SEKOLAH KAUM BARBAR
Kamaruddin Salim
Sekolah telah menjadi ruang praktek kekerasan dan tumbuh suburnya budaya penyimpangan ketidak adilan sesama manusia….(Epos)
Membaca judul yang ditampilkan di atas, kita tentu bertanya-tanya atau bahkan mencibir. Kenapa sekolah diidentifikasikan sebagai tempat praktek Barbar. Secara defenisi, Barbar adalah sifat kasar dan kejam. Sedangkan pengertian kaum barbar adalah kelompok suku-suku bangsa dari luar wilayah peradaban Yunani-Romawi. Yang termasuk kategori ini adalah bangsa-bangsa Jermanik (berasal dari Eropa Timur Laut) Slavik (daerah Rusia sekarang) dan kelompok suku nomaden dari Asia Tengah. Invasi kaum barbar memiliki beberapa dampak penting dalam sejarah Eropa antara lain : 1. Kaum barbar mengacaukan kehidupan sosial ekonomi dan mempercepat keruntuhan imperium Romawi. 2. Mereka dengan cepat dapat memadukan unsur peradaban Yunani-Romawi dengan kebudayaan mereka sendiri dan mengembangkannya. Perpaduan ini merupakan basis fisik peradaban Abad Tengah 3) Invasi tersebut menciptakan dasar pengelompokan bangsa-bangsa Eropa di era Pertengahan dan Modern. (Sumber : Henry S. Lucas,Sejarah Peradaban Barat Abad Tengah). Oleh karena itu, perbuatan ataupun tingkah laku yang dilakukan manusia seringkali di identikan dengan sifat kaum barbar. Merujuk pada berbagai kasus kekerasan (de-humanisasi) di sekolah. Mendorong penulis mengangkat tema ini sebagai suatu bacaan akan realitas yang ada.
Untuk mendalam segala bentuk aksi barbarisme yang ditampilkan kalangan pelajar beberapa hari terkahir ini, membuat semua kalangan meradang, termasuk Menteri pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh. Saling tuding dan saling lempar tanggungjawab seakan telah menjadi lagu wajib ketiak ada persoalan yang menimpa institusi yang mereka pimpin. Krisis tauladan dan krisis karakter benar terjadi dan ditampilkan secara langsung kehadapan public. Semua orang tua dan anak didik berharap untuk dapat mengarungi kehidupnya dengan wajar, tentunya membutuhkan pendidikan yang baik. Sederhanya, setiap anak pasti membutuhkan latihan-latihan tertentu untuk sekedar dapat berjalan, membutuhkan latihan-latihan tertentu pula untuk dapat mengenali lingkungn tempat tinggalnya. Seluruh rangkaian latihan-latihan itulah yang disebut pendididkan. Oleh sebab itulah pendidikan menjadi sangat penting bagi kehidupan suatu manusia, terlebih bagi manusia yang hidup di era globalisasi.
Senada dengan maraknya aksi barbarisme pelajar, Mahatma Gandhi sang Inspirator pantang Kekerasan berpandangan terkait dengan pendidikan, Yang saya maksudkan dengan pendidikan ialah menampilkan sifat-sifat terbaik secara menyeluruh yang ada dalam kepribadian seseorang anak atau manusia –yaitu tubuh, akal, dan jiwa. Kepandaian membaca dan menulis bukan merupakan tujuan akhir, bahkan bukan juga tujuan awal dari pendidikan. Melek aksara hanyalah merupakan salah satu sarana untuk memungkinkan pendididkan seorang pria atau wanita. Kepandaian membaca dan menulis, bukan merupakan pendidikan. Maka saya lebih setuju bila pendidikan seorang anak dinilai dengan mengajar suatu cabang kerajinan tangan dan memungkinkan murid itu menghasilkan barang dari saat awal pendidikannya,” (baca: Gandhi Otobiografi.hal.9) menurut Gandhi, penerapan pendidikan yang baik dan bermoral perlu dilakukan sejak awal sang anak mengikuti proses pendidikan. Oleh karena itu, penerapan pendidikan yang baik terhadap anak perlu di jalankan sehingga anak tidak sekedar mampu menirukan apa yang di ajarkan tetapi mampu mempraktikan apa yang sudah dia terima. Sehingga sega bentuk aksi barbar tersebut dapat diindahkan, sebab Gandhi meyakini bahwa semua manusia itu sama dan cinta damai. Apabila terjadi kekerasan, berarti ada hal yang salah dalam pola pengajaran di lingkungan sekolah sang Anak
Pendidikan Hayalan
Tat kala Ivan Ilich, menginspirasi dunia dengan semangat bebaskan masyarakat dari belenggu sekolah. Membuat para penggiat pendidikan meradang, lalu marah. Argumentasi Ilich sederhana, banyak murid yang miskin secara intuitif, tahu apa yang dilakukan sekolah kepada mereka sekolah membuat mereka tidak mampu membedakan proses dan substansi. Begitu kedua hal ini, proses dan substansi dicampur adukan, akan muncul logika baru, semakin banyak pengajaran semakin banyak pula hasilnya. Atau menambah materi pengetahuan akan menjamin keberhasilan. Akibatnya murid menyamakan pengajaran dengan belajar, naik kelas dengan pendidikan, ijazah dengan kemampuan, dan kefasihan berceloteh dengan kemampuan mengungkapkan sesuatu hal yang baru. Anak dibiasakan mendapatkan pelayanan bukannya nilai. (baca, Ilich, Ivan, hal.1), Akan tetapi ide semacam itu justru mendapat posisi tertinggi di jiwa kaum cendikiawan dunia. Ilich, memang tidak sekedar basa-basi dalam hal ini. Ungkapan yang serius dan menggigit diarahkan langsung kepada para penguasa yang menghegomoni pendidikan.
Berbeda dengan Ilich, seorang pemikir besar, Paulo Freire, menawarkan gagasan yang revolusioner terkait dengan penerapan dan pelaksanaan pendidikan untuk masyarakat. Pendidikan bagi kaum tertindas, Menurutnya, Pendidikan haruslah berorientasi pada humanisasi diri yang dinyatakan dalam usaha pengenalan realitas diri manusia dan dunia. Apa yang dipaparkan Freire tersebut, merupakan kritik terhadap penerapan sistem pendidikan yang dinilainya diskriminasi dan jauh dari proses memanusiakan manusia di Brazil. Freire menambahkan, Ide mengenai pendidikan bagi kaum tertindas dengan tujuan rehumanisasi manusia baik yang tertindas maupun penindasnya ini dimanifestasikan oleh Freire dalam rancangan sistem pendidikan yang dinamainya ‘problem-posing education’. Dalam bentuk ini, pendidikan dihadirkan dalam hubungan ‘partnership’ antara guru dan murid, di mana keduanya mampu saling memacu kreativitas dan kekritisan yang mendorong munculnya kesadaran.
Dominasi guru yang diasumsikan mengetahui segala hal lalu membagikannya pada siswa diminimalisir, sebab metode semacam ini dimaknai sebagai tindakan yang meletakkan siswa pada posisi tertindas. Problem-posing education memotivasi siswa menjadi pemikir yang kritis dan membuka seluas-luasnya kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan kreativitas pribadinya. Pendidikan yang ditawarkan Freire ini mencoba kemampuan individu-individu untuk mengembangkan diri mereka untuk memikirkan secara kritis eksistensinya di dunia dan merasa menguasai pemikirannya dengan berdiskusi pikiran tersebut, serta memanifestasi pandangannyaa tentang dunia, baik secara eksplisit maupun implisit dengan pendapatnya sendiri.
Gagasan monumental yang ditorehkan Ilich dan Paulo Freire di atas menjadi satu gambaran dan kritik terbuka kepada kita hari ini, di mana, proses pelaksanaan pendidikan yang dilakukan di Indonesia terkesan jauh dari harapan yang ada. Pendidikan sepatutnya menjadi saran pencerdasan, pendalaman keilmuan serta memanusiakan manusia, sungguh berbeda dalam ranah implentasi/prakteknya dalam realitasnya. Sehingga murid tidak berada dalam pendidikan yang bersifat khayalan/ilusi. Seandainya, pendidikan sekedar menjadi mentransfer ilmu, belum tentu mendorong siswa mencapai tahap kesadaran. Sebab kesadaran tak semata tercerahkan melalui proses transfer ilmu secara formal di dalam kelas.
Praktek semacam inilah, yang sekarang dapat kita jumpai di dalam praktek pendidikan di lingkungan kita berada. Di setiap ruang kota, tawuran. Tawuran atau Tubir adalah istilah yang sering digunakanmasyarakatIndonesia, khususnya di kota-kota besar ebagai perkelahian atau tindak kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok atau suatu rumpun masyarakat. Sebab tawuran ada beragam, mulai dari hal sepele sampai hal-hal serius yang menjurus pada tindakan bentrok. Praktik tawuran yang dilakukan para kelompk terdidik semacam ini telah menjadi budaya atau trend yang lumrah adanya. Ironisnya, tawuran yang secara realitas selalu melibatkan sekelompk orang di luar dari dunia pendidikan, seperti premanisme, huru-hara dan aksi massa. Tetapi sekarang berpindah profesi dan tempat kedalam ruang pendidikan. Ini yang seringkali membuat dunia pendidikan kita seperti khayalan. Hal ini tidak selaras dengan pencanangan pemerintah terkait dengan peningkatan kualitas pendidikan serta di topang dengan alokasi anggaran 20% untuk pendidikan.
Dari beragam aksi tawuran yang melibatkan para pelajar dan mahasiswa, Ilich, berpandangan dengan peningkatan tujuan untuk perbaikan sistem pendidikan dan bertambahnya alokasi anggaran, untuk bergantung kepada alokasi sumber daya lebih besar untuk lembaga sekolah. Sebab masyarakat pada hakikatnya menganggap bahwa sekolah salah satunya lembaga pendidikan. Oleh sebab itu, tidak semata pendidikan formal yang di bangun, tetapi perlu memhami realitas sosial masyarakat yang perlu dijadikan sebagai instrument menggagas nilai-nilai dalam sekolah. Berbeda dengan Ilich, Freire, menganggap sikap yang menjurus pada kekerasan atau perilakum menyimpang. Ferire menyamakan gaya pendidikan semacam ini seperti pendidikan gaya bank, sebab dalam proses belajar mengajar guru tidak memberikan pengertian kepada anak didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika diperlukan. Anak didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah pengetahuan, tetapi pada akhirnya nara didik itu sendiri yang “disimpan” sebab miskinnya daya cipta. Karena itu pendidikan gaya bank menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap sesamanya manusia.
Pendidikan Alat Kesadaran
Menyoal tindakan kekerasan (tawuran antar pelajar) yang marak dan telah menjadi budaya, kita tentunya prihatin dengan perubahan perilaku anak sekolah (terdidik) menggemari kekerasan. Alternative penyelesaian persoalan setidaknya dalam kalangan orang yang berpendidikan sepatutnya lebih mengedepankan kesadaran (rasionalitas) atau intelektualitasnya ketimbang menggunakan kekerasan, sehingga dapat merugikan diri mereka sendiri maupun masyarakat di lingkungan di mana sekolah atau lokasi tawuran itu terjadi. Kasus tawuran pelajar di wilayah Jabodetabek pada tahun ini meningkat dibandingkan tahun 2011. Menurut data KPAI hingga bulan September 2012 ini, kasus tawuran antar pelajar di Jabodetabek tercatat sebanyak 301 kasus, sementara pada 2011 hanya sebanyak 96 kasus. Dari 301 kasus tawuran itu, terdapat korban meninggal dunia sebanyak 17 pelajar, luka berat 39 pelajar dan luka ringan 48 pelajar. (data:KPAI-September 2012)
Menghindari lembaga pendidikan/sekolah disetarakan dengan dunia kaum barbar, yang mana, perilaku siswa/anak didik yang pada prinsip-buruknya menampilkan sikap barbarism-kekerasan yang mana secara langsung menggugurkan prinsip etis pendidkan sebagai lembaga pencerahan maka perlu kita pahami tawaran apik Freire terkait dengan bagaimana idealnya proses penyadaran itu dilakukan. Pendidikan hadap-masalah sebagai pendidikan alternatif yang ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi dan politik16. Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang dihadapi dan diharapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri nara didik. Freire membagi empat tingkatan kesadaran manusia, yaitu
1) Kesadaran intransitif dimana seseorang hanya terikat pada kebutuhan jasmani, tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang menindas.
2) Kesadaran semi intransitif atau kesadaran magis. Kesadaran ini terjadi dalam masyarakat berbudaya bisu, dimana masyarakatnya tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistis. Hidup berarti hidup di bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
3) Kesadaran Naif. Pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih ditandai dengan sikap yang primitif dan naif, seperti: mengindentifikasikan diri dengan elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan dialog.
4) Kesadaran kritis transitif. Kesadaran kritis transitif ditandai dengan kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan sebab akibat.
Jika merujuk pada apa yang ditawarkan Feraire tersebut, kita tentu kian menyadari bahwa apabila pendidikan yang dilakukan tidak meletakan pada dasar filosofinya sebagai proses alternative menciptakan kesadaran manusia. Maka secara langsung dapat dikatakan gagal, oleh karena itu, apabila terjadinya aksi kekerasan dalam bentuk taeuran ataupun penyimpangan moralitas dan lain-lain, secara empiric gagal. Di lain pihak, pendidikan tidak semata mengaktualisasi metodologi yang bersifat teoritik tetapi juga perlu dikembangkan sistem pencerahan langsung antara pendidik dan anak didik dan diwarnai dengan semangat kasih saying yang memanusiakan anak didik. Sehingga segala macam alternatif kesadaran yang di paparkan Freire tersebut dapat di wujudkan. Sebab, Sosiolog, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, hal yang dominan mempengaruhi perubahan perilaku manusia adalah lingkungan.
Unas, 28 September 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar