Laman

Senin, 23 Mei 2016

MEMBONGKAR PRAKTIK BUDAYA KEKERASAN

MEMBONGKAR PRAKTIK BUDAYA KEKERASAN

Oleh: Kamaruddin Salim

Budaya kekerasan setiap detik dipertontonkan kehadapan publik (masyarakat) tanpa henti dan liar dari seluruh penjuru bumi, seakan harga nyawa manusia tak ada nilainya.

            Proses kehidupan di Era Moderniasi sekarang, terkesan liar dan bringas. Kekerasan yang masif terjadi yang ditandai dengan kian tingginya mobilitas kehidupan masyarakat dunia. Disamping itu, beralih fungsi pola/praktik ekonomi masyarakat agraris menuju masyarakat industrialisasi menumbulkan peningkatan kehidupan yang pesat dan gila. Sempitnya ruang publik serta menjamurnya berbagai komunitas masyarakat dunia yang dilebelkan dengan semangat globalisasi menunjukan bahwa masyarakat mentranfomasikan dirinya menuju perubahan tata kehidupan yang baru.
            Proses transformasi kehidupan masyarakat dunia bersama dengan eksistensi diri kelompok menunjukan miningkatnya persaingan ketat dalam masyarakat. Hal itulah yang menimbulkan sederetan konflik sosial yang tinggi diantara masyarakat. Dan ragam persoalan dapat di saksikan dalam ranah kehidupan real masyarakat dunia. Beragam persoalan masyarakat dunia tersebut tentunya melahirkan konflik yang bersifat kekerasan tak berujung, sehingga hegemoni kekuasaan kelompok dominan atas kelompok yang lemah tak terhindarkan. Fenomena semacam ini pada akhirnya dianggap biasa dalam masyarakat.
            Budaya kekerasan pada akhirnya terus dipeliharan dan diberdayakan demi cita-cita kepentingan politik dan ekonomi para kelompok yang berkepentingan. Kaitan dengan hal tersebut, Johan Galtung memaparkan bahwa kekerasan yang berkembang dalam masyarakat sesungguhnya kekerasan budaya. Di mana, kekerasan budaya tersebut terjadi dalam setiap harinya dan dianggap biasa. Hal ini dapat terlihat dengan pertentangan penggunaan bahasa, simbol-simbol  ideologi sampai pada pembunuhan atas nama negara sebagai suatu yang benar, dan pembunuhan atas nama pribadi dianggap suatu kesalahan. Pernyataan Galtung tersebut menunjukan bahwa, kekerasan budaya yang pada akhirnya menjadi suatu pembiasaan atau dianggap sebagai suatu hal yang lumrah, tentunya menunjukkan manusia hilang sisi kemanusiaannya. Apalagi kekerasan itu dipaktikan oleh Negara ataupun para pemegang kekuasaan.
     Johan Galtung mendefinisikan kekerasan budaya berarti aspek-aspek budaya, yaitu ruang simbolik keberadaan kita, yang dicontohkan oleh agama dan ideologi, bahasa, seni, ilmu empirik, dan ilmu formal (logika, matematika), yang dapat dipakai untuk menjelaskan atau untuk melegitimasi kekerasan langsung atau kekerasan struktural. Bintang-bintang, kayu salib, dan bulan sabit, bendera, nyanyian gereja, dan parade militer; potret pimpinan; ceramah dan poster, semua ini tergambarkan dalam pikiran masyarakat. Kekerasan mencari negasinya, jika lawan bicara dari kekerasan adalah perdamaian, yang menjadi pokok persoalan dari penelitian mengenai perdamaian atau studi perdamaian, maka lawan maupun kebalikan dari kekerasan budaya adalah perdamaian budaya. (Thomas Santoso, Teori-teori Kekerasan.168-169).
Seandainya budaya kekerasan yang kian hari mewarnai tata kehidupan masyarakat dunia, seperti yang  terjadi dialami muslim Rohingya, Arakan, Myanmar, Perang Saudara di Suriah, Libya, Israel-Palestina, Irak, Afganistan, Mexico, Mesir, Yaman, Pakistan, Spanyol, Yunani, Sudan dan tanpa kecuali kekerasan yang terjadi di Indonesia. Data  sepanjang enam semester awal 2012 terjadi 139 tawuran antar pelajar di Indonesia. Angka ini sedikit lebih banyak dari periode yang sama pada tahun sebelumnya. Yang memprihatinkan, 12 anak meninggal akibat tawuran. http://news.detik.com/read/2012. Data pemerintah tahun 2011 menyebutkan, dari 6,5 juta kasus kekerasan terhadap anak, lebih dari 1,7 juta kasus merupakan kasus eksploitasi anak dalam klasifikasi buruk, termasuk di dalamnya kasus anak bekerja pada tempat hiburan malam, pembantu rumah tangga, pekerja tambang, dan di tengah laut. Namun dari 1,7 juta kasus, pemerintah hanya mampu menangani 11 ribu kasus per tahunnya. http://www.merdeka.com.  Dari data media massa yang disajikan tersebut, tentunya belum terdapat kasus kekerasan lain yang terjadi di Negara ini, termasuk kasus perebutan lahan, kasus penggusuran pemukiman warga masyarakat sampai kasus kemiskinan dan kesehatan.
 Ragam kasus kekerasan yang terjadi disegenap penjuru bumi dengan berbagai praktiknya menunjukan bahwa kehidupan masyarakat penuh dengan rasa dendam, amarah terstruktur serta matinya harmonisasi budaya damani dalam masyarakat. Di mana, dalam lingkungan sosial  masyarakat nehu dengan aroma darah dan kebencian. Sehingga sulit bagi masyarakat untuk saling percaya dalam satu sikap kehidupan yang selaras dan damai. Jika hal ini terus terjadi dalam proses kehidupan masyarakat dunia maka organisasi perdamaian dunia (PBB0 telah gagal sebagai pionir dalam menjaga prose perdamaian di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar