Laman

Rabu, 18 Mei 2016

Politik Etnik, Dinamika Politik Lokal di Kendari

LAPORAN BACAAN

Judul Buku                : Politik Etnik, Dinamika Politik Lokal di Kendari
Pengarang                  : Sofyan Sjaf
Penerbit                      : Yayasan Obor Indonesia-Jakarta
Tahun Terbit             : 2014
Oleh                            :Kamaruddin Salim      
           
Dalam buku Politik Etnik, Dinamika Politik Lokal di Kendari yang di tulis oleh Sofyan Sjaf, terdiri dari empat bagian. Di bagian pertama, merupakan prawacana. Bagian kedua, Politik Identitas dalam tinjauan teoritis. Bagian ketiga, Dinamika Politik Etnik di Kendari dan bagian keempat, Proyeksi Indonesia: Belajar dari Kendari. Di bagian pertama, Sofyan menggambarkan bahwa lebih dari satu dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di negeri ini. Di samping dampak positif yang telah diberikan (seperti kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas pemerintah daerah dalam melakukan tata kelola pemerintahan, dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi), desentalisasi pula tak pelak memberikan dampak negatif, seperti langgengnya politik uang (money politics), dalam pemilihan kepala derah (pilkada), tumbuh suburnya praktik shadow state dan rent seeking, “meratanya” praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan kanalisasi poltik identitas [etnik]. Tentang dampak negatif tersebut, berbagai studi mempertegas bahwa kebijakan desentralisasi dengan pilihan demokrasi liberal telah menjadi “pintu masuk” kebangkitan politik identitas [etnik] yang menempatkan dominasi etnisitas istitas lainnya di berbagai arenatertentu terhadap etnisitas di berbagai arena.
Sofyan menegaskan bahwa dalam arena politik. Identitas etnik di (re)produksi sebagai isu putra daerah yang kebanyakan dilakukan oleh elit politik lokal untuk merebut kekuasaan politiknya. Mengutip Eindhoven, dengan tegas mengatakan momentum reformasi telah menghantarkan para elit lokal mengonsolidasikan kekuatan identitas etnik untuk menolak kepala daerah yang berasal dari non-etniknya. Demikian halnya fenomena pembentukan kabupaten baru, yaitu para pemimpin (elit) etnik berupaya memisahkan atau melepaskan diri dari kabupaten induknya dengan alasan distingsi sejarah kebudayaan, agama dan etnisitas.
Dalam memotret lebih dekat (makro) kondisi objektif (heterogenitas) identitas etnik ketika berlangsungnya kebijakan desentralisasi, Sofyan menilai menguraikan bahwa kebijakan desentralisasi telah memberikan peluang  tampilnya politik identitas etnik yang terus di (re)produksi aktor atau elit lokal, sehingga mengakibatkan terjadinya oportunity loss. oportunity loss,  dimaksudkan sebagai dampak dari tindakan aktor atau elit yang secara sadar dikonstruksi untuk membuka kesempatan dominasinya etnik tertentu dan sebaliknya, terdominasinya etnik lain.
Untuk menjelaskan fenomena politik identitas yang ditelitinya, Sofyan menggunakan teori Piere Bourdieu, Teori Praktik; Habitus, Arena dan Modal. Di mana, dalam teori praktiknya Bourdieu merumuskan dua dimensi yakni proses internalisasi yang dialami pelaku (seorang atau sekelompok orang) dan pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi yang terjadi bagian dari diri si pelaku. Internalisasi yang di alami pelaku tersebut berdasarkan pengalaman hidup yang melekat dalam aktor (habitus) dalam berbagai arena. Untuk setiap praktik aktor merupakan produk hasil interaksi antar habitus dan arena. Karena arena mempunyai aturan snediri-sendiri, setiap aktor harus mampu berjuang di arena tersebut. Selanjutnya praktik aktor yang dihasilkan atau dimiliki seseorang atau sekelompok orang merupakan produk hasil interaksi antar habitus dan arena. Untuk mempertahankan eksisitensi seseorang aktor dalam arena tertentu, seorang aktor harus memiliki kekuasaan dan cara aktor mempertahankan eksistensinya di arena. Dalam hal ini Bourdieu memperkenalkan konsep modal (capital) dan strategi persaingan.
Disamping itu Bourdieu memperkenalkan konsep power symbolic, doxa, ordhoxy, dan heterodoxy yang penting digunakan untuk menganalisis pembentukan identitas aktor. Bourdieu mendefenisikan power symbolic, sebagai the power to make groups, yaitu kekuasaan untuk mempertahankan atau mengubah prinsip-prinsip objektif dari penyatuan atau pemisahan, asosiasi atau disosiasi; kekuasaan untuk mempertahankan atau mengubah berbagai klasifikasi; kekuasaan mendeskripsikan individu, kelompok atau situasi, tempat interaksi berlangsung. Adapun kemampuan konstitutif symbolic power ditentukan modal simbolik (symbolic capital) yang diperoleh seorang aktor dalam pertarungan simbolik sebelumnya dan kesesuaian apa yang dinyatakan dengan realitas.
Pada bagian kedua ini, Sofyan menguraikan secara teoritis kekuatan identitas etnis. Yang dimaksudkan untuk menggambarkan relevasi kekuatan identitas etnik dalam hubungannya dengan arena ekonomi, politik dan sosial.  Dalam arena ekonomi, kekuatan atau kuasa identitas etnik di arena ini digunakan aktor sebagai instrument untuk mengonsolidasi massa berbasis etnis, menggalang massa dan melakukan maneuver politik pemekaran wilayah dan Pilkada. Di sisi lain, kuasa identitas etnik dengan seperangkat ninai dan pranata yang melekat digunakan aktor lokal untuk membangun identitasnya.  
Pada arena politik, kuasa identitas etnik oleh aktor lokal digunakan untuk memobilisasi suara saat berlangsungnya pilkada. Pada arena sosial, kuasa identitas yang terintegrasi dalam diri aktor lokal dikonstruksi untuk membangun kesadaran baru dari tatanan nilai-nilai luar. Ditambah dengan momeonomi daerah momentum otonomi daerah, para aktor lokal melakukan upaya mereduksi, merevitalisasi, dan mengonstruksi bahkan memanipulasi kuasa identitas etnik sebagai manifestasi dari strategi memanipulasi simbol-simbol agama, adat, dan etnisitas sebagai modalitas utama untuk mempertahankan legitimasinya, selain strategi penyelamatan identitasnya.
Tiga kuasa identitas etnik tersebut, menurut Sofyan ditentukan oleh dimensi sejarah pergulatan etnik. Bangkitnya isu lokal versus pendatang dan lain-lain sebabainya merupakan bias rezim yang menempatkan etnisitas dalam kerangka objektif yang dapat digunakan sebagai instrument kekuasaan.  Hal ini menunjukkan kekerasan bernuansa identitas (etnik dan agama) lebih banyak terjadi saat dan sesudah rezim Orde baru berkuasa daripada saat Orde Lama berkuasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa kekuatan posotof atau negatif identitas etnis sangat ditentukan dari konstruksi resim yang berkuasa.
Meski diskursus politik identitas baru mengemuka di Indonesia, rentan peristiwa di tanah air yang bersinggungan dengan identitas (baik etnis maupun agama), bukanlah hal yang baru. Pemahaman tentang politik identitas secara tindakan politis mengedepankan kepentingan kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasis, etnik, gender, keagamaan dan sejenisnya sering disitilahkan sebagai politik identitas. Sofyan menjelskan bahwa Politik identitas dalam pemahaman eksterior merupakan suatu keniscayaan dari struktur objektif yang terdapat di masyarakat. Realitas masyarakat multiculturalsime yang terdiri dari latar belakang identitas yang bebrbeda ras maupun gender merupakan bangunan struktur sosial yang tidak dapat dikesampingkan keberadaannya. Adanya perbedaan alami ini dapat mendorong setiap individu masing-masing dalam arera kehiduptan baik ekonomi, politik dan sosial. Namun menurut Sofyan, dapat  pula terlepas dari konteks identitas yang telah ada sebelumnya. Bahkan dari relasi yang dibangun tersebut, tidak menutup kemungkinan lahirnya identitas baru dengan ciri dan karakter yang sama sekali berbeda degan identitas-idetitas yang ada sebelumnya.
Pada bagian ketiga, Sofyan menggambarkan kontrol atas kekuatan identitas etnik, di mana kekuatan identitas etnis dianggap memiliki resistensi bahkan berbahaya bagi stabilitasnya Negara dan jalannya pemerintahan, rezim Orde Baru teer yang sentralisasi melakukan tindakan kontrol. Dalam kaitannya, Sofyan menggambarkan homogenitas kebudayan politik di-orthodoxy- kan resim Orde Baru beranggapan mbangubahwa stabilitas politik dan keamanan Negara atas nama pembangunan akan dapat terwujud apabila kekuatan identitas etnik mampun. Disamping itu, Sofyan menjabarkan bahwa ada  peristiwa penting yang memberikan gambaran bahwa resim orde baru berhasil menundukkan kekuatan identitas etnis diantaranya, pertama. Stagrnasi partai komunis Indonesia (PKI) terhadap aktor dari kelompok etni intervensi s tertentu dan kedua intervensi kekuasaan militer melalui Negara.
Terkait dengan pembentukan Identitas Etnis, Sofyan menguraikan posisi aktor sebagai subjek yang menentukan peran penting dalam pembentukan identitas etnik (objek). Tanpa aktor, etnisitas hanyalah benda mati yang tidak memiliki makna apa pun. Meski demikian, konstruksi etnisitas oleh aktor tidak dapat dilepaskan dari dimensi kesejarahan yang hidup di lokasi studi. Adapun objektivitas yang dimaksud adalah kondisi kelompok etnik dan kedudukannya yang terus di (re)produksi aktor sebagai bentuk kekuatan identitas etnik. Dengan kata lain, ebjektivikasi menitiberatkan pada sebaran kuantitas kelompok etnik yang seimbang dan kepemilikan modal simbolik, serta modal budaya dari kelompok-kelompok etnik.
Sofyan menambahkan, prinsip-prinsip pembentukan identitas etnik adalah pondasi yang digunakan actor untuk me(re)produksi identitas etnik sebagai upaya yang dilakukan aktor untuk merebut dan memenangkan kekuasaan dalam arena ekonomi lokal. Oleh karena itu,  praktik dominasi identitas etnik mempertegas bahwa opelaku yang terlibat dalam arena ekonomi politik lokal senantiasa bertarung memperebutkan sumber-sumber ekonomi dengan menggunakan kekuasaan politik atau sebaliknya. Dengan kata lain kepentingan ekonomi dan kekuasaan politik senantiasa melekat di dalam praktik dominasi identitas etnik yang dilakukan aktor, seperti Politik, Pengusaha, Birokrasi, NGO/LSM dan Kampus.
Berbeda dengan dua ruang pertarungan sebelumnya, pertarungan kekuasaan ekonomi-politik menempatkan posisi yang setara antaraktor. Hal ini disebabkan masing-masing aktor memiliki kekuatan modal yang saling dipertukarkan, yaitu pengusaha memiliki kekuatan modal ekonomi dan politikus/birokrasi memiliki kekuaatan modal simbolik, serta modal social. Namun, orientasi kedua aktor tersebut tetap sama, memperoleh keuntungan dalam konteks yang beebeda. Aktor politikus atau birokrat berkepentingan mempertahankan dan memperluas kekuasaan milikny, sedangkan aktor pengusaha berkepentingan untuk mengamankan dan mengakumulasi kekuasaan ekonomi.
Selanjutna, menurut Sofyan. Pertarungan ini mereka yang terlibat adalah pengusaha dan politikus maupun birokrat. Lebih khusus pengusaha yang terlibat adalah mereka yang usaha ekonominya bersentuhan dengan regulasi pemerintah (seperti property, pertambangan dan kontraktor). Untuk itu, sebagian besar mereka adalah pengusaha etnik Cina alih-alih empat etnik mayoritas. Meski ditemukan beberapa dalam jumlah kecil pengusaha dari etnik Bugis dan Buton dalam pertarungan ini. Disamping itu, Relasi antaraktor akademisi dan NGO/LSM cenderung terpolarisasi menjadi dua bagian, pertama relasi antaraktor NGO/LSM lokal dengan kampus yang terkatagori in-actors, dan kedua, relasi antaraktor NGO/LSM besar memiliki jaringan nasional dengan aktor kampus yang terkategori out-actors, kemudian memproduksi tiga sategi yaitu. 1. Strategi reproduksi wacana yang merupakan heterodoxy mempertahankan realitas simbolik yang kaku dengan wacana-wacana mempertahankan realitas yang kaku dengan wacana multikulturalisme dan kondisi aktual sebagai dampak dari relasi-relasi yang dibangun atas dasar etnisitas.
Straktegi ini bertujuan agar setiap orang berhak memperoleh akses yang sama terhadap kekuasaan politik maupun ekonomi. 2. Strategi membangun agenda kolektif yang lebih bersifat praktis dengan menitiberatkan permbautran aktor dari beragam latar belakang etnisitas. Adapun strategi ini bertujuan menciptakan kesadaran bersama akan bahaya kolektivitas etnik yang massif. 3. Startegi edukatif, adalah usaha yang di lakukan aktor untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial baru yang dapat dengan cakap mewarisi modal lain yang dimiliki aktor tersebut.    
Selanjutkan menurut Sofyan, persoalan pembedaan etnis yang belum tuntas dan pilihan demokrasi liberal di erea desentralisasi telah mendorong pembentukan identitas etnik (habitus) dalam arena ekonomi politik lokal yang teraktualisasi melalui praktik-prakrik aktor dari tiga praktik aktor (kekuasaan simbolik, kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik) tersebut. Pada praktik kekuasaan simbolik tercipta relasi afiliasi dan deafiliasi antar etnik, yakni doxa  yang berkembang kelompok etnik disatukan dan dipertentangkan, seperti Muna-Talaki versus Bugis-Buton. Demikian halnya dengan praktik kekuasaan ekonomi dan politik telah menciptakan relasi yang bersifat transaksisonal antaraktor dan massa seolah-olah melegalkan dominasi aktor (elit) yang memiliki kekuatan modal seimbolik dan ekonomi.

Relasi bersifat traksaksional tersebut, kemudian membentuk pola formasi yang terdiri dari: formasi dominasi (domination formation) dan formasi terdominasi (dominated formation). Hadirnya dua pola tersebut, berdampak terhadap perilaku dualisme aktor dalam me(re)produksi identitas etnik. Pada formasi dominasi, in- actor, me(re) produksi distingsi identitas etnik denga kekuatan modal simbolik, dan ekonomi yang dimilikinya dan menggunakan strategi reproduksi simbolik, investasi simbolik, investasi ekonomi, dukungan wacana, investasi kekuasan dan dukungan simbolik untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya (formasi dominasi). Sebalikny apada formasi terdominasi, out- aktor tidak mengedepankan perbedaan identitas etnik sebagai instrument untuk meraih kekuasaan politik, melainkan out- aktors menggunakan strategi penyusupan simbolik, perlawan, reproduksi wacana, alianasi strategis dan edukatif.    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar