CRITIKAL
REVIEW IV
FRANCOIS RAILLON:
POLITIK DAN IDEOLOGI MAHASISWA INDONESIA “PEMBENTUKAN DAN KONSOLIDASI ORDE BARU
1966-1974 BAB I
(REVIEW TENTANG
LATAR BELAKANG KELAHIRAN MAHASISWA INDONESIA
Oleh: Kamaruddin Salim
Francois menguraikan tentang munculnya media massa yang
bernama mahasiswa Indonesia. Menurutnya kelahiran media massa tersebut erat
kaitannya dengan kebangkitan angkatan 66 dimana mahasiswa Indonesia menjadi
salah satu juru bicaranya. Disamping itu, ia juga tak dapat dipisahkan dari
ciri-ciri khas kota bandung tempatnya dilahirkan.
Francois menyebutkan bahwa visi yang agak bersifat “kekeluragaan”
dari sejarah Indonesia itu mulanya muncul bersama Angkatan 1908 yang ditandai
dengan bangkitnya nasionalisme. Lalu disusul dengan Angkatan 1928 sebagai
generasi “Sumpah Pemuda” Angkatan ‘45, yaitu Angkatan Kemerdekaan,
meneruskannya. Akhirnya muncul Angkatan ’66 yang melahirkan Orde Baru.
Konsepsi generasi muda diwujudkan dalam kesatuan kelompok
umur yang memiliki cita-cita, bahkan sebagian dihubungkan dengan usia muda.
Dengan memiliki hubungan dialektis positif antar generasi yang menghasilkan
kemajuan. Para pemuda yang berusia antara 15 sampai dengan 30 tahun itu
disatukan karena usia dan cita-cita kemerdekaan, telah menjadi – atau melihat
diri mereka – semacam ujung tombak revolusi fisik.
Akan tetapi ketika kemerdekaan dicapai dan diakui oleh dunia
di tahun 1949, Angkatan ’45 tidak lagi menjadi satu kelompok yang menyatukan
orang-orang yang berusia hampir sama dan memiliki cita-cita yang serupa. Tokoh-tokoh
Angkatan 45 sebagian masuk kedalam lingkaran kekuasaan dan menjadi bagian dari
kekuatan politik di tahun-tahun ’50-’60-an dan ada sebagian dari mereka yang
tak berhasil masuk kedalam lingkaran kekuasaan - mengambil sikap oposisi
terhadap Soekarno pada masa pemerintahan Demokrasi Terpimpin, mereka mencela
orientasi dan keabsahan rezim Soekarno.
Oposisi terhadap rezim Demokrasi Terpimpin itu datang dari
dua kekuatan: yang pertama berasal dari tokoh-tokoh anti Soekarno di Angkatan
Darat; yang kedua datang dari partai-partai yang dilarang di bulan Agustus 1960
yakni setelah terjadinya pemberontakan PRRI. Tokoh-tokoh Angkatan Darat yang
anti Soekarno itu bergabung dengan anggota atau simpatisan partai-partai
politik terlarang. Diantara mereka sendiri memang sering sudah terjalin
hubungan pribadi. Sehingga terjadi pemberontakan PRRI pada tahun 1958 sampai
dengan tahun 1960 dan Partai Masyumi juga Partai Sosialis Indonesia.
Disatu pihak terjadi radikalisasi politik di kalangan
mahasiswa di pertengahan tahun 60-an dan dipihak lain adanya
peristiwa-peristiwa di akhir tahun ’65 dan awal ’66 yang memunculkan para
mahasiswa di arena politik, berbarengan dengan pengalihan kekuasaan kepada
militer. Francois menyebutkan bila sebelumnya universitas merupakan satu
kelompok social yang sedikit sekali terpolitisir dan hanya ditugaskan untuk
mencetak elite Indonesia maka kini ia berubah menjadi satu ajang pertempuran
politik.
Francois mengemukakan bahwa secara sistematis setiap partai
politik menciptakan organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi pada mereka.
Dengan demikian mereka mulai memasukkan elemen-elemen pertama dalam debat
politik dikalangan mahasiswa.
Salah satu organisasi yang melakukan perlawanan adalah
Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) disatu pihak melwan pengaruh
universitas-universitas Amerika di pihak lain. Lekra mempunyai pengaruh yang
besar sekali dalam kehidupan intelektual Indonesia waktu itu. Mereka memaksakan
pandangan-pandangan merka dalam bidang kesenian, kesusasteraan- “romantisme
revolusioner”. Mereka anti nilai-nilai kebudayaan non Indonesia. Mereka
mengutuk “chauvinism, fasisme dan kosmopolitisme”. Namun hal ini mendapat
perlawanan dari kaum sosialis kanan yang kemudian melahirkan satu manifesto
kebudayaan yang disngkat Manikebu.
Sepanjang tahun ’50-an dan bahkan pada masa Demokrasi
Terpimpin berbagai program kerjasama kebudayaan yang dibiayai oleh pemerintah
Amerika Serikat atau Ford Foundation dan Rockefeller Foundation telah
mempengaruhi pengajar dan mahasiswa untuk melakukan gerakan anti komunis. Salah
satu factor utama dalam politisasi dan radikalisasi mahasiswa itu ialah adanya
evolusi kondisi material dalam kehidupan mahasiswa. Ditambah lagi
kesukaran-kesukaran ekonomi seperti kenaikan harga buku, transportasi, tariff
pengobatan, sewa tempat tinggal, mahalnya uang kuliah, uang ujian dan juga
makin meningkatnya ongkos hidup secara umum, membawa pengaruh tak kecil bagi
mahasiswa. Hingga dengan sendirinya mahasiswa menjadi juru bicara rakyat.
Kekuasaan berganti setelah gagalnya Kudeta 30 September
1965. Secara bertahap Jendral Soeharto menggantikan Presiden Soekarno sebagai
kepala negara. Pada awal terbentuknya Orde Baru, mahasiswa merupakan sekutu
Angkatan Darat dalam proses transisi kekuasaan politik nasional. Implementasi
strategi Angkatan Darat guna menghadapi Partai Komunis Indonesia (PKI)
diwujudkan dengan merangkul aktivis mahasiswa anti-komunis ke dalam pengaruh
mereka dan berdirilah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Mahasiswa
anti-komunis ini juga tengah menghadapi masalah akibat agresivitas organ-organ
prokomunis atau pro-Soekarno seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Kesamaan common enemy
(musuh bersama) yaitu PKI inilah yang kemudian memperlancar terjalinnya aliansi
taktis Angkatan Darat dengan KAMI.
Berbagai aksi dilakukan dalam rangka merubah keadaan tersebut. Mahasiswa mendapat
dukungan dari militer yang dipimpin oleh Soeharto yang tentu saja bukanlah
sebuah keikhlasan militer itu sendiri tetapi sebagai bagian dari struggle power (pertarungan kekuasaan)
yang tidak disadari mahasiswa sendiri. Pada tanggal 16 Februari 1966, Soekarno
melakukan reshufle kabinet dwikora dengan orang-orang yang punya cacat dan
tidak kompeten dalam menjalankan tugas. Lalu terjadilah aksi oleh KAMI beserta
Kesatuan Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI)
dengan tuntutan segera melaksanakan Tritura.
KAMI mencoba membangun organisasi dan memerkuat diri mereka
dengan menerbitkan sebuah Koran sendiri. Pers Indonesia merasakan pengaruh
perubahan rezim sejak hari-hari pertama Oktober 1965. Namun setelah 30
September, sekitar 30 penerbitan pers dilarang karena dituduh mendukung kudeta Kolonel
Untung. Akan tetapi Koran-koran seperti Kompas (Katolik), Sinar Harapan
(Protestan), dan Duta Maysarakat (NU) terus terbit.
Pada tahun 1968 lahirlah kembali, Aadi (organ Masyumi),
Pedoman milik Rosihan Anwar (tendensi PSI) dan Indonesia Raya milik Mochtar
Lubis (independen). Pembaruan per situ ditandai dengan peranan dari dua
kategori penerbitan : pers militer dan pers Angkatan ’66. Menurut R.K. Paget
kedudukan mereka diantaranya:
-
Angkatan ’66 yang diterbitkan dengan
maksud “yang tampaknya untuk meyakinkan Angkatan 45 supaya mendukung penuh
kehadiran Angkatan ’66.”
-
Angkatan Baru, diterbitkan HMI
organisasi mahasiswa yang dianggap berafiliasi dengan bekas Partai Masyumi.
Koran ini termasuk yang paling giat melancarkan kampanye anti Soekarno diakhir
tahun 1966.
-
Harian KAMI yang dipimpin Nono Anwar
Makarim. Dengan cepat harian ini menjadi sebuah Koran nasional berkat
hubungannya dengan KAMI dan juga disebabkan “oleh segarnya pendekatan editorial
mereka”. Harian KAMI pernah dicurigai “karena mutu intelektual dan
keterbukaannya” pada dunia luar “sebagai dipengaruhi oleh bekas anggota-anggota
PSI”.
-
Dan paling akhir ialah Mahasiswa
Indonesia edisi Jawa Barat yang paling menarik perhatian kami. Mingguan ini
dengan cepat memiliki “reputasi sebagai Koran intelektual yang bermutu tinggi.
Sementara
itu, menurut Feith bahwa pemikiran politik modern (pemuda) di Indonesia diawali
oleh bangkitnya nasionalisme modern. Hal itu dimulai antara tahun 1900-an dan
1910-an, dengan munculnya sekelompok kecil mahasiswa dan cendikiawan muda yang
memandang dunia modern sebagai tantangan terhadap masyarakat dan menganggap
diri mereka sebagai pemimpin potensial di masa yangakan datang…, Dalam
tahun-tahun 1920-an jumlah mereka (pemuda-pen) meningkat agak pesat, begitu
pula alienasi mereka terhadap kekuasaan kolonial; banyak di antara mereka
,khususnya yang menuntut ilmu di luar negeri, dipengaruhi oleh pelbagai
ideologi sepertisosialisme, komunisme, reformisme Islam, dan nasionalisme
India, China, dan Jepang.[1]
[1] Feith,
Herbert. Lance Castles (ed). 1995.Pemikiran Politik Indonesia: 1945-1965 .
Jakarta: LP3ES. Hal. 3-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar