduran rasionalisme). Kita harus menyelidiki bagaimana ilmuwan sebenarnya
berpikir tentang realitas dan apa ide realisme yang mereka kerjakan. Kita harus
mempelajari bermacam-macam versi realisme ilmiah.
2. Jelaskan Persamaan dan
Perbedaan pandangan Teori Ilmu Pengetahuan Realimes Kritis (critical realism) dengan Realisme Ilmiah
(scientific realism)
Realisme kritis didasarkan
atas pemikiran Immanuel Kant, seorang pesintesis yan besar. Ia mensitesiskan
pandangan-pandangan yan berbeda, antara empirisme dan rasionalisme, antara
skepitisme dan paham kepastian, antara eudaeomanisme dengan puritanisme. Ia
bukan melakukan eklektisisme yang dangkal. Melainkan, suatu sintesis asli yang
menolak kekurangan-kekurangan dari kedua belah pihak yang disintesiskannya. Dan
ia membangun filsafat yang kuat.
Hasil
pemikiran Kant merupakan titik temu antara idealism dan realism, antara empirisme
yang dikembangkan Locke, yang bermuara pada empirisme David Hume, dengan
rasionalisme dari Descartes. Dilihat dari idealism, ia seorang realism kritis.
Oleh karena itu, banyak orang yang mempelajari filsafat dan sejarah filsafat,
menanamkan ia sebagai krisisme. Kritisme Kant dimulai dengan
penyelidikan kemampuan dan batas-batas rasio, berbeda dengan filosof-filosof
sebelumnya yang secara dogmatis apriori mempercayai kemmpuan rasio
secara bulat.
Menurut
Kant, semua pengetahuan mulai dari pengalaman, namun tidak berarti semuanya
dari pengalaman. Objek luar dikenal melalui indera, namun pikiran atau rasio,
atau pengertian, mengorganisasikan bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman
tersebut. Pikiran tanpa isi adalah kosong, dan tanggapan tanpa konsepsi
adalah buta. Demikian kata Kant. :Thoughts without content are empty,
percepts without concepts are blind” (Henderson, 1959 : 218).
Selanjutnya,
menurut Kant, pengalaman tidak hanya sekedar warna, suara, bau yang diterima
alat indera, melainkan hal-hal tersebutdiatur dan disusun menjadi suatu bentuk
yang terorganisasi oleh pikiran kita. Pengalaman merupakan suatu interpretasi
tentang benda-benda yang kita terima melalui alat indera kita. Dan di dalam
interpretasi tersebut kita mempergunakan suatu struktur untuk mengorganisasi
benda-benda.
Lebih lanjut
Kant mengemukakan, bahwa manusia telah dilengkapi dengan seperangkat kemauan,
sehingga kita dapat member betuk terhadap data mentah yang kita amati. Dengan
demikian, kita mungkin memiliki pengetahuan apriori, yang tidak perlu untuk
mengalami sendiri untuk mendapatkan pengetahuan yang fundamental, dan
pengetahuan yang aposteriori, pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman.
Manusia tidak bisa mengetahui realitas yang sebenarnya, melainkan suatu
realitas di luar pengalaman, dan merupakan objek pengetahuan. Kant mengaui,
bahwa manusia tidak hanya memiliki kemampuan alamiah, melainkan juga memiliki
kemampuan agama dan moral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar