LAPORAN BACAAN
Judul
Buku : Politik Etnik,
Dinamika Politik Lokal di Kendari
Pengarang : Sofyan Sjaf
Penerbit : Yayasan Obor
Indonesia-Jakarta
Tahun
Terbit : 2014
Oleh :Kamaruddin Salim
Dalam buku Politik
Etnik, Dinamika Politik Lokal di Kendari yang di tulis oleh Sofyan Sjaf,
terdiri dari empat bagian. Di bagian pertama,
merupakan prawacana. Bagian kedua,
Politik Identitas dalam tinjauan teoritis. Bagian ketiga, Dinamika Politik Etnik di Kendari dan bagian keempat, Proyeksi Indonesia: Belajar
dari Kendari. Di bagian pertama, Sofyan menggambarkan bahwa lebih dari satu
dekade, desentralisasi melalui otonomi daerah berlangsung di negeri ini. Di
samping dampak positif yang telah diberikan (seperti kebebasan pers, kebebasan
berpendapat dan menyampaikan kritik, inovasi dan kreativitas pemerintah daerah
dalam melakukan tata kelola pemerintahan, dan akses terhadap sumber-sumber
ekonomi), desentalisasi pula tak pelak memberikan dampak negatif, seperti langgengnya
politik uang (money politics), dalam
pemilihan kepala derah (pilkada), tumbuh suburnya praktik shadow state dan rent seeking,
“meratanya” praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan kanalisasi poltik
identitas [etnik]. Tentang dampak negatif tersebut, berbagai studi mempertegas
bahwa kebijakan desentralisasi dengan pilihan demokrasi liberal telah menjadi
“pintu masuk” kebangkitan politik identitas [etnik] yang menempatkan dominasi
etnisitas istitas lainnya di berbagai arenatertentu terhadap etnisitas di
berbagai arena.
Sofyan
menegaskan bahwa dalam arena politik. Identitas etnik di (re)produksi sebagai
isu putra daerah yang kebanyakan dilakukan oleh elit politik lokal untuk
merebut kekuasaan politiknya. Mengutip Eindhoven, dengan tegas mengatakan
momentum reformasi telah menghantarkan para elit lokal mengonsolidasikan
kekuatan identitas etnik untuk menolak kepala daerah yang berasal dari
non-etniknya. Demikian halnya fenomena pembentukan kabupaten baru, yaitu para
pemimpin (elit) etnik berupaya memisahkan atau melepaskan diri dari kabupaten
induknya dengan alasan distingsi
sejarah kebudayaan, agama dan etnisitas.
Dalam memotret
lebih dekat (makro) kondisi objektif (heterogenitas) identitas etnik ketika
berlangsungnya kebijakan desentralisasi, Sofyan menilai menguraikan bahwa
kebijakan desentralisasi telah memberikan peluang tampilnya politik identitas etnik yang terus
di (re)produksi aktor atau elit lokal, sehingga mengakibatkan terjadinya oportunity loss. oportunity loss, dimaksudkan
sebagai dampak dari tindakan aktor atau elit yang secara sadar dikonstruksi
untuk membuka kesempatan dominasinya etnik tertentu dan sebaliknya,
terdominasinya etnik lain.
Untuk
menjelaskan fenomena politik identitas yang ditelitinya, Sofyan menggunakan teori
Piere Bourdieu, Teori Praktik; Habitus, Arena dan Modal. Di mana, dalam teori
praktiknya Bourdieu merumuskan dua dimensi yakni proses internalisasi yang
dialami pelaku (seorang atau sekelompok orang) dan pengungkapan dari segala
sesuatu yang telah terinternalisasi yang terjadi bagian dari diri si pelaku.
Internalisasi yang di alami pelaku tersebut berdasarkan pengalaman hidup yang
melekat dalam aktor (habitus) dalam berbagai arena. Untuk setiap praktik aktor merupakan
produk hasil interaksi antar habitus dan arena. Karena arena mempunyai aturan
snediri-sendiri, setiap aktor harus mampu berjuang di arena tersebut.
Selanjutnya praktik aktor yang dihasilkan atau dimiliki seseorang atau
sekelompok orang merupakan produk hasil interaksi antar habitus dan arena. Untuk
mempertahankan eksisitensi seseorang aktor dalam arena tertentu, seorang aktor
harus memiliki kekuasaan dan cara aktor mempertahankan eksistensinya di arena.
Dalam hal ini Bourdieu memperkenalkan konsep modal (capital) dan strategi
persaingan.
Disamping itu
Bourdieu memperkenalkan konsep power symbolic, doxa, ordhoxy, dan heterodoxy yang penting digunakan untuk
menganalisis pembentukan identitas aktor. Bourdieu mendefenisikan power symbolic, sebagai the power
to make groups, yaitu kekuasaan untuk mempertahankan atau mengubah
prinsip-prinsip objektif dari penyatuan atau pemisahan, asosiasi atau
disosiasi; kekuasaan untuk mempertahankan atau mengubah berbagai klasifikasi;
kekuasaan mendeskripsikan individu, kelompok atau situasi, tempat interaksi
berlangsung. Adapun kemampuan konstitutif symbolic
power ditentukan modal simbolik (symbolic
capital) yang diperoleh seorang aktor dalam pertarungan simbolik sebelumnya
dan kesesuaian apa yang dinyatakan dengan realitas.
Pada bagian kedua
ini, Sofyan menguraikan secara teoritis kekuatan identitas etnis. Yang
dimaksudkan untuk menggambarkan relevasi kekuatan identitas etnik dalam
hubungannya dengan arena ekonomi, politik dan sosial. Dalam arena ekonomi, kekuatan atau kuasa
identitas etnik di arena ini digunakan aktor sebagai instrument untuk
mengonsolidasi massa berbasis etnis, menggalang massa dan melakukan maneuver
politik pemekaran wilayah dan Pilkada. Di sisi lain, kuasa identitas etnik
dengan seperangkat ninai dan pranata yang melekat digunakan aktor lokal untuk
membangun identitasnya.
Pada arena
politik, kuasa identitas etnik oleh aktor lokal digunakan untuk memobilisasi
suara saat berlangsungnya pilkada. Pada arena sosial, kuasa identitas yang
terintegrasi dalam diri aktor lokal dikonstruksi untuk membangun kesadaran baru
dari tatanan nilai-nilai luar. Ditambah dengan momeonomi daerah momentum
otonomi daerah, para aktor lokal melakukan upaya mereduksi, merevitalisasi, dan
mengonstruksi bahkan memanipulasi kuasa identitas etnik sebagai manifestasi dari
strategi memanipulasi simbol-simbol agama, adat, dan etnisitas sebagai
modalitas utama untuk mempertahankan legitimasinya, selain strategi
penyelamatan identitasnya.
Tiga kuasa
identitas etnik tersebut, menurut Sofyan ditentukan oleh dimensi sejarah
pergulatan etnik. Bangkitnya isu lokal versus pendatang dan lain-lain
sebabainya merupakan bias rezim yang menempatkan etnisitas dalam kerangka
objektif yang dapat digunakan sebagai instrument kekuasaan. Hal ini menunjukkan kekerasan bernuansa
identitas (etnik dan agama) lebih banyak terjadi saat dan sesudah rezim Orde
baru berkuasa daripada saat Orde Lama berkuasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa
kekuatan posotof atau negatif identitas etnis sangat ditentukan dari konstruksi
resim yang berkuasa.
Meski diskursus
politik identitas baru mengemuka di Indonesia, rentan peristiwa di tanah air
yang bersinggungan dengan identitas (baik etnis maupun agama), bukanlah hal
yang baru. Pemahaman tentang politik identitas secara tindakan politis
mengedepankan kepentingan kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau
karakteristik, baik berbasis, etnik, gender, keagamaan dan sejenisnya sering
disitilahkan sebagai politik identitas. Sofyan menjelskan bahwa Politik
identitas dalam pemahaman eksterior merupakan suatu keniscayaan dari struktur
objektif yang terdapat di masyarakat. Realitas masyarakat multiculturalsime
yang terdiri dari latar belakang identitas yang bebrbeda ras maupun gender
merupakan bangunan struktur sosial yang tidak dapat dikesampingkan
keberadaannya. Adanya perbedaan alami ini dapat mendorong setiap individu
masing-masing dalam arera kehiduptan baik ekonomi, politik dan sosial. Namun
menurut Sofyan, dapat pula terlepas dari
konteks identitas yang telah ada sebelumnya. Bahkan dari relasi yang dibangun
tersebut, tidak menutup kemungkinan lahirnya identitas baru dengan ciri dan
karakter yang sama sekali berbeda degan identitas-idetitas yang ada sebelumnya.
Pada bagian
ketiga, Sofyan menggambarkan kontrol atas kekuatan identitas etnik, di mana
kekuatan identitas etnis dianggap memiliki resistensi bahkan berbahaya bagi
stabilitasnya Negara dan jalannya pemerintahan, rezim Orde Baru teer yang
sentralisasi melakukan tindakan kontrol. Dalam kaitannya, Sofyan menggambarkan
homogenitas kebudayan politik di-orthodoxy-
kan resim Orde Baru beranggapan mbangubahwa stabilitas politik dan keamanan
Negara atas nama pembangunan akan dapat terwujud apabila kekuatan identitas
etnik mampun. Disamping itu, Sofyan menjabarkan bahwa ada peristiwa penting yang memberikan gambaran
bahwa resim orde baru berhasil menundukkan kekuatan identitas etnis
diantaranya, pertama. Stagrnasi partai komunis Indonesia (PKI) terhadap aktor
dari kelompok etni intervensi s tertentu dan kedua intervensi kekuasaan militer
melalui Negara.
Terkait dengan
pembentukan Identitas Etnis, Sofyan menguraikan posisi aktor sebagai subjek
yang menentukan peran penting dalam pembentukan identitas etnik (objek). Tanpa
aktor, etnisitas hanyalah benda mati yang tidak memiliki makna apa pun. Meski
demikian, konstruksi etnisitas oleh aktor tidak dapat dilepaskan dari dimensi
kesejarahan yang hidup di lokasi studi. Adapun objektivitas yang dimaksud
adalah kondisi kelompok etnik dan kedudukannya yang terus di (re)produksi aktor
sebagai bentuk kekuatan identitas etnik. Dengan kata lain, ebjektivikasi
menitiberatkan pada sebaran kuantitas kelompok etnik yang seimbang dan
kepemilikan modal simbolik, serta modal budaya dari kelompok-kelompok etnik.
Sofyan
menambahkan, prinsip-prinsip pembentukan identitas etnik adalah pondasi yang
digunakan actor untuk me(re)produksi identitas etnik sebagai upaya yang
dilakukan aktor untuk merebut dan memenangkan kekuasaan dalam arena ekonomi
lokal. Oleh karena itu, praktik dominasi
identitas etnik mempertegas bahwa opelaku yang terlibat dalam arena ekonomi
politik lokal senantiasa bertarung memperebutkan sumber-sumber ekonomi dengan
menggunakan kekuasaan politik atau sebaliknya. Dengan kata lain kepentingan
ekonomi dan kekuasaan politik senantiasa melekat di dalam praktik dominasi
identitas etnik yang dilakukan aktor, seperti Politik, Pengusaha, Birokrasi,
NGO/LSM dan Kampus.
Berbeda dengan
dua ruang pertarungan sebelumnya, pertarungan kekuasaan ekonomi-politik
menempatkan posisi yang setara antaraktor. Hal ini disebabkan masing-masing
aktor memiliki kekuatan modal yang saling dipertukarkan, yaitu pengusaha
memiliki kekuatan modal ekonomi dan politikus/birokrasi memiliki kekuaatan
modal simbolik, serta modal social. Namun, orientasi kedua aktor tersebut tetap
sama, memperoleh keuntungan dalam konteks yang beebeda. Aktor politikus atau
birokrat berkepentingan mempertahankan dan memperluas kekuasaan milikny,
sedangkan aktor pengusaha berkepentingan untuk mengamankan dan mengakumulasi
kekuasaan ekonomi.
Selanjutna,
menurut Sofyan. Pertarungan ini mereka yang terlibat adalah pengusaha dan
politikus maupun birokrat. Lebih khusus pengusaha yang terlibat adalah mereka
yang usaha ekonominya bersentuhan dengan regulasi pemerintah (seperti property,
pertambangan dan kontraktor). Untuk itu, sebagian besar mereka adalah pengusaha
etnik Cina alih-alih empat etnik mayoritas. Meski ditemukan beberapa dalam
jumlah kecil pengusaha dari etnik Bugis dan Buton dalam pertarungan ini.
Disamping itu, Relasi antaraktor akademisi dan NGO/LSM cenderung terpolarisasi
menjadi dua bagian, pertama relasi
antaraktor NGO/LSM lokal dengan kampus yang terkatagori in-actors, dan kedua,
relasi antaraktor NGO/LSM besar memiliki jaringan nasional dengan aktor kampus
yang terkategori out-actors, kemudian
memproduksi tiga sategi yaitu. 1. Strategi reproduksi wacana yang merupakan heterodoxy mempertahankan realitas
simbolik yang kaku dengan wacana-wacana mempertahankan realitas yang kaku
dengan wacana multikulturalisme dan kondisi aktual sebagai dampak dari
relasi-relasi yang dibangun atas dasar etnisitas.
Straktegi ini
bertujuan agar setiap orang berhak memperoleh akses yang sama terhadap
kekuasaan politik maupun ekonomi. 2. Strategi membangun agenda kolektif yang
lebih bersifat praktis dengan menitiberatkan permbautran aktor dari beragam
latar belakang etnisitas. Adapun strategi ini bertujuan menciptakan kesadaran
bersama akan bahaya kolektivitas etnik yang massif. 3. Startegi edukatif,
adalah usaha yang di lakukan aktor untuk menghasilkan pelaku-pelaku sosial baru
yang dapat dengan cakap mewarisi modal lain yang dimiliki aktor tersebut.
Selanjutkan
menurut Sofyan, persoalan pembedaan etnis yang belum tuntas dan pilihan
demokrasi liberal di erea desentralisasi telah mendorong pembentukan identitas
etnik (habitus) dalam arena ekonomi politik lokal yang teraktualisasi melalui
praktik-prakrik aktor dari tiga praktik aktor (kekuasaan simbolik, kekuasaan
ekonomi dan kekuasaan politik) tersebut. Pada praktik kekuasaan simbolik
tercipta relasi afiliasi dan deafiliasi antar etnik, yakni doxa yang berkembang
kelompok etnik disatukan dan dipertentangkan, seperti Muna-Talaki versus
Bugis-Buton. Demikian halnya dengan praktik kekuasaan ekonomi dan politik telah
menciptakan relasi yang bersifat transaksisonal antaraktor dan massa seolah-olah
melegalkan dominasi aktor (elit) yang memiliki kekuatan modal seimbolik dan
ekonomi.
Relasi bersifat
traksaksional tersebut, kemudian membentuk pola formasi yang terdiri dari:
formasi dominasi (domination formation)
dan formasi terdominasi (dominated
formation). Hadirnya dua pola tersebut, berdampak terhadap perilaku
dualisme aktor dalam me(re)produksi identitas etnik. Pada formasi dominasi, in- actor, me(re) produksi distingsi identitas etnik denga kekuatan
modal simbolik, dan ekonomi yang dimilikinya dan menggunakan strategi
reproduksi simbolik, investasi simbolik, investasi ekonomi, dukungan wacana,
investasi kekuasan dan dukungan simbolik untuk mempertahankan dan memperluas
kekuasaannya (formasi dominasi). Sebalikny apada formasi terdominasi, out- aktor tidak mengedepankan perbedaan
identitas etnik sebagai instrument untuk meraih kekuasaan politik, melainkan out- aktors menggunakan strategi
penyusupan simbolik, perlawan, reproduksi wacana, alianasi strategis dan
edukatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar