CRITIKAL
REVIEW III
DELIAR NOER:
PENGANTAR KE PEMIKIRAN POLITIK EDISI BARU BAB II
(REVIEW: SATU DUA
PEMIKIRAN TENTANG HIDUP BERNEGARA DI INDONESIA)
Oleh: Kamaruddin Salim
Pemikiran-pemikiran tentang
politik dan negara di negeri kita bukanlah sebenarnya soal yang baru. Benar
bahwa pemikiran itu lebih dirasakan oleh generasi-generasi yang bergerak dan
hidup dalam abad ke-20 ini. Bahwa pemikiran itu ada, sebenarnya dapat juga
dilihat dari adanya susunan masyarakat yang tertentu di suatu wilayah, baik itu
berupa negara kecil atau besar. Bila kita selidiki sifat dan bentuk negara di
negeri kita sebelum Belanda menguasai Nusantara kita ini, maka yang dikenal
hanyalah kerajaan saja. Tetapi haruslah diakui bahwa pemikiran yang khusus
tentang politik dan negara tidaklah terdapat kala itu. Pemikiran dalam bidang
tersebut bercampur dengan segala macam segi kehidupan dari masyarakat dan
agama.
Penjabaran yang ditulis oleh
Deliar Noer tentang pemikiran-pemikiran politik sebelum Belanda menguasai
nusantara sebagaimana disebelah Barat dahulu tidak pula semata-mata
membicarakan politik secara khusus, dan kalau pun ada kitab-kitab mereka yang
menyebutkan politik itu secara khusus (terutama karena memang istilah politik
berasal dari mereka), namun senantiasa buah pikiran dan tulisan mereka itu
bercampur dengan aspek-aspek lain dari kehidupan ummat manusia. Plato dan
Aristoteles yang kerap disebut dalam membicarakan hakikat negara, bukanlah
semata-mata pemikir politik belaka. Keduanya adalah filosof, ahli pendidik dan
sebagainya pada zamannya. Hanya saja pemikiran-pemikiran mereka lebih bersifat
rasional, lebih dapat diterima akal kita sekarang daripada yang diutarakan oleh
hikayat, babad, ataupun ceritera-ceritera yang sampai kepada kita mulanya
secara mulut kemulut itu.
Bila kita pelajari sifat dan
bentuk negara di negeri kita sebelum Belanda menguasai nusantara ini, maka yang
kita kenal hanyalah kerajaan saja. Dimana negara sebagaimana dilihat dari
pendefenisiannya. Negara/ kerajaan mengandung pengertian Negara istilah baru
politik masa kini, kalau masa lalu nenek moyang kita menamakan Negara dengan
Istana, Kota, Kraton, Kerajaan, tapi ini kurang tegas memaknai Negara dan ini
masih kita rasakan di daerah Melayu yang mengatakan kerajaan Indonesia dan
kerajaan Filipina, sungguh pun mereka tahu bahwa Indonesia dan Filipina tidak
dipimpin oleh raja. Pada kerajaan-kerajaan setiap rajanya berbeda- beda
panggilannya seperti ada prabu, ada datuak, dan pangilan raja berupa sri
maharaja. Kemudian kepala Negaranya memerintah secara turun temurun atau
putra mahkota intinya adalah dinasti, tetapi ini sering membuat konflik yang
banyak menghancurkan kerajaan karena ada ambisi dari orang-orang yang ingin
berkuasa.
Deliar Noer menyatakan bahwa oleh
karena segala sesuatu didalam negara (atau kerajaan) dahulu itu berpusat atau
dipusatkan pada raja, maka dapatlah disimpulkan bahwa kedudukan raja itu amat
tinggi di dalamnya. Ia sangat diagungkan, dan ini bukan saja dalam arti formal,
tetapi katanya pun benar-benar memutus. Kepala negaranya memerintah secara
turun temurun. Yang diutamakan sebagai pengganti putera mahkota, ialah anak
yang tertua yang lahir dari permaisuri, tetapi kalau ini tidak ada,
sekurang-sekurangnya pewarisan posisi raja itu akan jatuh dalam lingkungan
keluarga (dinasti).
Oleh karena segala sesuatu
didalam negara (atau kerajaan) dahulu itu berpusat atau dipusatkan pada raja,
maka dapatlah disimpulkan bahwa kedudukan raja itu amat tinggi didalamnya. Ia
sangat diagungkan, dan ini bukan saja dalam arti formal, tetapi katanya pun
benar-benar memutus. Pengagungan dan kedudukan seperti ini tidak saja terbatas
dalam rangka kehidupan di dunia, tetapi dilanjutkan juga dengan
hubungan-hubungan yang disangka atau diyakini ada dengan dunia lain, dengan
dunia dewa umpamanya.
Konsep kosmologis pada masa kerajaan pada masa
Hindu dianggap merupakan penjelmaan, atau penitisan dari pada Wisynu dan Syiwa,
setelah raja mangkat maka dibuatlah patung-patung. Pada masa kerajaan juga
terjadi reingkarnasi, mereka atau rakyat yang melangar akan mendapat kutukan
dari raja yang di percaya dapat mematikan, kalau kita hubungkan seperti ini
bahwa rakyat yang tidak patuh kepada raja atau yang tidak mengikuti perintah
raja atau meninggalkan larangannya akan menemui ajalnya. Oleh Negara Kertagama
ini dilukiskan bahwa apa yang dikerjakan oleh raja baik, setiap raja datang
harus dilayani dengan makanan yang enak dan wanita-wanita cantik, bahkan
binatang yang di sembelih untuk raja maka akan diampuni dosa-dosanya. Tapi
kapan kerajaan tersebut akan hancur, seperti ketika membuat candi yang kuat
harus terus bekerja, tapi ketika mereka lari dari kerajaan tersebut akibat
perintah raja, akibat larinya rakyat sawah banyak yang tidak menjadi,
tenaga pekerja kurang maka kerajaan ini sedang sakit dan tinggal menunggu
kehancurannya dan keruntuhan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Prof.
Heine-Geldern tentang konsepsi Kosmologis mengenai kerajaan atau negara di Asia
Tenggara pada umumnya menggambarkan adanya “kepercayaan tentang harmoni atau keselarasan
antara alam semesta (jagat raya) dengan manusia”.
Pandangan yang dikemukakan oleh
Deliar Noer bahwa Konsepsi kesaktian, bila konsep kosmologis di pusatkan kepada
pengaruh Hindu dan Budha, Sinkritisme dan akulturasi sampai masa kini masih
terus berjalan. Mantera-mantera dikalangan suku bangsa Karo yang masih
berpegang pada kepercayaan pelbegu umpamanya. Masalah kesaktian masih bertahan
lama mengingat sifat-sifat yang dikandung oleh animisme dan dinamisme, dua
aliran yang terlebih dahulu bersarang di dalam kalbu bangsa kita, yang sampai
sekarang masih ada, seperti jimat, dibanding mengenal agama da kitab-kitab.
Pikiran animisme yang punya konsep bahwa setiap benda punya kekuatan,
semangat dan ada jiwannya, yang jiwa atau semangat itu juga bisa berpindah-pindah,
dari kebiasaan mereka dari alam yang suka berburu, orang yang punya kesuburan
seperti banyak anak dan banyak istri ketika itu bisa juga disebut sakti atau
bertuah, dan relatif yang lebih tua yang sudah berepengalaman.
Deliar Noer mengemukakan bahwa
tata susunan masyarakat menurut konsepsi Kesaktian itu pada prinsipnya banyak
persesuaiannya dengan tata susunan masyarakat menurut konsepsi Kosmologis
diatas. Hanya masyarakat pertama itu lebih sederhana, bukan saja cara hidupnya
tetapi juga ketaatannya, dibandingkan dengan masyarakat konsepsi Kosmologis
itu. Disini hubungan-hubungan pejabat, lapisan masyarakat dan hierarki
pemerintahan telah sangat kompleks lagipun sebelum masa Hindu kita belum
mengenal kerajaan atau negara, sehingga kesederhanaan segalanya itu memang
merupakan cirri dari masyarakat.
Beberapa pengaruh Islam dalam
konsepsi- konsepsi diatas, yang bersumber kepada Alqur’an dan hadis,
kedua sumber ini telah selesai pada zaman nabi-nabi yaitu pada abad ke 7
masehi, yang segala sumber tersebut mendapat dan diterima pada umumnya
kebenarannya oleh masyarakat. Boleh dikatakan setelah nabi meninggal muncul
banyak pertentangan, sehingga muncul mahap untuk memperkuat dan mengurangi
pertentangan tersebut, hingga abad ke-11 hingga abad ke 19 M, penerimaan
terhadap fatwa dan pengakuannya terhadap suatu keputusan akhir tentang suatu
masalah, dan ijtihad hak atau kesanggupan untuk memberikan interpretasi dan
kesanggupan memberikan pertimbangan sendiri terhadap masalah yang tidak lagi
diakui, yang semakin lama pintu ijtihad semakin tertutup yang membuat Islam
semakin terpuruk yang terjerumus ke jurang taqlid, di tengah suasana Islam yang
sedemikian, kaum muslimin Indonesia berhadapan dengan bangsa
penjajah seperti Negara Eropa, seperti Belanda, Portugis, Spanyol dan Inggris.
Deliar Noer mengatakan bahwa
dalam bidang politik ataupun bidang kenegaraan, tradisi-tradisi lama yang
berasal dari zaman pra-Hindu dan Zaman Hindu-Budha masih terus mengambil tempat
di dalam kerajaan-kerajaan Islam. Sebagaimana diungkapkan oleh pemimpin Partai
Nasional Indonesia (PNI) yang di zaman Indonesia merdeka menjadi Presiden
pertama bahwa negara Indonesia ketika itu (yaitu masa Hindu) merdeka, tetapi
penduduk Indonesia, rakyat jelata Indonesia, Marhaen Indonesia, adakah ia juga
merdeka? Marhaen Indonesia itu di zaman Hindu … adalah diperintah oleh
raja-rajanya secara feodalisme: mereka hanyalah menjadi perkakas sahaja dari
raja-raja itu dengan segala bala-keningratannya, mereka tidak mempunyai hak
menentukan sendiri putih-hitam nasibnya, mereka senantiasa ditindas oleh “kaum
atasan” daripada masyarakat Indonesia.
Pemikiran Deliar Noer tentang
masalah bangsa, apakah yang disebut sebagai bangsa? kerajaaan-kerajaan yang
mengecil dan membesar juga bagian dari bangsa hari ini, ketika telah mengikat
suku bangsa, etnik dan kerajaan tersebut maka kemudian kita bersepakat tokoh
bangsa mendirikan Kesatuan
kebangsaan Indonesia karena
persamaan silsilah keturunan, bahasa, dan watak-watak kebudayaan. Kita
bersepakat bahwa pengalaman dalam sejarah berupa kedatangan pengaruh Hindu dan
Islam, juga pengaruh penjajahan belanda merupakan faktor pembentukan bangsa
Indonesia ini. Namun yang jelas
pengertian Negara zaman nenek moyang kita tidak sama dengan masa sekarang.
Pemikiran Deliar Noer tentang
hubungan agama dengan Negara dari masa tradisionalis ke modernisme, ketika
modernisme berlawanan dengan Islam, sebagian golongan mengatakan kafir,
orang bertopi dan berdasi dikatakan kafir, seperti yang digambarkan dalam film
“Sang Pencerah” KH Ahmad Dahlan dikatakan kafir ketika memakai maju
kebesaran Belanda ketika mengajar di Sekolah Belanda, Islam pada masa
tradisionalisme menurut penulis kaku dalam memahami, penerima apa yang di
sampaikan oleh guru tampa ada kritik terhdap pemikirannya. Atau menurut penulis
lebih “taken For granted” menerima apa adannya, Kiyai atau Syech
mendapatkan kedudukan yang begitu tinggi. Islam pada masa tradisionalisme tidak
memiliki organisasi yang bagus dalam pesantren atau surau tidak ada kelas.
Islam pada masa tradisionalisme menyerahkan urusan politiknya ke golongan
priyayi, ini menurut penulis bentuk pemisahan agama dengan Negara yang terjadi
pada masa tradisionalisme.
Sementara Islam pada masa
modernisme yang menginginkan kembali ajaran agama Islam untuk di kembalikan ke
khitahnya yaitu Alqur’an dan Hadist, dan pintu ijtihad harus dibuka kerannya
lebar, dan fatwa ulama bisa kembali untuk ditinjau ulang kalau tidak sesuia
dengan Alqur’an dan Hadist. Penghormatan terhadap kiyai yang berlebihan seperti
yang di sampaikan oleh Delier Noer dalam tulisannya tentang Islam
tradisionalisme dan modernisme, telah terjadi monopoli kebenaran oleh kiyai dan
syech pada masa tradisionalisme, ini menurut penulis sama kejadian ini seperti
Eropa pada masa sakitnya hanya menerima kebenaran tunggal dari pendeta dan
Gereja, melawan pendeta berarti mati, urusan tertinggi berada pada
Gereja, bahkan raja tidak bisa berbuat apa-apa, karena raja hanya simbol
saja, ketika itu di Eropa sebelum reformasi Gereja terjadi di Eropa.
Penulis melihat Islam pada masa
modernisme telah mau berpolitik dengan adanya tulisan pencerahan dari Natsir
yang berjudul Capita Salecta “
Kesatuan antara agama dan Negara” yang
tidak bisa dipisah, baru setelah itu Islam masuk keranah politik. Masalah
Demokrasi juga bagian penting yang dikupas oleh Delier Noer dalam tulisannya
“pengantar ke pemikiran politik” Demokrasi yang berkembang pada masa modernisme
yang merupakan alternatif dari sistem otoriter, aristocrat, pemerintahan
kerajaan, atau dinasti, demokrasi menempatkan kekuasaaan tertinggi berada pada
rakyat, penguasa menitipkan kekuasannya kepada rakyat, dan suatu waktu
bisa diambil lagi, yang kemudian penyerahan ini dinamakan dengan kedaulatan
rakyat. Buku Deliar Noer pengantar ke pemikiran politik, memang belum membahas
terlalu dalam karena hanya pada mengantarkan kita untuk membaca pemikiran itu
sendiri, Deliar Noer menjelaskan dalam tulisannya tentang, konsep kosmologis
pada masa kerajaan pada masa Hindu, konsepsi kesaktian dan sifat animisme dan
dinamisme, dan kemudian pengaruh Islam di Indonesia, dan juga konflik
pertentangan antara Islam tradisionalisme dengan Islam modernisme, sampai
Negara zaman tradisional, dengan konsep kekinian, permasalah Negara
demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar