Laman

Rabu, 18 Mei 2016

DELIAR NOER: PENGANTAR KE PEMIKIRAN POLITIK EDISI BARU BAB II (REVIEW: SATU DUA PEMIKIRAN TENTANG HIDUP BERNEGARA DI INDONESIA)

CRITIKAL REVIEW III
DELIAR NOER: PENGANTAR KE PEMIKIRAN POLITIK EDISI BARU BAB II
(REVIEW: SATU DUA PEMIKIRAN TENTANG HIDUP BERNEGARA DI INDONESIA)
Oleh: Kamaruddin Salim 

Pemikiran-pemikiran tentang politik dan negara di negeri kita bukanlah sebenarnya soal yang baru. Benar bahwa pemikiran itu lebih dirasakan oleh generasi-generasi yang bergerak dan hidup dalam abad ke-20 ini. Bahwa pemikiran itu ada, sebenarnya dapat juga dilihat dari adanya susunan masyarakat yang tertentu di suatu wilayah, baik itu berupa negara kecil atau besar. Bila kita selidiki sifat dan bentuk negara di negeri kita sebelum Belanda menguasai Nusantara kita ini, maka yang dikenal hanyalah kerajaan saja. Tetapi haruslah diakui bahwa pemikiran yang khusus tentang politik dan negara tidaklah terdapat kala itu. Pemikiran dalam bidang tersebut bercampur dengan segala macam segi kehidupan dari masyarakat dan agama.
Penjabaran yang ditulis oleh Deliar Noer tentang pemikiran-pemikiran politik sebelum Belanda menguasai nusantara sebagaimana disebelah Barat dahulu tidak pula semata-mata membicarakan politik secara khusus, dan kalau pun ada kitab-kitab mereka yang menyebutkan politik itu secara khusus (terutama karena memang istilah politik berasal dari mereka), namun senantiasa buah pikiran dan tulisan mereka itu bercampur dengan aspek-aspek lain dari kehidupan ummat manusia. Plato dan Aristoteles yang kerap disebut dalam membicarakan hakikat negara, bukanlah semata-mata pemikir politik belaka. Keduanya adalah filosof, ahli pendidik dan sebagainya pada zamannya. Hanya saja pemikiran-pemikiran mereka lebih bersifat rasional, lebih dapat diterima akal kita sekarang daripada yang diutarakan oleh hikayat, babad, ataupun ceritera-ceritera yang sampai kepada kita mulanya secara mulut kemulut itu.
Bila kita pelajari sifat dan bentuk negara di negeri kita sebelum Belanda menguasai nusantara ini, maka yang kita kenal hanyalah kerajaan saja. Dimana negara sebagaimana dilihat dari pendefenisiannya. Negara/ kerajaan mengandung pengertian Negara istilah baru politik masa kini, kalau masa lalu nenek moyang kita menamakan Negara dengan Istana, Kota, Kraton, Kerajaan, tapi ini kurang tegas memaknai Negara dan ini masih kita rasakan di daerah Melayu yang mengatakan kerajaan Indonesia dan kerajaan Filipina, sungguh pun mereka tahu bahwa Indonesia dan Filipina tidak dipimpin oleh raja. Pada kerajaan-kerajaan setiap rajanya berbeda- beda panggilannya seperti ada prabu, ada datuak, dan pangilan raja berupa sri maharaja.  Kemudian kepala Negaranya memerintah secara turun temurun atau putra mahkota intinya adalah dinasti, tetapi ini sering membuat konflik yang banyak menghancurkan kerajaan karena ada ambisi dari orang-orang yang ingin berkuasa.
Deliar Noer menyatakan bahwa oleh karena segala sesuatu didalam negara (atau kerajaan) dahulu itu berpusat atau dipusatkan pada raja, maka dapatlah disimpulkan bahwa kedudukan raja itu amat tinggi di dalamnya. Ia sangat diagungkan, dan ini bukan saja dalam arti formal, tetapi katanya pun benar-benar memutus. Kepala negaranya memerintah secara turun temurun. Yang diutamakan sebagai pengganti putera mahkota, ialah anak yang tertua yang lahir dari permaisuri, tetapi kalau ini tidak ada, sekurang-sekurangnya pewarisan posisi raja itu akan jatuh dalam lingkungan keluarga (dinasti).
Oleh karena segala sesuatu didalam negara (atau kerajaan) dahulu itu berpusat atau dipusatkan pada raja, maka dapatlah disimpulkan bahwa kedudukan raja itu amat tinggi didalamnya. Ia sangat diagungkan, dan ini bukan saja dalam arti formal, tetapi katanya pun benar-benar memutus. Pengagungan dan kedudukan seperti ini tidak saja terbatas dalam rangka kehidupan di dunia, tetapi dilanjutkan juga dengan hubungan-hubungan yang disangka atau diyakini ada dengan dunia lain, dengan dunia dewa umpamanya.
 Konsep kosmologis pada masa kerajaan pada masa Hindu dianggap merupakan penjelmaan, atau penitisan dari pada Wisynu dan Syiwa, setelah raja mangkat maka dibuatlah patung-patung. Pada masa kerajaan juga terjadi reingkarnasi, mereka atau rakyat yang melangar akan mendapat kutukan dari raja yang di percaya dapat mematikan, kalau kita hubungkan seperti ini bahwa rakyat yang tidak patuh kepada raja atau yang tidak mengikuti perintah raja atau meninggalkan larangannya akan menemui ajalnya. Oleh Negara Kertagama ini dilukiskan bahwa apa yang dikerjakan oleh raja baik, setiap raja datang harus dilayani dengan makanan yang enak dan wanita-wanita cantik, bahkan binatang yang di sembelih untuk raja maka akan diampuni dosa-dosanya. Tapi kapan kerajaan tersebut akan hancur, seperti ketika membuat candi yang kuat harus terus bekerja, tapi ketika mereka lari dari kerajaan tersebut akibat perintah raja,  akibat larinya rakyat sawah banyak yang tidak menjadi, tenaga pekerja kurang maka kerajaan ini sedang sakit dan  tinggal menunggu kehancurannya dan keruntuhan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Heine-Geldern tentang konsepsi Kosmologis mengenai kerajaan atau negara di Asia Tenggara pada umumnya menggambarkan adanya “kepercayaan tentang harmoni atau keselarasan antara alam semesta (jagat raya) dengan manusia”.
Pandangan yang dikemukakan oleh Deliar Noer bahwa Konsepsi kesaktian, bila konsep kosmologis di pusatkan kepada pengaruh Hindu dan Budha, Sinkritisme dan akulturasi sampai masa kini masih terus berjalan. Mantera-mantera dikalangan suku bangsa Karo yang masih berpegang pada kepercayaan pelbegu umpamanya. Masalah kesaktian masih bertahan lama mengingat sifat-sifat yang dikandung oleh animisme dan dinamisme, dua aliran yang terlebih dahulu bersarang di dalam kalbu bangsa kita, yang sampai sekarang masih ada, seperti jimat, dibanding mengenal agama da kitab-kitab.  Pikiran animisme yang punya konsep bahwa setiap benda punya kekuatan, semangat dan ada jiwannya, yang jiwa atau semangat itu juga bisa berpindah-pindah, dari kebiasaan mereka dari alam yang suka berburu, orang yang punya kesuburan seperti banyak anak dan banyak istri ketika itu bisa juga disebut sakti atau bertuah, dan relatif yang lebih tua yang sudah berepengalaman.
Deliar Noer mengemukakan bahwa tata susunan masyarakat menurut konsepsi Kesaktian itu pada prinsipnya banyak persesuaiannya dengan tata susunan masyarakat menurut konsepsi Kosmologis diatas. Hanya masyarakat pertama itu lebih sederhana, bukan saja cara hidupnya tetapi juga ketaatannya, dibandingkan dengan masyarakat konsepsi Kosmologis itu. Disini hubungan-hubungan pejabat, lapisan masyarakat dan hierarki pemerintahan telah sangat kompleks lagipun sebelum masa Hindu kita belum mengenal kerajaan atau negara, sehingga kesederhanaan segalanya itu memang merupakan cirri dari masyarakat.
Beberapa pengaruh Islam dalam konsepsi- konsepsi diatas,  yang bersumber kepada Alqur’an dan hadis, kedua sumber ini telah selesai pada zaman nabi-nabi yaitu pada abad ke 7 masehi, yang segala sumber tersebut mendapat dan diterima pada umumnya kebenarannya oleh masyarakat. Boleh dikatakan setelah nabi meninggal muncul banyak pertentangan, sehingga muncul mahap untuk memperkuat dan mengurangi pertentangan tersebut, hingga abad ke-11 hingga abad ke 19 M, penerimaan terhadap fatwa dan pengakuannya terhadap suatu keputusan akhir tentang suatu masalah, dan ijtihad hak atau kesanggupan untuk memberikan interpretasi dan kesanggupan memberikan pertimbangan sendiri terhadap masalah yang tidak lagi diakui, yang semakin lama pintu ijtihad semakin tertutup yang membuat Islam semakin terpuruk yang terjerumus ke jurang taqlid, di tengah suasana Islam yang sedemikian, kaum muslimin Indonesia berhadapan  dengan  bangsa penjajah seperti Negara Eropa, seperti Belanda, Portugis, Spanyol dan Inggris.
Deliar Noer mengatakan bahwa dalam bidang politik ataupun bidang kenegaraan, tradisi-tradisi lama yang berasal dari zaman pra-Hindu dan Zaman Hindu-Budha masih terus mengambil tempat di dalam kerajaan-kerajaan Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) yang di zaman Indonesia merdeka menjadi Presiden pertama bahwa negara Indonesia ketika itu (yaitu masa Hindu) merdeka, tetapi penduduk Indonesia, rakyat jelata Indonesia, Marhaen Indonesia, adakah ia juga merdeka? Marhaen Indonesia itu di zaman Hindu … adalah diperintah oleh raja-rajanya secara feodalisme: mereka hanyalah menjadi perkakas sahaja dari raja-raja itu dengan segala bala-keningratannya, mereka tidak mempunyai hak menentukan sendiri putih-hitam nasibnya, mereka senantiasa ditindas oleh “kaum atasan” daripada masyarakat Indonesia.
Pemikiran Deliar Noer tentang masalah bangsa, apakah yang disebut sebagai bangsa? kerajaaan-kerajaan yang mengecil dan membesar juga bagian dari bangsa hari ini, ketika telah mengikat suku bangsa, etnik dan kerajaan tersebut maka kemudian kita bersepakat tokoh bangsa mendirikan Kesatuan kebangsaan Indonesia karena persamaan silsilah keturunan, bahasa, dan watak-watak kebudayaan. Kita bersepakat bahwa pengalaman dalam sejarah berupa kedatangan pengaruh Hindu dan Islam, juga pengaruh penjajahan belanda merupakan faktor pembentukan bangsa Indonesia ini.  Namun yang jelas pengertian Negara zaman nenek moyang kita tidak sama dengan masa sekarang.
Pemikiran Deliar Noer tentang hubungan agama dengan Negara dari masa tradisionalis ke modernisme, ketika modernisme  berlawanan dengan Islam, sebagian golongan mengatakan kafir, orang bertopi dan berdasi dikatakan kafir, seperti yang digambarkan dalam film “Sang Pencerah” KH Ahmad Dahlan dikatakan kafir ketika memakai maju kebesaran Belanda ketika mengajar di Sekolah Belanda, Islam pada masa tradisionalisme menurut penulis kaku dalam memahami, penerima apa yang di sampaikan oleh guru tampa ada kritik terhdap pemikirannya. Atau menurut penulis lebih “taken For granted” menerima apa adannya, Kiyai atau Syech mendapatkan kedudukan yang begitu tinggi. Islam pada masa tradisionalisme tidak memiliki organisasi yang bagus dalam pesantren atau surau tidak ada kelas. Islam pada masa tradisionalisme menyerahkan urusan politiknya ke golongan priyayi, ini menurut penulis bentuk pemisahan agama dengan Negara yang terjadi pada masa tradisionalisme.
Sementara Islam pada masa modernisme yang menginginkan kembali ajaran agama Islam untuk di kembalikan ke khitahnya yaitu Alqur’an dan Hadist, dan pintu ijtihad harus dibuka kerannya lebar, dan fatwa ulama bisa kembali untuk ditinjau ulang kalau tidak sesuia dengan Alqur’an dan Hadist. Penghormatan terhadap kiyai yang berlebihan seperti yang di sampaikan oleh Delier Noer dalam tulisannya tentang Islam tradisionalisme dan modernisme, telah terjadi monopoli kebenaran oleh kiyai dan syech pada masa tradisionalisme, ini menurut penulis sama kejadian ini seperti Eropa pada masa sakitnya hanya menerima kebenaran tunggal dari pendeta dan Gereja, melawan pendeta berarti mati,  urusan tertinggi berada pada Gereja, bahkan raja tidak bisa berbuat apa-apa, karena raja hanya simbol saja,  ketika itu di Eropa sebelum reformasi Gereja terjadi di Eropa.

Penulis melihat Islam pada masa modernisme telah mau berpolitik dengan adanya tulisan pencerahan dari Natsir yang berjudul Capita Salecta “ Kesatuan antara agama dan Negara” yang  tidak bisa dipisah, baru setelah itu Islam masuk keranah politik. Masalah Demokrasi juga bagian penting yang dikupas oleh Delier Noer dalam tulisannya “pengantar ke pemikiran politik” Demokrasi yang berkembang pada masa modernisme yang merupakan alternatif dari sistem otoriter, aristocrat, pemerintahan kerajaan, atau dinasti, demokrasi menempatkan kekuasaaan tertinggi berada pada rakyat,  penguasa menitipkan kekuasannya kepada rakyat, dan suatu waktu bisa diambil lagi, yang kemudian penyerahan ini dinamakan dengan kedaulatan rakyat. Buku Deliar Noer pengantar ke pemikiran politik, memang belum membahas terlalu dalam karena hanya pada mengantarkan kita untuk membaca pemikiran itu sendiri, Deliar Noer menjelaskan dalam tulisannya tentang, konsep kosmologis pada masa kerajaan pada masa Hindu, konsepsi kesaktian dan sifat animisme dan dinamisme, dan kemudian pengaruh Islam di Indonesia, dan juga konflik pertentangan antara Islam tradisionalisme dengan Islam modernisme, sampai  Negara zaman tradisional, dengan konsep kekinian, permasalah Negara demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar