Laman

Rabu, 18 Mei 2016

FRANCOIS RAILLON: POLITIK DAN IDEOLOGI MAHASISWA INDONESIA “PEMBENTUKAN DAN KONSOLIDASI ORDE BARU 1966-1974 BAB I (REVIEW TENTANG LATAR BELAKANG KELAHIRAN MAHASISWA INDONESIA

CRITIKAL REVIEW IV
FRANCOIS RAILLON: POLITIK DAN IDEOLOGI MAHASISWA INDONESIA “PEMBENTUKAN DAN KONSOLIDASI ORDE BARU 1966-1974 BAB I
(REVIEW TENTANG LATAR BELAKANG KELAHIRAN MAHASISWA INDONESIA
Oleh: Kamaruddin Salim

 Francois menguraikan tentang munculnya media massa yang bernama mahasiswa Indonesia. Menurutnya kelahiran media massa tersebut erat kaitannya dengan kebangkitan angkatan 66 dimana mahasiswa Indonesia menjadi salah satu juru bicaranya. Disamping itu, ia juga tak dapat dipisahkan dari ciri-ciri khas kota bandung tempatnya dilahirkan. 
Francois menyebutkan bahwa visi yang agak bersifat “kekeluragaan” dari sejarah Indonesia itu mulanya muncul bersama Angkatan 1908 yang ditandai dengan bangkitnya nasionalisme. Lalu disusul dengan Angkatan 1928 sebagai generasi “Sumpah Pemuda” Angkatan ‘45, yaitu Angkatan Kemerdekaan, meneruskannya. Akhirnya muncul Angkatan ’66 yang melahirkan Orde Baru.
Konsepsi generasi muda diwujudkan dalam kesatuan kelompok umur yang memiliki cita-cita, bahkan sebagian dihubungkan dengan usia muda. Dengan memiliki hubungan dialektis positif antar generasi yang menghasilkan kemajuan. Para pemuda yang berusia antara 15 sampai dengan 30 tahun itu disatukan karena usia dan cita-cita kemerdekaan, telah menjadi – atau melihat diri mereka – semacam ujung tombak revolusi fisik.
Akan tetapi ketika kemerdekaan dicapai dan diakui oleh dunia di tahun 1949, Angkatan ’45 tidak lagi menjadi satu kelompok yang menyatukan orang-orang yang berusia hampir sama dan memiliki cita-cita yang serupa. Tokoh-tokoh Angkatan 45 sebagian masuk kedalam lingkaran kekuasaan dan menjadi bagian dari kekuatan politik di tahun-tahun ’50-’60-an dan ada sebagian dari mereka yang tak berhasil masuk kedalam lingkaran kekuasaan - mengambil sikap oposisi terhadap Soekarno pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin, mereka mencela orientasi dan keabsahan rezim Soekarno.
Oposisi terhadap rezim Demokrasi Terpimpin itu datang dari dua kekuatan: yang pertama berasal dari tokoh-tokoh anti Soekarno di Angkatan Darat; yang kedua datang dari partai-partai yang dilarang di bulan Agustus 1960 yakni setelah terjadinya pemberontakan PRRI. Tokoh-tokoh Angkatan Darat yang anti Soekarno itu bergabung dengan anggota atau simpatisan partai-partai politik terlarang. Diantara mereka sendiri memang sering sudah terjalin hubungan pribadi. Sehingga terjadi pemberontakan PRRI pada tahun 1958 sampai dengan tahun 1960 dan Partai Masyumi juga Partai Sosialis Indonesia.
Disatu pihak terjadi radikalisasi politik di kalangan mahasiswa di pertengahan tahun 60-an dan dipihak lain adanya peristiwa-peristiwa di akhir tahun ’65 dan awal ’66 yang memunculkan para mahasiswa di arena politik, berbarengan dengan pengalihan kekuasaan kepada militer. Francois menyebutkan bila sebelumnya universitas merupakan satu kelompok social yang sedikit sekali terpolitisir dan hanya ditugaskan untuk mencetak elite Indonesia maka kini ia berubah menjadi satu ajang pertempuran politik.
Francois mengemukakan bahwa secara sistematis setiap partai politik menciptakan organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi pada mereka. Dengan demikian mereka mulai memasukkan elemen-elemen pertama dalam debat politik dikalangan mahasiswa.
Salah satu organisasi yang melakukan perlawanan adalah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) disatu pihak melwan pengaruh universitas-universitas Amerika di pihak lain. Lekra mempunyai pengaruh yang besar sekali dalam kehidupan intelektual Indonesia waktu itu. Mereka memaksakan pandangan-pandangan merka dalam bidang kesenian, kesusasteraan- “romantisme revolusioner”. Mereka anti nilai-nilai kebudayaan non Indonesia. Mereka mengutuk “chauvinism, fasisme dan kosmopolitisme”. Namun hal ini mendapat perlawanan dari kaum sosialis kanan yang kemudian melahirkan satu manifesto kebudayaan yang disngkat Manikebu.
Sepanjang tahun ’50-an dan bahkan pada masa Demokrasi Terpimpin berbagai program kerjasama kebudayaan yang dibiayai oleh pemerintah Amerika Serikat atau Ford Foundation dan Rockefeller Foundation telah mempengaruhi pengajar dan mahasiswa untuk melakukan gerakan anti komunis. Salah satu factor utama dalam politisasi dan radikalisasi mahasiswa itu ialah adanya evolusi kondisi material dalam kehidupan mahasiswa. Ditambah lagi kesukaran-kesukaran ekonomi seperti kenaikan harga buku, transportasi, tariff pengobatan, sewa tempat tinggal, mahalnya uang kuliah, uang ujian dan juga makin meningkatnya ongkos hidup secara umum, membawa pengaruh tak kecil bagi mahasiswa. Hingga dengan sendirinya mahasiswa menjadi juru bicara rakyat.
Kekuasaan berganti setelah gagalnya Kudeta 30 September 1965. Secara bertahap Jendral Soeharto menggantikan Presiden Soekarno sebagai kepala negara. Pada awal terbentuknya Orde Baru, mahasiswa merupakan sekutu Angkatan Darat dalam proses transisi kekuasaan politik nasional. Implementasi strategi Angkatan Darat guna menghadapi Partai Komunis Indonesia (PKI) diwujudkan dengan merangkul aktivis mahasiswa anti-komunis ke dalam pengaruh mereka dan berdirilah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Mahasiswa anti-komunis ini juga tengah menghadapi masalah akibat agresivitas organ-organ prokomunis atau pro-Soekarno seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Kesamaan common enemy (musuh bersama) yaitu PKI inilah yang kemudian memperlancar terjalinnya aliansi taktis Angkatan Darat dengan KAMI.
Berbagai aksi dilakukan dalam rangka  merubah keadaan tersebut. Mahasiswa mendapat dukungan dari militer yang dipimpin oleh Soeharto yang tentu saja bukanlah sebuah keikhlasan militer itu sendiri tetapi sebagai bagian dari struggle power (pertarungan kekuasaan) yang tidak disadari mahasiswa sendiri. Pada tanggal 16 Februari 1966, Soekarno melakukan reshufle kabinet dwikora dengan orang-orang yang punya cacat dan tidak kompeten dalam menjalankan tugas. Lalu terjadilah aksi oleh KAMI beserta Kesatuan Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI)  dengan tuntutan segera melaksanakan Tritura.
KAMI mencoba membangun organisasi dan memerkuat diri mereka dengan menerbitkan sebuah Koran sendiri. Pers Indonesia merasakan pengaruh perubahan rezim sejak hari-hari pertama Oktober 1965. Namun setelah 30 September, sekitar 30 penerbitan pers dilarang karena dituduh mendukung kudeta Kolonel Untung. Akan tetapi Koran-koran seperti Kompas (Katolik), Sinar Harapan (Protestan), dan Duta Maysarakat (NU) terus terbit.
Pada tahun 1968 lahirlah kembali, Aadi (organ Masyumi), Pedoman milik Rosihan Anwar (tendensi PSI) dan Indonesia Raya milik Mochtar Lubis (independen). Pembaruan per situ ditandai dengan peranan dari dua kategori penerbitan : pers militer dan pers Angkatan ’66. Menurut R.K. Paget kedudukan mereka diantaranya:
-          Angkatan ’66 yang diterbitkan dengan maksud “yang tampaknya untuk meyakinkan Angkatan 45 supaya mendukung penuh kehadiran Angkatan ’66.”
-          Angkatan Baru, diterbitkan HMI organisasi mahasiswa yang dianggap berafiliasi dengan bekas Partai Masyumi. Koran ini termasuk yang paling giat melancarkan kampanye anti Soekarno diakhir tahun 1966.
-          Harian KAMI yang dipimpin Nono Anwar Makarim. Dengan cepat harian ini menjadi sebuah Koran nasional berkat hubungannya dengan KAMI dan juga disebabkan “oleh segarnya pendekatan editorial mereka”. Harian KAMI pernah dicurigai “karena mutu intelektual dan keterbukaannya” pada dunia luar “sebagai dipengaruhi oleh bekas anggota-anggota PSI”.
-          Dan paling akhir ialah Mahasiswa Indonesia edisi Jawa Barat yang paling menarik perhatian kami. Mingguan ini dengan cepat memiliki “reputasi sebagai Koran intelektual yang bermutu tinggi.
Sementara itu, menurut Feith bahwa pemikiran politik modern (pemuda) di Indonesia diawali oleh bangkitnya nasionalisme modern. Hal itu dimulai antara tahun 1900-an dan 1910-an, dengan munculnya sekelompok kecil mahasiswa dan cendikiawan muda yang memandang dunia modern sebagai tantangan terhadap masyarakat dan menganggap diri mereka sebagai pemimpin potensial di masa yangakan datang…, Dalam tahun-tahun 1920-an jumlah mereka (pemuda-pen) meningkat agak pesat, begitu pula alienasi mereka terhadap kekuasaan kolonial; banyak di antara mereka ,khususnya yang menuntut ilmu di luar negeri, dipengaruhi oleh pelbagai ideologi sepertisosialisme, komunisme, reformisme Islam, dan nasionalisme India, China, dan Jepang.[1]




[1]     Feith, Herbert. Lance Castles (ed). 1995.Pemikiran Politik Indonesia: 1945-1965 . Jakarta: LP3ES. Hal. 3-4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar