Laman

Sabtu, 14 Mei 2016

KEKUATAN POLITIK DI MASA ORDE BARU




KEKUATAN POLITIK DI MASA ORDE BARU 

 OLEH: KAMARUDDIN SALIM


ABSTRAKSI
Peran TNI dalam politik sejak masa perjuangan kemerdekaan. Pada masa agresi Belanda, TNI melakukan peran pemerintah, karena ada pemerintah daerah yang tidak dapat berfungsi sebabkan situasi perang kemerdekaan, kemudian TNI melaksanakan fungsi pemerintah. Peran TNI pada masa tersebut dianggap positif, untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara yang telah di proklamirkan. Peran TNI sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan dan peran yang sifatnya non-militer (sosial dan politik). Indoktrinasi ideologi resmi Pancasila ini digelar secara sistematis oleh rezim Orde Baru, karena didasarkan asumsi bahwa Pancasila telah diselewengkan pada masa Orde Lama. Dan di Era Reformasi TNI menjadi organisasi yang independen serta berdiri diatas semua golongan dan kepentingan politik kebangsaan. 










BAB I
PENDAHULUAN


A.   Latar Belakang

Dalam perjalanan sejarah panjang perjuangan bangsa, TNI tidak sekalipun TNI berjuang sendiri tetapi selalu bersama-sama dengan rakyat dalam satu kekuatan yang utuh dan bersifat kewilayahan.    Hal ini dapat dilihat dalam perjalanan sejarah perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan sudah harus menghadapi berbagai serangan Sekutu/Belanda yang berusaha menjajah kembali Indonesia.  Sebelum pecah  revolusi Nasional, yaitu sebelum Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia yang berkumandang diangkasa pada tanggal 17 Agustus 1945, Tanah Air Indonesia berada dalam penjajahan Jepang. Zaman ini tentu tidak dilupakan oleh  Bangsa Indonesia. Pada waktu Jepang masih berkuasa di Tanah Air, tidak banyak orang yang mengerti tentang maksud dan tujuan pembentukan Pembela Tanah Air (PETA) dan Barisan Pelopor, sehingga banyak yang beranggapan bahwa Jepang tengah menyusun kekuatan yang terdiri dari Bangsa Indonesia yang akan dikorbankan untuk keoentingan Jepang. Barisan-barisan itu dimaksudkan untuk dihadapken dengan tentara Sekutu.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia mempunyai angkatan perang sebagaimana yang dimiliki saat ini. Bahkan pada hari Proklamasi; secarik kertas Undang-undang Dasar Sementara (UUDS), Bendera Merah Putih, lagu kebangsaan dan semangat kemerdekan yang berkobar-kobar. Selain dari lima macam itu, seolah-olah rakyat Indonesia tidak mempunyai apa-apa. Akan tetapi kini Negara Indonesia telah mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara-negara lain lengkap dengan angkatan perangnya. Ini adalah berkat kemenangan tekad dan kemauan rakyat Indoensia sendiri. Dengan demikian menjadi lebih jelas bahwa tiap-tiap revolusi, setiap kemerdekaan meminta persiapan seperti halnya dengan pembentukan PETA dan Barisan Pelopor[1].     
Di tengah-tengah kehebatan aksi massa di mana-mana untuk merebut kekuasaan militer dan sipil dari tangan Jepang yang telah kalah dan berspekulasi terhadap Sekutu, akhirnya pemerintah mengambil keputusan untuk membentuk tentara. Akan tetapi dari tindakan sebagaimana Nampak satu sikap keraguan terhadap konsekuensinya. Tentara ini disebut sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR), sehingga masih merupakan suatu perbaikan organisasi dari Badan Keamanan Rakyat (BKR) kepada Tentara Keamanan Rakyat. Tugas pokoknya adalah menjaga keamanan rakyat, keamanan dalam negeri, yang pada masa itu sebenarnya dapat diatasi oleh alat-alat kekuasaan sipil apabila dipimpin dan dikembalikan oleh pemerintah yang tegas. Menurut tentara, yang menjadi kebutuhan dalam menghadapi Sekutu dan khususnya usaha-usaha pengembalian Hindia Belanda, adalah Tentara Pertahanan Nasional, Tentara Republik atau Tentara Nasional. Di mana, telah terjadi peperangan di depan mata. Perang kemerdekaan dan perang kolonial yang dahsyat dan lama. Apabila membahas konsekuensi proklamasi yang dijunjung secara fanatik oleh rakyat, dan konskuaensi sikap Belanda dengan Rijksverbandnya dan kenyataan NICA, termasuk interniran dewasa ini.
Pada tanggal 5 Oktober 1945 bekas Mayor KNIL R. Urip Sumohadjo dipanggil oleh Pemerintah ke Jakarta dan menerima keputusan tentang pembentukan TKR, Urip diangkat menjadi Kepala Staf Umum yang pertama dengan instruksi untuk membentuk Tentara dan sementara dikuasakan mengangkat opsir-opsirnya. Disamping itu, pemerintah mengangkat Supriadi menjadi Menteri Pertahanan , kemudian menjadi pemimpin tertinggi. Kemudian disebut Menteri Keamanan Rakyat. Kabar tentang pembentukan TKR dan pengangkatan Urip Sumardjo menjadi Kepala Staf Umum sangat mengembirakan, mengundang banyak harapan. Di masa pendudukan Jepang Urip menunjukkan sikap yang anti Jepangdan senantiasa mengatakan, bahwa Jepang akan kalah. Di masa penyerbuan Jepang tersebut, Urip menjadi komandan batalyon latihan milisi sukarela, dan telah diajukan keatasannya untuk membentuk pasukan Indonesia yang sejati untuk bertempur di bawah pimpinan beliau melawan Jepang, berhubung ternyata KNIL hendak menyerah. Niat Urip ini tentu tidak diizinkan oleh pembesar-pembesar Belanda pada saat itu[2].
TKR di susun besar-besaran dan akhirnya tidak dikuasai lagi oleh Letnan Jenderal Urip Sumohardjo kerena berbagai intrik yang muncul antara bekas KNIL dan bekas PETA. Sehingga bukan pimpinan MT TKR atau panglima besar, secara psikologis antara opsir-opsir PETA dan KNIL saat itu yang pada umumnya menjauhkan diri dari segala urusan Negara dan pergerakan di masa pendudukan dan mengorganisir diri, kecuali suatu rombongan pemuda-pemuda yang terus menempuh pendidikan Jepang dan berbagai gerakan-gerakan pendudukan JEpang. Orang-orang KNIL yang seolah-olah monopoli keahlian militer, yang saat itu disebut “internasional” dan orang-orang PETA yang hanya memperoleh latihan-latihan praktek. Maka dapat pula dipahami bahwa betapa besar keikutsertaan PETA dalam perjuangan kemerdekaan yang lalu, di mana mereka menjdi inti dari KNI dan BKR yang merupakan pusat-pusat tenaga nasional. Rencana Kepala Staf semula untuk menyusun tentara yang sederhana yang terdiri atas 3 (tiga) divisi di Jawa dan satu di Sumatera, telah didahului oleh kenyataan adanya selusin Jenderal di Ibukota dengan 10 devisi di Jawa dan 6 divisi di Sumatera dengan lebih kurang 100 semine infantry. Diluar dugaan, maka pemerintah tidaklah menyatakan semua badan-badan bersenjata yang ada disusun TKR. Disamping itu, terus diperbolehkan berdiri barisan-barisan rakyat, terutama dari partai-partai yang kemudian disebut laskar-laskar. Yang demikian rupanya atas pertimbangan, bahwa rakyat berhak mempunyai tentara sendiri di luar tentara negara[3].
Pendirian TKR, tepat akan tetapi tidaklah cukup dengan pernyataan demikian. TKR dan Laskar-laskar Rakyat seharusnya mempunyai tugas masing-masing yang jelas, seperti di negara lain. Tentara harus disusun sebagai tentara dan laskar rakyat sebagai partisan rakyat. Keduanya perlu dikoordinir sesuai dengan garis-garis yang menghubungkan tentara reguler dengan partisan secara teratur dan menghindari sama sekali kemunginan keadaan tidak teratur yang disebut “gerilyisme”. Pertubuhan seterusnya akan membuktikan bahwa pembagian tugas tersebut tidak teratur, sehingga dalam organisasi dan pelaksanaan operasi-operasi akhirnya tentara dan laskar tidak berbeda, sehingga dapat dibedakan sebagai laskar pemerintah dan laskar pratikelir dan bukan sebagai tentara dengan laskar, antara yang reguer dan pastisan.
Hal ini, paralel dengan usaha Syahrir dan kawan-kawan pembentukan satu Partai Nasional, yang menurut pendapatnya memberikan gambaran fasisme atau totalitarianime dan menganjurkan pembentukan partai-partai politik seluas-luasnya, menjadi sumber perpecahan di masa-masa berikutnya. Dengan demikian Rakyat Indonesia yang sedang bergolak buat kemerdekaan,teoritis diberikan kesan kepada Sekutu, bahwa Indonesia bukan bagian dari Jepang yang fasis, melainkan sebagai suatu negara yang demokratis, walaupun ternyata Indonesia belum siap berbuat demikian dan walaupun tiap Negara berperang menyingkirkan kepartaian dan persoalan pula perwakilan-pe  wakian rakyat untuk membentuk semua tenaga dan pikiran usaha untuk menang, demikian riwayat oleh sejarah tiap-tiap Negara yang telah berperang untuk hidup atau mati di masa perang dunia yang baru dimulai. [4]
Pertahanan militer sebagai perang gerilya hanya memerlukan pasukan-pasukan TRI yang efektif dan Riil, kira-kira sama dengan jumlah PETA dahulu, yang diwariskan oleh Jepang dan dibantu oleh barisan-barisan rakyat partisan lebih kurang besar Barisan Pelopor dahulu. Yang demikian telah berarti lebihkurang 2 atau 3 batalyon TRI yang efektif di tiap keresidenan dan 1 batalyon barisan rakyat di tiap  kabupaten atau kotamadya yang demikian sepadan dengan keperluan dan kemampuan Indonesia. Karena tiada pimpinan  dan tuntutan yang tegas dan kuat, maka pertumbuhan ketentaraan-kelaskaran ini tidak teratur pula jadinya.[5]
A.    Pokok Masalah.

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, penulis mencoba mengurai peran penting TNI dalam Peta Politik Nasional serta mengapa proses penyatuan kepentingan TNI sebagai alat pertahan negara dan rakyat cenderung mendapat kendala, sehingga dapat mengidentifikasikan kekuatan partai politik sebagai faktor lain dalam menentukan penilaian yang sistematis mengenai kekuatan politik TNI dan kekuasaan TNI yang sesungguhnya di Indoensia.disamping itu, memandang kekuatan-kekuatan TNI sebagai sebuah institusi baik secara sosial maupun politik mereka hanya karena adanya perubahan situasi dan kondisi, maka mengapa TNI mengambil peran politik di dalam kehidupab berbangsa dan bernegara.














BAB II
TINJAUAN TEORI
Dalam tinjauan teori untuk menjawab pokok permasalahan diatas, maka penulis menguraian pembahsan dengan menggunakan teori untuk mengkaji Peran TNI dalam Peta Politik Indonesia. Dalam hal ini Penulis menggunakan  teori Profesionalisme Militer. Pendekatan teoritis ini digunakan agar dapat memahami mengapa peran kekuatan-kekuatan TNI sebagai sebuah institusi baik secara sosial maupun politik dapat menciptakan perubahan situasi dan kondisi, maka mengapa TNI mengambil peran politik di dlaam kehidupab berbangsa dan bernegara.

A.                Profesionalisme Militer
Teori profesionalisme militer yang diungkapkan Sundhaussen yang menyatakan bahwa suatu komitmen kepada profesionalisme yang akan mencegah golongan militer untuk memasuki bidang politik, yang mungkin relevan dengan  sistem politik  yang relatif sudah tinggi tingkat perkembangannya dan diferensiasinya, dimana profesionalisme  orang-orang politik menjamin  adanya kestabilan dan ketertiban politik. Di negara-negara baru, dimana efesiensi dan performa golongan militer mungkin tidak dapat ditandingi oleh norma yang serupa dalam bidang profesi yang lainnya. Terutama oleh orang-orang politik maka profesionalisme militer yang tingkatnya tinggi lebih besar kemungkinannya untuk mengancam prinsip supremasi sipil  dari pada menopangnya.[6]
Peran TNI dinilai akan lebih berprestasi dari pada orang-orang yang aktif di dalam partai politik  apabila mereka telah memegang kontrol atas politik dan ekonomi, dan banyak sekali kesangsian  yang telah dikemukakan dalam perdebatan mengenai prestasi militer dibidang politik dan ekonomi merupakan soal yang lain sama sekali. Dalam konteks meneliti motif-motif bagi intervensi militer yang penting sebenarnya adalah apakah para perwira militer pada waktu mereka memutuskan  untuk melakukan intervensi percaya bahwa mereka bisa berprestasi lebih baik dari pada pemimpin sipil, dan bahwa mereka berkewajiban untuk memaksakan kepada masyarakat apa yang mereka anggap sebagai kemampuan mereka yang lebih baik.
Di samping itu, menurut Hungtington tentara modern dibedakan dari tentara sebelum tahun 1789, sebagai suatu kelompok korporasi professional. Pertama prajurit professional, yang merupakan satu kelas sosial yang baru muncul berdasarkan keahlian, Ideologi Korporatisme. Ciri-ciri variable yang dijumpai dalam lembaga militer modern baik dinegara maju maupun yang sedang berkembang, koporatisme dan idiologi jauh lebih penting.
Kedua prajurit pretorian, walaupun hanya sedikit para perwira militer yang memilih lapangan politik sebagai pekerjaannya, namun profesi militer dapat dijadikan sebagai landasan politik. Semakin tinggi kedudukan seorang perwira maka akan semakin bersifat politis, terutama pada situasi-situasi  pretorian dan revolusioner, yang mungkin akan melibatkan semua organisasi militer dalam aksi politik. Dalam kondisi  politik yang stabil hanya sedikit para perwira yang bersedia mengantikan  profesi mereka dengan politik. Akan tetapi peranan kelompok kecil yang berbuat demikian itu sangat vital terhadap penjajakan hubungan sipil dan militer.
Ketiga prajurit revolusioner, sebagai alat revolusi, terutama sebelum dan selama  perang revolusioner. Tentara revolusioner menunjukkan  kecenderungan yang kuat untuk takluk  kebawah pengaruh politik. Ketika revolusi berangsur-angsur melembaga, gerakan partai menjadi kekuasaan tertinggi dalam negara. Kecenderungan tentara revolusioner melakukan intervensi politik tidak pernah hilang seluruhnya.







BAB III
PEMBAHASAN
A.                Sejarah dan Peran TNI di Indonesia
1.                  Sejarah
Pada 29 Agustus 1945, Pemerintah Republik Indonesia mulai mengorganisasi angkatan bersenjata. Berdasarkan unit-unit PETA yang dipersenjatai maupun yang dilucuti senjatanya, serta para perwira organisasi pemuda dibentuk BKR (Badana Keamanan Rakyat), yang bermarkas besar di Jakarta. Angkata bersenjata yang dibentuk secara longgar ini terdiri atas unsur-unsur yang sangat otonom dan bebas memiliki basis wilayah dan tunduk terhadap KNI di daerah masing-masing. KNI sendiri dianggap memungkinkan, KNI dibentuk berdasarkan pemilu dan bertugas mengurusi dan memelihara pengadan barang-barang yag dibutuhkan BKR. Sejak 5 Oktober 1945, nama BKR dirubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat), selama beberapa bulan kemudian unsur-unsur pokok TKR diatur dari pusat denga derajad pengawasan yang lebih besar tetapi seringkali tidak efektif. Unit BKR langsung terlibat dalam perjuangan revolusioner. Mereka membantu merebut gudang-gudang pemerintah dari Jepang dan mengankap orang-orang yang menolak untuk meninggalkan gudang-gudang tersebut.
Pertempuran antara Jepang dan Indoensia semakin sering terjadi dan sekala semakin luas sepanjang September 1945. Usaha-usaha Indoensia untuk mempertahankan senjata Jepang dan perlawanan Jepang dalam melawan penguasaan sipil Indonesia menimbulkan semakin banyak pemberontakan. Pasukan Inggris yang pertama mendarat di Jakarta 29 September 1945. Tepat ketika usaha Indoensia dalam merebut kekuatan militer maupun sipil dari Jepang mencapai titik klimaks. Komando Sekutu lalu memprioritaskan usaha pemulihan keamanan dan ketertiban dibawah kekuasan Inggris di kota-kota besar dan pelabuhan di Jawa dan Sumatera. Sementara pelucutan senjata Jepang dinomorduakan. Komando Sekutu memerintahkan para komandan Jepang untuk menyerang dan merebut kembali kota-kota yag telah dikuasai oleh orang Indonesia seperti Bandung. Pemanfaatan pasukan Jepang oleh Sekutu untuk melawan Republik Indonesia menambah kecurigaan sekaligus keyakinan orang Indonesia bahwa Inggris dan Belanda berniat untuk mengembalikan Indonesia ke status negara terjajah[7].
2.                  Peran TNI dalam Politik Nasional Indonesia
Peran Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam politik telah terjadi sejak awal kemerdekaan dan banyak tentara yang berasal dari elemen-elemen masyarakat dan partai politik yang secara spontan ingin mempertahankan kemerdekaan dengan mengangkat senjata melawan penjajah. Pada masa agresi Belanda, tentara melakukan peran pemerintah, karena ada pemerintah daerah yang tidak dapat berfungsi sebabkan situasi perang kemerdekaan, kemudian tentara melaksanakan fungsi pemerintah. Peran tentara pada masa tersebut dianggap positif, untuk menjamin kelangsungan hidup bangs dan negara yang telah di proklamirkan. Sifat tentara dalam melibatkan diri dalam politik itu pada masa selanjutnya menjadi kebiasaan, bahkan dianggap sebagai haknya.. ditambah dengan diberlakukannya keadaan darurat perang yang memeberi legitimasi tentara untuk melakukan perannya di luar fungsinya sebagai alat pertahanan negara.
Pada era demokrasi parlementer berkembang apa yang dipersepsikan TNI sebagai ajang perebutan kekuasaan politik tanpa membawa pembangunan bangsa ke arah yang berarti, dan bermuara kepada berkembangnya aspirasi separatisme. Pada awal 1950-an tatkala Indonesia berada dibawah UUD-RIS dan UUDS 1950, para pemimpin TNI tanpa ragu menerima dan mendukung supremasi sipil sebagaimana yang berlaku dalam sistem politik yang berlaku pada masa itu. Kekhawatiran akan kemungkinan Republik menjadi berantakan oleh berbagai konflik politik partai telah mendorong TNI pada periode 1945-1957 mengambil langkah-langkah yang bernuansa politik. Pada peristiwa 17 Oktober 1952, di mana tentara menuntut agar Presiden Soekarno membubarkan parlemen dan mengambil alih kekuasaan pemerintahan, merupakan contoh paling gamblang tentang kejengkelan para perwir TNI sehubungan dengan ulah partai-partai politik, yang mereka anggap menjadi penyebab utama instabilitas nasional dan menjadikan suatu pemerintahan tidak pernah mampu bertahan hidup cukup lama. Sedemikian kecewanya, yang mereka anut hingga kini, bahwa bagi Indonesia yang sedemikian Bhineka, peran TNI sebagai kekuatan pemersatu bangsa sangat kuat dirasakan.
Peluang TNI terlibat dalam peran non-militer secara resmi dimulai tetkala Bung Karno, yang membutuhkan sekutu untuk menghadapi partai-partai, membentuk Dewan Nasional pada bulan Mei 1957. Dewan baru ini mencakup semua langganan yang oleh Bung Karno dikategorikan sebagai golongan-golongan fungsional dalam masyarakat, termasuk di dalamnya pejabat militer. Sehubungan dengan masuknya TNI ke dalam arena politik formal melalui pidatonya yang kemudian dikenal dengan nama "Jalan Tengah" (1958) di Magelang, bahwa keikutsertaan TNI dalam politik tidak akan berusaha untuk mengambil alih pemerintahan. Dengan pidato tersebut, peran TNI berkembang dari sekadar pemadam kebakaran menjadi salah satu kekuatan politik nasional aktif.
Hancurnya PKI dan surutnya pengaruh kekuatan-kekuatan politik yang ada bersamaan dengan tersingkirnya Bung Karno, menampilkan TNI menjadi satu-satunya kekuatan politik yang berarti susudah kudeta Gestapu/PKI yang gagal tahun 1965. Di dalam era pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, kita melihat TNI memainkan peran sosial politiknya yang terbesar. Bahkan menurut sebagian senior TNI yang turut mengembangkan konsep dwifungsi sendiri, peran itu dinilai telah melebihi proporsi. Dalam hal ini kita sampai pada pendapat, betapa konsepsi dwifungsi kurang dapat mengantisipasi terhadap kemungkinan, bila Presiden dijabat oleh seseorang yang memiliki posisi langsung pada tatanan hirarki komando, dan memainkan pengaruh hirarki komando untuk kepentingan sosial politiknya. Dari pencermatan atas peran sosial politik TNI dalam masa pemerintahan dua presiden pertama Republik Indonesia, dapat kita simpulkan bahwa masa pemerintahan dua presiden pertama tersebut memberi kondisi khusus atas peran sosial politik TNI di negara kita. Sejalan dengan itu kita pun diingatkan bahwa dalam negara berkembang, institusi militer patut diduga memainkan peran sebagai agent of development dan agent of modernisation. Pendapat yang banyak disampaikan oleh pakar sosiologi militer ini didasarkan atas kondisi faktual bahwa setiap organisasi militer mengacu kepada struktur organisasi dan menejemen militer yang telah ditetapkan, dan teruji secara universal.
Di samping itu organsisasi militer, sesuai dengan tuntutan dan cirinya senantiasa dilandasi oleh jiwa korsa dan disiplin. Bagi Indonesia yang bersifat heterogen, TNI yang berlandaskan wawasan kebangsaan, berciri nasional dan ditampilkan dalam organisasi, struktur personalia maupun kebijakannya memberikan lagi nilai kelangsungan persatuan dan kesatua bangsa. Faktor-faktor tersebut di atas tidak dapat membawa kita kepada suatu jawaban pasti apakah peran sosial politik TNI diperlukan dalam sistem politik Indonesia di masa depan. Jawaban perlu dicari dalam kajian sosiologis yang menjelaskan kaitan antara peran sosial politik TNI dan kondisi masyarakat Indonesia pada millenium ketiga.
Pekembangan selanjutnya, peranan TNI menguat dengan munculnya doktrin Dwifungsi ABRI dan dilegitimasikan dengan diakuinya tentara sebagai golongan fungsional yang dapat masuk ke dalam kelembangaan  politik negara. Yang kemudian menjadi kekuatan politik yang menonjol pada era edmokrasi terpimpin pemerintahan Presiden Soekarno. Pada masa pemerintahan Pemerintahan Presiden Soeharto ketrerlibatan tenatara dlam politik menjadi sangat dominan. Karena tentara dijadikan sebagai alat kekuasaan dan dilegitimasikan dengan berbagai Undang-undang. Kenyataan selama berlangsunya pemerintahan Orde baru menunjukkan bahwa ikut camputnya tentara dalam politik kurang memberi ruang gerak bagi berkembangnya civil society[8].
Banyak kalangan menaruh harapan besar pada posisi TNI dalam reformasi. Sebagai salah satu institusi yang memiliki legitimasi struktural dan kultural dalam kehidupan kebangsaan, posisi TNI amat strategis dalam menggerakkan reformasi. Kemudian muncul sikap pesimis dan skeptis terhadap TNI.TNI dinilai tidak mengambil posisi dalam reformasi. TNI dikesankan tetap menjadi bagian dari format politik masa lalu. Bagi TNI penilaian subyektif itu amat difahami benar. Ketika euforia reformasi tengah berlangsung, penilaian terhadap posisi TNI amat beragam. Ada yang berpendapat bahwa TNI telah mengambil posisi yang tepat dan proporsional. Ada pula yang bependapat TNI terlambat mengambil posisi. Bahkan yang lebih ekstrim mengatakan TNI sama sekali tidak mengambil posisi dan peran dlam reformasi, tidak pro reformasi, bahkan cenderung status quo.
Beragamnya penilaian terhadap peran TNI dalam politik tentunya menandakan bahwa seluruh bangsa ini amat berkepentingan terhadap TNI. Tidak ada satu institusi manapun yang mendapat perhatian besar, disorot dan dikritik bertubi-tubi selain TNI. Bagi TNI semua sorotan dan kritikan itu dicermati, dipilih dan dipilih. Ternyata tidak seluruh kritikan yang disampaikan kepada TNI itu jujur dan fair. Tidak pula memberikan solusi dan alternatif. Berbicara masalah posisi dan peran TNI dalam reformasi haruslah dilihat secara jernih dan utuh, bagaimana posisi dan peran TNI dalam kehidupan kebangsaan. Sebagai bayangkari negara tidak bisa lain posisi TNI adalah sebagai komponen bangsa yang ikut bertanggung jawab ikut mengamankan negara ini sebagaimana yang diamanatkan para pendiri bangsa untuk memikul tugas dan tanggung jawab: Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, Kedua: memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan Ketiga, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Inilah sebenarnya yang melatar belakangi dan menjadi basis pemikiran posisi dan peran TNI dalam kehidupan kebangsaan. Bagi TNI keselamatan bangsa merupakan taruhan yang tidak memiliki pilihan.
TNI sebagai bagian dari sebuah sistem nasional perlu mengamankan sistem itu. Sebaliknya jika sistem nasional itu berubah TNI pasti harus berubah. Tetapi, satu hal yang tetap menjadi fokus TNI adalah perubahan sistem sama sekali tidak boleh mengancam integrasi dan integritas bangsa. Ketika reformasi tengah kita gulirkan, kemudian muncul ancaman disintegrasi, adalah fenomena itu boleh dianggap sebatas wahana reformasi? Jika gerakan untuk memidahkan diri dari republik tersu mengalir dan gencar, apakah kita tetap saja dapat mengatakan itu bagian dari demokrasi bagi TNI bicara soal kedaulatan adalah bicara hidup dan mati. Kedaulatan negara Republik Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945 harus diamankan dan diselamatkan. Peran TNI dalam kehidupan nasional baik yang telah, tengah, maupun yang akan dilaksanakan tidak terlepas dari dimensi historis, kondisi aktual serta kecenderungan yang akan datang. Variabel-variabel tersebut harus secara cermat dan komprehensip dibaca serta diterjemahkan menjadi suatu model yang dapat diprediksi sehingga dapat memberi gambaran jelas akan tantangan, kendala, dan peluang yang dihadapi dan dapat ditempuh.
Konsekuensi dari diktum tersebut, maka misi tiap angkatan perang, dimanapun, tidak pernah lepas dari politik. Oleh karen itu rumusan tugas pokok bagi angkatan bersenjata senantiasa mencerminkan kepentingan untuk dapat menjamin pengamanan dan pemelihataan tujuan-tujuan politik nasional. Namun, disini pula letak titik tipis diktum ini karena dapat mengalir menuju dua muara yang dapat berbeda perwujudan. Disatu sisi, perlu diwaspadai, bila tentara digunakan untuk kepentingan politik sempit partisan, maka berakhirlah pengabdian tentara bagi kepentingan nasional. Disisi lain, diktum ini memberikan landasan hakiki tentang benang merah kesinambungan antara politik dan militer yang tidak dapat dihadiri, dan bahwa militer tidak hadir dalam isolasi dan otonom sebagai negara dalam negara. Salah satu kunci pengaman untuk menjembatani antara keduanya dan untuk mencegah penyalah gunaan militer bagi politik partisan adalah menjaga bahwa tentara tetap profesional dan tidak terlibat dalam politik praktis partisan. Tentara hanya menjalankan politik negara pada tingkat kenegarawanandengan penyelenggaraan fungasi pertahanan-keamanan negara. Dari sini dapat kita lihat bahwa antara militer dan politik bukan merupakan isu untuk dikotomikan namun merupakan suatu aliran mekanisme prosedural ketatanegaraan yang memiliki batas fertikal dan horisontal dan membatasi kewenangannya.
Dari uraian di atas pemahaman sejarah TNI dapat kita simpulkan bahwa peran TNI dalam kehidupan bangsa dan negara di masa lalu dipengaruhi oleh faktor: (1) tidak dapat dilepaskan dari pengalaman generasi 45 selama merebut dan mempertahankan kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia; (2) Keadaan masa lalu yang diwarnai oleh keadaan darurat baik dalam perang kemerdekaan, maupun menghadapi berbagai gerakan separatis; (3) kekuatan sipil yang lemah memberi kesempatan bagi pengaruh TNI memasuki kehidupan politik; (4) kondisi masyarakat dibentuk untuk memusatkan perhatian kepada keluaran, tidak kepada proses pengambilan keputusan; (5) budaya politik yang tidak mampu membangun sistem kontrol politik yang efektif.
Ketika Orde Baru di bawah kuasa Jenderal Soeharto yang dikenal sebagai seorang Tentara Angkatan Darat yang dalam kepemimpinannya sangat membenci ajaran komunisme atau lebih khusus Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh terlibat langsung dalam kudeta berdarah pada tahun 1965. Maka Soeharto melakukan penguatan politik sebagai upaya dalam rangka membersihkan aparatur negara dan tata kehidupan bernegara dari unsur-unsur PKI dan segala ormasnya, pemerintah tidak memberi hak pilih kepada bekas anggota PKI dan segala ormasnya yang terlibat G 30 S/PKI. Ketegasan sikap ini sangat penting dalam rangka tetap mewaspadai bahaya laten PKI dan penyusupan ideologinya. Namun, sikap waspada dan kehati-hatian pemerintahan Orde Baru itu sangat kebablasan yang menyebabkan peran negara makin membelenggu berbagai aspek kehidupan masyarakat. Istilah pembangunan, atas nama rakyat, stabilitas, dan pertumbuhan menjadi jargon yang dilontarkan pemerintahan Orde Baru. Dan munculnya poros tengah yang dalam hal ini di pelopori oleh Ankatan Darat menunjukkan posisi yang dominan dan tak tertandingi di dalam pemerintahan dan disambut hangat oleh sebagian kecil kalangan politik sipil, sedangkan sebagian terbesar yang lain menerima itu sebagai suatu kenyataan yang tak terhindarkan[9].
Untuk mencapai tujuan politiknya, maka negara mengambil peran besar yang sangat menentukan dengan menempatkan pada tangan presiden. Sebetulnya, secara semu pemerintahan Orde Baru mirip pada masa Indonesia melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Hanya pejabat presidennya saja yang ganti, sistemnya tetap sama. Orde Baru dengan motor penggerak Golongan Karya (Golkar) dan ABRI berusaha mengambil peranan yang lebih besar pada aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan mengatasnamakan negara. Golkar yang dibina oleh Presiden Soeharto terus berusaha mengamankan posisi pemerintahan sejak Pemilu 1971.

B.  Analisis

Pembentukan angkatan bersenjata di negara-negara modern ditujukan untuk melindungi dan mempertahankan kedaulatan negara dan bangsa suatu negara. Namun kenyataannya, terdapat beberapa perluasan peran yang melekat pada angkatan bersenjata tersebut. Perluasan ini sangat terkait dengan ideografis dan perkembangan suatu negara. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengaruh militer dengan multi fungsinya dalam politik pemerintahan lebih disebabkan sejarah perjuangan bangsa dan negara yang bersangkutan, terutama di negara-negara dunia ke tiga termasuk Indonesia. Lebih jauh lagi hal ini dapat dilihat dari sistem politiknya berupa orientasi nilai terhadap sturktur dan fungsi sistem politik, dan ortientasi nilai terhadap pimpinannya.
Selain itu juga sangat dipengaruhi oleh sejarah idoegrafis negaranya. Militer di Indoneisia lahir dan berkembang sebagai militer yang revolusioner dengan ideografis Jawa. Dengan konsep TNI (dahulu ABRI) manunggal dengan rakyat ditujukan bahwa doktrin Dwifungsi TNI dapat setara dengan ideologi yang harus disadari oleh baik kalangan sipil maupun militer. Berdasarkan kelahiran doktrin itulah dua fungsi militer dalam sistem politik Indonesia dilaksanakan. Berdasarkan tataran empiris, konsepsi doktrin itu telah mengalami pergeseran terutama pada tingkat operasional. Dwifungsi yang tadinya menyangkut tugas pembelaan negara berubah menjadi multifungsi militer dalam orientasinya terhadap struktur dan fungsi sistem politik Indonesia. Pelaksanaan peran militer dalam politik sangat dipengaruhi oleh konflik kepentingan dan ketegangan dalam poros elit militer, elit sipil dalam lembaga eksekutif dan kehidupan infrastruktur politik yang dimotori oleh partai politik.
Periode Rezim pemerintahan Orde Lama merupakan fondasi untuk perjuangan militer dalam panggung pertahanan dan politik. Pada periode awalnya ketika sistem pemerintahan parlementer mereka termarginalkan oleh elit pemerintahan sipil begitu pula dengan kepala negara, Soekarno. Akibatnya pada akhir periode ini terjadi pergeseran dari marginalisasi militer dalam politik memasuki era baru yaitu berkuasanya militer dalam sistem politik Indonesia. Penguatan kepentingan ini terjadi dengan tumbangnya politisi sipil terutama kehidupan partai politik dan keterpurukan ekonomi. Disamping itu juga bergesernya aliansi kepentingan presiden dengan parpol terutama PKI ke arah aliansi dengan militer terutama setelah jatuhnya PKI akibat Kudetanya yang gagal.
Periode ke dua adalah ketika rezim pemerintahan Orde Baru muncul pada tahun 1966. Periode inilah yang menjadi periode keemasan multifungsi TNI dengan doktrin Dwifungsi tersebut. Hampir semua kelembagaan trias politica terkendali dan diduduki oleh militer. Peran aliansi diantara presiden Soeharto dengan militer sangat mendominasi sistem politik Indonesia ini selama kurun waktu 32 tahun. Jenis militer yang muncul adalah militer profesional-pretorian. Namun pada Akhir tahun 1990an terjadi perubahan polarisasi militer dalam politik pemerintahan, dimana tuntutan sipil kelompok kepentingan untuk menurunkan pimpinan nasional dan dwifungsi TNI menemukan momentumnya. Ditopang oleh kebobrokan ekonomi yang sangat parah, rezim pemerintahan Orde Bau tumbang. Tumbangnya pemerintahan ini tentu saja berpengaruh terhadap aliansinya dengan militer.
Tumbangnya rezim Orba ini memunculkan pemerintahan Orde Taransisi/Reformasi. Pada periode ini, kepentingan militer kembali mengalami ketegangan karena hilangnya aliansi dengan pemerintahan Orba. Karenanya, militer dewasa ini melakukan redefinisi, reposisi dan reaktualisasi perannya dalam sistem politik Indonesia. Diluncurkannya Paradigma Baru Peran TNI merupakan jawaban atas keinginan hubungan sipil dan militer pada era reformasi. Namun jawaban dan respon masyarakat/sipil masih skeptis terutama kalangan Parpol dan kelompok kepentingan. Perubahan peran politik TNI dalam politik pemerintahan ini tentunya masih harus mengalami pendalaman dan evaluasi kritis dari fihak sipil dn militer dalam kerangaka demokrasi.
Akhirnya, peran politk militer dalam pemerintahan yang telah dan mengalami perubahan ini harus terus mengalami tindakan kritisi yang konstruktif untuk berkembangnya sistem politik Indonesia yang demokratis. Munculnya militer yang profesional apakah dengan terminologi back to barrack atau back to basic atau tetap peran TNI (pengganti dwifungsi TNI), yang penting interpretasi dan pelaksanannya harus dalam koridor demokrasi yang sesungguhnya. Krisis ekonomi yang telah menjelma menjadi ketidakpastian politik yang berkepanjangan membuat diversifikasi kebijakan politik Orde Baru yang selama ini tercentralistik kepada satu kekuatan politik dibawah legitimasi Panglima tertinggi ABRI.
Dalam analisis pendekatan struktural, industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi yang pesat di tanah air, dinilai tidak menciptakan struktur sosial ekonomi yang menjadi dasar bagi kukuhnya proses demokratisasi. Proposisi Kelas Menengah yang secara signifikan mampu menciptakan tuntutan kearah demokratisasi, masih amat kecil. Selain itu, struktur hubungan pusat - daerah juga diwarnai oleh dominasi elite Birokrasi - Militer yang berorientasi kepada dukungan pusat, sehingga kurangnya kepentingan dengan penegakkan institusi demokratis di wilayah mereka. Selama 32 tahun lebih telah terjadi penyimpangan yang menghambat proses demokratisasi melalui berbagai kebijakan politik sebagai bagian dari implementasi struktural peran sosial politik ABRI. Selama itu pula militer tidak dapat dipisahkan dari kehidupan politik sepanjang pemerintahan Orde Baru, baik melalui doktrin peran sosial politiknya maupun bentuk perundangan yang menjadi basis legitimasinya.
Di tengah arus gelombang demokratisasi yang begitu kuat melanda negara-negara dunia ketiga (third world countries) saat ini telah membuat redifinisi tentang keterlibatan militer dalam politik dan dominos effect yang juga begitu kuat dirasakan Republik ini terutama melalui apa yang selama ini diperjuangkan oleh kalangan masyarakat sipil dengan cita - cita reformasi total.. Latar belakang sejarah kemerdekaan suatu bangsa biasanya menjadi titik tolak bagi militer untuk berkiprah dalam kehidupan politik, begitupun halnya dengan kalangan militer di Indonesia yang cenderung memelihara doktrin tentang kontribusi militer dalam perjuangan kemerdekaan bangsa. Selain itu, faktor ketidakstabilan politik suatu bangsa dengan indikasi ketika regime sipil berkuasa kemudian didiskriditkan karena tidak mampu menguasai keadaan sehingga lambat laun kekerasan fisik bisa terjadi. Dengan demikian lambat laun militer akan memasuki ruang kehidupan politik yang pada akhirnya akan menjadi salah satu kekuatan politik.
Sejarah keterlibatan militer dalam politik diawali pada akhir pemerintahan Soekarno dan semakin begitu mendominasi kehidupan politik ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan yang kemudian berlangsung selama 32 tahun. Orde Baru tampil dengan mengedepankan dominasi militer dalam kehidupan politik yang berimplikasi terhadap reperesivitas dan berbagai bentuk kekerasan politik lainnya. Suasana politik yang represif dimana suara kritis dibungkam, peran dan fungsi lembaga - lembaga politik tidak berjalan dengan semestinya serta hukum yang dijalankan berdasarkan like or dislike, telah menjadi prototipe bagi perjalanan pemerintahan Orde Baru yang militeristik. Richard Tanter, seorang Pengamat politik militer dari AS, menilai bahwa Indonesia dibawah Soeharto telah menjadi negara intel. Model operasinya, Tanter menyimpulkan bahwa jangan ambil resiko dan hantam selalu dari belakang. Tanter beranggapan bahwa penggunaan teror yang dilakukan oleh aparat militer dipandang paling efektif. Represif militer hanya menimbulkan kebiadaban dan berbagai bentuk kekerasan politik yang intinya adalah diluar batas kemanusiaan[10].
Proses demokratisasi hanya bisa tumbuh didalam komunitas masyarakat di mana terdapat optimalisasi peran dan fungsi civil society serta lembaga - lembaga politik. Referensi dan wacana dalam political science selalu menghasilkan suatu tesis bahwa keterlibatan militer dalam politik hanya akan menghasilkan pemerintahan yang otoritarianisme. Dalam konteks politik indonesia saat ini, diperlukan sebuah platform baru untuk meminimalisir peran politik militer dengan tujuan menstimulasi proses demokratisasi. Dalam teori hubungan sipil - militer seperti yang dikemukakan oleh Samuel P. Huntington, usaha pengendalian golongan sipil terhadap kelompok militerdibagi dua metode. Pertama, disbut pengendalian sipil subyektif. Metode ini dilakukan dengan memperbesar kekuasaan sipil dibandingkan militer. Namun metode ini akan mengalami banyak tantangan sebab yang namanya golongan sipil itu merupakan kelompok yang heterogen dan mempunyai kepentingan yang berbeda- beda. Metode kedua, disebut pengendalian sipil obyektif [11].







BAB IV
PENUTUP
A.                Kesimpulan
Di masa Orde Baru, peran militer jauh melampaui peran spesifiknya di bidang pertahanan dan keamanan nasional. Biasanya, keterlibatan militer di bidang politik disebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer di Indonesia sehingga istilah "intervensi" tampak teramat sederhana dan tidak dapat mencerminkan besarnya skala dan cakupan peran militer tersebut. Pada sisi lain, baik pada Orde Baru maupun Orde Lama, para politisi cenderung memanfaatkan militer untuk kepentingan politik. Dengan demikian, proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia diharapkan menyehatkan hubungan sipil-militer dari kedua belah pihak. Artinya, supremasi sipil tetap ditegakkan, tetapi kalangan sipil juga harus bertekad menghindari penggunaan militer untuk kepentingan politik.
Peranan TNI dalam bidang politik dimulai dengan dikenalkannya politik pada tentara yaitu pada masa kabinet Amir Syarifudin. Pada masa itu, TNI dibagi ke dalam dua bagian, yaitu Deaprtemen pertahanan dan TNI Mobil. Departemen pertahanan ini dipimpin langsung oleh Amir Syarifudin, sedangkan TNI Mobil Dipimpin oleh Sudirman. Dalam Departemen Pertahanan inilah pendidikan politik pada TNI diberikan. Sejak itulah TNI mulai mengenal dunia politik. Pada tahun 1965, tepatnya 1 oktober 1965, TNI melakukan kudeta militer terhadap Presiden Soekarno. Akan tetapi, kudeta tersebut tidak terlaksana dan hanya sekedar domonstrasi bersenjata di depan Istana Negara. Salah satu faktor penyebab terjadinya peristiwa itu adalah adanya keinginan pihak TNI untuk dilibatkan dalam setiap pengambilan kebijakan politik. Namun, hal tersebut ditolak oleh Soekarno. Salah satu di antara peran non-pertahanan yang dimainkan oleh TNI adalah peran sosial-politik. Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Perwira-perwira militer, termasuk yang aktif, mulai dari menjadi kepala desa/ lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, sampai menjadi menteri. Bahkan pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia pernah diisi oleh orang militer secara bersamaan. 
Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari kepala dinas, kepala kantor departemen, inspektur jenderal, direktur jenderal, sampai sekretaris jenderal. TNI pula mengisi kursi di lembaga legislatif dan memiliki fraksi tersendiri yakni fraksi ABRI, baik di DPR maupun DPRD, yang diperoleh melalui penjatahan, bukan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Jumlah kursi di DPR yang dijatahkan untuk militer pernah mencapai 100 kursi, kemudian dikurangi menjadi 75, dan sekarang menjadi 38. Tidak cukup sampai di situ saja, militer juga hadir di badan-badan ekonomi seperti Badan Usaha Milik Negara dan koperasi. Organisasi politik, organisasi kepemudaan, dan organisasi kebudayaan serta olahraga juga terbuka bagi militer. Praktek penjatahan jabatan-jabatan sipil yang diberikan kepada militer, baik di tingkat pusat maupun daerah, berjalan lancar.
Lebih lanjut lagi, praktek yang tidak selaras dengan spesialisasi fungsi militer tadi, didukung dan dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran-tafsiran historis, ideologis, dan konstitusional. Disebutkan bahwa peran yang dominan itu selaras dengan fakta bahwa militer adalah tentara rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Konsekuensinya, dikotomi sipil-militer tidak dikenal dalam sistem politik Indonesia dan kedudukan militer dalam jabatan-jabatan sipil dapat dibenarkan. Secara ideologis, militer mengedepankan dan mensosialisasikan dwifungsi ABRI sebagai alasan bagi perangkapan fungsi militer dan penguasaan militer atas posisi-posisi politik, sosial dan ekonomi. Argumen konstitusional juga diberikan dengan menyalahgunakan pasal 2 UUD 1945 sehingga militer dianggap termasuk ke dalam kategori “golongan” yang berhak duduk di lembaga legislatif.
Peran militer yang dominan seperti terjadi pada masa Orde Baru tentu saja menimbulkan berbagai dampak yang negatif dan destruktif dilihat dari pembinaan tatanan politik yang demokratis. Dominasi militer bukan hanya di birokrasi sipil saja tetapi juga militerisasi masyarakat sipil, misalnya pembentukan resimen mahasiswa dan lembaga-lembaga paramiliter sebagai bagian dari organisasi massa. Sebagai akibatnya, di kalangan masyarakat sipil muncul budaya dan perilaku yang militeristis. Akan tetapi, hal tersebut tidak sepenuhnya negatif dan destruktif, ada pula sisi positif yang bisa diambil dari dibentuknya organisasi masa yang berbasis militer tersebut, yaitu dengan tumbuhnya rasa nasionalisme yang tinggi pada kaum muda, yang saat ini rasa nasionalisme pada jiwa kaum muda bangsa Indonesia sudah minim sekali.  Disamping itu juga, dominasi politik TNI mendorong bangsa dan negara Indonesia ke arah disintegrasi. Walaupun hal ini menjadi masalah di seluruh Indonesia, gejalanya terlihat paling jelas di Timor Timur, Aceh dan Ambon. Keadaan ini sungguh ironis mengingat bahwa selama ini TNI menganggap dirinya sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan negara.
Reformasi posisi dan peran militer tersebut perlu dilaksanakan, dan dilaksanakan sesegera mungkin, berdasarkan anggapan bahwa fungsi militer perlu dikembalikan ke bidang pertahanan saja. Sebab, militer sebagai alat negara terbentuk supaya di dalam struktur negara ada badan yang diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan senjata. Itulah sebabnya, prinsip dan praktek demokrasi mengharuskan militer menjadi alat negara yang menjalankan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, sedangkan kebijakan itu dibuat oleh pihak lain seperti pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk secara demokratis. Konflik antara aparat pemerintah yang melibatkan institusi sering terjadi di tubuh internal TNI dan Kepolisian, kadang melibatkan kekuatan senjata. Hal ini terlah terjadi sejak zaman revolusi 1945-1950 dan tahun 1951-1965. Konflik antara pemerintah relative tidak terjadi, kecuali persaingan tertutup yang muncul sejak 1996 dan setelah  peristiwa Maluku dan Poso mencuat ke permukaan[12].
Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa, apabila monopoli tersebut gagal atau bermasalah, akan terjadi beberapa kemungkinan yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan militer sendiri yang ingin hidup tenteram dan demokratis. Salah satu di antaranya adalah militer yang kebal hukum, yaitu dimana militer menyalahgunakan monopoli tersebut, tetapi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer tidak diusut dan diadili dengan tuntas. Dua kemungkinan lain adalah pecahnya perang saudara, yaitu ketika suatu unsur masyarakat melanggar prinsip monopoli di atas dan menggunakan kekerasan senjata terhadap unsur masyarakat lain, dan pemberontakan, yaitu bila suatu unsur masyarakat melanggar monopoli tersebut dan menggunakan kekerasan senjata melawan pemerintah. Biasanya, dalam situasi ketika monopoli tersebut terancam, militer dihadapkan pada berbagai persoalan seperti demoralisasi, perpecahan internal, dan gangguan pada hirarki komando. Oleh karena itu, reformasi posisi dan peran TNI sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia adalah demi kebaikan TNI.
Fenomena di atas telah sering dipertanyakan di masa lalu. Namun, sistem otoriter yang kaku tidak memungkinkan adanya perubahan yang mendasar. Dalam era reformasi ini, suara dan desakan dari masyarakat semakin keras menuntut adanya reformasi posisi dan peran militer menuju kehidupan yang demokratis di Indonesia. Tuntutan tersebut dijawab oleh TNI dengan “Paradigma Baru-nya”. Pelaksanaan paradigma tersebut telah membawa dampak yang cukup positif. Misalnya, TNI memutuskan hubungan historisnya dengan Golkar dan bersikap cukup netral dalam pemilu yang lalu. Proses reformasi kepolisian juga dimulai dengan dipisahkannya POLRI dari TNI. Contoh lain adalah kebijakan baru yang mengharuskan anggota aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk memilih kembali ke satuannya atau pensiun.  Namun, di sisi lain, paradigma itu dinilai tetap mempertahankan peran sosial-politik TNI, walaupun pada tingkat intensitas yang lebih rendah. Di samping itu, pelaksanaan paradigma itu terkesan lebih merupakan upaya TNI untuk memperbaiki citranya daripada menyelesaikan persoalan yang sebenarnya. Akan tetapi, sudah ada usah dari pihak TNI untuk memperbaiki funfsi dan tugasnya, walaupun itu hanya untuk sekedar merubah citra belaka, yang terpenting, sudah ada perubahan dalam tubuh TNI, sehingga dominasi TNI dalam bidang politik akan semakin berkurang, dan suatu saat nanti harus sama sekali habis.
Oleh karena itu, kehadiran Paradigma Supremasi Sipil ini dirasakan perlu untuk lebih memperluas wacana publik mengenai penataan kembali hubungan sipil-militer di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Dengan demikian, sangat diharapkan bahwa rekomendasi yang terkandung dalam cetak biru ini dapat diwujudkan dalam ketetapan MPR, sebagai landasan kebijakan pemerintahan selama lima tahun ke depan.
Peran militer di dalam perpolitikan, tentunya berdampak besar terhadap terwujudnya proses demokrasi yang baik. Di mana, peranan TNI dengan konsep Dwifungsi sebagai legitimasi yang secara politik menghambat terciptanya proses demokrasi di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dengan peranan militer yang oleh penguasa Orde Baru di pakai sebagai alat kekuasaan untuk menghadang segala bentuk gerakan perubahan dari elemen masyarakat yang dengan giat mendorong terciptanya proses demokrasi yang terbuka dan tidak dihegomoni oleh penguasa.
Disamping itu, dengan optimalisasi partisipasi politik rakyat serta lembaga - lembag politik menjadi agenda terpenting dalam mendorong proses demokratisasi untuk meminimalisir peran politik militer. Berbagai wacana politik yang kita pelajari hampir selalu mengajari kita bahwa dalam sistem politik idealnya lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif memiliki kekuasaan seimbang, dengan sesuatu kekuatan check and balances tanpa mengikutsertakan militer didalamnya sebagai kekuatan politik. Alhasil, dengan kekuatan dan mekanisme sedemikian tersebut diharapkan akan dapat menjamin bagi terwujudnya suatu pemerintahan (state) yang merefleksikan kemauan dan berorientasi pada kepentingan rakyat (society). Karena itu, merupakan kepentingan kita untuk mengajak semua kekuatan Pro Demokrasi untuk memberikan kontribusi pemikiran sebagai landasan perjuangan dalam menolak segala bentuk pemerintahan yang bersifat militeristik. Perkembangan arus demokratisasi yang begitu kuat ditengah proses reformasi saat ini, melahirkan pemikiran baru bahwa militer sebagai sebuah kekuatan politik sudah tidak diperluakan lagi.

C.  DAFTAR PUSTAKA
1.      A.H. Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indoensia. Diplomasi Atau Bertempur Jilid 3. (Bandung: Penerbit Angkas.1977). 
2.      A.H. Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indoensia. Diplomasi Sambil Bertempur Jilid 3. (Bandung: Penerbit Angkas.1977). 
3.      Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, (Yogyakarta: LKIS, 2005).
4.      Horal Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia. (Jakarta: SInar Harapan, 1999)
5.      Jenderal Soedirman. Militer dan Pedjoang Indonesia. (Jakarta: Biro Sejarah Angkatan Darat Pussem. 1959).
6.      Kivlan Zen. Konflik dan Integrasi TNI-AD.(Jakarta: Institute for Policy Studies. 2004).
7.      Samuel P. Huntington, The Solder and the State The Theory of Civil Militery Relations (Harvard University Prses.1957)
8.      ULF Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwifungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES, 1998)
9.      (http://nurfajri90.blogspot.com/2012/10/sejarah-dan-perkembangan-militer.html)



[1] Jenderal Soedirman. Militer dan Pedjoang Indonesia. (Jakarta: Biro Sejarah Angkatan Darat Pussem. 1959). Hlm. 8
[2]. A.H. Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indoensia. Diplomasi Atau Tempur 2.(Bandung: Penerbit Angkas.1977).  Hlm. 213.
[3]. Ibid. Hlm. 215  
[4] Ibid. Hlm. 218-219
[5] A.H. Nasution. Sekitar Perang Kemerdekaan Indoensia. Diplomasi Sambil Bertempur Jilid 3. (Bandung: Penerbit Angkas.1977).  Hlm. 155
[6] ULF Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967 : Menuju Dwifungsi ABRI, (Jakarta: LP3ES, 1998), Hlm 11
[7] George McTurnan Kahin. Nasionalisme dan Revolusi Indonesia (Jakarta: Komunitas  Bambu. 2013). Hlm. 204-208
[8] Abdoel Fattah, Demiliterisasi Tentara, Pasang Surut Politik Militer 1945-2004, (Yogyakarta: LKIS, 2005). Hlm. viii
[9] Lihat: Horal Crouch, dalam Militer dan Politik Di Indonesia. (Jakarta: SInar Harapan, 1999)
[10] (http://nurfajri90.blogspot.com/2014/07/sejarah-dan-perkembangan-militer.html)
[11] Samuel P. Huntington, The Solder and the State The Theory of Civil Militery Relations (Harvard University Prses.1957). Hlm. 22
[12] Kivlan Zen. Konflik dan Integrasi TNI-AD.(Jakarta: Institute for Policy Studies. 2004). Hlm. 4-5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar